Rabu, 31 Desember 2014

Beberapa Keping Setahun Terakhir




Sampai di penghujung tahun 2014. Di sini, aku tak akan menulis panjang-panjang. Hanya, cerita, mengapa aku menganggap tahun ini begitu istimewa.
             
Awal tahun 2014. Tepatnya, tanggal 5 sampai 8 Januari 2014. Untuk pertama kali, menghirup udara kota Bandung. Untuk pertama kali, melewati terjalnya Jalan Daendels. Untuk pertama kali, mendengar langsung bahasa Sunda yang begitu kental, dan untuk pertama, pergi jauh-jauh dengan lebih dari seratus manusia seumuran. Ehm, se-angkatan, dalam program study tour. Oh iya, untuk pertama kali, berada di Trans Studio yang, yah, untuk penghuni sebuah kota kecil nan terpencil ini, wahana bermain dan belajar itu adalah spesial.
            
Bergerak lagi menuju bulan berikutnya. Lagi, untuk pertama kali, aku mendapat tugas membuat film. Santai, tak usah panik ketinggalan kereta. Cerita-ceritaku masih dalam bentuk tulisan. Film ini bukan tentang tulisanku, kok. Haha. Film yang kubuat tahun ini adalah Proklamasi Kemerdekaan. Untuk pertama kali, merasakan susahnya jadi penulis skenario, pengarahan pemain—kurang lebih sutradara, editor, aktrisnya pula. Begadang demi baiknya film ini, malah yang jadi perhatian adalah behind the scene yang kubuat Cuma-Cuma. :) Tapi aku rapopo. Dapat tanggapan bagus dari penonton itu sudah lebih dari cukup, kan, baru pertama kali.

Senin, 29 Desember 2014

Pungguk Ingin Bulan



Hai. Sepotong kata sapa yang tak aku ucapkan ketika pertama kali melihatmu. Tentu saja. Karena kamu adalah manusia yang terlalu berharga jika hanya dipanggil dengan “Hai”.

Siang ini, aku sendirian. Menanti kakakku yang sedang kuliah, dan aku baru saja menghabiskan 1 film dari Thailand, judulnya Hello Stranger. Ehm, memang tak ada hubungannya dengan dirimu. Sekedar cerita, betapa sepinya saat ini, dan tiba-tiba aku ingin tahu kabarmu.

Berhubung, tweet terakhirmu tanggal 21 Juli—sama sekali tak mencerminkan kabarmu, aku memilih melihat-lihat foto-foto yang kauunggah di twittermu—yang belum kulihat sampai unggahan foto pertamamu. Satu per satu foto tampil di layar monitor bergantian. Ada senyum tipis, senyum lebar, tawa, wajah bingung, ekspresi datar, dan satu pose yang hampir sama dengan yang kautunjukkan saat di depanku. Senyum tipis, dengan tangan ke belakang. Rata-rata, itu gaya yang kaubagikan di depan kamera, jika di sampingmu adalah wanita yang tidak kaukenal. Berarti, aku adalah gadis yang tidak.... ehm, #YouknowwhatImean.

Tapi, ada satu foto di twittermu yang membuatku mengumpat pelan. Kamu, dengan kekasihmu. Senyummu di gambar itu, tak beda jauh dengan senyum yang sekarang berada di salah satu akun media sosialku. Ya, hanya senyum tipis. Yang berbeda adalah posemu di situ. Satu tanganmu memegang kamera, dan kamu sedikit mendekat dengan wanita itu. Dengan kalimat di bawah foto itu: Di belakang pria hebat, pasti ada wanita tegar.

Seharusnya aku baik-baik saja melihat foto itu. Seharusnya aku baik-baik saja membaca kalimat itu. Seharusnya aku baik-baik saja menyadari bahwa kamu bukan pemuda yang sedang sendiri. Seharusnya aku tak sejauh ini memaknai dirimu bukan lagi idola. Seharusnya aku yang tahu diri bahwa kamu bukan pangeran yang sedang jatuh cinta dengan gadis biasa sepertiku. Seharusnya aku tak menganggap awal pertemuan kita akan berlanjut dengan saling jatuh cinta.

Sayangnya, aku tak bisa membohongi diriku sendiri, bahwa aku tak suka melihat fotomu itu. Bahwa, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Bahwa, jantungku berdetak tak teratur, bahwa air mataku ingin meluncur, bahwa aku ingin menjadi wanita itu—yang berada di sampingmu—mengiringi perjalanan karirmu. Bahwa, aku ingin menjadi wanita beruntung yang setiap saat kauingat, bukan wanita beruntung yang sekali ketemu, langsung kaulupakan. Aku tak bisa memungkiri hal ini.

Oke, baiklah. Entah, tulisan ini kaubaca atau tidak, kaumenginginkan ini atau tidak, aku mengunggah tulisan ini hanya untuk berbagi rasa kepada para pembaca. Mungkin di luar sana, ada yang bernasib sama denganku. Mengharapkan seseorang yang sama sekali tak mengharapkan diri ini. Selamat siang.

Sabtu, 27 Desember 2014

Kita (masih) Teman, kan?



Hai, Teman, selamat malam. Maaf, aku mengganggumu malam ini. Bukan maksudku membuang waktumu hanya untuk membalas pesan singkat dari temanmu ini. Bukan maksudku memaksamu membalas pesan singkat yang kukirim. Sekali lagi, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak tahu jika waktumu malam ini terlalu berharga, karena kamu sedang bersama-nya. Aku benar-benar tidak tahu, bahwa posisiku sebagai teman, sahabat, tempat keluh-kesah, pendengar yang baik, sudah digantikan oleh seseorang yang kaunamai ‘kekasih’. Maaf, Sobat.
             
Ehm, aku baru tahu, ketika kekasihmu itu mengunggah fotomu yang tengah tersenyum lebar di kamera dengan dia. Oh, tidak, aku tidak ada masalah dengan kekasihmu. Tak ada yang salah di sini. Semuanya baik-baik saja. Kamu tak perlu khawatir, hatiku masih bisa diajak kompromi. Teruskan saja waktumu dengan dia. Jangan lupa, hapus jadwal-jadwal liburan kita yang sudah kita susun jauh-jauh hari. Hapus juga, daftar lagu dan film terbaru yang sudah siap kita buru. Hapus saja. Bakar sekalian, sampai jadi abu, hingga tak mengganggumu.
            
Jika kamu ingin menghubungiku karena kekasihmu sudah pulang, aku masih ada di sini. Kamu masih bisa meneleponku di nomor yang sama. Kamu masih bisa menghubungiku dari akun sosial media yang sama. Tak ada yang kuubah. Nama, email, dan password yang kauhafal di luar kepala, juga masih sama, kok, Teman. Tenang saja, aku masih di sini, meskipun kamu di sana, dengan seseorang.
            
Atau kamu sudah tak perlu menghubungiku, karena sudah ada yang selalu menghubungimu? Sudah ada yang selalu mengingatkanmu sholat, makan, dan istirahat. Sudah ada yang mengajakmu jalan-jalan. Sudah ada yang katanya selalu ada untukmu, bukan? Jadi, aku sekarang, tak perlu seperti itu? Hanya boleh bertanya tugas sekolah yang ini dan itu? Dan, sekarang adalah libur panjang, tak ada tugas, so, aku tak boleh menghubungimu?

Kamis, 25 Desember 2014

Hanya Ingin Bilang



Ini hari natal. Aku tahu kamu tidak ke gereja. Aku tahu kamu tidak akan tergesa membuka bungkusan-bungkusan kado di bawah pohon cemara berhias lampu warna-warni dengan bintang di pucuknya. Aku tahu, kamu tidak sedang bertanya-tanya apakah Santa bertandang ke rumahmu tadi malam. Aku juga tahu, kamu sudah terlalu dewasa untuk mengerti bahwa kamu tinggal di daerah khatulistiwa—tidak ada salju di hari natal. Aku tahu.
            
Malam natal, sudah kunanti-nanti esoknya menjadi hari natal. Tak sabar, ingin aku mendatangimu dan menjabat tanganmu lalu memberimu sekotak kado berpita biru—warna kesukaanmu. Ingin aku kembali melihatmu setelah sekian lama aku tak tahu kabarmu. Aku ingin kamu kembali, ke sini, di dekatku. Dan kurasa, hari natal, adalah waktu yang tepat untuk itu. Untukmu kembali.

Selasa, 23 Desember 2014

Mengenang



Hai, Mas Bayu. Apa kabar? Semoga, kabarmu baik-baik saja, seperti aku di sini yang baik-baik saja. Jika aku tak baik, tidak mungkin aku menulis tentang kamu, kan? Haha. Ini sudah bulan ke-enam setelah aku dan kamu bertatap muka, dan mengabadikan sore 23 Juni 2014 di Jogja. Sudah setengah tahun, Mas. Nggak kebayang, kan? Ah, pasti kamu sudah lupa. Mungkin saja, setelah aku meminta tanda tanganmu sore itu, besoknya, ada lagi yang bersikap sama denganku ketika melihatmu. Mungkin saja, ada gadis lain yang meminta berfoto denganmu lusanya. Mungkin saja, bukan?
            
Jadi, begini. Setelah aku bertemu denganmu untuk yang pertama, aku jadi sering stalk twittermu yang hanya dihuni jangkrik saking sepinya. Kamu jarang nge-tweet, kan? Atau, kamu punya twitter lain?

Sabtu, 20 Desember 2014

Teman dari Temanmu



Kisah kita mirip sinetron, Mas. Kita belum bertatap muka dan saling mengenal ketika aku sudah ngobrol ini-itu dengan kawan-kawanmu. Aku tak tahu jika kamu adalah teman mereka. Tentunya kamu juga belum tahu bahwa aku sudah mengenal teman-temanmu. Sampai sekarangpun, aku tak tahu, apakah teman-temanmu sudah bercerita bahwa aku juga salah satu kawan mereka, kawanmu juga, pastinya. Ah, entah. Ini terlalu rumit.
            
Lucu sekali, bukan? Seharusnya aku sudah mengenalmu sebelum teman-temanku mengenalmu. Seharusnya aku sudah tahu dirimu, sebelum teman-temanku tahu siapa namamu. Seharusnya kita sudah lebih dari sekedar aku-tahu-kamu—kamu-tahu-aku. Seharusnya kita adalah teman dekat, karib, dan akrab. Bukan jauh-jauhan seperti. Bukan tak saling kenal begini. Bukan tak saling anggap. Seharusnya bukan teman-temanku yang lebih mengenalmu. Tapi, aku. Ehm, jika waktu itu kamu ikut teman-temanmu. Jika waktu itu kamu ikut bergabung. Jika waktu itu kamu tak berhalangan untuk hadir. Kita pasti sudah saling kenal.
              
Bukannya apa-apa. Aku hanya takut, kamu tak mengenalku. Aku hanya takut, kamu tak tahu namaku. Aku hanya takut, kamu benar-benar tak peduli padaku. Aku hanya takut menyalah-artikan pertanyaanmu dulu. Aku hanya takut jika—jika kamu mengistimewakan yang lain. Jika sudah ada wanita spesial di hidupmu. Yah, perlu kuakui, aku takut.
             
Oke. Aku mengaku kalah. Aku menyerah. Aku tak betah berpura-pura. Harus kuakui, bahwa aku merindukanmu. Sangat rindu.
            
Hari yang begitu berarti, hari yang tak kusangka-sangka menjadi hari pertemuanku denganmu, hari yang tak kunanti-nanti, hari yang sama sekali jauh dari kata istimewa. Sayangnya kamu menjungkirbalikkan itu semua. Kamu membuat hari itu sangat berarti, sangat spesial, membuatku selalu ingin memutar hari itu, ketika aku dan kamu bertatap muka untuk yang pertama.

Rabu, 17 Desember 2014

Duabelas, Aku Masih di Sini




Masih di tempat duduk yang sama, pagi ini aku menyaksikan beberapa pemain yang tengah melakukan pemanasan. Berlari kecil dari ujung ke ujung lapangan, mencoba tendangan jarak jauh, saling oper sesama teman, dan menguji tangkapan bolanya bagi kiper. Masih dari tempat duduk yang sama, aku melihat para supporter mulai memenuhi bangku penonton dengan segala atribut yang dibawanya untuk menyemarakkan pertandingan. Sayangnya, orang-orang itu—pemain di lapangan dan para penonton, adalah orang yang berbeda, tidak seperti beberapa bulan yang lalu. Padahal, aku masih di tempat duduk yang sama.

            Beberapa waktu lalu, ketika aku menggilai sepak bola semenjak aku bertemu salah satu pemain timnas—Bayu Gatra, kamu mengajakku ke tempat ini. Berpromosi jika olahraga yang kamu tekuni, tak kalah menarik dengan olahraga yang aku sukai. Kamu menggamit lenganku, mendudukkanku di tempat duduk ini, berpesan aku harus hati-hati, dan jangan lupa meneriakkan namamu ketika kamu berhasil menjebol gawang lawan. Aku mengangguk sedikit malas, karena antusiasme olahraga dengan 5 pemain ini, kalah jauh dibanding sepak bola. Supporter yang datang, bahkan bisa dihitung jari.

Sabtu, 13 Desember 2014

Ah, Kecewa



Sore ini rumahku kedatangan tamu istimewa. Tanpa identitas seragam merah atau biru dengan garuda di dada, aku langsung tahu siapa dia. Sepupuku, Putu Gede Juni Antara yang mengajak temannya, Mahdi Fahri Albaar. Entah bagaimana mereka berdua bisa bertemu, yang kutahu, Bli Putu berada di Surabaya dan Kak Mahdi ada di Maluku. Pokoknya, mereka berdua ada di rumahku sore ini.

            Aku langsung heboh tak karuan ketika melihat mereka ruang tamu. Mendapati seorang berkaos hitam, dan satunya memakai jaket biru ala timnas. Seisi rumah menyambut mereka berdua, dan aku segera menggandeng Bli Putu, bercerita apa saja yang lebih sering ditanggapi dengan senyum dan tawa kecilnya. Kak Mahdi hanya mesam-mesem, karena baru kali ini dia menginjakkan kaki di rumahku. Baru pertama ini dia kenal denganku. Mungkin, rada heran dengan gadis yang baru bangun tidur, bisa bercerita dengan kecepatan 100 km/jam.
            Aku tersadar sesuatu. Kapan lagi sepupuku ini datang ke rumah? Tidak pasti setahun sekali. Apalagi, rumahnya tidak di Jawa, tapi di Pulau Dewata. Kerjanya di Surabaya. Jauh, kan, dari kota tercinta? Serta-merta aku kembali ke kamar, mengambil kamera. Mengabadikan pertemuan kami berdua, ehm, bertiga, sore ini.

Senin, 08 Desember 2014

Peristiwa Malam Ini



Malam ini, aku belajar satu hal dari percakapan antara kakakku dan orang tuaku. Ini terkait perjuangan kakakku yang harus mengorbankan sesuatu yang penting baginya untuk menuju Negeri Pizza.
            “Tapi, Bunda, teman-temanku sudah dapat piagam yang dapat digunakan untuk kelas selanjutnya,” suara kakakku yang menembus tembok kamar, membuyarkan fokusku pada materi Perang Dunia II. Kubiarkan kursor berkedip. Aku menanti tanggapan bunda terhadap anak sulungnya.
            “Ravi....” lembut suara bunda menyusul. “Kaumeninggalkan klub sepak bolamu di sini, kan, untuk keberangkatanmu ke Italia. Bukannya sudah dari dulu kamu ingin ke sana? Makanya, kamu rela jauh-jauh menimba ilmu sampai Bandung demi Italia,”
            Aku tersenyum kecil. Siap mendengar tanggapan abangku.

Jumat, 05 Desember 2014

Bukan Cinta



Wejangan Mas Ravi malam ini emang bikin ‘nyesss’ banget.
“Untuk apa kaususah-susah memendam rindu pada seseorang yang tak sepenuhnya merindukanmu? Untuk apa kausulit melupakan seseorang yang bahkan tak pernah mengingatmu?” ini ‘nyess’ pertama. Bayangkan saja, jika pada kalimat awal percakapan, langsung ditodong kalimat sebegini tajamnya?

Jumat, 28 November 2014

Mungkinkah Orang Itu Menulis Ini Kepada Pemilik Blog?



Aku kembali melihatnya sore ini. Dia memakai baju berlogo klub sepak bola ternama Spanyol, dan celana jeans hitam. Mungkin, gadis itu memang menyukai klub sepak bola tersebut, karena sempat beberapa kesempatan aku melihatnya memakai jaket berlogo sama. Sore ini, dia sedang belajar fisika. Mungkin, besok dia akan ulangan atau hanya memperdalam materi karena UAS sudah dekat. Ehm, entah kenapa aku berpikir begitu. Apa karena setiap Senin dan Rabu aku selalu melihatnya? Apa karena aku selalu melihatnya mengambil air wudhu lalu sholat? Atau ada hal lain?

Jumat, 21 November 2014

Dawai Biru



Toko buku sore ini cukup ramai. Aku sudah melangkah ke lantai dua. Surga bagiku. Dengan lautan bukunya yang ingin kubeli semua, juga penataan yang rapi, serta aroma khas yang menguar di seluruh sudut ruangan, membuatku suka pada tempat ini. Sangat suka.
Pandangan mataku mengarah pada bagian buku New Release. Menatap tumpukan novel karyaku yang baru diterbitkan minggu lalu. Yang membuatku rajin datang ke tempat ini. Tiap hari mengecek berapa orang yang sudi membeli bukuku
Mataku tertumbuk pada seorang berjaket biru yang sedang berdiri di depan tumpukan bukuku. Membuka-buka buku yang tak begitu jelas jika kulihat dari sini. Mungkinkah yang dia pegang adalah bukuku? Percayakah ia bahwa aku sekarang menjadi penulis? Bukan seorang gadis yang pernah menjadi murid lesnya dulu? Yang sering ia ajari memetik dawai tiap minggu? Ada, sih, yang dia tak tahu sampai sekarang: aku selalu menunggu setiap pertemuan dengannya. Sayangnya, pertemuan itu sekarang tak pernah terjadi. Justru membuatku tersiksa karena kerinduan padanya sering meledak.
                                                      Dia yang memakai jaket biru tua.

Rabu, 19 November 2014

Merindu



            Sore ini, macam hari biasa, pulang les, aku nongkrong di depan tv, menunggu acara kuis tebak lagu di salah satu stasiun tv swasta dalam negeri. Tas masih tergantung di pundak, helm belum kukembalikan di tempatnya, dan tangan masih menggenggam kunci sepeda motor dengan gantungan kunci bergambar maskot Piala Dunia di Brazil kemarin. Aku sudah stay cool di depan layar tv, menanti salah satu penyanyi dalam acara itu yang jadi idola baruku.

Selasa, 28 Oktober 2014

Mahdi, Bayu, dan........



Cukup tergesa kakiku melangkah ke gedung ini. Kembali ke bangunan ini. Untuk sebuah urusan yang kalian tak perlu mengerti. Dengan sebuah map yang berisi dokumen entah penting atau tidak bagiku, kupeluk, melewati orang-orang yang menatapku setengah heran.  Dalam hati, aku terus merapal sebuah doa, semoga kembali bertemu dengan manusia satu itu.

Rabu, 15 Oktober 2014

Terhempas ke Masa Lalu




 Anggap saja pemuda yang kuceritakan di sini adalah Putu Gede Juni Antara.

 Sepupuku datang ke rumah sore ini. Memakai baju warna merah, celana pendek, dan wajah baru. Ya. Rambutnya yang bermodel baru—yang masih basah dengan wangi sampo, sangat jauh berbeda dengan yang kemarin. Dia juga bercerita jika tadi habis ke salon gara-gara tukang cukur langganannya sedang sakit. Dia masih saja cerita tentang rambut barunya, tak peduli denganku yang tertawa kaku mendengar celotehnya yang membanggakan rambut mohawk-nya. Dia tak mengerti kenapa aku sedingin ini melihatnya datang ke rumah—padahal biasanya aku paling heboh jika dia bertandang. Tapi, sore ini, rambut barunya, mengingatkanku pada seseorang. Pria di ujung sana.

Minggu, 05 Oktober 2014

Challenge



“Kau bisa basket?”
            “Lumayan,”
            “Baik! Kita adu di lapangan, sekarang!”
            “Hah? Sekarang?”
            “Kenapa? Kau takut?”
            “Ah, tidak. Kurasa, kau terlalu gila jika mengajakku bermain basket sekarang ini.”
            “Ada masalah dengan siang yang terik ini? Kau tak perlu risau jika tubuhmu menghitam. Aku masih punya jaket untuk melindungi tubuhmu!” dan dalam satu kali gerakan, jaket biru bergambar garuda di dada itu sudah berpindah tangan. “Ayo sekarang kita ke lapangan!”

Selasa, 23 September 2014

Dua Puluh Tiga yang Ketiga



23 September 2014.
Jika kamu masih ingat, 3 bulan yang lalu ada seorang gadis yang menahan langkahmu ketika keluar dari lapangan Universitas Negeri Yogyakarta. Jika waktu itu kamu menganggapnya spesial, tentu kamu tak lupa ada gadis yang meminta tanda tanganmu sore itu. Tapi aku sangat yakin, bagimu itu tidak penting. Yang terpenting adalah memperbaiki mental setelah kemarin kalah 0-6. Kembali berlatih untuk pertandingan selanjutnya melawan Korea Utara.

Kamis, 18 September 2014

Perenungan

Sudah lama jemariku tidak nangkring di blog. Bukan karena aku bosan, tapi karena aku tak punya waktu. Bukan karena sok sibuk, tapi memang karena tak sempat. Ah, kenapa detik berputar begitu cepat? Kenapa menit ikut-ikut berderap bagai kilat? Jam, hari, bulan, tahun, mereka semua sama-sama berjalan, tak mau berhenti, tak mau menungguku, tak mau ditunggu.

Tak terasa, aku sudah di kelas akhir. Mungkin, ini berbeda dengan tingkat akhir SMA, tingkat akhir kuliah. Mungkin, belum sebanding dengan kakak-kakak yang bergelut dengan ujian 6 mata pelajaran, berdenyut ria dengan debat karena dosen belum ACC skripsinya. Aku masih di kelas akhir tingkat SMP. Masih ujian dengan 4 mata pelajaran. Masih kecil. Masih belum ada apa-apanya dengan nanti kalau cari kerja, dan sebagainya. Tapi bagiku?

Bukan maksudku untuk 'sok'. Tapi memang, di jaman ini, salah langkah pada masa kecil, merunyamkan masa depan. Di kelas akhir ini, aku harus memikirkan ke mana lagi akan melanjutkan sekolah. Ke mana lagi aku akan melabuhkan cita-cita. Jujur, cita-citaku masih belum jelas. Masih bimbang. Antara di ini dan di itu, seandanyainya aku jadi ini, nanti kalau begitu, gimana? Kalau aku jadi itu, nanti kalau begini, gimana?

Apakah hanya aku yang mengalami kebimbangan seperti? Apakah hanya aku yang kebingungan seperti ini?

Di kelas akhir, adalah saatnya sibuk les. Meminimalkan kegiatan tak penting yang kadang malah diwajibkan oleh sekolah. Mengerjakan tugas yang melelahkan, dan malah tidak belajar mata pelajaran ujian.

Di kelas akhir, adalah kelas paling singkat, tapi paling sibuk dan menentukan masa depan. Jika salah langkah, hati-hati dengan masa depan.

Baru kali ini, aku merasakan beban. Dulu di SD, aku santai-santai saja. Tak berpikiran jika aku akan melanjutkan ke mana, tak berpikiran kalau aku nanti tidak diterima di sekolah ternama, tak berpikiran cita-cita yang masuk akal.... pokoknya pemikiranku waktu SD dan SMP, berbeda drastis! Mungkin, ini yang disebut pendewasaan.

Ah, entah. Baru 15 tahun saja, sudah merasa lelah. Bagaimana jika nanti sudah berumur 20 tahun, 30 tahun, 50 tahun? Benarkah lebih lelah dari ini?

Jumat, 05 September 2014

AB 07



Sudah sejak beberapa hari yang lalu aku suka duduk di depan kamar rawat kakakku.  Oh iya, 2 hari yang lalu kakakku kakinya dioperasi karena patah—jatuh waktu bermain bola. Dan dia dibawa ke sini untuk pemasangan pen dan segala tetek bengek lainnya agar bisa berjalan normal kembali. Syukurlah operasinya berjalan lancar, dan sekarang tinggal pemulihan.

Rabu, 03 September 2014

Pengagum Rahasia



            Aku heran. Sangat heran. Betapa tidak pedulinya kamu pada sekitar, hingga tak pernah merasa sedang dipandang lekat oleh seseorang? Atau kamu pura-pura tak peduli? Atau kamu sebenarnya kecewa karena seseorang yang selalu memandangmu lekat adalah bukan orang yang kauharapkan? Karena kamu malas untuk menanggapi perhatian lebih dari seseorang yang belum begitu kaukenal? Perlu kamu tahu, ada seseorang yang pernah membelikanmu roti bakar, namun sampai sekarang, roti bakar itu belum sampai di kamu. Belum kamu terima. Belum kamu makan. Karena kamu sudah keburu pulang. Jujur, ada yang kecewa.

Sabtu, 23 Agustus 2014

Just Said "Happy Birthday..."



Gadis itu berjalan dengan sedikit tergesa memasuki stadion yang semakin padat. Ia tak ingin terlambat menyaksikan pertandingan yang diikuti kekasihnya. Kemarin, dia sudah berjanji untuk datang. Apalagi, hari ini adalah ulang tahun kekasihnya. Meskipun gadis itu tahu, kekasihnya pasti akan fokus pada pertandingan—tidak akan melihatnya yang nanti akan meneriakkan nama sang kekasih. Tapi setidaknya, gadis itu ingin menunjukkan rasa cintanya pada sang pacar. Tak salah, kan?

Rabu, 20 Agustus 2014

Seandainya........



Sudah berapa hari, Mas kita nggak ketemu? Apa kabar kamu? Baik-baik, kan?

Apakah kau tahu ada yang diam-diam mengharapkan pertemuan denganmu lagi? Apa kau tahu ada yang diam-diam menulis tentang kamu? Apa kau tahu ada yang diam-diam mengharapkan senyummu? Apa kau juga tahu ada yang diam-diam memasang fotomu di wallpaper ponselnya?

Jumat, 08 Agustus 2014

Dia.......



Badan tegap yang selalu terbalut kaos dan jaket warna merah dan biru—entah kaos dan jaket apapun miliknya, selalu didominasi warna merah dan biru. Terkadang ditambah selipan warna hitam dan abu-abu. Itu pun, tak selalu. Langkah kaki yang santai namun panjang-panjang membuat orang lain perlu sedikit berlari untuk mengejarnya. Tubuhnya lumayan tinggi, kulitnya sawo matang, hidungnya mancung, dan rambutnya selalu dielus ke atas agar terlihat jabrik. Tapi, model rambutnya yang seperti itu, tidak terlihat norak dan tak akan membuat jengah, apalagi sampai mati bosan. Malah, membuat rindu, hingga setiap hari ingin bertemu.

Sabtu, 02 Agustus 2014

Surat Untuk Nomor 2



Saputan gerimis tipis, menemaniku di saat aku menulis ini. Tentang kamu—idola remaja di se-antero tanah air. Putu Gede Juni Antara.

7 Juni.
Aku tak pernah menganggap tanggal itu istimewa. Aku tak tahu ada  yang mementingkan tanggal itu. Lebih tepatnya tak peduli. Karena bagiku, Juni bukanlah bulan masehi yang menggembirakan jika tak ada libur sekolah, yang bahkan berlipat-lipat tahun ini. Aku juga enggan mencatat hal-hal apa yang menarik di bulan Juni,  jika bukan sepupuku yang berulang tahun di hari ke-16 bulan ini.

Juni......
Nama bulan itu, terselip dalam nama panjangmu. Se-simple itu kamu buat aku penasaran apa hubungannya kamu dengan bulan ke-6 masehi. Tak perlu kamu mengadakan kuis berhadiah jutaan rupiah untuk mencari biodatamu—tempat tanggal lahirmu. Cukup sesederhana itu.

Jumat, 01 Agustus 2014

Harusnya Kamu Sudah Pergi



Jaket biru. Kautahu? Jaket itu salah satu kenangan yang begitu melekat pada otakku. Bisa dibilang, kenangan terakhir darimu, sebelum kamu benar-benar pergi dariku. Tanpa waktu lama, memoriku langsung tahu siapa pemilik jaket itu, dan peristiwa apa yang membuatku selalu ingat siapa pemiliknya. Dan otakku tahu, kenapa hatiku sempat menjerit ketika tahu kamu tiba-tiba berada di hadapanku.
            
Apakah kautahu, ada seseorang di masa lalumu yang terkadang merindukanmu seperti malam ini? Jujur, aku tak tahu jika kita berada di tempat yang sama malam ini. Entahlah sebelumnya, kenapa aku tiba-tiba ingat kamu. Selang beberapa menit setelah aku mengirim sms tentangmu kepada temanku. Ajaibnya, kamu datang. Benar-benar datang, bukan sekedar bayangan. Kamu nyata, tak lagi maya. Kamu lewat dengan tenang, di depan seseorang yang dulu berusaha keras untuk melupakan siapa kamu di hidupnya.

Minggu, 27 Juli 2014

Happy Eid Mubarak !

Happy Eid Mubarak ! :D Selamat Hari Raya Idul Fitri ya semua :)) Alhamdulillah Tuhan masih memberi kesempatan kepada kita untuk bertemu malam kemenangan tahun ini. Kali ini, saya tidak berpuitis-puitis ria :D Cukup bagi salam dan maaf untuk teman-teman dan orang-orang di sekitar saya. Untuk idola, pahlawan, dan pokoknya semua! Sorry yang belum kebagian yes ;))

Minggu, 20 Juli 2014

Satu Bulan



Selamat siang manusia yang sekarang sedang berada di negeri orang. Setidaknya siang ini waktu Indonesia bagian barat. Apakah di sana sudah malam? Apakah kau sedang beristirahat sekarang? Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah baikankah? Tenagamu sudah pulih kembali kah?
            
Oh, iya. Aku punya cerita, Mas buat kamu. Hari Jum’at lalu, maaf aku tak melihat pertandinganmu. Karena apa? Yap! Channelnya diacak. Aku sudah ke rumah saudaraku yang berlangganan TV kabel. Tapi tetap saja, aku tak bisa melihatmu menggiring bola; nonton kamu yang katanya bermain dengan apik meskipun berakhir dengan kekalahan; apalagi mendapati wajahmu di layar kaca. Ah, entahlah. Rasanya ‘nyesss’ banget.
            
Perlu kautahu, Mas. Jika 1 bulan yang lalu aku tak bertemu denganmu, aku tak akan segila ini. Aku tak akan senekat ini. Jam 11 malam keluar rumah demi melihat kamu. Tapi hasilnya? Nihil. Aku hanya tahu pertandingan malam itu, timmu—tim kebanggaanku menelan kekalahan. Itupun melalui sosial media.
  
Hari Kamis kemarin, aku bertandang ke Jogja. Aku kembali menengok tempat pertemuan kita. Dia masih sama, Mas. Tak berubah apalagi berpindah tempat. Bedanya Cuma satu. Tak ada kamu. Tak ada yang membuatku terkejut. Tak ada yang menahanku untuk pergi dari situ. Tak ada yang memaku pandangan mataku di tempat itu. Karena tak ada manusia berseragam biru. Karena tak ada kamu.
            
Mas, izinkan aku menulis tentangmu lagi. Aku ingin mengenang pertemuan kita dulu. Pertemuan tak disengaja yang berujung pada candu ingin bertemu denganmu. Maaf, jika ada gadis yang sebelumnya tak menghiraukanmu, sekarang jadi tergila-gila padamu. Maaf, jika ada gadis yang mendengar namamu sambil lalu, sekarang malah ingin setiap orang menyebut namamu. Maaf, jika ada gadis yang tadi pagi langsung melek ketika ada orang yang menggaungkan namamu.

Senin, 14 Juli 2014

3 Minggu



Tak terasa, sudah 3 minggu tepat setelah pertemuan kita. Apakah kaumasih ingat sore di Jogja, meskipun kausekarang sudah pindah kota? Apakah kaumembaca surat yang kukirim 1 minggu yang lalu? Apakah kaujuga membaca artikel tentang awal pertemuan kita 3 minggu yang lalu? Ah, aku tahu. Kaupasti sibuk. Sebentar lagi kauakan ke negeri orang. Hati-hati di jalan, Mas.

Selasa, 08 Juli 2014

Ungkap(k)an Cinta



Pagi ini, saya akan membagikan kisah tentang pahit dan manisnya ketika cinta tak terungkap :)) Selamat membaca :)) Siapa tahu ada yang cocok sama kamu :p

Senin, 07 Juli 2014

Suratku



Pacitan, 7 Juli 2014
 Dear kamu,
    
Selamat siang. Bagaimana kabarmu di kota yang terkenal karena suhu rendahnya? Semoga di sana kamu baik-baik. Sama sepertiku di sini, yang baik-baik. Alhamdulillah.

Senin, 30 Juni 2014

Seratus Enam Puluh Delapan



168 jam yang lalu. Jangan salahkan aku jika aku masih mengingat detail peristiwa itu. Pertemuan singkat kita yang masih terus membekas dalam ingatanku. Tanpa kausuruh untuk menghafalkannya, jika dites bagaimana runtutan kejadian itu, pasti aku dapat nilai seratus.

Minggu, 29 Juni 2014

Kisah #LDR



Salahkan saja pada wanita itu yang seenaknya sendiri mengunggah foto BBM-mu. Salahkan saja pada mataku yang bisa membaca balasan BBM-mu. Salahkan saja pada salah satu followerku yang menanyakan foto itu, hingga aku penasaran dan malah membuka foto itu. Salahkan saja aku yang katamu terlalu cemburu. Oh, ya? Terlalu cemburu?


Sabtu, 28 Juni 2014

Kamu Benar-benar Pulang



Akhirnya kamu benar-benar pulang. Tepat satu hari sebelum Ramadan. Kamu tak memberiku kabar apa-apa. Bahkan, aku tahu bahwa kamu pulang melalui dunia maya. Bukan melalui telepon genggam yang biasanya kita gunakan untuk saling kasih kabar.

Edisi Ramadhan



Hello everybody! Alhamdulillah kita semua dapat bertemu kembali dengan bulan penuh berkah. Alhamdulillah Tuhan memberi kesempatan pada kita untuk kembali bertarawih, sahur, buka puasa, dan ngabuburit. Haha. Cie... begitu aku nulis ngabuburit pada malu-malu. Hayo... ketahuan, kan, yang menanti bulan puasanya Cuma pengen ngabuburitnya doang?

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini