Rabu, 15 Oktober 2014

Terhempas ke Masa Lalu




 Anggap saja pemuda yang kuceritakan di sini adalah Putu Gede Juni Antara.

 Sepupuku datang ke rumah sore ini. Memakai baju warna merah, celana pendek, dan wajah baru. Ya. Rambutnya yang bermodel baru—yang masih basah dengan wangi sampo, sangat jauh berbeda dengan yang kemarin. Dia juga bercerita jika tadi habis ke salon gara-gara tukang cukur langganannya sedang sakit. Dia masih saja cerita tentang rambut barunya, tak peduli denganku yang tertawa kaku mendengar celotehnya yang membanggakan rambut mohawk-nya. Dia tak mengerti kenapa aku sedingin ini melihatnya datang ke rumah—padahal biasanya aku paling heboh jika dia bertandang. Tapi, sore ini, rambut barunya, mengingatkanku pada seseorang. Pria di ujung sana.
                
Lagi, ingatan tentang pria itu terkuak. Lagi, menyayat luka yang tadinya tertutup rapat, kembali menganga lebar.  Lagi, senyumnya, tawanya, matanya yang melengkungkan bulan sabit, perawakan tingginya, semuanya! Hadir secara tiba-tiba—begitu saja—tanpa persiapan apa-apa! Apakah pria itu sekarang sedang menunjukkan wajah ‘menang’ melihatku sebegini bodohnya? Meratapi kepergiannya, tanpa mengucap apa-apa. Aku hanya diam ketika dia berpamitan. Ironis. Karena setelahnya, aku menangis sesenggukan. Tanpa dia tahu dan paham. Karena dia, berangkat ke luar Jawa. Karena dia telah jauh melangkah, meninggalkan gadis yang menangisinya dengan tersedu-sedan.

                Manusia itu, yang selalu siap mendengar ceritaku di sekolah, yang selalu menyediakan saran jitu untuk membungkam mulut guru yang kelewatan meremehkan kami—murid satu kelas, selalu siap menertawakanku jika ketinggian menaruh harapan—meskipun akhirnya ia membantu menggantungkan lebih tinggi cita-citaku, selalu siap jadi ‘tong sampah’ jika aku sedang kesal pada seseorang, selalu.... selalu.... segalanya! Dia begitu sempurna memainkan figur seorang kakak laki-laki di depanku!

                Usianya beda 4 tahun dariku. Aku masih kelas 3 SMP ketika dia akan masuk ke perguruan tinggi. Otak SMP-ku menderukan alarm ‘beda umur’—kami tidak akan bersatu seperti layaknya kisah-kisah di novel atau cerita klasik macam Princess and The Beast. Kami terlampau umur—karena di usia SMP, rata-rata suka dengan kakak kelas atau adik kelas—tak lebih dari jarak 2 tahun. Tapi, dia—manusia itu, selalu bisa membuatku mengenyahkan perbedaan umur. Dia selalu mengerti kapan waktu jadi teman, sahabat, dan kakak. Dia selalu tahu.

                Dia, satu-satunya orang yang siap memberiku kehangatan jika aku sedang dilanda kedinginan yang amat sangat ketika hobi menulisku tiba-tiba surut seiring ideku menyusut. Dia selalu bisa menghiburku ketika jari tanganku mulai tersendat untuk menekan tuts laptop. Dia, yang sekarang, berada di sana—sedang menikmati kampung halamannya.

                “Memangnya tidak kangen rumah, ya, Mas? Padahal sudah lebih dari setengah tahun jauh dari zona nyaman kita,” kataku suatu hari padanya.

                Dia tertawa. Matanya melengkungkan bulan sabit. Aku suka. “Zona nyaman aku, ya begini ini. Ketika yang lain bisa pulang karena libur 2-3 hari, aku yang jaga di sini. Di asrama, tapi nggak dikarantina,” dia menjelaskan dengan tersenyum.

                “Tapi, kan, masih enak di rumah, Mas. Ketemu Bapak, Ibu, adik, kakak, saudara....” aku masih mengukuhkan pendapatku bahwa rumah—bagaimanapun bentuknya, jadi kasta tertinggi dalam level kenyamanan.

                Dia menggaruk kepala sebentar. Dahinya berkerut, mencari argumen yang tepat untuk pendapatku ini. “Iya, sih. Untuk keluarga di rumah, suasananya, tak akan tergantikan,” dia kembali diam. “Asal kamu tahu. Untuk pelajar yang rumahnya jauh seperti aku begini, dapat jatah libur lebih lama dan lebih awal. Sebagai pengganti 2-3 hari yang tidak bisa kumanfaatkan saking jauhnya rumah,” kali ini dia menjelaskan dengan mata berbinar.

                Aku selalu suka momen-momen itu. Momen bersamanya. Dengan lengkungan bulan sabit yang tak tergantikan di matanya, serta senyum dan tawa yang khas darinya—yang tak ada saingannya di dunia ini, seolah Tuhan memang benar-benar hanya menciptakan manusia seperti dia. Hanya dia. Yang entah, mungkin Tuhan sudah merencanakan reinkarnasi dirinya, dan semoga itu terlahir beberapa ratus tahun kemudian.

                Perkenalan singkat kita yang tak disengaja, pertemuan pertama kita yang juga tak direncanakan, menguatkan pikiran SMP-ku jika kita adalah jodoh. Bukan kita yang memulai semua ini. Tapi Tuhanlah yang sudah memutuskan semua ini untuk aku, kamu, dan kita. Kita tak pernah membahas pertemuan ini sebelumnya, kan? Kita tak pernah berbincang di dunia maya lalu merencanakan tempat dan waktu untuk sekedar berbicang di dunia nyata, kan? Tak pernah. Kita selalu melewatinya dengan tidak sengaja. Sama seperti sore itu, ketika aku berjalan-jalan di toko buku, dan kamu menabrakku.

                “Eh, maaf,” katamu sambil tersenyum. Aku yang tadinya bersungut, menjadi tutup mulut.

                “Iya, Mas. Nggak papa,” tak apa ditabrak oleh manusia sepertimu. Kautabrak setiap hari pun, aku tak akan mengeluh. Justru aku bersyukur karena pernah menatap bulan sabit di matamu. Pernah menyaksikan sendiri bagaimana senyummu yang sering membuatku terpaku.

                Tiba-tiba aku ingat kamu. Kedatangan sepupuku sore ini, dengan rambut barunya, mengingatkan seorang gadis remaja pada pangeran hatinya! Pangeran yang sangat jauh dari jangkauannya! Yang selalu ia harapkan lebih dari sekedar kakak dan teman! Gadis yang selalu berjingkat tiap kali memasang target belajar. Jika dulu, pemuda itu yang membuatnya tak susah-susah mengambil kursi untuk sekedar menggantungkan harapan, sekarang gadis itu harus mandiri. Seharusnya aku tak perlu mengeluh jika demi cita-cita, harus mengambil kursi.

                “Menaruh cita-cita setinggi langit? Masa iya, Cuma bercita-cita saja, susahnya minta ampun? Kalau berharap saja sudah susah, bagaimana cara mewujudkan harapan itu?” ejekmu suatu sore, ketika aku bilang jika ingin menjadi pemain sepak bola, padahal nilai olahragaku selalu mepet KKM.

Segera saja, aku menyemburmu dengan mengatakan, “Namanya juga cita-cita. Cita-cita itu, kan, harus digantung di langit. Kalau perlu, yang lebih jauh sekalian. Di luar angkasa, mungkin,”.

“Kamu yakin bisa menggantungkan sendiri cita-cita itu?” kamu bertanya dengan wajah jahil. Senyummu dan matamu yang selalu terlengkung, menandakan kalau kamu tidak serius. Ah, sejak kapan kamu menganggapku serius? Aku selalu kauanggap adik kecil yang perlu dibimbing berjalan. Kamu tak pernah menganggapku serius, hingga kamu lupa jika gadis remaja usia SMP sudah tahu yang namanya ‘suka’. Kamu membiarkan perasaan itu berkembang jadi ‘cinta’.

“Aduh, Mas ini bagaimana, sih? Kan bukan realitas. Itu hanya konotasi!”

Kamu tersenyum geli dengan kengototanku. “Oke. Kita bicarakan realitas. Banyak orang yang menggantungkan cita-cita setinggi langit, seperti kamu barusan,” kamu mengerling ke arahku dan aku mendengus sebal. Kamu malah tertawa. “Tapi, orang-orang itu lupa, jika sebenarnya, dia malah menutup mata hanya untuk berkhayal. Mereka lupa membuka mata untuk menghadapi kenyataan. Banyak orang yang malah terlalu sibuk menggantungkan cita-cita mereka, tanpa tahu bagaimana cara untuk meraihnya,” tenang sekali kamu berbicara. Dan itu, semakin membuatku terpesona.

“Iya, sih. Memang perlu menggantungkan cita-cita sampai langit ke-7. Cita-cita jarak jauh. Cita-cita masa depan. Di mana yang akan menjamin kita di dunia dan akhirat,” kamu menghela napas. Tersenyum lagi kepadaku yang ternganga. Kamu tertawa geli lalu mengacak rambutku sekilas. Pipiku menghangat pelan-pelan. “Misalnya saja, kamu bercita-cita ingin membanggakan Ibu. Kamu memilih cita-cita itu, dengan menjadi dokter. Di usiamu sekarang, masih jauh untuk membanggakan Ibu. Padahal, kamu bisa, kan, membanggakan Ibu dengan selalu membantu pekerjaan rumahnya?”

“Jauh lebih nyata dibanding cita-cita jadi dokter?” aku menjawab sekaligus bertanya. Dan kamu mengangguk dengan mantab. Ya, sore itu. Kita membicarakan cita-cita, tanpa kamu tahu, bahwa sebenarnya, cita-cita SMP-ku adalah ingin selalu dalam rengkuhmu. Apakah cita-citaku terlalu tinggi? Apakah harapanku yang satu ini teralu mustahil? Menjadi dokter bisa kutempuh dengan belajar. Membantu Ibu bisa kulakukan dengan pembiasaan. Tapi, jika bersanding denganmu? Kurasa hanya do’a di setiap sujudku yang menjadi usahaku.

Ya Tuhan, apakah pria itu tahu jika ada yang memendam rindu untuknya? Apakah pria itu tahu jika ada yang menangis setelah kepergiannya? Apakah pria itu tahu, gadis SMP yang dulu menjadi ‘adik’nya, sekarang sudah tumbuh besar? Ah, kenapa pula, jika dia tahu? Apakah dia akan langsung ke sini? Apakah dia akan membalas rinduku; menenangkanku saat aku sesenggukkan; lalu menanyakan apakah aku ingin menjadi kekasihnya? Terlalu klise!

“Dek, kok melamun? Hayo.... ngelamunin siapa?” bayangan tentang kamu langsung buyar satu-satu. Tiba-tiba sepupuku mengejutkan diriku, dan menangkap basah diriku sedang melamun. Sialan!

“Ngelamunin apa, bukan siapa!” aku meralat dengan sedikit bentak. “Nggg... itu, lo. Rambut kamu. Darimana dapat model kayak gitu, coba?”

Sepupuku merenges lebar-lebar. “Dari mas-masnya yang dulu sering datang ke sini. Teman kamu itu, lo,” jawaban datar sepupuku ini, malah bagiku begitu bergelombang. Begitu tajam dan menukik. Menghujam—menusuk—dengan sadis! Lagi, tanpa kusiapkan amunisi berbentuk apa, kamu datang lagi. Bukan secara raga, bahkan bayangan pun tidak. Kamu datang datang dalam bentuk bocah ini—yang sekarang tak mempedulikanku lagi—sibuk berceloteh tentang tukang salon yang sempat menowel pipinya saking gemasnya dengan pipi tembem sepupuku.

Mas, benarkah kamu berada di raga bocah ini sekarang?

Aku segera masuk kamar, berlagak sudah mengantuk. Lalu menguncinya dari dalam, dan menangis sepuas-puasnya di sana.

To be continued.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini