Anggap saja pemuda yang kuceritakan di sini adalah Putu Gede Juni Antara.
Sepupuku datang ke rumah sore ini. Memakai
baju warna merah, celana pendek, dan wajah baru. Ya. Rambutnya yang bermodel
baru—yang masih basah dengan wangi sampo, sangat jauh berbeda dengan yang
kemarin. Dia juga bercerita jika tadi habis ke salon gara-gara tukang cukur
langganannya sedang sakit. Dia masih saja cerita tentang rambut barunya, tak
peduli denganku yang tertawa kaku mendengar celotehnya yang membanggakan rambut
mohawk-nya. Dia tak mengerti kenapa aku sedingin ini melihatnya datang
ke rumah—padahal biasanya aku paling heboh jika dia bertandang. Tapi, sore ini,
rambut barunya, mengingatkanku pada seseorang. Pria di ujung sana.
Lagi,
ingatan tentang pria itu terkuak. Lagi, menyayat luka yang tadinya tertutup
rapat, kembali menganga lebar. Lagi,
senyumnya, tawanya, matanya yang melengkungkan bulan sabit, perawakan
tingginya, semuanya! Hadir secara tiba-tiba—begitu saja—tanpa persiapan
apa-apa! Apakah pria itu sekarang sedang menunjukkan wajah ‘menang’ melihatku
sebegini bodohnya? Meratapi kepergiannya, tanpa mengucap apa-apa. Aku hanya
diam ketika dia berpamitan. Ironis. Karena setelahnya, aku menangis
sesenggukan. Tanpa dia tahu dan paham. Karena dia, berangkat ke luar Jawa.
Karena dia telah jauh melangkah, meninggalkan gadis yang menangisinya dengan
tersedu-sedan.
Manusia
itu, yang selalu siap mendengar ceritaku di sekolah, yang selalu menyediakan
saran jitu untuk membungkam mulut guru yang kelewatan meremehkan kami—murid
satu kelas, selalu siap menertawakanku jika ketinggian menaruh harapan—meskipun
akhirnya ia membantu menggantungkan lebih tinggi cita-citaku, selalu siap jadi
‘tong sampah’ jika aku sedang kesal pada seseorang, selalu.... selalu....
segalanya! Dia begitu sempurna memainkan figur seorang kakak laki-laki di
depanku!
Usianya
beda 4 tahun dariku. Aku masih kelas 3 SMP ketika dia akan masuk ke perguruan
tinggi. Otak SMP-ku menderukan alarm ‘beda umur’—kami tidak akan bersatu
seperti layaknya kisah-kisah di novel atau cerita klasik macam Princess and The
Beast. Kami terlampau umur—karena di usia SMP, rata-rata suka dengan kakak
kelas atau adik kelas—tak lebih dari jarak 2 tahun. Tapi, dia—manusia itu,
selalu bisa membuatku mengenyahkan perbedaan umur. Dia selalu mengerti kapan
waktu jadi teman, sahabat, dan kakak. Dia selalu tahu.
Dia,
satu-satunya orang yang siap memberiku kehangatan jika aku sedang dilanda
kedinginan yang amat sangat ketika hobi menulisku tiba-tiba surut seiring ideku
menyusut. Dia selalu bisa menghiburku ketika jari tanganku mulai tersendat
untuk menekan tuts laptop. Dia, yang sekarang, berada di sana—sedang menikmati
kampung halamannya.
“Memangnya
tidak kangen rumah, ya, Mas? Padahal sudah lebih dari setengah tahun jauh dari
zona nyaman kita,” kataku suatu hari padanya.
Dia
tertawa. Matanya melengkungkan bulan sabit. Aku suka. “Zona nyaman aku, ya begini
ini. Ketika yang lain bisa pulang karena libur 2-3 hari, aku yang jaga di sini.
Di asrama, tapi nggak dikarantina,” dia menjelaskan dengan tersenyum.
“Tapi,
kan, masih enak di rumah, Mas. Ketemu Bapak, Ibu, adik, kakak, saudara....” aku
masih mengukuhkan pendapatku bahwa rumah—bagaimanapun bentuknya, jadi kasta
tertinggi dalam level kenyamanan.
Dia
menggaruk kepala sebentar. Dahinya berkerut, mencari argumen yang tepat untuk
pendapatku ini. “Iya, sih. Untuk keluarga di rumah, suasananya, tak akan tergantikan,”
dia kembali diam. “Asal kamu tahu. Untuk pelajar yang rumahnya jauh seperti aku
begini, dapat jatah libur lebih lama dan lebih awal. Sebagai pengganti 2-3 hari
yang tidak bisa kumanfaatkan saking jauhnya rumah,” kali ini dia menjelaskan
dengan mata berbinar.
Aku
selalu suka momen-momen itu. Momen bersamanya. Dengan lengkungan bulan sabit
yang tak tergantikan di matanya, serta senyum dan tawa yang khas darinya—yang
tak ada saingannya di dunia ini, seolah Tuhan memang benar-benar hanya
menciptakan manusia seperti dia. Hanya dia. Yang entah, mungkin Tuhan sudah
merencanakan reinkarnasi dirinya, dan semoga itu terlahir beberapa ratus tahun
kemudian.
Perkenalan
singkat kita yang tak disengaja, pertemuan pertama kita yang juga tak direncanakan,
menguatkan pikiran SMP-ku jika kita adalah jodoh. Bukan kita yang memulai semua
ini. Tapi Tuhanlah yang sudah memutuskan semua ini untuk aku, kamu, dan kita.
Kita tak pernah membahas pertemuan ini sebelumnya, kan? Kita tak pernah
berbincang di dunia maya lalu merencanakan tempat dan waktu untuk sekedar
berbicang di dunia nyata, kan? Tak pernah. Kita selalu melewatinya dengan tidak
sengaja. Sama seperti sore itu, ketika aku berjalan-jalan di toko buku, dan
kamu menabrakku.
“Eh,
maaf,” katamu sambil tersenyum. Aku yang tadinya bersungut, menjadi tutup
mulut.
“Iya,
Mas. Nggak papa,” tak apa ditabrak oleh manusia sepertimu. Kautabrak setiap
hari pun, aku tak akan mengeluh. Justru aku bersyukur karena pernah menatap
bulan sabit di matamu. Pernah menyaksikan sendiri bagaimana senyummu yang
sering membuatku terpaku.
Tiba-tiba
aku ingat kamu. Kedatangan sepupuku sore ini, dengan rambut barunya,
mengingatkan seorang gadis remaja pada pangeran hatinya! Pangeran yang sangat
jauh dari jangkauannya! Yang selalu ia harapkan lebih dari sekedar kakak dan
teman! Gadis yang selalu berjingkat tiap kali memasang target belajar. Jika
dulu, pemuda itu yang membuatnya tak susah-susah mengambil kursi untuk sekedar
menggantungkan harapan, sekarang gadis itu harus mandiri. Seharusnya aku tak
perlu mengeluh jika demi cita-cita, harus mengambil kursi.
“Menaruh
cita-cita setinggi langit? Masa iya, Cuma bercita-cita saja, susahnya minta
ampun? Kalau berharap saja sudah susah, bagaimana cara mewujudkan harapan itu?”
ejekmu suatu sore, ketika aku bilang jika ingin menjadi pemain sepak bola,
padahal nilai olahragaku selalu mepet KKM.
Segera saja, aku menyemburmu dengan
mengatakan, “Namanya juga cita-cita. Cita-cita itu, kan, harus digantung di
langit. Kalau perlu, yang lebih jauh sekalian. Di luar angkasa, mungkin,”.
“Kamu yakin bisa menggantungkan sendiri
cita-cita itu?” kamu bertanya dengan wajah jahil. Senyummu dan matamu yang
selalu terlengkung, menandakan kalau kamu tidak serius. Ah, sejak kapan kamu
menganggapku serius? Aku selalu kauanggap adik kecil yang perlu dibimbing
berjalan. Kamu tak pernah menganggapku serius, hingga kamu lupa jika gadis
remaja usia SMP sudah tahu yang namanya ‘suka’. Kamu membiarkan perasaan itu
berkembang jadi ‘cinta’.
“Aduh, Mas ini bagaimana, sih? Kan bukan
realitas. Itu hanya konotasi!”
Kamu tersenyum geli dengan kengototanku.
“Oke. Kita bicarakan realitas. Banyak orang yang menggantungkan cita-cita
setinggi langit, seperti kamu barusan,” kamu mengerling ke arahku dan aku
mendengus sebal. Kamu malah tertawa. “Tapi, orang-orang itu lupa, jika
sebenarnya, dia malah menutup mata hanya untuk berkhayal. Mereka lupa membuka
mata untuk menghadapi kenyataan. Banyak orang yang malah terlalu sibuk
menggantungkan cita-cita mereka, tanpa tahu bagaimana cara untuk meraihnya,”
tenang sekali kamu berbicara. Dan itu, semakin membuatku terpesona.
“Iya, sih. Memang perlu menggantungkan
cita-cita sampai langit ke-7. Cita-cita jarak jauh. Cita-cita masa depan. Di
mana yang akan menjamin kita di dunia dan akhirat,” kamu menghela napas.
Tersenyum lagi kepadaku yang ternganga. Kamu tertawa geli lalu mengacak
rambutku sekilas. Pipiku menghangat pelan-pelan. “Misalnya saja, kamu
bercita-cita ingin membanggakan Ibu. Kamu memilih cita-cita itu, dengan menjadi
dokter. Di usiamu sekarang, masih jauh untuk membanggakan Ibu. Padahal, kamu
bisa, kan, membanggakan Ibu dengan selalu membantu pekerjaan rumahnya?”
“Jauh lebih nyata dibanding cita-cita jadi
dokter?” aku menjawab sekaligus bertanya. Dan kamu mengangguk dengan mantab.
Ya, sore itu. Kita membicarakan cita-cita, tanpa kamu tahu, bahwa sebenarnya,
cita-cita SMP-ku adalah ingin selalu dalam rengkuhmu. Apakah cita-citaku
terlalu tinggi? Apakah harapanku yang satu ini teralu mustahil? Menjadi dokter
bisa kutempuh dengan belajar. Membantu Ibu bisa kulakukan dengan pembiasaan.
Tapi, jika bersanding denganmu? Kurasa hanya do’a di setiap sujudku yang
menjadi usahaku.
Ya Tuhan, apakah pria itu tahu jika ada yang
memendam rindu untuknya? Apakah pria itu tahu jika ada yang menangis setelah
kepergiannya? Apakah pria itu tahu, gadis SMP yang dulu menjadi ‘adik’nya,
sekarang sudah tumbuh besar? Ah, kenapa pula, jika dia tahu? Apakah dia akan
langsung ke sini? Apakah dia akan membalas rinduku; menenangkanku saat aku
sesenggukkan; lalu menanyakan apakah aku ingin menjadi kekasihnya? Terlalu
klise!
“Dek, kok melamun? Hayo.... ngelamunin
siapa?” bayangan tentang kamu langsung buyar satu-satu. Tiba-tiba sepupuku
mengejutkan diriku, dan menangkap basah diriku sedang melamun. Sialan!
“Ngelamunin apa, bukan siapa!” aku meralat
dengan sedikit bentak. “Nggg... itu, lo. Rambut kamu. Darimana dapat model
kayak gitu, coba?”
Sepupuku merenges lebar-lebar. “Dari
mas-masnya yang dulu sering datang ke sini. Teman kamu itu, lo,” jawaban datar
sepupuku ini, malah bagiku begitu bergelombang. Begitu tajam dan menukik.
Menghujam—menusuk—dengan sadis! Lagi, tanpa kusiapkan amunisi berbentuk apa,
kamu datang lagi. Bukan secara raga, bahkan bayangan pun tidak. Kamu datang
datang dalam bentuk bocah ini—yang sekarang tak mempedulikanku lagi—sibuk
berceloteh tentang tukang salon yang sempat menowel pipinya saking gemasnya dengan
pipi tembem sepupuku.
Mas, benarkah kamu berada di raga bocah ini
sekarang?
Aku segera masuk kamar, berlagak sudah
mengantuk. Lalu menguncinya dari dalam, dan menangis sepuas-puasnya di sana.
To be continued.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar