Selasa, 28 Oktober 2014

Mahdi, Bayu, dan........



Cukup tergesa kakiku melangkah ke gedung ini. Kembali ke bangunan ini. Untuk sebuah urusan yang kalian tak perlu mengerti. Dengan sebuah map yang berisi dokumen entah penting atau tidak bagiku, kupeluk, melewati orang-orang yang menatapku setengah heran.  Dalam hati, aku terus merapal sebuah doa, semoga kembali bertemu dengan manusia satu itu.


Tapi sebenarnya, bukan untuk menemukan orang itu, kakiku melangkah ke sini. Melewati pintu kaca yang di sampingnya terdapat 2 satpam yang berjaga. Meyakinkan satpam yang melihatku seolah pembesuk yang tak tahu jam besuk. Sepertinya, tampangku yang mirip mahasiswa ini membuat satpam tahu bahwa aku bukan pembesuk. Dia membiarkanku masuk ke rumah sakit ini. Kembali ke sini, dan aku seketika menghirup aroma khas yang menyeruak seperti halnya rumah sakit lain. Obat.

Aku menengok ke kanan. Menelaah ke tempat pendaftaran. Mendapati belasan orang yang duduk menunggu namanya atau nama keluarganya—yang jelas nama pasien, dipanggil. Kemudian ada sekitar 4 orang yang duduk di depan orang-orang berbaju biru kehijauan. Mirip tes wawancara. Tapi bukan. Ini di rumah sakit, di tempat pendaftaran. Dan aku yakin mereka duduk berhadapan, hanya karena melakukan sesi tanya-jawab seputar data pasien. Sekilas, aku tak menemukan orang yang kucari. Aku melenggang pergi.

Melanjutkan langkah kakiku. Lurus. Melewati orang-orang yang sedang duduk di depan ruang rontgen. Dengan sedikit membungkuk, aku lewat di depan mereka. Tak enak berjalan di depan mereka yang sedang berduka karena mungkin salah satu orang tersayang mereka masuk rumah sakit ini.

Aku sudah berada di ujung. 3 lorong lagi sebagai penyambung. Lorong paling kiri, adalah lorong kamar-kamar kelas 3. Lorong kedua...... adalah..... tempatku menemukan manusia itu. Dulu. Ketika pertama kalinya aku terpaku pada sosok yang memakai baju biru kehijauan, yang berjalan ringan sambil tersenyum pada temannya saat pergantian shift. Yang sejak saat itu, aku tahu bahwa orang itu berjaga di shift pagi hingga sore.

Aku melongokkan kepala ke lorong kedua. Di sana hanya ada ruang laboraturium dan ruang penjaga kamar kelas 3. Tersambung dengan lorong paling kiri tadi. Paling ujung kedua lorong ini dipertemukan oleh ruang operasi.

Kupastikan sekali lagi, bahwa manusia itu tak ada di sini. Mungkin saja, dia berjaga nanti malam. Mungkin saja.

Kuayunkan kaki menuju lorong ketiga. Menjumpai ruang praktik dokter. Tujuanku datang kemari.

Begitu aku sampai di ruang tunggu, aku terdiam sejenak menatap orang-orang yang memakai baju biru kehijauan di depan ruang praktik dokter yang terlihat sibuk sekali. Mengurus data pasien yang setiap menit mengalir dari ruang pendaftaran di depan. Aku diam, karena orang-orang di sana, bukan orang-orang yang kutemukan dulu. Aku jadi semakin yakin, bahwa manusia itu telah pindah jadwal jaga. Pasti nanti malam. 

Aku meringis. Getir. 
Aku tak mungkin di sini sampai malam.

Fokusku kembali pada map yang kupeluk. Mataku mengamati orang-orang di ruang tunggu dengan saksama. Semoga tak ada yang terlewat.

5 menit kuhabiskan untuk memindai wajah orang-orang di sana yang kesemuanya tidak kukenal. Bahuku meluruh. Aku berjalan menjauh. Tanganku merogoh ponsel. Mencari satu nama, dan begitu tersambung, aku langsung benar-benar pergi dari situ.

            “Apa? Masih di ruang pendaftaran? Baiklah. Aku akan ke sana,” pungkasku dan kututup telepon. Aku kembali lagi ke ruang pendaftaran di depan. Sekali lagi, melirik lorong tempat ruang penjaga kamar kelas 3. Dia tak ada di sana.

Aku sudah di ruang pendaftaran. Mendapati orang yang kucari ada di sana. Sedang melakukan sesi tanya-jawab dengan orang memakai seragam biru kehijauan. Kupastikan sekali lagi bahwa itu bukan manusia yang sedang kunanti. Memang bukan. Dan aku malas. Memilih mengenyahkan manusia itu. Mungkin dia memang jaga malam. Dan tempat dia bukan di ruang pendaftaran. Dia adalah penjaga kamar kelas 3. Tempat aku menemukan dia dulu.

Pendaftaran telah beres. Aku menuju kasir. Di sana, manusia itu juga tak ada. Ya. Dia tidak di bagian kasir. Harusnya aku sudah tahu itu dari dulu. Dia penjaga. Perawat. Sekarang dia di shift malam. Tak mungkin di sini siang-siang begini. Ayolah, Jel! Realistis!

Ayunan kakiku kembali menapak di ruang tunggu praktik dokter. Menunggu di sana dengan pikiran yang melayang-layang di udara. Tentang manusia satu itu yang mengingatkanku pada beberapa orang lain. 2 orang sekaligus, ada dalam dirinya. Itu yang terus tertancap kuat dari kali pertama aku melihatnya, sampai sekarang. Sampai aku ingin kembali menemukannya. Mengandalkan kebetulan untuk kembali menatap wajahnya. Tapi sepertinya, kebetulan sedang malas berkunjung ke hidupku di siang menjelang sore ini.

Aku bosan. Dan memilih kantin sebagai tempat yang membantuku bertahan hidup karena tak mau mati dilanda jengah yang luar biasa. Lagi, aku mengajak kakiku keluar dari tempat beraroma obat ini. Dengan langkah besar-besar, aku meninggalkan orang-orang bertampang sedih di ruang tunggu praktik dokter itu. Untuk yang kedua kalinya.

Sayangnya, aku harus berhenti. Kakiku kaku. Mataku terpaku. Pada langkah kaki kesekian. Mulutku terlongo. Menyaksikan dua tangan kokoh ikut mendorong troli berisi teh untuk para pasien. Aku tahu, dia hanya membantu. Aku tahu, setelah itu dia tersenyum sebagai pertanda, “Sama-sama.” pada temannya. Pandanganku pun mengikuti seiring pemilik tangan kokoh itu lenyap ditelan tembok kaca sekat ruang tunggu praktik dokter. Manusia itu!

Butuh waktu sepersekian detik sebelum bibirku menyunggingkan senyum. Sebelum mataku berkaca-kaca karena ternyata manusia itu masih berjaga ketika matahari juga berjaga. Ternyata manusia itu masih ada. Masih bisa kutemukan. Di siang menjelang sore ini. Masih seperti dulu. Orang itu mirip dia dan serupa dengan dia yang lain. 2 orang sekaligus menjadi dirinya. Dan kebaikan dari manusia itu yang baru saja kusaksikan langsung, mengingatkanku pada orang lain di tanah kelahiranku. Berarti, ada 3 orang yang ternyata dijadikan satu oleh Tuhan, dan itulah dia. Manusia yang kunanti, tapi bukan sebagai tujuan utamaku datang ke sini.

Sadar tidak sadar, aku menuju kantin rumah sakit.

Sekembalinya dari kantin, kakiku kembali ke ruang tunggu, (tadi melongok ruang penjaga kamar kelas 3, dan dia tak ada), kupikir manusia itu masih di depan ruang tunggu praktik dokter. Tapi, kulirik di sana, masih dengan orang-orang berseragam biru-kehijauan yang tadi. Dia tak ada. Atau dia ada di ruang praktik, bukan di ruang tunggu?

Pikiranku kembali lancang. Menebak-nebak tak terkira, dengan khayalan yang luar biasa luas. Dan aku kembali terperangkap dalam bosan. Sayangnya, mataku terlalu beruntung karena malah menangkap sosok yang tak begitu tinggi, berjalan cepat dari arah lorong sambil membawa beberapa map yang mungkin itu adalah data pasien, dan masuk lagi ke ruang tunggu praktik dokter. Aku meningkatkan status siaga beberapa saat, seraya mengamati lekat-lekat punggung sosok itu yang tampak berbicara akrab dengan temannya yang super sibuk di depan ruang praktik.

Dan dia berbalik, keluar dari ruang tunggu, berjalan cepat, dan tubuhnya lenyap di balik tembok lorong. Aku termangu beberapa saat sebelum memutuskan betapa miripnya dia dengan Bayu Gatra Sanggiawan, Mahdi Fahri Albaar, dan....... Senyumku kembali terukir pelan-pelan.

Beberapa saat yang cepat. Aku sudah berada di kasir, dan sebentar lagi akan menuju farmasi. Masih sempat-sempatnya aku melongokkan kepala di samping ruang kasir—lorong ruang penjaga kamar kelas 3. Yang lagi-lagi lengang. Lagi-lagi, dia tak ada di sana.

Urusanku sudah selesai di rumah sakit ini. Saatnya keluar dengan membawa sepotong memori tentang manusia itu. Sedikit berat memang, karena aku masih ingin menikmati senyum yang tak henti-henti menghias wajahnya yang bersih.

Pintu kaca yang dijaga 2 satpam sudah di depan mata. Entah ada insting apa, aku menoleh ke kiri. Ke ruang 
pendaftaran. Dan aku kembali bergolak. Manusia itu ada di sana!! Mataku membundar sempurna. Kakiku diam tak bergerak. Manusia itu ada di ruang pendaftaran? Bukan jadi penjaga di kamar rawat kelas 3? Jadi, selama ini aku salah menyimpulkan?

Sayangnya dia hanya menatapku sekilas dengan tangan yang masih memegang gagang telepon, membuktikan bahwa dia masih sibuk bekerja. Sayangnya aku harus segera beranjak. Sayangnya dia tak bisa memberi penjelasan apa-apa. Sayangnya aku merasa harus kembali ke rumah sakit ini untuk membuktikan hubungan kekerabatannya dengan Bayu Gatra Sanggiawan dan Mahdi Fahri Albaar. Tanpa tahu itu kapan. Dan sangat tahu bahwa itu sangat tidak penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini