Cukup tergesa kakiku melangkah ke gedung ini. Kembali ke bangunan
ini. Untuk sebuah urusan yang kalian tak perlu mengerti. Dengan sebuah map yang
berisi dokumen entah penting atau tidak bagiku, kupeluk, melewati orang-orang
yang menatapku setengah heran. Dalam
hati, aku terus merapal sebuah doa, semoga kembali bertemu dengan manusia satu
itu.
Tapi sebenarnya, bukan untuk menemukan orang itu, kakiku melangkah
ke sini. Melewati pintu kaca yang di sampingnya terdapat 2 satpam yang berjaga.
Meyakinkan satpam yang melihatku seolah pembesuk yang tak tahu jam besuk.
Sepertinya, tampangku yang mirip mahasiswa ini membuat satpam tahu bahwa aku
bukan pembesuk. Dia membiarkanku masuk ke rumah sakit ini. Kembali ke sini, dan
aku seketika menghirup aroma khas yang menyeruak seperti halnya rumah sakit
lain. Obat.
Aku menengok ke kanan. Menelaah ke tempat pendaftaran. Mendapati
belasan orang yang duduk menunggu namanya atau nama keluarganya—yang jelas nama
pasien, dipanggil. Kemudian ada sekitar 4 orang yang duduk di depan orang-orang
berbaju biru kehijauan. Mirip tes wawancara. Tapi bukan. Ini di rumah sakit, di
tempat pendaftaran. Dan aku yakin mereka duduk berhadapan, hanya karena
melakukan sesi tanya-jawab seputar data pasien. Sekilas, aku tak menemukan
orang yang kucari. Aku melenggang pergi.
Melanjutkan langkah kakiku. Lurus. Melewati orang-orang yang sedang
duduk di depan ruang rontgen. Dengan sedikit membungkuk, aku lewat di
depan mereka. Tak enak berjalan di depan mereka yang sedang berduka karena
mungkin salah satu orang tersayang mereka masuk rumah sakit ini.
Aku sudah berada di ujung. 3 lorong lagi sebagai penyambung. Lorong
paling kiri, adalah lorong kamar-kamar kelas 3. Lorong kedua...... adalah.....
tempatku menemukan manusia itu. Dulu. Ketika pertama kalinya aku terpaku pada
sosok yang memakai baju biru kehijauan, yang berjalan ringan sambil tersenyum
pada temannya saat pergantian shift. Yang sejak saat itu, aku tahu bahwa
orang itu berjaga di shift pagi hingga sore.
Aku melongokkan kepala ke lorong kedua. Di sana hanya ada ruang
laboraturium dan ruang penjaga kamar kelas 3. Tersambung dengan lorong paling
kiri tadi. Paling ujung kedua lorong ini dipertemukan oleh ruang operasi.
Kupastikan sekali lagi, bahwa manusia itu tak ada di sini. Mungkin
saja, dia berjaga nanti malam. Mungkin saja.
Kuayunkan kaki menuju lorong ketiga. Menjumpai ruang praktik dokter. Tujuanku datang kemari.
Begitu aku sampai di ruang tunggu, aku terdiam sejenak menatap
orang-orang yang memakai baju biru kehijauan di depan ruang praktik dokter yang
terlihat sibuk sekali. Mengurus data pasien yang setiap menit mengalir dari
ruang pendaftaran di depan. Aku diam, karena orang-orang di sana, bukan
orang-orang yang kutemukan dulu. Aku jadi semakin yakin, bahwa manusia itu
telah pindah jadwal jaga. Pasti nanti malam.
Aku meringis. Getir.
Aku tak mungkin di sini sampai malam.
Aku meringis. Getir.
Aku tak mungkin di sini sampai malam.
Fokusku kembali pada map yang kupeluk. Mataku mengamati orang-orang
di ruang tunggu dengan saksama. Semoga tak ada yang terlewat.
5 menit kuhabiskan untuk memindai wajah orang-orang di sana yang
kesemuanya tidak kukenal. Bahuku meluruh. Aku berjalan menjauh. Tanganku
merogoh ponsel. Mencari satu nama, dan begitu tersambung, aku langsung
benar-benar pergi dari situ.
“Apa? Masih di ruang pendaftaran? Baiklah. Aku akan ke sana,” pungkasku dan kututup telepon. Aku
kembali lagi ke ruang pendaftaran di depan. Sekali lagi, melirik lorong tempat
ruang penjaga kamar kelas 3. Dia tak ada di sana.
Aku sudah di ruang pendaftaran. Mendapati orang yang kucari ada di
sana. Sedang melakukan sesi tanya-jawab dengan orang memakai seragam biru
kehijauan. Kupastikan sekali lagi bahwa itu bukan manusia yang sedang kunanti.
Memang bukan. Dan aku malas. Memilih mengenyahkan manusia itu. Mungkin dia
memang jaga malam. Dan tempat dia bukan di ruang pendaftaran. Dia adalah
penjaga kamar kelas 3. Tempat aku menemukan dia dulu.
Pendaftaran telah beres. Aku menuju kasir. Di sana, manusia itu
juga tak ada. Ya. Dia tidak di bagian kasir. Harusnya aku sudah tahu itu dari
dulu. Dia penjaga. Perawat. Sekarang dia di shift malam. Tak mungkin di
sini siang-siang begini. Ayolah, Jel! Realistis!
Ayunan kakiku kembali menapak di ruang tunggu praktik dokter.
Menunggu di sana dengan pikiran yang melayang-layang di udara. Tentang manusia
satu itu yang mengingatkanku pada beberapa orang lain. 2 orang sekaligus, ada
dalam dirinya. Itu yang terus tertancap kuat dari kali pertama aku melihatnya,
sampai sekarang. Sampai aku ingin kembali menemukannya. Mengandalkan kebetulan
untuk kembali menatap wajahnya. Tapi sepertinya, kebetulan sedang malas
berkunjung ke hidupku di siang menjelang sore ini.
Aku bosan. Dan memilih kantin sebagai tempat yang membantuku
bertahan hidup karena tak mau mati dilanda jengah yang luar biasa. Lagi, aku
mengajak kakiku keluar dari tempat beraroma obat ini. Dengan langkah
besar-besar, aku meninggalkan orang-orang bertampang sedih di ruang tunggu
praktik dokter itu. Untuk yang kedua kalinya.
Sayangnya, aku harus berhenti. Kakiku kaku. Mataku terpaku. Pada
langkah kaki kesekian. Mulutku terlongo. Menyaksikan dua tangan kokoh ikut
mendorong troli berisi teh untuk para pasien. Aku tahu, dia hanya membantu. Aku
tahu, setelah itu dia tersenyum sebagai pertanda, “Sama-sama.” pada temannya.
Pandanganku pun mengikuti seiring pemilik tangan kokoh itu lenyap ditelan
tembok kaca sekat ruang tunggu praktik dokter. Manusia itu!
Butuh waktu sepersekian detik sebelum bibirku menyunggingkan
senyum. Sebelum mataku berkaca-kaca karena ternyata manusia itu masih berjaga
ketika matahari juga berjaga. Ternyata manusia itu masih ada. Masih bisa kutemukan.
Di siang menjelang sore ini. Masih seperti dulu. Orang itu mirip dia dan serupa
dengan dia yang lain. 2 orang sekaligus menjadi dirinya. Dan kebaikan dari
manusia itu yang baru saja kusaksikan langsung, mengingatkanku pada orang lain
di tanah kelahiranku. Berarti, ada 3 orang yang ternyata dijadikan satu oleh
Tuhan, dan itulah dia. Manusia yang kunanti, tapi bukan sebagai tujuan utamaku
datang ke sini.
Sadar tidak sadar, aku menuju kantin rumah sakit.
Sekembalinya dari kantin, kakiku kembali ke ruang tunggu, (tadi
melongok ruang penjaga kamar kelas 3, dan dia tak ada), kupikir manusia itu
masih di depan ruang tunggu praktik dokter. Tapi, kulirik di sana, masih dengan
orang-orang berseragam biru-kehijauan yang tadi. Dia tak ada. Atau dia ada di ruang
praktik, bukan di ruang tunggu?
Pikiranku kembali lancang. Menebak-nebak tak terkira, dengan
khayalan yang luar biasa luas. Dan aku kembali terperangkap dalam bosan.
Sayangnya, mataku terlalu beruntung karena malah menangkap sosok yang tak
begitu tinggi, berjalan cepat dari arah lorong sambil membawa beberapa map yang
mungkin itu adalah data pasien, dan masuk lagi ke ruang tunggu praktik dokter.
Aku meningkatkan status siaga beberapa saat, seraya mengamati lekat-lekat
punggung sosok itu yang tampak berbicara akrab dengan temannya yang super sibuk
di depan ruang praktik.
Dan dia berbalik, keluar dari ruang tunggu, berjalan cepat, dan
tubuhnya lenyap di balik tembok lorong. Aku termangu beberapa saat sebelum
memutuskan betapa miripnya dia dengan Bayu Gatra Sanggiawan, Mahdi Fahri
Albaar, dan....... Senyumku kembali terukir pelan-pelan.
Beberapa saat yang cepat. Aku sudah berada di kasir, dan sebentar
lagi akan menuju farmasi. Masih sempat-sempatnya aku melongokkan kepala di
samping ruang kasir—lorong ruang penjaga kamar kelas 3. Yang lagi-lagi lengang.
Lagi-lagi, dia tak ada di sana.
Urusanku sudah selesai di rumah sakit ini. Saatnya keluar dengan
membawa sepotong memori tentang manusia itu. Sedikit berat memang, karena aku
masih ingin menikmati senyum yang tak henti-henti menghias wajahnya yang
bersih.
Pintu kaca yang dijaga 2 satpam sudah di depan mata. Entah ada
insting apa, aku menoleh ke kiri. Ke ruang
pendaftaran. Dan aku kembali
bergolak. Manusia itu ada di sana!! Mataku membundar sempurna. Kakiku diam tak
bergerak. Manusia itu ada di ruang pendaftaran? Bukan jadi penjaga di kamar
rawat kelas 3? Jadi, selama ini aku salah menyimpulkan?
Sayangnya dia hanya menatapku sekilas dengan tangan yang masih
memegang gagang telepon, membuktikan bahwa dia masih sibuk bekerja. Sayangnya
aku harus segera beranjak. Sayangnya dia tak bisa memberi penjelasan apa-apa.
Sayangnya aku merasa harus kembali ke rumah sakit ini untuk membuktikan
hubungan kekerabatannya dengan Bayu Gatra Sanggiawan dan Mahdi Fahri Albaar. Tanpa
tahu itu kapan. Dan sangat tahu bahwa itu sangat tidak penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar