Sore ini, macam hari biasa, pulang
les, aku nongkrong di depan tv, menunggu acara kuis tebak lagu di salah satu
stasiun tv swasta dalam negeri. Tas masih tergantung di pundak, helm belum
kukembalikan di tempatnya, dan tangan masih menggenggam kunci sepeda motor
dengan gantungan kunci bergambar maskot Piala Dunia di Brazil kemarin. Aku
sudah stay cool di depan layar tv, menanti salah satu penyanyi dalam
acara itu yang jadi idola baruku.
Acara yang kutunggu dimulai. Nada
pembuka yang begitu kuhafal, mengukir senyumku. Pasti sebentar lagi, penyanyi
tampan itu memenuhi layar kaca. Dan dugaanku benar. Penyanyi itu, dengan senyum
tipisnya yang khas, membuatku tersenyum-senyum sendiri. Ah, tak rugi aku pulang
cepat-cepat dari tempat les.
Nada pembuka selesai dilantunkan.
Sang presenter membuka acara. Berbasa-basi dengan penonton di studio dan di
rumah, kemudian memanggil satu per satu peserta dalam acara tebak lagu
tersebut.
Peserta pertama, dengan segala omong
kosongnya menghias layar tv, tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang
dibehel jadi mirip ketan hitam yang terselip di sela-sela gigi. Ah, aku tak
pernah suka orang-orang bergigi bagus tapi dikawat hanya untuk mengikuti trend.
Aku menghela nafas, lalu bangkit, meletakkan helm, menggantungkan kunci sepeda,
dan menaruh tasku di meja belajar.
Baru saja aku kembali ke depan tv,
peserta kedua sudah muncul di layar, tengah tersenyum kecil sambil melambai ke
arah kamera. Aku terkesiap. Seorang pemuda dengan postur tubuh tak terlalu
tinggi, dengan senyum yang tak begitu ikhlas diperlihatkan namun tetap manis,
dan hidung mancung, sedang berlalu menuju posisinya akan bermain nanti. Dan
kamera sudah mengarah pada peserta ketiga yang berjalan ke atas panggung. Yang
tak lagi kupedulikan.
Pemuda. Postur tubuhnya tak bisa
dibilang tinggi jika dibanding teman-temannya. Hidungnya mancung. Senyumnya
tipis namun manis. Sangatlah mirip dengan..............
“Lihat kuis kayak lihat makanan.
Sampai bengong gitu!” aku tersentak. Abangku secara tiba-tiba duduk di
sampingku.
“Jangan ngagetin gitu kenapa, Bang?”
tanyaku sewot. Abangku malah tertawa.
“Aku Cuma mau lihat tv. Weekk...”
abangku menjulurkan lidah. Hm, acara sudah dimulai. Presenter membeberkan cara
bermain segmen ini. Dan peserta satu itu wajahnya terambil kamera.
“Eh, Mas-mas!” aku
menggoyang-goyangkan lengan kakakku, antusias.
“Apaan?” abangku terbengong-bengong.
“Please. Jangan ngagetin gitu kenapa?” dia membalik pertanyaanku. Tapi
saat ini, bukan itu yang akan jadi bahan pembahasan.
“Itu!” tunjukku pada salah satu
sudut televisi yang memperlihatkan pemuda itu. Kakakku mengikuti telunjukku.
“Apaan?” dia masih melongok.
Mencari-cari apa yang kumaksud.
“Itu! Peserta nomor 3 dari kiri!”
aku bersorak kecil sedikit histeris.
Sekarang,
kamera secara penuh mengambil gambar wajahnya yang tengah menebak judul lagu.
Tanpa begitu banyak ekspresi, ia menebak judul lagu dengan tepat. Senyum tipisnya kembali terkembang. Ah, dia
semakin mirip dengan..........
“Oh yang itu. Kenapa emang?” tanya kakakku
baru mengerti. Matanya memandangku heran.
Aku tertawa kecil. “Mirip sama.....”
“Sama siapa?”
“Itu.....”
“Itu siapa?”
Aku memutar bola mata. “Itu.....”
kembali kalimatku menggantung. Kakakku diam menanti jawabanku. “Itu..... Mas
Bayu...” lirihku. Aku melirik kakakku yang mengerutkan kening.
Kakakku menyipitkan mata. “Kaumelewatkan
satu hal. Bukan karena mirip, tapi karena kamu rindu. Ya, kan?”
Aku terkejut. Tak siap dengan
pernyataan abangku. Hatiku membenarkan kata-katanya. Otakku juga membenarkan
kalimatnya tanpa memerintahkan otot-otot untuk menganggukkan kepala. Hening yang
lama sampai jeda iklan.
..............................................................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar