“Kenapa kamu
ingin ke sana? Coba universitas yang lain dulu,”
“Biayanya
mahal. Bapak ini sebentar lagi pensiun lo,”
“Masih lama
pula. Mungkin nanti keinginanmu bisa berubah,”
Halo!
Sesuai apa yang
aku tulis beberapa minggu lalu, di sini aku ingin berbagi cerita bagaimana aku
membicarakan masa depanku dengan orang tuaku.
Kawan-kawan
perlu ingat, bahwa tulisan ini sekadar sharing. Aku tidak menjanjikan
memberi saran, hanya, siapa tahu, setelah membaca tulisan ini Kawan-kawan
memiliki kemauan sekaligus keberanian untuk membicarakan hal seserius dan
sepenting ini bersama orang tua.
Asal
Kawan-kawan tahu, aku yang menulis tentang mengikuti apa yang ingin ditekuni,
juga pernah menangis sendirian karena apa yang aku mau tidak direstui oleh
orang tuaku. Kesalahanku berada di IPA, sebenarnya sudah cukup memberiku
petunjuk bahwa jalanku harusnya tidak di bagian ilmu alam. Sayangnya kedua
orang tuaku sempat belum memercayai kemampuan sekaligus kemauanku pada bidang
yang ingin aku tekuni. Orang tuaku belum sepenuhnya memberi hati pada jalan
yang ingin kutempuh untuk meraih cita-cita.
Semenjak aku
mengenal dunia “baru”, hingga aku mencintai dunia tersebut, aku mulai mencari
tempat mana saja yang akan menawarkan “zona nyaman” itu. Salah satunya adalah
tempat di mana aku akan menyandang status sebagai mahasiswa tahun ini.
Orang tuaku
tahu nilai-nilai akademisku tidak sebaik waktu SD dan SMP. Namun mereka masih
beranggapan bahwa hal itu dikarenakan di SMA ini aku malas belajar; kurang
menyeriusi pelajaran; lebih suka main ponsel; tidak setekun kakak perempuanku.
Jadi, seandainya aku lebih rajin, kedua orang tuaku percaya bahwa aku pasti
bisa menduduki salah satu kursi universitas negeri ternama, atau setidaknya
menjadi mahasiswa di kampus yang sama dengan kakakku di jurusan yang seharusnya
anak IPA tempuh: teknik atau kesehatan.
Tapi, hai.
Kepalaku bisa pusing tujuh turunan kalau begitu.
Dunia “baru”
yang menjelma jadi dunia yang aku cintai itu lama-lama membuatku benar-benar
merasa tidak salah menjatuhkan pilihan. Dari review kakak-kakak yang
bersekolah di sana, alumni, hingga karya-karya yang dihasilkan membuatku memang
ingin jadi salah satu bagian dari hal-hal itu. Bahkan aku membuka mata
kuliahnya melalui website dan menemukan studi favorit: fotografi.
Tuhan, aku
menginginkan hal ini. Bolehkah?
Tidak terhitung
aku minta pendapat kawan-kawan yang juga mengalami hal sama: cita-cita
terbentur restu orang tua. Aku juga curhat—yang entah tidak dapat terhitung
lagi—pada kakak perempuanku soal sekolah dan jurusan yang ingin kutempuh. Well,
karena aku sudah tidak ingin memasuki dunia eksakta yang justru membuatku
selalu “malas gerak” daripada belajar, maka pada suatu hari aku memberanikan
diri memulai bicara.
Aku tidak tahu,
apakah waktu itu dapat dikatakan sebagai kesempatan yang tepat, karena suasana
cair sebelumnya sontak berubah jadi tegang dan kaku setelah aku menyampaikan
apa yang aku mau.
Kamu sudah
membacanya pada alenia paling atas tulisan ini.
Pembicaraan itu
berakhir tanpa kesimpulan. Tapi aku tahu bahwa kedua orang tuaku belum rela
melepas putri bungsunya ke sana.
Dan apakah aku
merayu-rayu sampai orang tuaku meloloskan permintaan putri bungsunya?
Tidak.
Aku bukan
manusia yang pandai membujuk. Yang jelas, saat itu aku hanya ingin bercerita
pada Tuhan. Mengeluarkan keluh kesah yang selama ini bersarang. Aku tidak
peduli apakah Tuhan akan mengabulkan doaku—yang aku tahu, Tuhan adalah Maha
Pendengar. Seburuk apapun aku menyusun dan merangkai kalimat, aku yakin bahwa
Tuhan pasti mengerti.
Hingga aku
menjalani hari-hari akhir semester satu di kelas dua belas, tanpa semangat
karena merasa belum memiliki tujuan. Tapi itu tidak menghalangiku untuk
mendatangi tempat les, meskipun aku melakukannya sebatas penggugur kewajiban.
Dan, Kawan-kawan.
Aku tidak tahu apakah hal ini merupakan buah dari segala cerita dan doa-doaku,
atau Tuhan yang tahu bahwa keinginanku benar-benar tulus dari hati, atau Tuhan
pada dasarnya memang Maha Baik. Menuju pendaftaran sekolah-sekolah lanjutan,
aku yang mulai membuat berbagai rencana dari SNMPTN, hingga PMDK-PN, sampai skenario
terburuk entah mendaftar di universitas mana, orang tuaku akhirnya menyerahkan
keputusan padaku. Mungkin juga karena mereka telah berunding bersama kakak
perempuanku mengenai keinginanku bersekolah di mana. Hingga akhirnya bilang
bahwa tidak apa-apa aku akan melanjutkan ke mana—yang penting aku konsisten
pada apa yang aku pilih.
Detik itu aku
merasa bahwa Tuhan memang tempat bersandar paling baik. Sekalipun tidak pernah
menjawab dengan saran maupun tanggapan seperti jika kita bercerita pada teman,
Tuhan justru menjawab seluruh tanya sekaligus mengabulkan doa dengan segala
nikmat yang sama sekali tidak kita duga.
Yang ingin aku
sampaikan di sini adalah, jika Kawan-kawan merasa buntu untuk mengajak orang
tua bicara soal masa depan—karena dari survey beberapa teman—aku tahu,
masih banyak orang tua yang menginginkan putra atau putrinya menyandang gelar
sarjana dari fakultas A, B, atau C, dari universitas mentereng negeri ini, jangan
putus asa untuk memerjuangkan apa yang kita mau. Berceritalah pada Tuhan,
apapun yang menyesaki atau mengganjal di kepala. Insya Allah akan diberi jalan.
Istighfar
banyak-banyak hingga dada lapang dan siap mengerjakan ujian kehidupan dengan
baik dan sabar.
Percayalah,
ujian nasional tidak ada apa-apanya dibanding ujian kehidupan—walaupun ujian
nasional dapat dikategorikan sebagai ujian kehidupan itu sendiri.
Jadi, tetap
semangat! Semoga seluruh doa-doa baikmu dikabulkan Pemilik Semesta! Aamiin.
Sebelumnya, aku
minta maaf karena terlambat tiga minggu untuk mengunggah tulisan mingguan.
Mungkin nanti, atau kapan, aku akan menceritakan betapa bergelombangnya apa
yang aku alami akhir-akhir ini hingga membuatku tidak bisa memenuhi rutinitas
mingguan untuk menulis.
Kalau masih
ingin sharing atau berdiskusi, silakan DM ke instagram @angela_rezka,
atau ke twitter @AngelaRezka. Saya aktif terus di dua sosial media tersebut.
Salam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar