Rabu, 02 Mei 2018

Bagaimana Membicarakan Cita-cita dengan Orang Tua?


“Kenapa kamu ingin ke sana? Coba universitas yang lain dulu,”
“Biayanya mahal. Bapak ini sebentar lagi pensiun lo,”
“Masih lama pula. Mungkin nanti keinginanmu bisa berubah,”
Dan detik itu aku merasa bahwa cita-citaku mungkin tidak seperti yang aku rancang di kepalaku.

Halo!
Sesuai apa yang aku tulis beberapa minggu lalu, di sini aku ingin berbagi cerita bagaimana aku membicarakan masa depanku dengan orang tuaku.

Kawan-kawan perlu ingat, bahwa tulisan ini sekadar sharing. Aku tidak menjanjikan memberi saran, hanya, siapa tahu, setelah membaca tulisan ini Kawan-kawan memiliki kemauan sekaligus keberanian untuk membicarakan hal seserius dan sepenting ini bersama orang tua.

Asal Kawan-kawan tahu, aku yang menulis tentang mengikuti apa yang ingin ditekuni, juga pernah menangis sendirian karena apa yang aku mau tidak direstui oleh orang tuaku. Kesalahanku berada di IPA, sebenarnya sudah cukup memberiku petunjuk bahwa jalanku harusnya tidak di bagian ilmu alam. Sayangnya kedua orang tuaku sempat belum memercayai kemampuan sekaligus kemauanku pada bidang yang ingin aku tekuni. Orang tuaku belum sepenuhnya memberi hati pada jalan yang ingin kutempuh untuk meraih cita-cita.

Semenjak aku mengenal dunia “baru”, hingga aku mencintai dunia tersebut, aku mulai mencari tempat mana saja yang akan menawarkan “zona nyaman” itu. Salah satunya adalah tempat di mana aku akan menyandang status sebagai mahasiswa tahun ini.

Orang tuaku tahu nilai-nilai akademisku tidak sebaik waktu SD dan SMP. Namun mereka masih beranggapan bahwa hal itu dikarenakan di SMA ini aku malas belajar; kurang menyeriusi pelajaran; lebih suka main ponsel; tidak setekun kakak perempuanku. Jadi, seandainya aku lebih rajin, kedua orang tuaku percaya bahwa aku pasti bisa menduduki salah satu kursi universitas negeri ternama, atau setidaknya menjadi mahasiswa di kampus yang sama dengan kakakku di jurusan yang seharusnya anak IPA tempuh: teknik atau kesehatan.

Tapi, hai. Kepalaku bisa pusing tujuh turunan kalau begitu.

Dunia “baru” yang menjelma jadi dunia yang aku cintai itu lama-lama membuatku benar-benar merasa tidak salah menjatuhkan pilihan. Dari review kakak-kakak yang bersekolah di sana, alumni, hingga karya-karya yang dihasilkan membuatku memang ingin jadi salah satu bagian dari hal-hal itu. Bahkan aku membuka mata kuliahnya melalui website dan menemukan studi favorit: fotografi.

Tuhan, aku menginginkan hal ini. Bolehkah?

Tidak terhitung aku minta pendapat kawan-kawan yang juga mengalami hal sama: cita-cita terbentur restu orang tua. Aku juga curhat—yang entah tidak dapat terhitung lagi—pada kakak perempuanku soal sekolah dan jurusan yang ingin kutempuh. Well, karena aku sudah tidak ingin memasuki dunia eksakta yang justru membuatku selalu “malas gerak” daripada belajar, maka pada suatu hari aku memberanikan diri memulai bicara.

Aku tidak tahu, apakah waktu itu dapat dikatakan sebagai kesempatan yang tepat, karena suasana cair sebelumnya sontak berubah jadi tegang dan kaku setelah aku menyampaikan apa yang aku mau.

Kamu sudah membacanya pada alenia paling atas tulisan ini.

Pembicaraan itu berakhir tanpa kesimpulan. Tapi aku tahu bahwa kedua orang tuaku belum rela melepas putri bungsunya ke sana.

Dan apakah aku merayu-rayu sampai orang tuaku meloloskan permintaan putri bungsunya?

Tidak.

Aku bukan manusia yang pandai membujuk. Yang jelas, saat itu aku hanya ingin bercerita pada Tuhan. Mengeluarkan keluh kesah yang selama ini bersarang. Aku tidak peduli apakah Tuhan akan mengabulkan doaku—yang aku tahu, Tuhan adalah Maha Pendengar. Seburuk apapun aku menyusun dan merangkai kalimat, aku yakin bahwa Tuhan pasti mengerti.

Hingga aku menjalani hari-hari akhir semester satu di kelas dua belas, tanpa semangat karena merasa belum memiliki tujuan. Tapi itu tidak menghalangiku untuk mendatangi tempat les, meskipun aku melakukannya sebatas penggugur kewajiban.

Dan, Kawan-kawan. Aku tidak tahu apakah hal ini merupakan buah dari segala cerita dan doa-doaku, atau Tuhan yang tahu bahwa keinginanku benar-benar tulus dari hati, atau Tuhan pada dasarnya memang Maha Baik. Menuju pendaftaran sekolah-sekolah lanjutan, aku yang mulai membuat berbagai rencana dari SNMPTN, hingga PMDK-PN, sampai skenario terburuk entah mendaftar di universitas mana, orang tuaku akhirnya menyerahkan keputusan padaku. Mungkin juga karena mereka telah berunding bersama kakak perempuanku mengenai keinginanku bersekolah di mana. Hingga akhirnya bilang bahwa tidak apa-apa aku akan melanjutkan ke mana—yang penting aku konsisten pada apa yang aku pilih.

Detik itu aku merasa bahwa Tuhan memang tempat bersandar paling baik. Sekalipun tidak pernah menjawab dengan saran maupun tanggapan seperti jika kita bercerita pada teman, Tuhan justru menjawab seluruh tanya sekaligus mengabulkan doa dengan segala nikmat yang sama sekali tidak kita duga.

Yang ingin aku sampaikan di sini adalah, jika Kawan-kawan merasa buntu untuk mengajak orang tua bicara soal masa depan—karena dari survey beberapa teman—aku tahu, masih banyak orang tua yang menginginkan putra atau putrinya menyandang gelar sarjana dari fakultas A, B, atau C, dari universitas mentereng negeri ini, jangan putus asa untuk memerjuangkan apa yang kita mau. Berceritalah pada Tuhan, apapun yang menyesaki atau mengganjal di kepala. Insya Allah akan diberi jalan.

Istighfar banyak-banyak hingga dada lapang dan siap mengerjakan ujian kehidupan dengan baik dan sabar.
Percayalah, ujian nasional tidak ada apa-apanya dibanding ujian kehidupan—walaupun ujian nasional dapat dikategorikan sebagai ujian kehidupan itu sendiri.
Jadi, tetap semangat! Semoga seluruh doa-doa baikmu dikabulkan Pemilik Semesta! Aamiin.





Sebelumnya, aku minta maaf karena terlambat tiga minggu untuk mengunggah tulisan mingguan. Mungkin nanti, atau kapan, aku akan menceritakan betapa bergelombangnya apa yang aku alami akhir-akhir ini hingga membuatku tidak bisa memenuhi rutinitas mingguan untuk menulis.
Kalau masih ingin sharing atau berdiskusi, silakan DM ke instagram @angela_rezka, atau ke twitter @AngelaRezka. Saya aktif terus di dua sosial media tersebut. Salam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini