Halo!
Pemilik akun ini sedang bertekad
untuk membuat tulisan secara rutin—kemungkinan besar akan dikirim tiap minggu.
Meskipun serangkaian ujian baru saja hampir selesai, setidaknya kepalaku
sudah sedikit longgar untuk diajak berpikir dan berdiskusi.
Ah, iya, kalau Kawan-kawan ingin
berdiskusi, boleh banget. Aku bisa dijumpai di LINE dengan id: angelarezka;
twitter dengan username: @AngelaRezka; dan instagram dengan username:
@angela_rezka. Melalui email jela.andua@gmail.com pun boleh.
Pada kesempatan kali ini, ada
beberapa hal yang ingin aku bagi, kepada Kawan-kawan—dan sekali lagi—khususnya
kepada adik-adik yang masih punya kesempatan untuk memilih di mana akan
menghabiskan masa putih abu-abu.
Tulisanku pada kiriman sebelum ini
adalah daftar kesalahanku ketika masuk SMA, yang jangan sampai kalian tiru
apalagi dianut. Anggap saja itu pembelajaran yang membuat Kawan-kawan tidak
salah langkah.
Well, setelah
pengalamanku selama tiga tahun di SMA yang sama sekali jauh dari jalan cerita
film, novel, maupun sinetron remaja, aku berpikir seandainya aku dapat memutar
ulang waktu tiga tahun ke belakang, aku ingin mengubah pertanyaan, “Akan jadi
apa aku nanti?” menjadi, “Apa yang ingin aku tekuni?”
Dulu sewaktu SMP aku ingin menembus
UGM jurusan kedokteran. Menulis banyak sekali kalimat penyemangat dalam buku
catatan matematika. Meyakinkanku bahwa aku harus mencintai pelajaran
hitung-hitungan untuk mewujudkan apa yang aku mau.
Kemudian saat menginjak SMA, aku
dihadapkan pada kenyataan bahwa cita-citaku terlalu “melenceng”—karena aku
sendiri masih pontang-panting mengikuti pelajaran eksakta yang rasanya membelit
leher. Lantas, kalau ada yang tanya, “Mau lanjutin ke mana, Jel?”, alhasil aku
hanya tertawa-tawa garing karena makin hari aku makin tidak yakin pada apa yang
aku ingini sewaktu SMP itu.
Sampai kelas sebelas, aku semakin
tidak yakin pada cita-citaku sendiri. Padahal aku sering menonton video
motivasi maupun film yang ujung-ujungnya memberi pesan bahwa yakinlah pada
apa yang diimpikan. Terus, aku?
Katanya ingin jadi dokter, tapi
lihat luka saja takut. Paling semangat ke laboraturium biologi, tapi saat
kebagian membuat preparat, justru pusing luar biasa. Ada praktikum mengetes
golongan darah, kabur paling awal karena tidak mau menonton adegan
suntik-menyuntik yang dilakukan oleh teman-teman satu kelasku sendiri. Ngilu.
Semua hal tersebut membuatku yakin
bahwa aku tidak akan nyaman kalau berada di jurusan kedokteran.
Aku juga sempat bertanya-tanya
kepada kakak kelas, bagaimana cara menemukan jurusan yang tepat untuk kuliah
nanti. Kakak kelas itu justru ketawa dan menyuruhku tenang, “Kalau sudah kelas
dua belas, kamu bakal tahu, kok,”
Harus kelas dua belas banget? Dengan
waktu kurang dari setahun itu aku baru menemukan passion-ku, sekaligus
untuk persiapan menuju perkuliahan tersebut? Apakah tidak terlambat?
Bagiku sangat terlambat.
Karena kalau baru menemukan apa yang
ingin ditekuni dalam waktu kurang dari setahun untuk melanjutkan jenjang
kampus, belum terhitung persiapan menuju kampus maupun jurusan yang dituju,
tolong ingat pula serangkaian ujian dari sekolah juga pemerintah. Kapan
belajarnya?
Jadi, Kawan-kawan juga adik-adikku
yang berbahagia, alangkah baiknya kalau adik-adik mulai sekarang untuk
berefleksi diri. Sebenarnya, dengan semakin banyak kawan—semakin banyak ruang
untuk berdiskusi, Kawan-kawan bakal semakin tahu tentang diri sendiri. Bukan
dengan bertanya kepada teman-temanmu soal dirimu, tapi lebih kepada bagaimana
dirimu menghadapi orang-orang. Nyaman atau tidak berada di lingkungan semacam
itu. Kalau beruntung, bisa sharing, mengutarakan pendapat, dan bisa jadi
menemukan takdir—bertemu dengan orang-orang yang mengerti.
Kalau tidak—seandainya introvert
dan tidak nyaman bertemu dengan banyak orang—seperti aku, kutajamkan kecerdasan
interpersonalku. Berkaca pada pengalaman.
Apa saja yang
membuatku senang sehingga mau berjuang tanpa kenal lelah?
Apa yang mau
membuatku terus mencoba padahal sempat gagal?
Apa yang ingin
aku tekuni?
Karena selama berada di SMA aku jauh
dari kata tekun belajar.
Dan tentu saja semakin mendekatkan
diri pada Tuhan. Sering-sering berdoa di setiap akhir salat. Istighfar
berkali-kali sampai hati terasa tenang. Kadang, kalau pikiran sedang ruwet dan
rasanya begitu sesak, aku menceritakan keluh kesahku pada Allah. Apapun.
Berharap perlindungan dan kekuatan. Karena aku mengerti bahwa Allah akan
mengerti. Juga tidak lupa untuk terus berhubungan baik dengan orang tua.
Bukankah, ridho Allah terletak pada ridho orang tua?
Menurut pengalamanku, itu sangat membantu.
Walaupun setelah aku tahu apa yang
ingin aku tekuni lalu membicarakan hal tersebut pada orang tua, kenyataannya
baru beberapa hari menjelang serangkaian ujian, orang tuaku sendiri baru
membolehkanku berada pada jurusan tersebut. Bagaimana caraku membahas hal
ini bersama orang tua, mungkin baru akan aku posting setelah tulisan ini.
Yang jelas, untuk memilih sekolah
lanjutan, kusarankan agar tidak melulu berpikir akan jadi apa. Tapi, coba
berpikir, melihat potensi diri, untuk memilih apa yang ingin ditekuni.
Salam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar