Sabtu, 07 April 2018

Apa yang Ingin Aku Tekuni?



Halo!

Pemilik akun ini sedang bertekad untuk membuat tulisan secara rutin—kemungkinan besar akan dikirim tiap minggu. Meskipun serangkaian ujian baru saja hampir selesai, setidaknya kepalaku sudah sedikit longgar untuk diajak berpikir dan berdiskusi.

Ah, iya, kalau Kawan-kawan ingin berdiskusi, boleh banget. Aku bisa dijumpai di LINE dengan id: angelarezka; twitter dengan username: @AngelaRezka; dan instagram dengan username: @angela_rezka. Melalui email jela.andua@gmail.com pun boleh.

Pada kesempatan kali ini, ada beberapa hal yang ingin aku bagi, kepada Kawan-kawan—dan sekali lagi—khususnya kepada adik-adik yang masih punya kesempatan untuk memilih di mana akan menghabiskan masa putih abu-abu.

Tulisanku pada kiriman sebelum ini adalah daftar kesalahanku ketika masuk SMA, yang jangan sampai kalian tiru apalagi dianut. Anggap saja itu pembelajaran yang membuat Kawan-kawan tidak salah langkah.

Well, setelah pengalamanku selama tiga tahun di SMA yang sama sekali jauh dari jalan cerita film, novel, maupun sinetron remaja, aku berpikir seandainya aku dapat memutar ulang waktu tiga tahun ke belakang, aku ingin mengubah pertanyaan, “Akan jadi apa aku nanti?” menjadi, “Apa yang ingin aku tekuni?”

Dulu sewaktu SMP aku ingin menembus UGM jurusan kedokteran. Menulis banyak sekali kalimat penyemangat dalam buku catatan matematika. Meyakinkanku bahwa aku harus mencintai pelajaran hitung-hitungan untuk mewujudkan apa yang aku mau.

Kemudian saat menginjak SMA, aku dihadapkan pada kenyataan bahwa cita-citaku terlalu “melenceng”—karena aku sendiri masih pontang-panting mengikuti pelajaran eksakta yang rasanya membelit leher. Lantas, kalau ada yang tanya, “Mau lanjutin ke mana, Jel?”, alhasil aku hanya tertawa-tawa garing karena makin hari aku makin tidak yakin pada apa yang aku ingini sewaktu SMP itu.

Sampai kelas sebelas, aku semakin tidak yakin pada cita-citaku sendiri. Padahal aku sering menonton video motivasi maupun film yang ujung-ujungnya memberi pesan bahwa yakinlah pada apa yang diimpikan. Terus, aku?

Katanya ingin jadi dokter, tapi lihat luka saja takut. Paling semangat ke laboraturium biologi, tapi saat kebagian membuat preparat, justru pusing luar biasa. Ada praktikum mengetes golongan darah, kabur paling awal karena tidak mau menonton adegan suntik-menyuntik yang dilakukan oleh teman-teman satu kelasku sendiri. Ngilu.

Semua hal tersebut membuatku yakin bahwa aku tidak akan nyaman kalau berada di jurusan kedokteran.

Aku juga sempat bertanya-tanya kepada kakak kelas, bagaimana cara menemukan jurusan yang tepat untuk kuliah nanti. Kakak kelas itu justru ketawa dan menyuruhku tenang, “Kalau sudah kelas dua belas, kamu bakal tahu, kok,”

Harus kelas dua belas banget? Dengan waktu kurang dari setahun itu aku baru menemukan passion-ku, sekaligus untuk persiapan menuju perkuliahan tersebut? Apakah tidak terlambat?

Bagiku sangat terlambat.

Karena kalau baru menemukan apa yang ingin ditekuni dalam waktu kurang dari setahun untuk melanjutkan jenjang kampus, belum terhitung persiapan menuju kampus maupun jurusan yang dituju, tolong ingat pula serangkaian ujian dari sekolah juga pemerintah. Kapan belajarnya?

Jadi, Kawan-kawan juga adik-adikku yang berbahagia, alangkah baiknya kalau adik-adik mulai sekarang untuk berefleksi diri. Sebenarnya, dengan semakin banyak kawan—semakin banyak ruang untuk berdiskusi, Kawan-kawan bakal semakin tahu tentang diri sendiri. Bukan dengan bertanya kepada teman-temanmu soal dirimu, tapi lebih kepada bagaimana dirimu menghadapi orang-orang. Nyaman atau tidak berada di lingkungan semacam itu. Kalau beruntung, bisa sharing, mengutarakan pendapat, dan bisa jadi menemukan takdir—bertemu dengan orang-orang yang mengerti.

Kalau tidak—seandainya introvert dan tidak nyaman bertemu dengan banyak orang—seperti aku, kutajamkan kecerdasan interpersonalku. Berkaca pada pengalaman.

  Apa saja yang membuatku senang sehingga mau berjuang tanpa kenal lelah?

 Apa yang mau membuatku terus mencoba padahal sempat gagal?

 Apa yang ingin aku tekuni?
 
Karena selama berada di SMA aku jauh dari kata tekun belajar.

Dan tentu saja semakin mendekatkan diri pada Tuhan. Sering-sering berdoa di setiap akhir salat. Istighfar berkali-kali sampai hati terasa tenang. Kadang, kalau pikiran sedang ruwet dan rasanya begitu sesak, aku menceritakan keluh kesahku pada Allah. Apapun. Berharap perlindungan dan kekuatan. Karena aku mengerti bahwa Allah akan mengerti. Juga tidak lupa untuk terus berhubungan baik dengan orang tua. Bukankah, ridho Allah terletak pada ridho orang tua?

Menurut pengalamanku, itu sangat membantu.

Walaupun setelah aku tahu apa yang ingin aku tekuni lalu membicarakan hal tersebut pada orang tua, kenyataannya baru beberapa hari menjelang serangkaian ujian, orang tuaku sendiri baru membolehkanku berada pada jurusan tersebut. Bagaimana caraku membahas hal ini bersama orang tua, mungkin baru akan aku posting setelah tulisan ini.

Yang jelas, untuk memilih sekolah lanjutan, kusarankan agar tidak melulu berpikir akan jadi apa. Tapi, coba berpikir, melihat potensi diri, untuk memilih apa yang ingin ditekuni.

Salam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini