Halo, adik-adik SMP yang akan menuju
SMA,
Berikut
ini adalah tulisan mengenai kesalahanku sebelum masuk SMA, yang mungkin bisa
kalian jadikan pencerahan daripada kalian menyesal tiga tahun kemudian, seperti
yang aku alami sekarang.
Buat adik-adik
yang masih bingung nanti di SMA mau memilih jurusan apa, mungkin penjelasan
tentang kesalahanku ini bisa membantu, setidaknya membuatmu berpikir ulang
sehingga bisa lebih percaya diri dalam memilih jurusan karena tiga tahun di
masa putih abu-abu adalah jembatan yang harus adik-adik lewati untuk masa depan
yang telah menanti.
Kesalahan
pertamaku adalah aku sempat tergiur dengan kalimat: anak IPA
boleh ambil jurusan anak IPS.
Well, aku bodoh
karena sempat percaya pada kalimat itu. Apalagi sampai terpengaruh pada stereotype
bahwa anak IPA lebih pintar daripada anak IPS. Padahal harusnya aku sadar
bahwa siswa jurusan apapun di SMA adalah baik. Tidak ada yang lebih pandai pun
lebih rendah dibanding yang lain. Bahkan aku sempat terperangkap pada ‘jurusan
keren’, dan IPA adalah masuk kategori keren dalam tipeku. Makanya aku memasukkan
jurusan ini pada pilihan penjurusan saat pendaftaran online siswa baru tiga
tahun lalu.
Dari
SMP harusnya aku sadar bahwa yang ingin aku tekuni lebih lanjut adalah tentang
sastra, dunia kepenulisan—bukan teknik, atau hitungan-hitungan gaib yang selama
ini berkeliaran di sekitarku. Sayangnya kesadaranku tertutupi oleh ‘jurusan
keren’ kalau nanti aku berkuliah di kedokteran, arsitek, atau segala apapun
yang menjadi deretan cita-cita anak kecil.
Maka,
aku dengan songongnya mengajukan diri menjadi calon anak IPA biar terlihat
keren. Karena toh nanti aku pikir aku bisa mengambil jurusan sastra Indonesia
yang notabene harus ditempuh melalui jurusan IPS-nya SMA, karena di kotaku
belum ada jurusan bahasa.
Kamu
tahu apa yang ingin aku katakan sekarang pada diriku waktu itu?
“Bodoh!”
Karena
nyatanya, aku harus berkutat selama kurang lebih tiga tahun pada bidang yang
ternyata malas untuk aku tekuni. Aku lama-lama menyadari bahwa duniaku tidak di
sini—dalam dunia yang penuh pelajaran eksakta. Sejauh ini, aku lebih suka
mengeksplor kemampuanku menulis, memerluas referensi buku bacaan, hingga
keluar-masuk perpustakaan daerah demi secuil tulisan yang ingin aku bagi—entah
di dunia maya, atau sekadar kepuasan pribadi.
Sedangkan
pada kesempatan yang lain, setiap aku membuka buku sekolah yang tebalnya
dua sampai tiga senti, rasanya mataku
memberat dan kepalaku ingin rebah. Atau mungkin itu terjadi juga pada
kawan-kawan semua?
Yang
jelas, aku adalah tipe manusia yang tidak bisa memelajari sesuatu secara detail—cuilan-cuilan
rumus eksak yang punya banyak cabang dan konstanta-konstanta berangka koma-koma
yang jika aku menghitung, butuh bantuan kalkulator tapi sayangnya tidak boleh
pakai teknologi yang ditemukan oleh Om Pascal Blaise itu.
Sekadar
informasi, menjadi anak IPA, tidak cukup bermodal pandai hitung menghitung, Dear.
Di SMA ini, ada tuntutan untuk menentukan konsep rumus sendiri, yang tidak
cuma satu. Ada banyak uji kompetensi yang perlu diselesaikan dengan metode
tersebut, juga mata pelajarannya tidak hanya anu atau itu. Well, ada
satu pelajaran wajib IPA yang masih masuk dalam toleransiku. Aku masih bisa
membayangkan bentuk bendanya seperti apa, kecepatannya bagaimana, frekuensi
bunyi, kapasitor, resistor, dan antek-anteknya.
Aku
juga masih bisa menelaah teori evolusi yang analogi, homologi, rekayasa
genetika, mutasi gen, dan kawan-kawannya itu. Tapi tidak dengan glikolisis,
tranpor elektron, asam piruvat, DNA, RNA, dan gengnya. Materi yang memelajari
partikel sehalus bahkan mungkin lebih kecil dibanding debu.
Apalagi
kimia. Aku angkat tangan. Malas sekali ya memelajari partikel sekecil itu, dan
juga butuh hafalan sedetail itu—bentuk molekul A atau B dengan rumusnya D2E
atau FG3 misalnya.
Hell, aku bukan tipe manusia
yang sudi menghafal angka-angka kecil macam itu.
Dulu aku berpikir
bahwa kemampuan hitung-menghitung adalah modal utama menjadi anak IPA.
Ternyata, hal tersebut justru masuk sebagai kesalahan keduaku.
Semakin
aku besar, semakin aku mengerti bahwa kemampuan otakku sebatas menghitung
perkalian bersusun dengan cepat. Tapi kalau harus mengingat satu per satu rumus
yang bejibun, aku menyerah.
Ya,
mungkin teman-teman berpikir bahwa aku pemalas, yang bahkan sudah angkat
bendera putih sebelum maju ke medan perang. Teman-teman masih berpikir bahwa
seharusnya aku mendobrak zona nyamanku, dari yang suka tulis-menulis, jadi ahli
eksakta.
Tapi
bagiku, tidak semudah membalik telapak tangan, kawan-kawan. Aku juga yakin
bahwa tidak setiap orang mampu melakukannya.
Asal
kalian tahu pula, dalam pandanganku, tidak selamanya zona nyaman itu
menyenangkan. Aku sebagai orang yang tersesat berada di IPA, juga pernah kok,
bertanya jalan pada kawanku yang lain. Belajar bersamanya, sampai aku merasa
bahwa aku bisa berjalan sendirian lagi. Bahwa aku masih bisa mengejar
ketertinggalan, bahkan bisa menyalip mereka. Tapi nyatanya tidak. Faktanya, aku
memang bisa hari ini, untuk kemudian esoknya lupa barang satu atau dua langkah.
Dan aku menyadari bahwa seharusnya aku tidak di sini.
Ada
hal lain yang membuatku bahagia—kata orang, itu adalah zona nyaman—padahal
sebelum menikmati zona nyaman itu aku juga berdarah-darah lebih dulu. Namun,
karena jatahnya aku memang suka, aku rela bersakit-sakit sedemikian parah untuk
mencapai hasil optimal. Yang sayangnya tidak bisa aku melakukan hal yang sama
terhadap pelajaran-pelajaran wajibku sebagai anak IPA.
Kalimat
anak IPA boleh ambil jurusan IPS, tidak sepenuhnya benar. Kenapa?
Karena
selama tiga tahun di SMA, seandainya tidak bisa survive, ya sama juga
bohong. Hasilnya pun nilai raport yang berada di ambang batas minimal. Di mana
mau daftar jurusan kuliah anak IPA, masih kurang, apalagi mau daftar punyanya
anak IPS. Pihak kampus tidak mungkin berspekulasi kalau anak IPA yang raportnya
sangat mepet dan mendaftar di perkuliahan IPS, maka sebelumnya dia tersesat.
Maka, yang nilai mepet tersebut sebenarnya berlian yang kurang diasah dengan
baik, sehingga saat dia berada di jalan yang benar, maka berlian itu akan
bersinar begitu cemerlang.
Panitia
penyeleksi tidak mungkin berpikir sejauh itu sedangkan yang sudah berada di
jalur yang benar—jurusan IPS yang mendaftar pada perkuliahan IPS pun—sudah
bejibun.
Well,
daripada tiga tahun yang kamu lalui tapi menghasilkan nilai yang belum
cukup untuk mengantarkanmu pada perkuliahan tanpa tes, maka, kusarankan
sebaiknya untuk berpikir baik-baik dan matang-matang dalam memilih jurusan.
Tidak
perlu risau, kan masih bisa tes.
Oke, jika kamu
menginginkan begitu. Mungkin esok atau lusa, aku akan bahas kenapa aku serepot
ini padahal ada banyak jalan untuk menuju kampus dengan program studi ‘keren’ yang
diinginkan.
Dan
satu hal yang perlu diingat, bahwa cita-cita tidak harus selalu berkaitan
dengan profesi.
Baiklah, sekian
dulu tulisan dariku. Sampai jumpa di artikel selanjutnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar