Senin, 19 Maret 2018

Daftar Kesalahan



Halo, adik-adik SMP yang akan menuju SMA,
            
 Berikut ini adalah tulisan mengenai kesalahanku sebelum masuk SMA, yang mungkin bisa kalian jadikan pencerahan daripada kalian menyesal tiga tahun kemudian, seperti yang aku alami sekarang.

Buat adik-adik yang masih bingung nanti di SMA mau memilih jurusan apa, mungkin penjelasan tentang kesalahanku ini bisa membantu, setidaknya membuatmu berpikir ulang sehingga bisa lebih percaya diri dalam memilih jurusan karena tiga tahun di masa putih abu-abu adalah jembatan yang harus adik-adik lewati untuk masa depan yang telah menanti.

            Kesalahan pertamaku adalah aku sempat tergiur dengan kalimat: anak IPA boleh ambil jurusan anak IPS.

            Well, aku bodoh karena sempat percaya pada kalimat itu. Apalagi sampai terpengaruh pada stereotype bahwa anak IPA lebih pintar daripada anak IPS. Padahal harusnya aku sadar bahwa siswa jurusan apapun di SMA adalah baik. Tidak ada yang lebih pandai pun lebih rendah dibanding yang lain. Bahkan aku sempat terperangkap pada ‘jurusan keren’, dan IPA adalah masuk kategori keren dalam tipeku. Makanya aku memasukkan jurusan ini pada pilihan penjurusan saat pendaftaran online siswa baru tiga tahun lalu.

            Dari SMP harusnya aku sadar bahwa yang ingin aku tekuni lebih lanjut adalah tentang sastra, dunia kepenulisan—bukan teknik, atau hitungan-hitungan gaib yang selama ini berkeliaran di sekitarku. Sayangnya kesadaranku tertutupi oleh ‘jurusan keren’ kalau nanti aku berkuliah di kedokteran, arsitek, atau segala apapun yang menjadi deretan cita-cita anak kecil.

            Maka, aku dengan songongnya mengajukan diri menjadi calon anak IPA biar terlihat keren. Karena toh nanti aku pikir aku bisa mengambil jurusan sastra Indonesia yang notabene harus ditempuh melalui jurusan IPS-nya SMA, karena di kotaku belum ada jurusan bahasa.

            Kamu tahu apa yang ingin aku katakan sekarang pada diriku waktu itu?

            Bodoh!

            Karena nyatanya, aku harus berkutat selama kurang lebih tiga tahun pada bidang yang ternyata malas untuk aku tekuni. Aku lama-lama menyadari bahwa duniaku tidak di sini—dalam dunia yang penuh pelajaran eksakta. Sejauh ini, aku lebih suka mengeksplor kemampuanku menulis, memerluas referensi buku bacaan, hingga keluar-masuk perpustakaan daerah demi secuil tulisan yang ingin aku bagi—entah di dunia maya, atau sekadar kepuasan pribadi.

            Sedangkan pada kesempatan yang lain, setiap aku membuka buku sekolah yang tebalnya dua  sampai tiga senti, rasanya mataku memberat dan kepalaku ingin rebah. Atau mungkin itu terjadi juga pada kawan-kawan semua?

            Yang jelas, aku adalah tipe manusia yang tidak bisa memelajari sesuatu secara detail—cuilan-cuilan rumus eksak yang punya banyak cabang dan konstanta-konstanta berangka koma-koma yang jika aku menghitung, butuh bantuan kalkulator tapi sayangnya tidak boleh pakai teknologi yang ditemukan oleh Om Pascal Blaise itu.

            Sekadar informasi, menjadi anak IPA, tidak cukup bermodal pandai hitung menghitung, Dear. Di SMA ini, ada tuntutan untuk menentukan konsep rumus sendiri, yang tidak cuma satu. Ada banyak uji kompetensi yang perlu diselesaikan dengan metode tersebut, juga mata pelajarannya tidak hanya anu atau itu. Well, ada satu pelajaran wajib IPA yang masih masuk dalam toleransiku. Aku masih bisa membayangkan bentuk bendanya seperti apa, kecepatannya bagaimana, frekuensi bunyi, kapasitor, resistor, dan antek-anteknya.

            Aku juga masih bisa menelaah teori evolusi yang analogi, homologi, rekayasa genetika, mutasi gen, dan kawan-kawannya itu. Tapi tidak dengan glikolisis, tranpor elektron, asam piruvat, DNA, RNA, dan gengnya. Materi yang memelajari partikel sehalus bahkan mungkin lebih kecil dibanding debu.

            Apalagi kimia. Aku angkat tangan. Malas sekali ya memelajari partikel sekecil itu, dan juga butuh hafalan sedetail itu—bentuk molekul A atau B dengan rumusnya D2E atau FG3 misalnya.

Hell, aku bukan tipe manusia yang sudi menghafal angka-angka kecil macam itu.

Dulu aku berpikir bahwa kemampuan hitung-menghitung adalah modal utama menjadi anak IPA. Ternyata, hal tersebut justru masuk sebagai kesalahan keduaku.

            Semakin aku besar, semakin aku mengerti bahwa kemampuan otakku sebatas menghitung perkalian bersusun dengan cepat. Tapi kalau harus mengingat satu per satu rumus yang bejibun, aku menyerah.

            Ya, mungkin teman-teman berpikir bahwa aku pemalas, yang bahkan sudah angkat bendera putih sebelum maju ke medan perang. Teman-teman masih berpikir bahwa seharusnya aku mendobrak zona nyamanku, dari yang suka tulis-menulis, jadi ahli eksakta.

            Tapi bagiku, tidak semudah membalik telapak tangan, kawan-kawan. Aku juga yakin bahwa tidak setiap orang mampu melakukannya.

            Asal kalian tahu pula, dalam pandanganku, tidak selamanya zona nyaman itu menyenangkan. Aku sebagai orang yang tersesat berada di IPA, juga pernah kok, bertanya jalan pada kawanku yang lain. Belajar bersamanya, sampai aku merasa bahwa aku bisa berjalan sendirian lagi. Bahwa aku masih bisa mengejar ketertinggalan, bahkan bisa menyalip mereka. Tapi nyatanya tidak. Faktanya, aku memang bisa hari ini, untuk kemudian esoknya lupa barang satu atau dua langkah. Dan aku menyadari bahwa seharusnya aku tidak di sini.

            Ada hal lain yang membuatku bahagia—kata orang, itu adalah zona nyaman—padahal sebelum menikmati zona nyaman itu aku juga berdarah-darah lebih dulu. Namun, karena jatahnya aku memang suka, aku rela bersakit-sakit sedemikian parah untuk mencapai hasil optimal. Yang sayangnya tidak bisa aku melakukan hal yang sama terhadap pelajaran-pelajaran wajibku sebagai anak IPA.

            Kalimat anak IPA boleh ambil jurusan IPS, tidak sepenuhnya benar. Kenapa?

            Karena selama tiga tahun di SMA, seandainya tidak bisa survive, ya sama juga bohong. Hasilnya pun nilai raport yang berada di ambang batas minimal. Di mana mau daftar jurusan kuliah anak IPA, masih kurang, apalagi mau daftar punyanya anak IPS. Pihak kampus tidak mungkin berspekulasi kalau anak IPA yang raportnya sangat mepet dan mendaftar di perkuliahan IPS, maka sebelumnya dia tersesat. Maka, yang nilai mepet tersebut sebenarnya berlian yang kurang diasah dengan baik, sehingga saat dia berada di jalan yang benar, maka berlian itu akan bersinar begitu cemerlang.

            Panitia penyeleksi tidak mungkin berpikir sejauh itu sedangkan yang sudah berada di jalur yang benar—jurusan IPS yang mendaftar pada perkuliahan IPS pun—sudah bejibun.

            Well, daripada tiga tahun yang kamu lalui tapi menghasilkan nilai yang belum cukup untuk mengantarkanmu pada perkuliahan tanpa tes, maka, kusarankan sebaiknya untuk berpikir baik-baik dan matang-matang dalam memilih jurusan.

            Tidak perlu risau, kan masih bisa tes.

            Oke, jika kamu menginginkan begitu. Mungkin esok atau lusa, aku akan bahas kenapa aku serepot ini padahal ada banyak jalan untuk menuju kampus dengan program studi ‘keren’ yang diinginkan.

            Dan satu hal yang perlu diingat, bahwa cita-cita tidak harus selalu berkaitan dengan profesi.

            Baiklah, sekian dulu tulisan dariku. Sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini