Kamis, 08 Februari 2018

Demi Eksistensi

Hai.
            
Aku kembali ke peredaran.

            Anggap saja tulisan ini sebagai salam pembuka setelah sekian lama tidak bersua, sekaligus ucapan selamat datang karena kemungkinan besar, tulisanku tidak lagi seperti yang kamu harapkan. Maaf, bukannya aku kehilangan selera untuk memenuhi apa yang kamu suka, tapi aku merasa, kalau setiap saat memenuhi keinginan seseorang, lama-lama aku sendiri yang akan mati tanpa kebahagiaan yang berarti. Karena jujur, setelah aku menghilang dari permukaan, aku menemukan beberapa hal dalam hidupku yang perlu aku atur ulang: termasuk tulisan dalam blogku sekarang.

            Pertama: aku masih suka menulis, meskipun tidak setiap hari aku merasa perlu menuangkan uneg-uneg dan memerlakukan laptop seperti diary.

            Aku pernah mengikuti workshop kepenulisan, yang menganjurkan agar setiap hari menulis supaya terbiasa. Well, metode itu tidak berlaku padaku, karena aku menulis bukan untuk pembiasaan. Aku menulis, karena aku ingin menulis. Seandainya kepalaku tidak ingin menulis, walaupun aku sudah membuka laptop dua puluh empat jam penuh, tidak akan ada kalimat bagus yang tercipta. Dan bisa jadi, itu merupakan tanda bahwa otakku sedang lelah diajak berpikir.

            Dulu aku masih sempat mengikuti tips itu, sampai lama-lama aku seperti orang bego yang menyalakan laptop selama satu jam atau sampai baterai habis, kemudian menutupnya lagi tanpa menghasilkan apa-apa. Padahal, waktu tersebut harusnya bisa aku gunakan untuk mengerjakan PR, nonton TV, makan, mandi, minum, cuci piring, cuci baju, dan hal-hal produktif lainnya.

            Oleh karena itu, dengan seluruh kesibukanku sekarang, aku tidak setiap saat membuka laptop dan menuliskan sesuatu. Karena waktuku yang amat sangat berharga ini pilih aku gunakan tidur atau istirahat dan mencari profil sekolah lanjutan.

            Kedua: aku masih suka menulis, walaupun setelah menghasilkan beberapa karya, aku baru menyadari bahwa tujuanku menulis adalah karena ingin menyampaikan sesuatu.

            Dari taman kanak-kanak hingga SD, aku suka membaca, terutama buku fiksi. Tidak terhitung lagi berapa rupiah yang dikeluarkan bapak dan ibu untuk bukunya aku lahap cuma dalam semalam. Untuk ukuran bocah SD waktu itu, kemampuan membaca cepatku lumayan unggul dibanding yang lain. Hingga aku berlangganan majalah bobo dan buku-buku terbitan Pustaka Ola, sampai tukang koran yang mengantar langganan itu memiliki toko buku sendiri di rumah, yang secara otomatis menghentikan peredaran buku bacaan favoritku tiap minggu.

            Berbekal buku fiksi yang berjubel di kepalaku, aku punya daya imajinasi luar biasa yang bisa meledak kalau tidak aku tuangkan.

            Mungkin itulah awal aku menulis—karena aku butuh media untuk berbagi imajinasi.

            Hingga aku beranjak besar, aku baru tahu kalau menulis adalah suatu jalan rahasia bagi orang-orang yang terkena racun ‘jatuh cinta diam-diam’. Menyukai di balik bayangan, menyayangi lewat tulisan.

            Sial! Aku mengalaminya.

            Ketiga: aku masih suka menulis, dan masih tidak konsisten mengenai jenis tulisan apa yang tercipta dari jemariku.

            Aku ingin menjadi penulis yang bukunya terpampang nyata di rak best seller—maka aku mengikuti selera orang-orang yang lebih suka cerita romansa putih abu-abu. Dan aku pernah menulis cerita macam begitu ketika aku masih berada di putih biru!

            Jadi, dengan begonya aku menulis tanpa riset, tanpa pengalaman, soal putih abu-abu. Cuma dengan bekal buku-buku yang aku baca dan tontonan televisi, ditambah imajinasi. Cerita itu pun tidak selesai sampai sekarang—sampai aku sendiri mengalami bahwa permasalahan putih abu-abu sebenarnya jauh lebih kompleks dibanding apa yang digambarkan di novel atau yang dilukiskan di film saat itu.

            Satu hal yang sebenarnya berbeda juga adalah: hampir di semua novel maupun film yang aku nikmati adalah berlatar tempat ibu kota negara. Di mana budaya dan kebiasaannya tidak sama dengan kotaku yang terpencil dan nyelempit di antara gunung-gunung. Di mana aku yang sehari-hari berbahasa kowe karo aku, terautomatisasi untuk menulis gue dan elo karena yang setiap saat aku konsumsi adalah bahasa orang-orang itu. Aku pernah menuliskan ‘macet’; ke sekolah naik ‘bis kota’; makan di ‘kantin’ dengan berbagai pilihan menu, padahal jalan protokol kotaku waktu itu terpantau lengang, dan tidak ada bis kota karena tidak semua jalan utama boleh dilalui bis, dan pengelola kantin sekolahku belum sekreatif itu untuk memasak makanan bervariasi.

            Yea, saat itu aku masih putih biru; tidak punya akun selain email dan facebook; area pertemanan masih sangat terbatas; belum punya pikiran yang bisa memilih dan memilah mana yang perlu ditiru dan mana yang tidak boleh dianut.

            Untuk urusan menulis, boleh-boleh saja, sih mau pilih latar tempat, suasana, atau apapun berdasarkan apa yang diserap oleh kepala tiap hari melalui media audio visual. Tapi ya, saranku: lihatlah dan bukalah mata hatimu. Tulis apa yang ada di sekitarmu, atau setidaknya bidang yang kamu kuasai. Karena jujur, saat aku menulis itu, sempat gelagapan untuk mendeskripsikan bagaimana keadaan yang terjadi dalam tulisanku sendiri. Sekaligus bagaimana lika-liku menjadi anak SMA yang sebenarnya.

            Dan karena aku sudah merasa terantuk tembok ketika itu, makanya tulisannya juga belum selesai sampai detik ini.

            Jadi, teruntuk diriku, karena sudah berada di putih abu-abu—dengan berbagai perkembangan kedewasaan, pengalaman, sekaligus mental yang merevisi isi kepalaku, atau mungkin juga karena kecanggihan teknologi yang memerlihatkan bahwa kotaku dan kota orang-orang itu jauh berbeda, atau memang karena akunya yang bego selama ini, aku baru menyadari bahwa yang tepat untuk aku bagi kepada kamu—kepada pembaca blog ini, adalah apa yang ada di sekitarku—yang sebenarnya lebih menarik untuk ditulis daripada meniru apa yang hampir setiap detik nongkrong di televisi ataupun media sosial.

            Tidak perlu ikut-ikutan gaya Jakarta.

            Tidak usah sok-sokan jadi bocah metropolitan.

            Karena itu, beberapa tulisanku setelah ini kemungkinan besar adalah pembahasan mengenai alur pikiran kawan-kawanku yang telah bertemu denganku selama hampir tiga tahun ini.

            Memang, aku masih punya stock tulisan menye-menye, jadi mungkin, nanti tetap akan terselip cerita soal dia yang sama sekali tidak menyelipkan namaku dalam doanya.

            Oke.

            Dan yang terakhir, sebagai penutup salam pembuka setelah sekian lama tidak bersua adalah keempat: aku masih suka kamu.

            
Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini