Hai.
Aku
kembali ke peredaran.
Anggap
saja tulisan ini sebagai salam pembuka setelah sekian lama tidak bersua,
sekaligus ucapan selamat datang karena kemungkinan besar, tulisanku tidak lagi
seperti yang kamu harapkan. Maaf, bukannya aku kehilangan selera untuk memenuhi
apa yang kamu suka, tapi aku merasa, kalau setiap saat memenuhi keinginan
seseorang, lama-lama aku sendiri yang akan mati tanpa kebahagiaan yang berarti.
Karena jujur, setelah aku menghilang dari permukaan, aku menemukan beberapa hal
dalam hidupku yang perlu aku atur ulang: termasuk tulisan dalam blogku
sekarang.
Pertama:
aku masih suka menulis, meskipun tidak setiap hari aku merasa perlu
menuangkan uneg-uneg dan memerlakukan laptop seperti diary.
Aku
pernah mengikuti workshop kepenulisan, yang menganjurkan agar setiap
hari menulis supaya terbiasa. Well, metode itu tidak berlaku padaku,
karena aku menulis bukan untuk pembiasaan. Aku menulis, karena aku ingin
menulis. Seandainya kepalaku tidak ingin menulis, walaupun aku sudah membuka
laptop dua puluh empat jam penuh, tidak akan ada kalimat bagus yang tercipta.
Dan bisa jadi, itu merupakan tanda bahwa otakku sedang lelah diajak berpikir.
Dulu
aku masih sempat mengikuti tips itu, sampai lama-lama aku seperti orang bego
yang menyalakan laptop selama satu jam atau sampai baterai habis, kemudian
menutupnya lagi tanpa menghasilkan apa-apa. Padahal, waktu tersebut harusnya
bisa aku gunakan untuk mengerjakan PR, nonton TV, makan, mandi, minum, cuci
piring, cuci baju, dan hal-hal produktif lainnya.
Oleh
karena itu, dengan seluruh kesibukanku sekarang, aku tidak setiap saat membuka
laptop dan menuliskan sesuatu. Karena waktuku yang amat sangat berharga ini
pilih aku gunakan tidur atau istirahat dan mencari profil sekolah lanjutan.
Kedua:
aku masih suka menulis, walaupun setelah menghasilkan beberapa karya,
aku baru menyadari bahwa tujuanku menulis adalah karena ingin menyampaikan
sesuatu.
Dari
taman kanak-kanak hingga SD, aku suka membaca, terutama buku fiksi. Tidak
terhitung lagi berapa rupiah yang dikeluarkan bapak dan ibu untuk bukunya aku
lahap cuma dalam semalam. Untuk ukuran bocah SD waktu itu, kemampuan membaca
cepatku lumayan unggul dibanding yang lain. Hingga aku berlangganan majalah
bobo dan buku-buku terbitan Pustaka Ola, sampai tukang koran yang mengantar
langganan itu memiliki toko buku sendiri di rumah, yang secara otomatis
menghentikan peredaran buku bacaan favoritku tiap minggu.
Berbekal
buku fiksi yang berjubel di kepalaku, aku punya daya imajinasi luar biasa yang
bisa meledak kalau tidak aku tuangkan.
Mungkin
itulah awal aku menulis—karena aku butuh media untuk berbagi imajinasi.
Hingga
aku beranjak besar, aku baru tahu kalau menulis adalah suatu jalan rahasia bagi
orang-orang yang terkena racun ‘jatuh cinta diam-diam’. Menyukai di balik
bayangan, menyayangi lewat tulisan.
Sial!
Aku mengalaminya.
Ketiga:
aku masih suka menulis, dan masih tidak konsisten mengenai jenis tulisan
apa yang tercipta dari jemariku.
Aku
ingin menjadi penulis yang bukunya terpampang nyata di rak best seller—maka
aku mengikuti selera orang-orang yang lebih suka cerita romansa putih abu-abu.
Dan aku pernah menulis cerita macam begitu ketika aku masih berada di putih biru!
Jadi,
dengan begonya aku menulis tanpa riset, tanpa pengalaman, soal putih abu-abu.
Cuma dengan bekal buku-buku yang aku baca dan tontonan televisi, ditambah
imajinasi. Cerita itu pun tidak selesai sampai sekarang—sampai aku sendiri
mengalami bahwa permasalahan putih abu-abu sebenarnya jauh lebih kompleks
dibanding apa yang digambarkan di novel atau yang dilukiskan di film saat itu.
Satu
hal yang sebenarnya berbeda juga adalah: hampir di semua novel maupun film yang
aku nikmati adalah berlatar tempat ibu kota negara. Di mana budaya dan
kebiasaannya tidak sama dengan kotaku yang terpencil dan nyelempit di
antara gunung-gunung. Di mana aku yang sehari-hari berbahasa kowe karo aku,
terautomatisasi untuk menulis gue dan elo karena yang setiap saat
aku konsumsi adalah bahasa orang-orang itu. Aku pernah menuliskan ‘macet’; ke
sekolah naik ‘bis kota’; makan di ‘kantin’ dengan berbagai pilihan menu,
padahal jalan protokol kotaku waktu itu terpantau lengang, dan tidak ada bis
kota karena tidak semua jalan utama boleh dilalui bis, dan pengelola kantin
sekolahku belum sekreatif itu untuk memasak makanan bervariasi.
Yea,
saat itu aku masih putih biru; tidak punya akun selain email dan facebook;
area pertemanan masih sangat terbatas; belum punya pikiran yang bisa memilih
dan memilah mana yang perlu ditiru dan mana yang tidak boleh dianut.
Untuk
urusan menulis, boleh-boleh saja, sih mau pilih latar tempat, suasana, atau
apapun berdasarkan apa yang diserap oleh kepala tiap hari melalui media audio
visual. Tapi ya, saranku: lihatlah dan bukalah mata hatimu. Tulis apa yang ada
di sekitarmu, atau setidaknya bidang yang kamu kuasai. Karena jujur, saat aku
menulis itu, sempat gelagapan untuk mendeskripsikan bagaimana keadaan yang
terjadi dalam tulisanku sendiri. Sekaligus bagaimana lika-liku menjadi anak SMA
yang sebenarnya.
Dan
karena aku sudah merasa terantuk tembok ketika itu, makanya tulisannya juga
belum selesai sampai detik ini.
Jadi,
teruntuk diriku, karena sudah berada di putih abu-abu—dengan berbagai
perkembangan kedewasaan, pengalaman, sekaligus mental yang merevisi isi
kepalaku, atau mungkin juga karena kecanggihan teknologi yang memerlihatkan
bahwa kotaku dan kota orang-orang itu jauh berbeda, atau memang karena akunya
yang bego selama ini, aku baru menyadari bahwa yang tepat untuk aku bagi kepada
kamu—kepada pembaca blog ini, adalah apa yang ada di sekitarku—yang sebenarnya
lebih menarik untuk ditulis daripada meniru apa yang hampir setiap detik nongkrong
di televisi ataupun media sosial.
Tidak
perlu ikut-ikutan gaya Jakarta.
Tidak
usah sok-sokan jadi bocah metropolitan.
Karena
itu, beberapa tulisanku setelah ini kemungkinan besar adalah pembahasan
mengenai alur pikiran kawan-kawanku yang telah bertemu denganku selama hampir
tiga tahun ini.
Memang,
aku masih punya stock tulisan menye-menye, jadi mungkin, nanti
tetap akan terselip cerita soal dia yang sama sekali tidak menyelipkan namaku
dalam doanya.
Oke.
Dan
yang terakhir, sebagai penutup salam pembuka setelah sekian lama tidak bersua
adalah keempat: aku masih suka kamu.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar