Bagaimana?
Buruk.
Aku sama sekali tidak menduga kalau
aku dan kamu akan melewati tahap seperti ini. Saat aku mulai percaya pada
setiap katamu, tapi kamu malah beranjak pergi. Saat aku mengingat setiap detik
tawa kita yang tercipta di akhir canda-canda tidak penting, mengenang aku dan
kamu melaju malam-malam di jalanan lengang kota, bahkan pada waktu aku dan kamu
sama-sama bego tapi sok tahu ingin memecahkan soal matematika—kamu justru ingin
mengabaikan semua hal yang pernah aku dan kamu lewati, kemudian menjadi orang
yang dapat melupakan suatu peristiwa dengan baik.
Aku tidak tahu, apakah sekarang
adalah suatu proses di mana aku dan kamu menjadi lebih serius, ataukah suatu
tanda bahwa di antara aku dan kamu memang perlu diakhiri. Sayangnya aku juga
tidak tahu bagaimana cara kepalamu berpikir, pun bagaimana cara hatimu bekerja.
Aku takut, seandainya aku percaya lagi sama kamu—dengan cara otakku berputar,
ternyata kamu punya pemikiran lain. Dan aku yang tidak tahu bagaimana hatimu merasakan,
akan kesakitan sendiri—tanpa ada kata peduli dari kamu.
Buruk, kan?
Aku bukan tipe orang yang dapat
berekspresi dengan baik. Seandainya aku sedang bahagia, hanya orang-orang dekat
yang tahu bagaimana hatiku berbunga-bunga. Begitu juga saat aku sedang berduka,
hanya orang-orang yang benar-benar menyayangiku yang tahu betapa aku sedang
terluka. Untuk orang-orang yang menganggap aku ‘hanya teman’, sulit sekali
membaca suasana hatiku detik itu, karena wajahku sama sekali tidak
mengekspresikan apa yang sedang aku rasakan. Tapi untuk kamu, ada sesuatu hal
yang membuatku harus berpikir berkali-kali untuk menempatkan kamu dalam posisi
‘hanya teman’ atau lebih.
Kamu
hampir selalu tahu apa yang sedang ada dalam kepalaku, semudah kamu membaca
tulisan dalam novel science fiction favoritmu. Kamu bisa tahu kalau aku
sedang enggan, bahkan saat aku sedang berusaha meredam emosi rapi-rapi, kamu
tahu bahwa langkah paling baik setiap aku memendam sesuatu adalah: membiarkan
aku sendiri. Kamu pilih mengalah—menungguku tenang lebih dulu dengan sabar sebelum
bertanya macam-macam.
Tuan
Paling Peka Sedunia.
Bagaimana
aku bisa menggolongkan kamu dalam posisi ‘hanya teman’ kalau kamu saja dapat
memahamiku sebegitu jauhnya? Salah, kalau aku menempatkan kamu dalam kategori
orang-orang dekat dengan kesensitifitasmu terhadapku yang luar biasa itu?
Buruk.
Ternyata saat aku merasa perlu
memasukkan kamu dalam lingkaran orang paling dekat, kamu pilih mundur dengan
teratur. Menyingkirkan satu per satu peristiwa yang pernah ada aku dan kamu di
dalamnya. Pelan tapi pasti, aku tidak lagi menemukan kamu mengisi kolom percakapan
‘Sering Dihubungi’. Berjumpa dengan kamu akhir-akhir ini sebatas lambaian
tangan sebagai ‘halo’ sekaligus ‘selamat tinggal’. Tidak ada senyum polos, muka
bego, dan guyonan garingmu yang sempat mengisi hari-hariku. Tidak ada
percakapan online tolol dini hari saat kamu kelimpungan sendiri karena
ada tugas yang belum kamu kerjakan. Tidak ada lagi kamu yang secara ampuh
mengerti apa yang ada dalam kepalaku hanya dengan melihatku sepintas lalu.
Buruk, kan?
Ternyata, ujung dari seluruh jalinan
komunikasi kita selama ini adalah titik di mana aku harus belajar untuk melepas
seseorang yang tidak ingin menetap.
Kamu,
Ibarat hujan yang turun pagi ini.
Mendadak, deras, kemudian pergi lagi.
Kamu. Tiba-tiba datang, memberi
luapan perhatian, lalu angkat kaki.
Hujan meninggalkan bekas di
mana-mana. Rerumputan, jalanan, tidak luput dari air yang menggenang.
Kamu, menyisakan peristiwa di banyak
tempat. Kemanapun aku melangkah selalu ada kamu yang terkenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar