Kamis, 26 Desember 2013

Ini Surat yang Kesekian Dariku; Pengagummu


Surat ini kutulis ketika malam itu aku merasa sendiri dengan ribuan bayangan wajahmu. Aku merindukan kamu yang beberapa hari terakhir, muncul dalam kehidupanku. Surat dengan alamat yang sangat jelas. Kamu.



Senin, 23 Desember 2013, 0:26
Hei! Nama itu!  Nama itu tidak terlalu menggangguku. Nama itu masih dengan santai berkeliaran di sekitarku. Saat itu. Ah bukan. Terlalu lengkap. Nama panggilan itu! Hanya nama itu yang kutahu. Hingga suatu saat aku tahu siapa pemilik nama itu. Aku tahu siapa dia. Aku tahu dia. Kakak kelasku semenjak sekolah dasar.

Dan hingga suatu saat pula, ada satu nama yang sempat menggangguku. Nama dengan ciri khas dunia maya. Tidak menyebutkan nama asli. Yang masih kuingat sampai detik ini. Sampai aku menulis surat ini. Nama itu. Menjadi salah satu nama yang sempat mengusikku. Namun akhirnya, meluruhkan anggapanku sebagai nama pengganggu. Memutarbalikkannya menjadi salah satu nama yang selalu kutunggu. Entahlah, bagaimana cara dia membuka otak dan hatiku untuk menerima dia menjadi teman baru dalam hidupku. Padahal, saat itu, aku sedang acuh-acuhnya dengan orang baru. Tapi, entahlah.

Percakapan 1-2 kata, menjadi awal. Menjadi pemula. Sederhana, kan? Tak butuh dengan PDKT. Tak butuh dengan rayuan gombal. Tak butuh dengan cokelat atau bunga mawar. Tak butuh itu semua! Ketika 1-2 kata itu berkembang menjadi 1-2 kalimat. Bahkan, 1-2 alenia. Yang tanpa kusadari saat itu, otakku selalu mencari namamu. Dan nafas lega terhembuskan jika kamu muncul di mataku. Aku saja yang terlalu bodoh untuk tidak menyadari hal itu. Aku saja yang payah tak menghiraukan itu. Aku saja yang tak tahu rambu-rambu, tak tahu mana lampu merah dan hijau kala itu.

Saat itu, usiaku masih 12 tahun kurang lebih. Masih payah dengan perasaan. Masih sempat merindukan main-main di halaman rumah. Masih menyayangkan kenapa umurku sudah bertambah, padahal batinku masih ingin bermain di taman kanak-kanak. Mungkin itu alasan mengapa aku tak menganggapmu ‘lebih’ di hadapanku. Mengapa aku tak mengerti arti jantungku yang memompa darah lebih cepat daripada waktu.

Usiaku bertambah. 13 tahun. Mulai mengerti sedikit-sedikit dengan rasa suka. Dan dari buku-buku yang kubaca, rasa ‘suka’ itu disebut cinta monyet. Bukan cinta betulan. Bukan cinta sejati atau cinta sehidup semati. Bah! Cinta jenis apalagi itu?

Di 13 tahun tersebut, pertemanan kita masih terjalin. Erat. Sangat erat. Percakapan bodoh kita berkembang menjadi percakapan yang lebih berarti. Bertukar pikiran, tanpa niat untuk menyelipkan sebuah ‘rasa’ di antara kalimat-kalimat dalam dunia maya kita. Dan dari itu, aku mulai tahu, kamu sudah memiliki kekasih. Ah, tidak. Aku tidak sakit hati. Apalagi aku mengenali kekasihmu. Aku kenal dia. Dia yang cantik, pintar, dan yang jelas, wanita yang kau suka.

Keganjilan mulai terlihat sejak kekasihmu mengetahui kita saling kenal. Aku tak tahu masalah apa yang terjadi di antara kalian. Kamu-memutus-pertemanan-kita. Sejak itu, aku merasa asing denganmu. Kamu menjauhiku. Sangat jauh. Hingga aku merasa perlu untuk mencoretmu dari daftar temanku. Aku perlu membuangmu jauh-jauh dari otakku. Sayangnya, aku bodoh. Aku tak meminta pendapat hatiku. Ia menolak mentah-mentah keputusanku untuk turut menjauhimu. Dan itu masih berlaku hingga detik ini.

Kamu jarang mengunjungi dunia maya. Aku pun enggan untuk mengorek informasi dari profilmu. Aku malas untuk sekedar melihat apakah kamu masih eksis dalam dunia penghubung kita, dulu. Aku benci kamu yang telah memutus ‘hubungan’ kita. Sampai suatu ketika, kita dipertemukan dalam dunia nyata. Dan kamu, menyapaku persis seperti dalam dunia maya, dulu. Aku tak mengelak jika saat itu aku cukup senang. Setidaknya dengan alasan, masih ada bukti bahwa kamu tahu namaku dan aku tahu namamu. Masih ada saksi bahwa kita dulu pernah saling berbagi cerita bodoh. Meskipun tak seintens dulu, ‘hubungan’ kita kembali membaik. Sayang, lagi-lagi kamu-memutus-pertemanan-kita. Dan tak tahu kenapa, aku merasa kali ini lebih pahit. Kali ini lebih dalam. Menghujam. Menghujat.

Detik demi detik bergulir. Menit pun berganti. Jam juga berjalan dengan kecepatan seperti biasanya. Namun, hubungan kita, diam. Tak bergerak. Statis. Mati. Dan aku merasa, kamu bukan sekedar menjauh. Kamu bukan sekedar terlalu ‘sayang’ dengan kekasihmu. Ada yang lain. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Kenapa? Karena kamu mampu tertawa dengan teman dekat perempuanmu. Tidak denganku. Apakah aku termasuk orang lain dalam hidupmu? Benarkah aku hanya orang lain? Jikapun iya, mengapa kamu memutuskan 'hubungan' kita? Mengapa? Adakah yang salah denganku?

Mungkin Tuhan sengaja menciptakan takdir kita untuk terhubung. Mengatur hidupku dengan sentuhan ajaibNya. Mencipta rindu yang seringkali meluap. Terutama merindukan malam-malam bodoh kita dulu. Membuatku sadar, rasa rindu yang membumbung ini bukan rasa rindu biasa. Rasa kecewaku karena kamu asingkan dalam hidupmu, bukan sekedar rasa kecewa. Hatiku ternyata berpendapat lain dengan otakku. Seberapa banyak orang yang hilir mudik dalam hidupku, hanya 1 yang ingin kutemui. Yang sekarang menghindar. Yang sekarang jauh. Kamu.

Curhat? Bukan! Percakapan? Bukan! Sapa? Mungkin. Ya! Entahlah, aku selalu menjadi pengecut. Aku selalu berkata ‘tak ada apa-apa’ antara kamu dan aku. Tapi, aku sendiri, tanpa kusadari, aku menyukaimu dalam diam. Aku selalu berharap kamu menyapaku lebih dulu. Aku selalu berharap kamu yang pertama menyambutku jika bel pulang sudah terdengar memekakkan telinga. Aku selalu berharap kamu tersenyum untukku. Aku selalu berharap kamu memang untukku. Ya, hanya berharap. Padahal, aku tak pernah menyapamu lebih dulu. Aku menyambutmu dalam diam, dari jauh pula. Aku tersenyum untukmu juga dari jauh. Dan ternyata, akulah yang benar-benar jauh.

Peristiwa kecil bernama kebetulan itu selalu kutandai dalam kalenderku. Terutama sapaan ringanmu. Iya, itu. Yang seringkali membuatku rindu padamu. Membuatku semakin paham bahwa ini bukan sekedar rasa suka ketika aku memutar kejadian-kejadian di antara kita dulu. Desir halus ini....... 

Aku sudah tahu bagaimana cinta monyet. Dia hadir ketika aku menemukan sosok cowok berwajah tampan lewat di depanku. Dan biasanya, itu tak bertahan lama. Tak mungkin sampai usia lebih dari satu tahun! Dan itu tak berlaku padamu! Selalu. Jantung ini. Selalu. Otak ini. Selalu. Hati ini. Membuatku kian mengerti ini rasa cinn.......... bukan bukan. Terlalu dini untuk usiaku menyebut kata itu. Tapi apa artinya ini? Sejak dulu hingga sekarang, aku mengharapkan kamu. Bermula dari percakapan ringan nan bodoh. Sampai sekarang ketika aku sudah sangat jauh darimu. Sampai kamu putus, dekat dengan orang lain, dan, ah! Aku terlalu penat untuk mengikuti perkembanganmu.

Lagi-lagi rasa nyeri ini hadir. Entah di bagian hati atau jantungku sendiri. Dari sumber terpercaya, kamu sekarang tengah mencari seseorang. Entah mencari sosok pengganti mantan kekasihmu atau........ aku. Tidak! Yang ini jelas tidak mungkin! Kamu pasti telah mencoret namaku sejak dulu. Sejak kamu sadar bahwa aku mulai sayang padamu. Mungkin.

Ah, ya. Hampir saja aku menyebutkan namamu di sini. Satu hal yang tidak akan kulakukan dalam dunia maya ini, menyebutkan namamu dalam blog pribadi. Namamu hanya akan kusebut dalam do’a-do’aku kepada Sang Ilahi. Ya! Pemilik nama yang mungkin sekarang tengah tidur pulas di tengah rintiknya hujan yang mengguyur kota. Pemilik nama yang sering kurindukan di malam-malam aku insomnia. Pemilik nama yang pada hari Kamis menjadi ‘tokoh’ di lapangan. Yang mampu ber’telepati’ denganku. Yang sempat berinteraksi denganku. Selamat malam. Sekian dulu surat dariku. Miss you!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini