Surat ini kutulis ketika malam itu aku merasa
sendiri dengan ribuan bayangan wajahmu. Aku merindukan kamu yang beberapa hari
terakhir, muncul dalam kehidupanku. Surat dengan alamat yang sangat jelas.
Kamu.
Senin, 23 Desember 2013, 0:26
Hei! Nama itu! Nama itu tidak terlalu menggangguku. Nama itu
masih dengan santai berkeliaran di sekitarku. Saat itu. Ah bukan. Terlalu
lengkap. Nama panggilan itu! Hanya nama itu yang kutahu. Hingga suatu saat aku
tahu siapa pemilik nama itu. Aku tahu siapa dia. Aku tahu dia. Kakak kelasku
semenjak sekolah dasar.
Dan hingga suatu saat pula, ada satu nama
yang sempat menggangguku. Nama dengan ciri khas dunia maya. Tidak menyebutkan
nama asli. Yang masih kuingat sampai detik ini. Sampai aku menulis surat ini. Nama
itu. Menjadi salah satu nama yang sempat mengusikku. Namun akhirnya, meluruhkan
anggapanku sebagai nama pengganggu. Memutarbalikkannya menjadi salah satu nama
yang selalu kutunggu. Entahlah, bagaimana cara dia membuka otak dan hatiku
untuk menerima dia menjadi teman baru dalam hidupku. Padahal, saat itu, aku
sedang acuh-acuhnya dengan orang baru. Tapi, entahlah.
Percakapan 1-2 kata, menjadi awal. Menjadi
pemula. Sederhana, kan? Tak butuh dengan PDKT. Tak butuh dengan rayuan gombal.
Tak butuh dengan cokelat atau bunga mawar. Tak butuh itu semua! Ketika 1-2 kata
itu berkembang menjadi 1-2 kalimat. Bahkan, 1-2 alenia. Yang tanpa kusadari
saat itu, otakku selalu mencari namamu. Dan nafas lega terhembuskan jika kamu
muncul di mataku. Aku saja yang terlalu bodoh untuk tidak menyadari hal itu.
Aku saja yang payah tak menghiraukan itu. Aku saja yang tak tahu rambu-rambu,
tak tahu mana lampu merah dan hijau kala itu.
Saat itu, usiaku masih 12 tahun kurang lebih.
Masih payah dengan perasaan. Masih sempat merindukan main-main di halaman
rumah. Masih menyayangkan kenapa umurku sudah bertambah, padahal batinku masih
ingin bermain di taman kanak-kanak. Mungkin itu alasan mengapa aku tak
menganggapmu ‘lebih’ di hadapanku. Mengapa aku tak mengerti arti jantungku yang
memompa darah lebih cepat daripada waktu.
Usiaku bertambah. 13 tahun. Mulai mengerti
sedikit-sedikit dengan rasa suka. Dan dari buku-buku yang kubaca, rasa ‘suka’
itu disebut cinta monyet. Bukan cinta betulan. Bukan cinta sejati atau cinta
sehidup semati. Bah! Cinta jenis apalagi itu?
Di 13 tahun tersebut, pertemanan kita masih
terjalin. Erat. Sangat erat. Percakapan bodoh kita berkembang menjadi
percakapan yang lebih berarti. Bertukar pikiran, tanpa niat untuk
menyelipkan sebuah ‘rasa’ di antara kalimat-kalimat dalam dunia maya kita. Dan
dari itu, aku mulai tahu, kamu sudah memiliki kekasih. Ah, tidak. Aku tidak
sakit hati. Apalagi aku mengenali kekasihmu. Aku kenal dia. Dia yang cantik,
pintar, dan yang jelas, wanita yang kau suka.
Keganjilan mulai terlihat sejak kekasihmu
mengetahui kita saling kenal. Aku tak tahu masalah apa yang terjadi di antara
kalian. Kamu-memutus-pertemanan-kita. Sejak itu, aku merasa asing denganmu.
Kamu menjauhiku. Sangat jauh. Hingga aku merasa perlu untuk mencoretmu dari
daftar temanku. Aku perlu membuangmu jauh-jauh dari otakku. Sayangnya, aku
bodoh. Aku tak meminta pendapat hatiku. Ia menolak mentah-mentah keputusanku
untuk turut menjauhimu. Dan itu masih berlaku hingga detik ini.
Kamu jarang mengunjungi dunia maya. Aku pun
enggan untuk mengorek informasi dari profilmu. Aku malas untuk sekedar melihat
apakah kamu masih eksis dalam dunia penghubung kita, dulu. Aku benci kamu yang
telah memutus ‘hubungan’ kita. Sampai suatu ketika, kita dipertemukan dalam
dunia nyata. Dan kamu, menyapaku persis seperti dalam dunia maya, dulu. Aku tak
mengelak jika saat itu aku cukup senang. Setidaknya dengan alasan, masih ada
bukti bahwa kamu tahu namaku dan aku tahu namamu. Masih ada saksi bahwa kita
dulu pernah saling berbagi cerita bodoh. Meskipun tak seintens dulu, ‘hubungan’
kita kembali membaik. Sayang, lagi-lagi kamu-memutus-pertemanan-kita. Dan tak
tahu kenapa, aku merasa kali ini lebih pahit. Kali ini lebih dalam. Menghujam.
Menghujat.
Detik demi detik bergulir. Menit pun
berganti. Jam juga berjalan dengan kecepatan seperti biasanya. Namun, hubungan
kita, diam. Tak bergerak. Statis. Mati. Dan aku merasa, kamu bukan sekedar
menjauh. Kamu bukan sekedar terlalu ‘sayang’ dengan kekasihmu. Ada yang lain.
Ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Kenapa? Karena kamu mampu tertawa dengan teman
dekat perempuanmu. Tidak denganku. Apakah aku termasuk orang lain dalam
hidupmu? Benarkah aku hanya orang lain? Jikapun iya, mengapa kamu memutuskan 'hubungan' kita? Mengapa? Adakah yang salah denganku?
Mungkin Tuhan sengaja menciptakan takdir kita
untuk terhubung. Mengatur hidupku dengan sentuhan ajaibNya. Mencipta rindu yang
seringkali meluap. Terutama merindukan malam-malam bodoh kita dulu. Membuatku
sadar, rasa rindu yang membumbung ini bukan rasa rindu biasa. Rasa kecewaku
karena kamu asingkan dalam hidupmu, bukan sekedar rasa kecewa. Hatiku ternyata
berpendapat lain dengan otakku. Seberapa banyak orang yang hilir mudik dalam
hidupku, hanya 1 yang ingin kutemui. Yang sekarang menghindar. Yang sekarang
jauh. Kamu.
Curhat? Bukan! Percakapan? Bukan! Sapa?
Mungkin. Ya! Entahlah, aku selalu menjadi pengecut. Aku selalu berkata ‘tak ada
apa-apa’ antara kamu dan aku. Tapi, aku sendiri, tanpa kusadari, aku menyukaimu
dalam diam. Aku selalu berharap kamu menyapaku lebih dulu. Aku selalu berharap
kamu yang pertama menyambutku jika bel pulang sudah terdengar memekakkan
telinga. Aku selalu berharap kamu tersenyum untukku. Aku selalu berharap kamu
memang untukku. Ya, hanya berharap. Padahal, aku tak pernah menyapamu lebih
dulu. Aku menyambutmu dalam diam, dari jauh pula. Aku tersenyum untukmu juga
dari jauh. Dan ternyata, akulah yang benar-benar jauh.
Peristiwa kecil bernama kebetulan itu selalu
kutandai dalam kalenderku. Terutama sapaan ringanmu. Iya, itu. Yang seringkali
membuatku rindu padamu. Membuatku semakin paham bahwa ini bukan sekedar rasa
suka ketika aku memutar kejadian-kejadian di antara kita dulu. Desir halus
ini.......
Aku sudah tahu bagaimana cinta monyet. Dia hadir ketika aku
menemukan sosok cowok berwajah tampan lewat di depanku. Dan biasanya, itu tak
bertahan lama. Tak mungkin sampai usia lebih dari satu tahun! Dan itu tak
berlaku padamu! Selalu. Jantung ini. Selalu. Otak ini. Selalu. Hati ini.
Membuatku kian mengerti ini rasa cinn.......... bukan bukan. Terlalu dini untuk
usiaku menyebut kata itu. Tapi apa artinya ini? Sejak dulu hingga sekarang, aku
mengharapkan kamu. Bermula dari percakapan ringan nan bodoh. Sampai sekarang
ketika aku sudah sangat jauh darimu. Sampai kamu putus, dekat dengan orang
lain, dan, ah! Aku terlalu penat untuk mengikuti perkembanganmu.
Lagi-lagi rasa nyeri ini hadir. Entah di
bagian hati atau jantungku sendiri. Dari sumber terpercaya, kamu sekarang
tengah mencari seseorang. Entah mencari sosok pengganti mantan kekasihmu
atau........ aku. Tidak! Yang ini jelas tidak mungkin! Kamu pasti telah mencoret
namaku sejak dulu. Sejak kamu sadar bahwa aku mulai sayang padamu. Mungkin.
Ah, ya. Hampir saja aku menyebutkan namamu di
sini. Satu hal yang tidak akan kulakukan dalam dunia maya ini, menyebutkan
namamu dalam blog pribadi. Namamu hanya akan kusebut dalam do’a-do’aku kepada
Sang Ilahi. Ya! Pemilik nama yang mungkin sekarang tengah tidur pulas di tengah
rintiknya hujan yang mengguyur kota. Pemilik nama yang sering kurindukan di
malam-malam aku insomnia. Pemilik nama yang pada hari Kamis menjadi ‘tokoh’ di
lapangan. Yang mampu ber’telepati’ denganku. Yang sempat berinteraksi denganku.
Selamat malam. Sekian dulu surat dariku. Miss you!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar