Hidupku tidak
banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.
Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjutan telah berada di genggaman tangan, meskipun kalau dikilas balik setahun belakangan ini pikiranku jauh dari kata baik-baik saja.
Kamu juga jangan salah sangka bahwa hal itu dikarenakan oleh dia.
Tidak.
Hampir sembilan puluh persen aku tidak memikirkan manusia satu itu. Rangkaian ujian sekolah lebih menyita isi kepalaku daripada dia. Dan berkat stres tingkat dewaku yang tertuang di kamera, justru membawaku satu tingkat lebih dekat pada fotografer yang paling menginspirasiku sampai sekarang: Ewin Setyo.
Tapi soal siang ini yang membuatku ingin lenyap dari dunia ini, tidak usah baca buku apa-apa. Cukup nikmati dan resapi tulisan ini, maka kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan sekarang.
Iya, kamu benar. Perkara manusia itu, gara-gara sahabat sejatiku: Ardhi Wicaksana.
Seandainya aku memiliki kemampuan menghilang, pasti aku telah menggunakannya sekarang. Tidak peduli orang-orang akan kebingungan dan mencariku sampai ujung lapisan bumi—sampai mereka dapat membuktikan apakah bumi ini bulat atau datar, mungkin aku bisa beri penjelasan nanti-nanti. Yang jelas aku tidak ingin ada di sini. Atau kalau aku punya kantong ajaib doraemon, aku pasti memilih pintu ke mana saja untuk membawaku jauh-jauh dari tempat ini.
Pokoknya aku tidak mau bertemu dia.
Bagaimana aku bisa bertatap muka secara baik-baik saja, dengan orang yang sebelumnya berusaha aku musnahkan dari kepala?
“Hai! Masih ada yang perlu ditunggu?” orang itu akhirnya bersuara bagaikan pelangi usai penghujan. Berbanding terbalik denganku yang menganggap kalimat sapanya seperti petir di kala mendung pekat.
Aku tercekat, memejamkan mata sesaat.
Pertama, karena aku merasa dudukku mulai tidak tegak. Kedua, karena aroma parfum itu kembali memenuhi indra penciuman setelah selama ini tidak pernah terendus lagi. Aku menarik napas panjang, terpaksa menyusuri beberapa kenang yang terhimpit dan kini ingin menunjukkan diri. Sementara di sisi hatiku yang lain, ia sudah mengumpat-umpat karena sekali lagi gagal untuk melupa.
Aku menelan ludah, berbisik lirih, memohon supaya saat mataku terbuka, orang itu tidak berada di area penglihatan.
“Woy, Ta! Baya sudah ke sini?” sayangnya suara sember Ardhi membuyarkan semediku. Aku spontan membuka mata, tepat ketika orang yang sedang aku lupakan itu berada di hadapan. Tangannya menggantung di udara, bersiap menjabat. Aku pura-pura tidak melihat tangan itu, hanya senyum tipis entah bermaksud untuk sinis pada dia atau untuk diriku sendiri yang masih sangat tolol belum bisa berdamai dengan perasaan.
“Sudah dalam perjalanan kata Baya tadi,”
“Ditunggu nih? Sudah molor satu jam loh,” Ardhi masih cerewet. Aku mendengus, memutar bola mata. Masih ya, ini bocah bacotnya sebegini parah? “Baya fix ikut, kan?” tanya Ardhi gusar, alih-alih memastikan, padahal aku tahu kesabarannya berada di ambang batas. Sudah kesekian kali ini ia memelototi jam tangan.
“Iya kok. Ikut dia,” sahutku seraya membuka kolom percakapanku dengan Baya. “Baya kan kalau iya ya iya, kalau enggak ya enggak,” lanjutku masih dengan menekuri ponsel untuk menemukan kalimat Baya yang bilang setuju kalau kami akan bersilaturahmi ke rumah guru pembimbing jurnalistik hari ini.
Tapi sebelum menemukan yang kumaksud, tahu-tahu mukaku disodori tangan seseorang. Aku pun mengangkat muka, terkejut sepersekian detik karena ternyata manusia satu itu masih sanggup berdiri tegak di depanku.
“Eh?” lidahku mendadak kelu.
Beberapa saat aku menatap mukanya. Antara memastikan bahwa otakku masih mengenali dia, atau justru lebih tersengat oleh kenangan-kenangan yang secara tidak sopan menyergap tiba-tiba. Sebenarnya aku ingin mengomeli Ardhi karena tidak memberitahuku bahwa orang ini akan ikut, namun kepalaku benar-benar belum bisa diajak berpikir dengan baik.
“Maafin aku ya, Ta?” manusia satu ini pun malah senyum. Aku justru ikut senyum—reaksi yang sama masih terjadi padaku setiap melihat bibirnya yang terkembang.
“Iya. Sama-sama,” kusambut uluran tangannya.
“Maafin ya,”
“Iya. Mohon maaf lahir batin,”
“Aku minta maaf, Ta. Aku punya banyak salah sama kamu,”
“Iya,”
“Aku sering bikin kamu marah. Bete. Mood berantakan..”
“Sam..”
“Ngerepotin kamu, nyalin tugas, minta jawaban pas ulangan...”
“Samurai..”
“Ngusilin kamu sampai dimarahi guru biologi...”
“.....”
“Dorong-dorong meja kamu, nyembunyiin alat tulis kamu, ganggu kamu...”
“Samurai Sastranagara, iya! Iya aku juga minta maaf sama kamu. Sekarang udah deal ya? Kosong-kosong?”
“Iya. Kosong,” orang ini mengulang kalimatku, lantas tersenyum lebih lebar lagi. Aku juga melebarkan senyum, karena entah kenapa, untuk beberapa detik saja ini aku berharap dunia berhenti berderap. Berhenti untuk mengingat bahwa aku berusaha melupa. Bukan untuk berdamai dengan perasaan yang selama ini berkecamuk dalam kepala. Murni, karena aku hanya ingin seperti ini: dia di depanku, dengan sorot mata teduhnya yang menjadi tanda bahwa dia sedang serius ingin membuatku paham yang dia katakan.
Seandainya dia tahu bahwa yang dia mau tidak lagi menjadi yang ingin aku tahu, apakah sorot mata teduh ini tidak bisa aku nikmati lagi?
“Woy, Ta! Pinjem motor, dong! Ini Baya perlu diguyur pakai air,” mendadak Ardhi menowel bahuku, membuat tanganku yang berada dalam genggaman manusia satu itu terlepas. Aku sendiri baru sadar kalau sejak tadi kami bersalaman. “Itu anak pasti bales whatsapp-mu terus tidur lagi,” Ardhi masih mengomel. Aku bengong bego, menontoni Ardhi yang ngedumel sambil memaksaku menyerahkan kunci motor. Sahabatku itu mau ke rumah sahabatku yang satunya lagi—yang mungkin masih “ngebo”.
Ketololan keduaku siang ini adalah baru menyadari bahwa sebaiknya kami beramai-ramai saja ke rumah Baya untuk menghampiri bocah itu, sehingga aku tetap menaiki motorku sendiri dan tidak perlu berada dalam boncengan manusia ini. Karena lima belas menit kemudian Ardhi meneleponku untuk menyuruh kami serombongan langsung menuju rumah guru pertama yang telah kami rencanakan sebelumnya. Ardhi dan Baya menyusul. Aku sempat mengomeli Ardhi soal motor. Sementara Ardhi lebih cerewet lagi padaku, juga kepada Baya yang ternyata memang tidur lagi, sampai abang Ardhi yang meminjam motor Ardhi tanpa bilang hingga sahabatku terpaksa nebeng kawanku yang lain untuk kumpul.
Aku menelan ludah.
Antara Ardhi yang bisa marah padahal masih lebaran, juga waswas karena itu berarti aku harus menumpang motor lain. Dan, hell yea, satu-satunya yang tersisa cuma punya dia.
Ini semesta sengaja mengajariku cara memaafkan atau tidak memberi restu untuk melupakan?
“Jangan bengong dong, Ta. Yuk?” Bapak Amerika senyum, mengulurkan helm milikku.
Aku menarik napas panjang, senyum tipis.
Dan tidak sampai lima menit, aku sudah berada di belakang punggungnya. Menyesap aroma parfum favoritku ini dalam-dalam, siapa tahu bisa kusimpan rapat-rapat untuk aku buka kembali kapan-kapan.
Bagaimana aku tidak ingin lenyap dari dunia ini kalau begini caranya, he?
Oke, kamu harus baca SWORDS dulu biar paham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar