Senin, 08 Juli 2013

Aku, Kamu, dan Kita (1)



Pacitan. Kota kecil yang menjadi saksi bermulanya kisah cintaku denganmu. Saksi bisu dimana kau putus dengan kekasihmu. Kota kecil yang selalu mengingatkanku padamu. Kota kecil yang selalu kurindukan. Kota kecil yang selalu ingin kujamah, hanya untuk mengingat seseorang, kamu. Kota kecil yang membuat orang berdecak kagum dengan keindahan alamnya. Kota kecil yang paling kuingat seumur hidup. Seperti kamu yang selalu kuingat seumur hidup.
                Banyak orang yang memandang remeh kota kecil ini. Padahal, dari Pacitan, terlahir beberapa orang besar pejabat negara. Salah satunya orang nomor 1 di republik ini. Ah, bukan itu yang membuatku terkesan. Bukan itu yang membuatku ingin ke sana. Tapi, memoriku tentangmu yang mendorongku ke sana.
                Hari ini, kujejakkan kakiku di sana. Oksigen memasuki paru – paruku. Sungguh sangat segar. Udara di kota kecil ini, masih alami. Tak seperti di Jakarta ataupun Surabaya yang berudara panas membuat dada sesak.
Alun – alun kota Pacitan masih sama. Masih hijau dengan lapangan basket dan lapangan voli di sisi utara dan selatan. Ditambah beberapa fasilitas rekreasi keluarga seperti ayunan dan perosotan. Aku tertawa kecil tatkala menatap anak kecil yang terlihat girang bermain ayunan.
 Lapangan sepak bola itu menjadi saksi pertemuanku denganmu. Dulu lapangan itu penuh dengan pedagang, sekarang kosong melompong. Ya, tak ada peringatan hari ulang tahun kota, atau peringatan kemerdekaan RI. Tak seperti dulu, waktu aku dan kamu bertemu, tepat hari peringatan ulang tahun kota kecil ini.
                18 Pebruari 2008
            Aku pergi ke sekolah dengan bawaan yang begitu berat. Malam ini, sekolahku memberangkatkan murid – muridnya, termasuk aku untuk study tour. Aku agak kesal karena bukan Jakarta atau Bandung yang kudatangi. Melainkan Pacitan. Kota yang terletak di pinggir pulau jawa. Kota yang menurutku agak tertinggal. Bagaimana tidak? Kota itu dikelilingi gunung. Tentunya, untuk menuju ke sana, jalan berkelok – kelok harus ditempuh. Uh.. perutku mual membayangkan itu.
            Awal perjalanan, semua tampak riang. Berceloteh ini – itu, bernyanyi, membayangkan penginapan nanti, hingga memikirkan oleh – oleh yang akan dibawa pulang esoknya. Semuanya berjalan lancar. Hingga jalan Ponorogo – Pacitan menyumbat mulut kami. Ada yang sibuk menyiapkan tas kresek, ada yang sibuk meminum antimonya, ada yang sibuk dengan minyak anginnya, ada pula yang hanya memegangi perut sambil meringis. Aku salah satunya.
            Berkali – kali aku menolak uluran minyak angin dari teman – temanku. Karena memang akulah satu – satunya penumpang yang tak membawa persiapan jika mabuk. Aku cukup percaya diri untuk tidak membawa itu semua.
            Setelah menahan perut yang serasa diaduk selama kurang lebih 1 setengah jam, rombongan sampai di penginapan. Bali Asri namanya. Agak jauh dari pusat kota. Itu juga merupakan awal kekesalanku. Tak ada toko di sekitar penginapan. Jika ingin membeli sesuatu harus naik becak, atau kalaupun mau, berjalan sekitar 1 km. Uh.. ogah!
            Aku memilih mandi, lalu berbaring. Penat rasanya duduk di atas bus selama lebih dari 8 jam.
            “Makan yuk! Anak – anak udah kumpul sekalian sholat berjamaah,” kata teman sekamarku. Aku tergeragap. Ternyata aku tertidur. Aku segera mencuci muka dan bersiap ke tempat makan. Mungkin karena aku masih mengantuk, jalanku pun belum begitu tegap, aku menabrak seseorang.
            Bruk! Perutku yang masih agak mual membuat kepala seperti berputar – putar.
            “Oh eh.. maaf maaf,” kata orang yang menabrakku eh, orang yang kutabrak. Aku tersenyum lalu memungut barang bawaannya. “Iya nggak papa. Aku yang harusnya minta maaf,” balasku sambil menyerahkan barangnya. Aku mendongak. Memastikan siapa orang di hadapanku ini.
            “Wah.. terima kasih. Aku Indra,” orang yang bernama Indra ini mengulurkan tangan. Duh, ganteng sekali orang ini, aku membatin.
            “Mita,” aku membalas uluran tangannya. Dia pun pamit lalu pergi. Tanpa pikir panjang, aku melangkah menuju tempat makan. Dengan jalan yang tegap dan mata yang tak lagi mengatup.
            Awal pertemuan kita. Sederhana, bukan? Tanpa ada rencana, tanpa ada awalan, tanpa ada persiapan, semua terjadi begitu saja. Membuatku yakin, inilah rencana Tuhan. Bukan sekedar rencana manusia yang cenderung monoton. Tuhan memang punya banyak cara untuk mempertemukan cinta. Dan kita salah satunya.
            19 Pebruari 2008
            Pagi ini, semua rombongan selesai mandi lalu berangkat menuju beberapa tempat wisata yang katanya juga ada situs sejarahnya. Aku pikir museum yang ada di pusat kota. Ternyata aku salah besar! Boro – boro museum! Di pusat kota hanya ada alun – alun dan kantor pemerintah. Aku semakin kesal.
            Kami dibawa menuju goa yang letaknya sangat... suaaangat jauh dari pusat kota. Bahkan kami keluar kecamatan. Jalan yang berkelok – kelok dan menanjak cukup mengaduk perutku. Kembali aku menahan guncangan dengan meringis. Dan lagi – lagi aku menolak minyak angin. Kenapa? Karena bau minyak angin itu sendiri yang membuatku mual.
            Kami sampai. Goa Gong namanya. Aku sedikit terhibur ketika melihat pernak – pernik yang dijajakan. Aku sudah membayangkan akan membeli gelang atau kalung untuk saudara – saudaraku di rumah. Belum selesai aku membayangkan, jalan yang menanjak membuyarkannya. Untuk menuju goa itu sendiri harus ditempuh dengan jalan kaki. Menanjak pula. Jikapun ini bukan tugas sekolah, aku malas mengikutinya.
            Setelah aku dibuat kesal oleh goa, aku segera menuju para pedagang. Bagaimana tidak kesal? Di goanya saja gelap dan jalannya berkelok, naik - turun.
Uhh.. aku keluar goa. Merdeka! Dan sekarang, aku sudah terlibat tawar menawar seru dengan pedagang cindera mata. Akhirnya aku mendapatkannya. Ah, kepenatanku hilang.
            Perjalanan dilanjutkan ke goa selanjutnya. Kali ini Goa Tabuhan namanya. Menuju goa tersebut, tak sebegitu sulit seperti di Goa Gong. Di dalam goa, diadakan semacam penyambutan. Penabuh gamelan lengkap dengan para penari. Ada beberapa bagian goa yang jika ditabuh berbunyi seperti gamelan.
            Di Goa Tabuhan ini, pengikut Pangeran Diponegoro, Sentot Ali Basyah Prawirodirjo bersemedi. Di beberapa sudut goa ada galian, di sana ditemukan beberapa barang prasejarah.
            Setelah diajak berkeliling situs sejarah yang ada kota kecil ini, malamnya kami diarak menuju alun – alun, pusat kota Pacitan. Banyak sekali pedagang yang ada di sini. Tak ketinggalan pula para keluarga juga menyemarakkan suasana. Di sana juga digelar pertunjukan wayang. Penontonnya membludak. Menambah padat lalu lintas malam ini. Dari info yang kudapat, hari ini adalah hari ulang tahun kota Pacitan.
            Kulihat Indra, orang yang kutabrak kemarin memimpin rombongan. Aku sedikit terkejut. Ternyata dia adalah salah satu panitia. Ah, bodoh sekali aku. Mengapa aku bisa tak tahu?
            Kami dilepas bebas menuju stand mana saja. Ke pameran yang kami suka. Aku dan teman – teman mengunjungi pedagang hamster. Kekesalanku tadi, sedikit terobati di sana. Hamster yang lucu – lucu cukup menghiburku. Sayangnya, tak mungkin aku membeli. Bisa – bisa, dia menggerogoti barang bawaanku jika kutinggal.
            Hampir tengah malam. Kata orang – orang, kembang api sebentar lagi akan dinyalakan. Mereka berbondong – bondong ingin menyaksikan kembang api. Aku tak ingin  ketinggalan ikut berbondong – bondong bersama mereka. Lagi – lagi aku bodoh! Aku malah terpisah dari teman – temanku. Uh... sial! Kemana mereka? Aku tadi lihat apa sih? Kok sampai tak tahu jika terpisah dengan mereka? Aku merutuki diriku sendiri. Jalan mondar mandir mirip setrika, tak membuahkan hasil. Aku tetap tak menemukan mereka. Akhirnya aku terduduk di belakang stand.
            “Lhoh.. Mbak Mita, kan? Kok sendirian mbak?” tiba – tiba Indra di belakangku. Aku agak terkejut.
            “Iya tadi waktu lihat pameran, saya terpisah dengan teman – teman,” jawabku. Batinku bersorak riang. Malam – malam begini, ada orang ganteng menghampiri. Tiba – tiba, dari belakang ada seorang perempuan yang cantik menghampiri kami.
            “Oh iya Mbak. Kenalin, ini Firda,” kata Indra memperkenalkan. Perempuan bernama Firda itu mengulurkan tangan.
            “Mita,” aku membalas uluran tangannya.
            “Firda,” halus sekali tutur bicaranya. “Pacarnya?” aku bertanya pada Indra. Kulihat dia malu – malu mengangguk. Batinku tak lagi bersorak. Malah makin kesal. Yah, ternyata cowok ganteng ini punya pacar.
            “Eh, Mbak kesana yuk! Kembang apinya mau dinyalain,” ajak Indra. Aku mulai malas – malasan. Uhh... kenapa harus udah punya pacar sih?
            Inilah awal kekesalanku padamu. Entah mengapa, aku merasa kecewa. Aku juga merasa bodoh. Aku dan kamu baru bertemu sekali. Itupun tak genap 24 jam aku dan kamu  bertatap muka atau ngobrol. Ini aneh. Ini rumit. Ini konyol. Aku yang saat itu memang belum begitu paham dengan apa yang kurasa, menganggap hal itu biasa. Menganggap hal itu sepele. Sekarang? Sudah pasti, ingin memutar waktu, kembali ke masa itu, tanpa tahu apa yang mesti kuperbuat.
            20 Pebruari 2008
            Hari terakhirku di kota Pacitan. Perjalanan panjang menghantui kami. Aku berat sekali meninggalkan kota ini. Karena mual membayangkan perjalanan, atau karena tak ingin berpisah Indra? Yang jelas, aku pilih keduanya. Haha.. rakus sekali ya?
            Kali ini, tempat wisata yang aku tuju. Pantai Teleng Ria. Temanku Banyak yang bermain di pinggir pantai sambil sesekali menyambut ombak. Aku diam mengamati mereka. Aku teringat pesan ibuku untuk hati – hati pada laut Pacitan. Konon katanya, di sana ada pusaran air yang banyak menelan korban. Makanya, aku memilih duduk di atas pasir pantai yang mulai hangat tertimpa sinar matahari.
            Kunikmati angin sepoi – sepoi yang menyibakkan rambutku. Membayangkan jika di sini aku bersama pacar atau orang terkasih. Pasti lebih asyik. Lagi – lagi pikiranku tak jelas. Tak jelas karena aku membayangkan orang itu adalah Indra.
            “Mbak Mita nggak main air?” Indra menyapaku dan duduk di sampingku.
            “Enggak. Takut,” jawabku. Batinku bersorak, baru saja berpikir, Tuhan sudah mengirimkan Indra menemaniku.
“Nggak papa lo, Mbak. Takut kenapa?” aku tersenyum kecut. Tak mungkin aku menceritakan kata orang yang menurutku masih simpang siur. Indra bangkit. Duh, belum sampai 5 menit, kok dia sudah mau melesat. Payah payah. Apa karena aku hanya senyum tadi ya? Jadi, dia pikir aku sombong atau semacamnya.
“Mau kemana?” kuberanikan diri bertanya.
“Ke sana. Mau ikut? Saya pegangin deh,” tawar Indra sambil menunjuk ke arah teman – temanku bermain. Pegangin? Apa aku tak salah dengar? “Pegang gimana?” tanyaku pura – pura tak mengerti.
“Katanya tadi takut. Ya udah saya pegangin, biar Mbak Mita nggak takut,” serasa melayang tubuhku. Aduh, baik banget nih orang.
Indra mengulurkan tangan tepat di wajahku. Aku memastikan diri. Kulihat wajahnya, dan dia mengangguk. Aku bangkit meraih tangannya. Diam – diam kucerna pesan Ibu. ‘Hati - hati’ bukan tak boleh. Ah, ya! Dan aku melangkah pasti di samping Indra.
Ombak menggelitik jari – jari kakiku lembut. Seolah ingin membuatku terkesan akan laut. Membuatku tak takut dengan laut. Untuk soal itu, entah ombak apa Indra aku tak tahu. Indra memegangi tanganku. Mengajakku menyambut ombak. Dan berlari menggandeng tanganku jika ombak besar menghampiri. Sejauh ini aku senang.
Kurang lebih setengah jam aku bersenang – senang dengan Indra, cowok ganteng itu dihampiri kekasihnya, Firda. Indra segera melepas pegangannya, dan berjalan menuju sang kekasih yang menantinya di rumah – rumahan kecil pinggir pantai. Aku mendesah. Aku kesal. Ngapain sih, itu mak lampir ke sini? Weittss.. iya ya itu pacarnya.
Aku mengucap selamat tinggal pada ombak. Kemudian cuci kaki, dan menunggu teman – teman di dekat bus. Tak lupa aku mengamati Indra dan kekasihnya. Kulihat mereka sedang adu mulut. Aku berpikir jika mereka akhirnya putus dan tentunya aku akan senang. Hahaha.. jahat sekali aku. Ah, lupakan! Aku memutuskan untuk sekedar ngobrol pada panita yang berada tak jauh di dekatku.
Sebentar lagi, bus akan berangkat ke kediaman Presiden RI ke 6 yang katanya tak begitu jauh dari pantai. Pikiranku kembali melayang. Bagaimana ya bentuk rumahnya? Pasti mewah. Tingkat berapa ya? Sungguh penasaran. Wah, aku sudah tak sabar.
Bus diparkir di pinggir jalan. Karena memang bus atau truk tak boleh masuk. Kulangkahkan kaki di pelataran sebuah rumah. Ah, bukan bukan. Ini pelataran dari beberapa rumah yang mengelilinginya. Aku celingukan. Mana rumah Pak SBY? Mana rumah mewahnya? Apakah hanya bayangan? Apakah hanya mimpi?
Kami turun dari bus. Ulala.. ternyata aku salah. Rumah Pak SBY jauh dari kata mewah. Sangat sangat sederhana. Bentuk rumahnya joglo. Dan, di dalamnya tak ada lagi perabot rumah, melainkan, foto – foto Pak SBY dari masa ke masa. Hmm.. sepertinya rumah ini nyaman.
Di salah satu sudut, ada ruangan yang ternyata, itu adalah kamar presiden asal kota kecil ini. Seketika aku ingat, dimana Indra? Dia menghilang sejak dari pantai tadi. Lebih tepatnya, sejak dia dihampiri Firda. Aku sendiri, tak menuntaskan pengamatanku tentang adu mulut mereka, karena bus akan segera berangkat. Ada apa dengan Indra? Hatiku tak henti – henti bertanya pada foto – foto pak SBY yang terpajang di tembok. Ah, bodoh! Mana tahu foto itu tentang Indra?
Aku bingung. Mengapa aku resah saat kau tak ada? Mengapa aku bertanya saat kau tanpa kabar? Mengapa aku gelisah saat kau menghilang? Semua pertanyaanku hanya terbatas pada khayalanku. Terbatas pada pikiranku. Tak ada yang menjawab semua pertanyaanku. Tak ada jawaban. Nihil. Kosong. Tak berbekas. Ah, seandainya kau tau bagaimana perasaanku saat itu. Mungkin kau akan tertawa atau menjawab pertanyaanku dengan jujur dan santun. Duh, Indra! Bisakah kau pergi sejenak dari pikiranku? Apa kau suka dengan perasaanku yang tak menentu saat itu? Kau memainkan perasaanku tanpa sadar. Kau membuatku bingung tanpa kau tahu. Apakah kau suka itu?
Lepas Dhuhur aku akan kembali ke kota asal. Tapi tetap saja, pikiranku melayang pada Indra! Cowok baik – baik yang kutemukan di kota kecil ini. Eh, cowok ganteng ding. Haha..
Adzan Dhuhur membuyarkan lamunanku. Aku beranjak mengambil alat sholat dan berwudhu. Tanpa sengaja, aku melihat Indra. Dia menaiki motor dan sepertinya mengangkut semacam barang yang dimasukkan tas plastik jumbo. Apa ya? Apa Firda dibunuh dan mayatnya ditaruh dalam plastik itu? Aduduh... bodoh sekali sih aku ini. Segera kuenyahkan pikiran anehku dan memasuki mushola untuk sholat berjamaah.
Selesai sholat, kami, peserta study tour dikumpulkan. Kami diberi semacam kenang – kenangan dari Pacitan. Untuk perempuan, diberi gelang dari marmer seperti yang kulihat di Goa Gong dan Goa Tabuhan, sedangkan yang laki – laki diberi cincin batu akik. Oh iya, Pacitan ini termasuk penghasil akik. Dan baru kutahu ternyata tas plastik Indra berisi barang – barang itu. Aku terkikik geli karena pikiran tak beresku.
Kami bersalaman dengan panitia study tour. Termasuk Indra. Dia juga menyalamiku. Kami berdua sama – sama tersenyum. Ah, senyum Indra manis sekali. Hahaha.. beruntung sekali Firda memilikinya. Seandainya aku jadi Firda, bagaimana perasaanku? Senang? Bahagia? Pasti!
            Ketika aku menaiki bus, tanganku ada yang menarik. Ah, sialan! Siapa sih yang narik tangan orang sembarangan? Nggak tahu orang lagi asyik ngelamun apa? Dan seketika umpatanku berhenti tatkala berbalik yang kudapati adalah senyum Indra.
            “Eh, sorry mbak. Ini, saya mau kasih gelang. Hehe..” aku terlongo. Oh iya ya.. kenapa aku tak sadar jika belum diberi cindera mata itu? Lamunan menerbangkanku ke dunia fantasi tanpa batas. Dimana hanya aku yang mengaturnya tanpa bantuan skenario Tuhan.
            “Oh.. makasih,” hanya itu kata – kata yang keluar. Waduh... ini pasti Indra nganggep aku sombong atau semacamnya nih. Gawat gawat! Ayolah otak, berpikir cepat! Untuk mengulur waktu kepulangan eh mengulur waktu biar lama - lama sama Indra. “Ehmm.. pacar kamu mana?” payah! Bodoh! Kenapa topik yang keluar dari mulutku malah si kuntilanak? Eh, tapi kok, Indra malah menunduk?
            “Saya putus, Mbak,” deg! Diar! Rasanya kayak disambar geledek. Putus? Aku tak salah dengar, kan? “Oh, maaf,” kataku berbasa basi. Ya, harusnya aku bersorak hore! Atau yes! Hahaha..
            “Ya sudah kalau begitu. Selamat jalan, Mbak. Semoga selamat sampai tujuan,” Indra mengakhiri pembicaraan. Dalam hati aku kecewa. Itu tandanya, pertemuanku dengan cowok ganteng satu ini berakhir. Balasanku hanya tersenyum lalu mengangguk. Melangkahkan kaki ke dalam bus dengan perasaan aneh. Senang, sedih.
            “Eh, kamu dapat gelang kayak gitu darimana?” tiba – tiba sampingku bertanya. “Dari panitia dong. Bukannya kamu juga dapet?” tanyaku heran.
            “Dari panitia? Tapi, yang dari panitia warnanya hitam lo, Mit,” aku terdiam. Mengamati gelang yang kini melingkar di tanganku. Warna putih dipadu warna putih tulang, dan sedikit kombinasi warna cokelat. Sedangkan punya teman – temanku warna hitam dengan kombinasi warna kuning. Semua!
            “Wah, bagus, Mit. Pinjem dong,” aku melepas gelangku dan teman – teman mulai berebut. Aku bingung. Kenapa Indra memberiku gelang yang berbeda? Haruskah aku senang? Perasaan anehku terus memuncak.
            “I, en, de, er, a. Indra? Indra siapa, Mit?” temanku yang satu bertanya. Aku gugup. Wah, jangan – jangan dia tahu kalau aku tertarik sama Indra?
“Indra? Apa?” tanyaku sok tak tahu. “Lha ini, tulisannya kok, Indra?” tanyanya balik sambil mengacung – acungkan gelangku. Segara kusambar gelang itu. Dan ternyata, bagian gelang itu tertulis jelas, INDRA!
Bus mulai berjalan. Meninggalkan kota Pacitan. Meninggalkan Indra. Meninggalkan semua kenangan yang ada di sana. Tapi tenang saja. Aku tak akan melupakannya. Kenangan – kenangan itu tetap kubawa hingga mereka sendiri lupa padaku. Selamat tinggal. Aku tersenyum. Mendekap erat gelang dari Indra.
Ndra, seandainya kau tahu saat aku mendekap erat gelang pemberianmu, apa kau akan tersenyum? Seandainya kau tahu gelang itu masih melingkar di tanganku hingga sekarang, apa yang kau lakukan?
Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini