Pacitan. Kota kecil yang menjadi saksi bermulanya kisah cintaku
denganmu. Saksi bisu dimana kau putus dengan kekasihmu. Kota kecil yang selalu
mengingatkanku padamu. Kota kecil yang selalu kurindukan. Kota kecil yang
selalu ingin kujamah, hanya untuk mengingat seseorang, kamu. Kota kecil yang
membuat orang berdecak kagum dengan keindahan alamnya. Kota kecil yang paling
kuingat seumur hidup. Seperti kamu yang selalu kuingat seumur hidup.
Banyak orang yang memandang
remeh kota kecil ini. Padahal, dari Pacitan, terlahir beberapa orang besar
pejabat negara. Salah satunya orang nomor 1 di republik ini. Ah, bukan itu yang
membuatku terkesan. Bukan itu yang membuatku ingin ke sana. Tapi, memoriku tentangmu
yang mendorongku ke sana.
Hari ini, kujejakkan kakiku di
sana. Oksigen memasuki paru – paruku. Sungguh sangat segar. Udara di kota kecil
ini, masih alami. Tak seperti di Jakarta ataupun Surabaya yang berudara panas
membuat dada sesak.
Alun – alun kota Pacitan masih sama. Masih hijau dengan lapangan
basket dan lapangan voli di sisi utara dan selatan. Ditambah beberapa fasilitas
rekreasi keluarga seperti ayunan dan perosotan. Aku tertawa kecil tatkala
menatap anak kecil yang terlihat girang bermain ayunan.
Lapangan sepak bola itu menjadi
saksi pertemuanku denganmu. Dulu lapangan itu penuh dengan pedagang, sekarang
kosong melompong. Ya, tak ada peringatan hari ulang tahun kota, atau peringatan
kemerdekaan RI. Tak seperti dulu, waktu aku dan kamu bertemu, tepat hari
peringatan ulang tahun kota kecil ini.
18 Pebruari 2008
Aku pergi ke
sekolah dengan bawaan yang begitu berat. Malam ini, sekolahku memberangkatkan
murid – muridnya, termasuk aku untuk study tour. Aku agak kesal karena
bukan Jakarta atau Bandung yang kudatangi. Melainkan Pacitan. Kota yang
terletak di pinggir pulau jawa. Kota yang menurutku agak tertinggal. Bagaimana
tidak? Kota itu dikelilingi gunung. Tentunya, untuk menuju ke sana, jalan
berkelok – kelok harus ditempuh. Uh.. perutku mual membayangkan itu.
Awal perjalanan,
semua tampak riang. Berceloteh ini – itu, bernyanyi, membayangkan penginapan
nanti, hingga memikirkan oleh – oleh yang akan dibawa pulang esoknya. Semuanya
berjalan lancar. Hingga jalan Ponorogo – Pacitan menyumbat mulut kami. Ada yang
sibuk menyiapkan tas kresek, ada yang sibuk meminum antimonya, ada yang sibuk
dengan minyak anginnya, ada pula yang hanya memegangi perut sambil meringis.
Aku salah satunya.
Berkali – kali aku
menolak uluran minyak angin dari teman – temanku. Karena memang akulah satu –
satunya penumpang yang tak membawa persiapan jika mabuk. Aku cukup percaya diri
untuk tidak membawa itu semua.
Setelah menahan
perut yang serasa diaduk selama kurang lebih 1 setengah jam, rombongan sampai
di penginapan. Bali Asri namanya. Agak jauh dari pusat kota. Itu juga merupakan
awal kekesalanku. Tak ada toko di sekitar penginapan. Jika ingin membeli
sesuatu harus naik becak, atau kalaupun mau, berjalan sekitar 1 km. Uh.. ogah!
Aku memilih mandi,
lalu berbaring. Penat rasanya duduk di atas bus selama lebih dari 8 jam.
“Makan yuk! Anak –
anak udah kumpul sekalian sholat berjamaah,” kata teman sekamarku. Aku
tergeragap. Ternyata aku tertidur. Aku segera mencuci muka dan bersiap ke
tempat makan. Mungkin karena aku masih mengantuk, jalanku pun belum begitu
tegap, aku menabrak seseorang.
Bruk! Perutku yang
masih agak mual membuat kepala seperti berputar – putar.
“Oh eh.. maaf
maaf,” kata orang yang menabrakku eh, orang yang kutabrak. Aku tersenyum lalu
memungut barang bawaannya. “Iya nggak papa. Aku yang harusnya minta maaf,”
balasku sambil menyerahkan barangnya. Aku mendongak. Memastikan siapa orang di
hadapanku ini.
“Wah.. terima
kasih. Aku Indra,” orang yang bernama Indra ini mengulurkan tangan. Duh,
ganteng sekali orang ini, aku membatin.
“Mita,” aku membalas
uluran tangannya. Dia pun pamit lalu pergi. Tanpa pikir panjang, aku melangkah
menuju tempat makan. Dengan jalan yang tegap dan mata yang tak lagi mengatup.
Awal
pertemuan kita. Sederhana, bukan? Tanpa ada rencana, tanpa ada awalan, tanpa
ada persiapan, semua terjadi begitu saja. Membuatku yakin, inilah rencana
Tuhan. Bukan sekedar rencana manusia yang cenderung monoton. Tuhan memang punya
banyak cara untuk mempertemukan cinta. Dan kita salah satunya.
19 Pebruari 2008
Pagi ini, semua
rombongan selesai mandi lalu berangkat menuju beberapa tempat wisata yang
katanya juga ada situs sejarahnya. Aku pikir museum yang ada di pusat kota.
Ternyata aku salah besar! Boro – boro museum! Di pusat kota hanya ada alun –
alun dan kantor pemerintah. Aku semakin kesal.
Kami dibawa menuju
goa yang letaknya sangat... suaaangat jauh dari pusat kota. Bahkan kami keluar
kecamatan. Jalan yang berkelok – kelok dan menanjak cukup mengaduk perutku.
Kembali aku menahan guncangan dengan meringis. Dan lagi – lagi aku menolak
minyak angin. Kenapa? Karena bau minyak angin itu sendiri yang membuatku mual.
Kami sampai. Goa
Gong namanya. Aku sedikit terhibur ketika melihat pernak – pernik yang
dijajakan. Aku sudah membayangkan akan membeli gelang atau kalung untuk saudara
– saudaraku di rumah. Belum selesai aku membayangkan, jalan yang menanjak
membuyarkannya. Untuk menuju goa itu sendiri harus ditempuh dengan jalan kaki.
Menanjak pula. Jikapun ini bukan tugas sekolah, aku malas mengikutinya.
Setelah aku dibuat
kesal oleh goa, aku segera menuju para pedagang. Bagaimana tidak kesal? Di
goanya saja gelap dan jalannya berkelok, naik - turun.
Uhh.. aku keluar goa. Merdeka! Dan sekarang, aku sudah terlibat
tawar menawar seru dengan pedagang cindera mata. Akhirnya aku mendapatkannya.
Ah, kepenatanku hilang.
Perjalanan
dilanjutkan ke goa selanjutnya. Kali ini Goa Tabuhan namanya. Menuju goa
tersebut, tak sebegitu sulit seperti di Goa Gong. Di dalam goa, diadakan
semacam penyambutan. Penabuh gamelan lengkap dengan para penari. Ada beberapa
bagian goa yang jika ditabuh berbunyi seperti gamelan.
Di Goa Tabuhan
ini, pengikut Pangeran Diponegoro, Sentot Ali Basyah Prawirodirjo bersemedi. Di
beberapa sudut goa ada galian, di sana ditemukan beberapa barang prasejarah.
Setelah diajak
berkeliling situs sejarah yang ada kota kecil ini, malamnya kami diarak menuju
alun – alun, pusat kota Pacitan. Banyak sekali pedagang yang ada di sini. Tak
ketinggalan pula para keluarga juga menyemarakkan suasana. Di sana juga digelar
pertunjukan wayang. Penontonnya membludak. Menambah padat lalu lintas
malam ini. Dari info yang kudapat, hari ini adalah hari ulang tahun kota
Pacitan.
Kulihat Indra,
orang yang kutabrak kemarin memimpin rombongan. Aku sedikit terkejut. Ternyata
dia adalah salah satu panitia. Ah, bodoh sekali aku. Mengapa aku bisa tak tahu?
Kami dilepas bebas
menuju stand mana saja. Ke pameran yang kami suka. Aku dan teman – teman
mengunjungi pedagang hamster. Kekesalanku tadi, sedikit terobati di sana.
Hamster yang lucu – lucu cukup menghiburku. Sayangnya, tak mungkin aku membeli.
Bisa – bisa, dia menggerogoti barang bawaanku jika kutinggal.
Hampir tengah
malam. Kata orang – orang, kembang api sebentar lagi akan dinyalakan. Mereka
berbondong – bondong ingin menyaksikan kembang api. Aku tak ingin ketinggalan ikut berbondong – bondong bersama
mereka. Lagi – lagi aku bodoh! Aku malah terpisah dari teman – temanku. Uh...
sial! Kemana mereka? Aku tadi lihat apa sih? Kok sampai tak tahu jika terpisah
dengan mereka? Aku merutuki diriku sendiri. Jalan mondar mandir mirip setrika,
tak membuahkan hasil. Aku tetap tak menemukan mereka. Akhirnya aku terduduk di
belakang stand.
“Lhoh.. Mbak Mita,
kan? Kok sendirian mbak?” tiba – tiba Indra di belakangku. Aku agak terkejut.
“Iya tadi waktu
lihat pameran, saya terpisah dengan teman – teman,” jawabku. Batinku bersorak
riang. Malam – malam begini, ada orang ganteng menghampiri. Tiba – tiba, dari
belakang ada seorang perempuan yang cantik menghampiri kami.
“Oh iya Mbak.
Kenalin, ini Firda,” kata Indra memperkenalkan. Perempuan bernama Firda itu
mengulurkan tangan.
“Mita,” aku
membalas uluran tangannya.
“Firda,” halus
sekali tutur bicaranya. “Pacarnya?” aku bertanya pada Indra. Kulihat dia malu –
malu mengangguk. Batinku tak lagi bersorak. Malah makin kesal. Yah, ternyata
cowok ganteng ini punya pacar.
“Eh, Mbak kesana
yuk! Kembang apinya mau dinyalain,” ajak Indra. Aku mulai malas – malasan.
Uhh... kenapa harus udah punya pacar sih?
Inilah
awal kekesalanku padamu. Entah mengapa, aku merasa kecewa. Aku juga merasa bodoh.
Aku dan kamu baru bertemu sekali. Itupun tak genap 24 jam aku dan kamu bertatap muka atau ngobrol. Ini
aneh. Ini rumit. Ini konyol. Aku yang saat itu memang belum begitu paham dengan
apa yang kurasa, menganggap hal itu biasa. Menganggap hal itu sepele. Sekarang?
Sudah pasti, ingin memutar waktu, kembali ke masa itu, tanpa tahu apa yang
mesti kuperbuat.
20 Pebruari 2008
Hari terakhirku di
kota Pacitan. Perjalanan panjang menghantui kami. Aku berat sekali meninggalkan
kota ini. Karena mual membayangkan perjalanan, atau karena tak ingin berpisah
Indra? Yang jelas, aku pilih keduanya. Haha.. rakus sekali ya?
Kali ini, tempat
wisata yang aku tuju. Pantai Teleng Ria. Temanku Banyak yang bermain di pinggir
pantai sambil sesekali menyambut ombak. Aku diam mengamati mereka. Aku teringat
pesan ibuku untuk hati – hati pada laut Pacitan. Konon katanya, di sana ada pusaran
air yang banyak menelan korban. Makanya, aku memilih duduk di atas pasir pantai
yang mulai hangat tertimpa sinar matahari.
Kunikmati angin
sepoi – sepoi yang menyibakkan rambutku. Membayangkan jika di sini aku bersama
pacar atau orang terkasih. Pasti lebih asyik. Lagi – lagi pikiranku tak jelas.
Tak jelas karena aku membayangkan orang itu adalah Indra.
“Mbak Mita nggak
main air?” Indra menyapaku dan duduk di sampingku.
“Enggak. Takut,”
jawabku. Batinku bersorak, baru saja berpikir, Tuhan sudah mengirimkan Indra
menemaniku.
“Nggak papa lo, Mbak. Takut kenapa?” aku tersenyum kecut. Tak
mungkin aku menceritakan kata orang yang menurutku masih simpang siur. Indra
bangkit. Duh, belum sampai 5 menit, kok dia sudah mau melesat. Payah payah. Apa
karena aku hanya senyum tadi ya? Jadi, dia pikir aku sombong atau semacamnya.
“Mau kemana?” kuberanikan diri bertanya.
“Ke sana. Mau ikut? Saya pegangin deh,” tawar Indra sambil menunjuk
ke arah teman – temanku bermain. Pegangin? Apa aku tak salah dengar? “Pegang
gimana?” tanyaku pura – pura tak mengerti.
“Katanya tadi takut. Ya udah saya pegangin, biar Mbak Mita nggak
takut,” serasa melayang tubuhku. Aduh, baik banget nih orang.
Indra mengulurkan tangan tepat di wajahku. Aku memastikan diri.
Kulihat wajahnya, dan dia mengangguk. Aku bangkit meraih tangannya. Diam – diam
kucerna pesan Ibu. ‘Hati - hati’ bukan tak boleh. Ah, ya! Dan aku melangkah
pasti di samping Indra.
Ombak menggelitik jari – jari kakiku lembut. Seolah ingin membuatku
terkesan akan laut. Membuatku tak takut dengan laut. Untuk soal itu, entah
ombak apa Indra aku tak tahu. Indra memegangi tanganku. Mengajakku menyambut
ombak. Dan berlari menggandeng tanganku jika ombak besar menghampiri. Sejauh
ini aku senang.
Kurang lebih setengah jam aku bersenang – senang dengan Indra,
cowok ganteng itu dihampiri kekasihnya, Firda. Indra segera melepas
pegangannya, dan berjalan menuju sang kekasih yang menantinya di rumah – rumahan
kecil pinggir pantai. Aku mendesah. Aku kesal. Ngapain sih, itu mak lampir ke
sini? Weittss.. iya ya itu pacarnya.
Aku mengucap selamat tinggal pada ombak. Kemudian cuci kaki, dan
menunggu teman – teman di dekat bus. Tak lupa aku mengamati Indra dan
kekasihnya. Kulihat mereka sedang adu mulut. Aku berpikir jika mereka akhirnya
putus dan tentunya aku akan senang. Hahaha.. jahat sekali aku. Ah, lupakan! Aku
memutuskan untuk sekedar ngobrol pada panita yang berada tak jauh di dekatku.
Sebentar lagi, bus akan berangkat ke kediaman Presiden RI ke 6 yang
katanya tak begitu jauh dari pantai. Pikiranku kembali melayang. Bagaimana ya
bentuk rumahnya? Pasti mewah. Tingkat berapa ya? Sungguh penasaran. Wah, aku
sudah tak sabar.
Bus diparkir di pinggir jalan. Karena memang bus atau truk tak
boleh masuk. Kulangkahkan kaki di pelataran sebuah rumah. Ah, bukan bukan. Ini
pelataran dari beberapa rumah yang mengelilinginya. Aku celingukan. Mana rumah
Pak SBY? Mana rumah mewahnya? Apakah hanya bayangan? Apakah hanya mimpi?
Kami turun dari bus. Ulala.. ternyata aku salah. Rumah Pak SBY jauh
dari kata mewah. Sangat sangat sederhana. Bentuk rumahnya joglo. Dan, di
dalamnya tak ada lagi perabot rumah, melainkan, foto – foto Pak SBY dari masa ke
masa. Hmm.. sepertinya rumah ini nyaman.
Di salah satu sudut, ada ruangan yang ternyata, itu adalah kamar
presiden asal kota kecil ini. Seketika aku ingat, dimana Indra? Dia menghilang
sejak dari pantai tadi. Lebih tepatnya, sejak dia dihampiri Firda. Aku sendiri,
tak menuntaskan pengamatanku tentang adu mulut mereka, karena bus akan segera
berangkat. Ada apa dengan Indra? Hatiku tak henti – henti bertanya pada foto –
foto pak SBY yang terpajang di tembok. Ah, bodoh! Mana tahu foto itu tentang
Indra?
Aku
bingung. Mengapa aku resah saat kau tak ada? Mengapa aku bertanya saat kau
tanpa kabar? Mengapa aku gelisah saat kau menghilang? Semua pertanyaanku hanya
terbatas pada khayalanku. Terbatas pada pikiranku. Tak ada yang menjawab semua
pertanyaanku. Tak ada jawaban. Nihil. Kosong. Tak berbekas. Ah, seandainya kau
tau bagaimana perasaanku saat itu. Mungkin kau akan tertawa atau menjawab
pertanyaanku dengan jujur dan santun. Duh, Indra! Bisakah kau pergi sejenak
dari pikiranku? Apa kau suka dengan perasaanku yang tak menentu saat itu? Kau
memainkan perasaanku tanpa sadar. Kau membuatku bingung tanpa kau tahu. Apakah
kau suka itu?
Lepas Dhuhur aku akan kembali ke kota asal. Tapi tetap saja,
pikiranku melayang pada Indra! Cowok baik – baik yang kutemukan di kota kecil
ini. Eh, cowok ganteng ding. Haha..
Adzan Dhuhur membuyarkan lamunanku. Aku beranjak mengambil alat
sholat dan berwudhu. Tanpa sengaja, aku melihat Indra. Dia menaiki motor dan
sepertinya mengangkut semacam barang yang dimasukkan tas plastik jumbo. Apa ya?
Apa Firda dibunuh dan mayatnya ditaruh dalam plastik itu? Aduduh... bodoh
sekali sih aku ini. Segera kuenyahkan pikiran anehku dan memasuki mushola untuk
sholat berjamaah.
Selesai sholat, kami, peserta study tour dikumpulkan. Kami
diberi semacam kenang – kenangan dari Pacitan. Untuk perempuan, diberi gelang
dari marmer seperti yang kulihat di Goa Gong dan Goa Tabuhan, sedangkan yang
laki – laki diberi cincin batu akik. Oh iya, Pacitan ini termasuk penghasil
akik. Dan baru kutahu ternyata tas plastik Indra berisi barang – barang itu.
Aku terkikik geli karena pikiran tak beresku.
Kami bersalaman dengan panitia study tour. Termasuk Indra.
Dia juga menyalamiku. Kami berdua sama – sama tersenyum. Ah, senyum Indra manis
sekali. Hahaha.. beruntung sekali Firda memilikinya. Seandainya aku jadi Firda,
bagaimana perasaanku? Senang? Bahagia? Pasti!
Ketika aku menaiki
bus, tanganku ada yang menarik. Ah, sialan! Siapa sih yang narik tangan orang
sembarangan? Nggak tahu orang lagi asyik ngelamun apa? Dan seketika umpatanku
berhenti tatkala berbalik yang kudapati adalah senyum Indra.
“Eh, sorry mbak.
Ini, saya mau kasih gelang. Hehe..” aku terlongo. Oh iya ya.. kenapa aku tak
sadar jika belum diberi cindera mata itu? Lamunan menerbangkanku ke dunia
fantasi tanpa batas. Dimana hanya aku yang mengaturnya tanpa bantuan skenario
Tuhan.
“Oh.. makasih,”
hanya itu kata – kata yang keluar. Waduh... ini pasti Indra nganggep aku
sombong atau semacamnya nih. Gawat gawat! Ayolah otak, berpikir cepat! Untuk
mengulur waktu kepulangan eh mengulur waktu biar lama - lama sama Indra.
“Ehmm.. pacar kamu mana?” payah! Bodoh! Kenapa topik yang keluar dari mulutku
malah si kuntilanak? Eh, tapi kok, Indra malah menunduk?
“Saya putus,
Mbak,” deg! Diar! Rasanya kayak disambar geledek. Putus? Aku tak salah dengar,
kan? “Oh, maaf,” kataku berbasa basi. Ya, harusnya aku bersorak hore! Atau yes!
Hahaha..
“Ya sudah kalau
begitu. Selamat jalan, Mbak. Semoga selamat sampai tujuan,” Indra mengakhiri
pembicaraan. Dalam hati aku kecewa. Itu tandanya, pertemuanku dengan cowok
ganteng satu ini berakhir. Balasanku hanya tersenyum lalu mengangguk.
Melangkahkan kaki ke dalam bus dengan perasaan aneh. Senang, sedih.
“Eh, kamu dapat
gelang kayak gitu darimana?” tiba – tiba sampingku bertanya. “Dari panitia
dong. Bukannya kamu juga dapet?” tanyaku heran.
“Dari panitia?
Tapi, yang dari panitia warnanya hitam lo, Mit,” aku terdiam. Mengamati gelang
yang kini melingkar di tanganku. Warna putih dipadu warna putih tulang, dan
sedikit kombinasi warna cokelat. Sedangkan punya teman – temanku warna hitam
dengan kombinasi warna kuning. Semua!
“Wah, bagus, Mit.
Pinjem dong,” aku melepas gelangku dan teman – teman mulai berebut. Aku
bingung. Kenapa Indra memberiku gelang yang berbeda? Haruskah aku senang?
Perasaan anehku terus memuncak.
“I, en, de, er, a.
Indra? Indra siapa, Mit?” temanku yang satu bertanya. Aku gugup. Wah, jangan –
jangan dia tahu kalau aku tertarik sama Indra?
“Indra? Apa?” tanyaku sok tak tahu. “Lha ini, tulisannya kok,
Indra?” tanyanya balik sambil mengacung – acungkan gelangku. Segara kusambar
gelang itu. Dan ternyata, bagian gelang itu tertulis jelas, INDRA!
Bus mulai berjalan. Meninggalkan kota Pacitan. Meninggalkan Indra.
Meninggalkan semua kenangan yang ada di sana. Tapi tenang saja. Aku tak akan
melupakannya. Kenangan – kenangan itu tetap kubawa hingga mereka sendiri lupa
padaku. Selamat tinggal. Aku tersenyum. Mendekap erat gelang dari Indra.
Ndra,
seandainya kau tahu saat aku mendekap erat gelang pemberianmu, apa kau akan
tersenyum? Seandainya kau tahu gelang itu masih melingkar di tanganku hingga
sekarang, apa yang kau lakukan?
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar