Rabu, 31 Juli 2013

Surat dari Malaikat Kecilmu :')



Bapak, Ibu, maafkan aku. Aku yang pernah membuatmu marah sekaligus kesal. Aku yang pernah membuatmu sakit hati juga jengkel. Ingatlah! Bukan maksudku untuk berbuat durhaka. Bukan maksudku untuk menyakiti perasaan kalian. Tapi, karena pikiranku belum mampu menangkap tujuan kalian memarahiku. Belum mampu mengartikan maksud kalian tidak mengabulkan permintaanku.
Bapak, Ibu. Seiring aku beranjak dewasa, aku mulai mengerti alasan kalian membentakku. Hanya untuk mengarahkanku pada kebaikan. Pada masa depan yang tentu akan membahagiakanku juga kalian. Padahal, jika aku menuruti perintahmu, tak mungkin aku akan kau bentak. Bahkan, Bapak dan Ibu tak perlu marah.
Maaf jika tutur kata dan tingkah lakuku membuat kalian mengelus dada menahan sabar. Aku sadar, tak mampu membalas kasih sayang kalian. Aku jadi anak pintar, aku jadi anak penurut, aku jadi anak baik, aku jadi anak yang solehah, aku jadi anak yang berbakti, tak kan mampu menandingi kasih sayang kalian padaku.
“Bapak, Ibu. Aku sayang kalian.” Kata-kata itu pasti sering kalian dengar. Sering meluncur dari mulutku. Sesederhana itu aku buat kalian tersenyum bahkan terharu. Tapi? “Ah, tanggung Bu!” semudah itu aku luncurkan kata-kata yang menyakiti telinga dan hatimu. Tapi? Kau tetap sabar dan menunggu hingga aku sempat melaksanakan perintahmu. “Ayo, Pak! Cepatlah sedikit!” segampang itu aku memerintahkanmu. Bahkan, kau langsung menuruti permintaanku.
Aku tidak tahu dengan apa aku bisa membalas jasa-jasa kalian. Kalian sangat baik. Terlampaui baik. Tidak cukup dengan selalu meraih prestasi tinggi. Tapi? Kalian bilang, itu sudah cukup. Membuat kalian bangga, itu cukup. Membuat kalian senang, juga cukup. Kalian telah mempermudahkanku untuk mencium bau surga. Betapa bodohnya aku, malah menyia-nyiakan hal itu.
Mengingat jasa Bapak, Ibu hanya pada saat-saat tertentu. Hanya waktu menjelang ujian nasional, renungan malam pada acara pramuka, dan siraman rohani pada bulan Ramadhan. Waktu itu, aku menangis. Terharu, sedih, senang, bercampur jadi satu. Tapi? Sesampainya di rumah, aku kembali bandel. Tak ingat lagi, betapa aku terharu karena limpahan kasih sayang kalian. Tak ingat lagi tangisanku karena begitu banyak kesalahanku pada kalian. Bahkan, jikapun aku meminta maaf pada kalian, kalian malah bingung mengapa aku meminta maaf. Semudah itukah kalian melupakan perasaan kecewa karena tingkah laku bandelku? Semudah itukah kalian telah memaafkanku? Padahal, aku sendiri menunggu lebaran untuk memberi dan meminta maaf pada kalian.
Bapak, Ibu. Maafkan aku. Aku sering berburuk sangka pada kalian. Menganggap kalian pemarah, pelit, bahkan egois. Padahal, itu kalian lakukan untuk mendidikku jadi anak yang mempunyai masa depan cerah. Satu saja permintaanku yang tidak kalian kabulkan, pasti membuatku kesal. Tapi? Aku sendiri tak mampu menghitung berapa permintaan kalian yang tidak kulaksanakan. Seharusnya kalian lebih kesal daripada aku. Nyatanya, kalian tetap sabar menghadapiku.
Tangisanku, rengekanku, kenakalanku, kalian hadapi dengan besar hati. Tanpa peduli seberapa banyak aku telah menyakiti hati kalian, kalian tetap menyayangiku sepenuh hati. Tapi aku? Lebih memperhitungkan sakit hatiku kepada kalian daripada kasih sayangku padamu.
“Bu, belikan pulsa ya.” Pintaku yang langsung kau turuti. Tanpa protes. Padahal, pulsa itu jarang kugunakan untuk hal yang mengarah pada masa depan. Hanya untuk bercanda ria dengan teman-teman. Tapi jika engkau yang memerintahku? “Belikan sabun cuci, nak.” Lalu, apa jawabanku? “Mana Bu uangnya?” Kemudian setelah diberi uang, apalagi? “Nanti ya, Bu.” Padahal, sabun cuci itu akan segera kau gunakan untuk mencuci bajuku. Betapa bodohnya aku. Tidak berpikir bagaimana rasa kesalmu. Padahal, jika aku, pasti aku akan mengoceh lalu merengek. Ibu, betapa baiknya engkau.
“Pak, belikan sepatu ya.” Kau menuruti permintaanku. Tanpa protes. Tapi jika engkau yang memerintahku? “Tolong pijetin kaki Bapak ya. Capek.” Lalu, apa balasanku? “Yah Bapak..” Pasti engkau kecewa. Tapi? Kau memilih pergi dan meninggalkanku. Tanpa rengekan atau ocehan. Aku sungguh bodoh! Tidak memikirkan bagaimana capeknya engkau untuk mencukupi kebutuhanku serta keinginanku yang tentu tidak dengan biaya sedikit.
Maafkan aku Pak, Bu. Ingatlah! Aku ingin membahagiakan kalian :’) Walaupun itu tak sebanding dengan pengorbanan kalian untukku. Aku sayang kalian.
Ya Allah, sayangilah kedua orang tuaku. Ampunilah dosa-dosa mereka. Lindungilah mereka di dunia dan akhirat. Amin :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini