Aku
yang saat itu senang berkenalan dengannya tanpa sengaja. Aku yang saat itu
berpisah dengannya karena sebuah rencana. Kota Pacitan, kota kecil yang paling
mengesankan seumur hidup. Kota kecil yangmempertemukanku dengan orang bernama
Indra. Kota kecil itu kini, menjadi kota yang selalu kurindu.
16 Agustus 2009
Aku kembali menjejakkan kaki di kota Pacitan. Saudaraku menikah
dengan perempuan dari kota Pacitan. Yuhuuu.. Lumayan menyegarkan otak sekaligus
mengulang pengalamanku dulu. Haha.. siapa tahu kecantol cowok kota kecil ini.
Dan mungkin, mempertemukanku dengan pemberi gelang yang melingkar di tanganku
saat ini.
Naik travel tak membuatku begitu mual seperti saat naik bus.
Walaupun jalan yang kulalui sama, bahkan lama perjalanan sama, tetap tak
menyurutkan semangatku ke sini. Aku sendiri bingung mengapa aku begitu senang.
Besok adalah resepsi pernikahan saudaraku. Duh, pasti besok aku
dirias menor, pake kebaya, disanggul, ah... ribet banget sih. Ya, memang, di
sini, adatnya masih lumayan kental. Pake siraman kembang 7 rupalah, pake
tradisi inilah itulah, aku sendiri tak terlalu paham apa yang mereka lakukan.
Aku malah sibuk berpikir bagaimana besok aku menolak untuk dirias.
17 Agustus 2009
Dari pagi buta, aku sudah digiring ke tempat resepsi. Aku mulai
mengeluarkan jurusku. Belagak masih ngantuk, namun tetap saja, ibu tak mau
tahu. Aku diseret ke kamar mandi dan diguyur. Bayangkan! Ah, Ibu. Nggak tahu
anaknya lagi malas apa? Ehm.. malas dirias lebih tepatnya.
Di tempat resepsi, para perias sudah stay dengan bermacam
alat make up. Yang buat aku senang sekarang adalah, jumlah para perias
tak sebanding dengan yang akan dirias. Ini kesempatanku untuk kabur. Haha..
pura – pura antri di belakang, tapi ujung – ujungnya lari. Yes yes yes!
Aku berlari ke belakang rumah. Aduh.. sepertinya salah jalan. Di
sini malah aku jadi sumber keributan. Di Pacitan, gotong royong masih dijunjung
teguh. Belum ada catering di sini. Jadi, para tetanggalah yang memasak suguhan
untuk para tamu. Ibu – ibu cerewet itu terus memakiku. Mana aku nggak
ngerti bahasa mereka lagi. Cuek sajalah. Hahaha..
Aku terengah – engah. Niatnya kabur, malah aku capek sendiri. Huhh!
Ah, biarlah. Setidaknya ini lebih baik daripada harus disanggul. Aku tak tahan
aroma hairspray. Dan itu tidak hanya membuat efek rambut jadi kaku, tapi
juga membuat perut mual.
“Eh, Mbak Mita, kan?” aku kaget bukan kepalang. Di depanku ada
seorang pemuda mengulurkan tangan dengan wajah yang sangat familiar bagiku.
Indra. Wah, kebetulan sekali dia ada di sini. Haha.. tak sia – sia aku kabur.
“Wah, Mas Indra. Apa kabar, Mas?” aku membalas uluran tangannya.
Berjabat tangan erat. Tak sengaja ia melihat gelang yang melingkar di tanganku.
Gelang darinya. Kulihat dia salah tingkah. Duh, aku sendiri juga salah tingkah.
Segera kutarik tanganku.
“Oh eh.. Alhamdulillah baik. Masih saudara sama Mbak Tika to?”
jawab Indra.
“Enggak. Saya saudaranya Mas Hafid. Mas Indra sendiri?” aku balik bertanya.
Belum sempat Indra menjawab, dari belakangnya ada seorang perempuan menghampiri
pemuda di hadapanku ini. Aku ternganga. Kenapa kejadiannya sangat persis dengan
setahun lalu ya? Tapi perempuan kali ini berbeda. Lebih cantik yang dulu
menurutku. Sayangnya, masih cantikan aku. Hahaha.. kira – kira siapa ya? Apakah
pacarnya juga?
“Mas Indra ditimbali Ibu,” katanya lembut. Cuih! Aku
bergidik. Kelihatan sekali lembut tutur katanya dibuat – buat. Indra mengangguk
lalu mengenalkannya padaku.
“Ini Jihan, Mbak,” aku tersenyum. “Jihan. Pacarnya Mas Indra,”
perempuan itu menambahkan. Aku semakin geli, kesal, dan ingin menyaruk tanah,
lalu kulempar tepat di wajah Jihan. Sok banget!
“Aku Mita. Wah.. Pacar apa
calon istri, nih? Pacar belum tentu calon istri lho,” skak! Sukurin! Kulihat
Jihan menunduk. Indra tergelak. Aduh, Indra. Mau kamu senyum, ketawa, tetep aja
ganteng. Kok kamu bisa macarin cewek kayak gini sih? Buka mata dong, ganteng.
“Mbak Mita ini ke Pacitan kok nggak kasih kabar,” yes! Indra tak
menghiraukan pacarnya. “Kasih kabar gimana? Aku saja tak punya nomor handphone
kamu,” aku tertawa pelan. Tapi batinku bersorak. Hahaha.. orang ganteng satu
ini sepertinya memilih berbincang denganku.
“Ayo dong, Mas. Kasihan Ibu nungguin,” kata Jihan manja masih dengan
nada dibuat – buat.
“Iya bentar,” balas Indra sambil mendengus. Aku makin girang.
Kasihan deh lu Mak lampir! “Ohh iya ya
Mbak. Eee.. saya catat nomer Mbak Mita. Nanti saya missed call,”
lanjutnya. Aku menyebutkan nomor handphoneku lalu dia pamit pergi.
Ndra,apa
kau tahu, kau sering membuatku berpikir? Kau selalu membuatku tersenyum. Kau
selalu membuatku tertawa. Padahal,
pertemuan kita kala itu sama seperti pertemuan pertama kita. Tak ada rencana.
Tuhan menakdirkan kita untuk bertemu. Saat aku sudah mulai lupa denganmu.
Mungkin, tanpa gelang itu, bayanganmu lama kelamaan memudar.
Di
antara kita, selalu ada jarak. Dan saat jarak itu menghilang, kita berpisah.
Mengapa ya? Tuhan, mengapa setiap aku bertemu Indra, perasaan aneh itu kembali?
Perasaan saat aku terakhir kali menatap Indra dari balik kaca bus yang mulai
melaju. Perasaan yang datang saat aku berpisah dengan Indra.
Aku
menemukan kehangatan dari Indra. Tanpa sebuah pelukan darinya, aku merasakan
kehangatan itu. Kehangatan yang megalir begitu saja. Keakraban yang terjalin
antara aku dan dia, membuatku sangat nyaman. Padahal, aku dan Indra tak pernah
berkomunikasi. Tak pernah.
Rumah
itu, menjadi saksi pertemuan kedua kita, Ndra. Kau ingat tidak? Aku yakin kau
masih mengingatnya. Tetapi, kau tahu tidak betapa gembiranya aku saat kembali
bertatap muka denganmu? Kali ini, aku yakin, jawabanmu adalah tidak.
Ndra,
aku selalu bertanya, apakah kau merasakan hal yang sama denganku? Ah, apa
gunanya aku bertanya. Tak mungkin ada jawaban. Kau membiarkanku tersiksa dengan
angan tentangmu. Kau membuatku bingung bagaimana cara mengenyahkan bayanganmu.
Acara resepsi dimulai siang ini. Kaburku tadi pagi membuahkan
hasil. Karena aku datang tepat 1 menit sebelum acara dimulai. Alhasil, perias
mengomel dan membiarkanku memakai pakaianku sendiri. Tanpa sanggul dan riasan
menor. Asyik! Eh, bukan itu yang membuat ‘acara’ kaburku terkesan. Tapi bertemu
dengan Indra! Lelaki yang pernah berada di puncak pikiranku setelah aku pulang
dari kota Pacitan setahun lalu.
Pengantin mulai berjalan menuju singgasananya. Saatnya mereka
menjadi pusat perhatian tamu undangan. Aku berdecak kagum dengan pengantin
wanitanya. Luar biasa cantik. Dan aku juga tertawa melihat domas yang
mengiringi jalan pengantin di belakang. Harusnya, aku berada di antara mereka.
Nyatanya? Aku di sini bebas melihat mereka sambil dilayani – diberi makanan.
Hahaha.. Aku yakin, mereka yang ada di sana, belum tentu mendapat makanan
seperti aku.
Di tengah
menikmati es buah, handphoneku berbunyi. Kukira Ibu yang menyuruhku untuk
kembali. Ternyata aku salah. Ini nomor tak dikenal. Siapa ya? Jangan –
jangan....
From : No Name
To : Mita
Mbak, saya Indra. Ayo ke
sini. Saya di belakang. Nggak betah sama campursari.
Begitu pesan singkat darinya. Aku tertawa. Wah.. benar – benar anak
muda yang sama sepertiku. Eh, tapi es buah ini masih melambai. Bentar ya,
Indra. Es buah ini masih minta untuk diminum.
Selesai, menikmati
es buah, aku berjalan ke belakang. Di mana dia? Duh, jangan menghilang dong,
Ndra. Kemana sih, kamu?
“Nggoleki Mas
Indra to?” tiba – tiba pacar Indra di belakangku. Lagi – lagi dia berbicara
dengan bahasa yang tak begitu kumengerti. Nyariin Indra, yang datang Mak
Lampir. Wekss! Aku menjawab apa ya? Yang sekiranya nyambung sama bahasa alien
satu ini.
“Emmm.. mau es
buah?” tanyaku. Nyambung nggak ya? Kalau pertanyaan dijawab dengan pertanyaan,
ini sama saja dengan topik baru. Ah, semoga berhasil menyingkirkan mak lampir
ini. “Helehh.. es podeng wae lo. Kok nyebutnya es buah,” lah, kok sewot?
Benar – benar bikin naik darah nih orang.
“Emang kenapa?
Nggak boleh? Suka – suka saya, dong. Nggak usah sewot, Mbak. Ntar makin tua,
lo. Tuh, udah muncul keriput. Atau jangan – jangan emang udah tua?” diar!
Kasihan deh kamu! Hahaha.. aku tertawa terbahak – bahak kali ini. Sayangnya,
hanya di dalam hati. Wajah Jihan memerah. Karena malu apa karena marah? Atau,
ini salah satu jurusnya untuk memusnahkan aku? Gawat!
“Eh, Mbak Mita.
Sorry Mbak. Tadi saya ada kepentingan,” alhamdulillah. Nyawa saya tertolong
oleh Dewa Penolong. Makasih, Ndra. Untung kamu datang, jadi tak usah berdebat
panjang lebar dengan Mak Lampir.
“Ini siapa to, Mas?
Kamu itu kenal dia darimana? Cah wedok kemayune ora umum,” Indra
langsung menyeret perempuan ini dari hadapanku. Aku semakin bingung. Kenapa ya?
Jangan – jangan mereka putus? Bukan bukan. Akan putus. Semoga. Hahahaha...
tawaku semakin lebar. Lagi – lagi hanya di dalam hati.
Do’aku
masih sama. Kau putus dengan kekasihmu. Untuk alasan apa, aku sendiri tak tahu.
Kata hatiku selalu menggaungkan kalimat itu di telingaku. Seolah itu adalah
harapan yang harus terjadi. Karena itu bukan sekedar harapan, melainkan sebuah
takdir. Tapi, takdir apa? Takdir jika kau putus dengan kekasihmu, lalu menikah
dengan orang lain? Sama saja, bukan? Aku hanya mampu menebak. Jika tebakanku
salah, aku minta maaf, Ndra. Kau perlu tahu kalau ini nyata terjadi padaku. Aku
terobsesi denganmu! Sadarlah!
Malamnya, aku diajak
untuk pergi ke alun – alun. Di sana ada pameran seperti yang kukunjungi setahun
lalu. Namun aku menolak. Aku malas dengan keramaian. Peristiwa terpisahnya aku
dari rombongan menghantuiku. Karena aku tak mungkin lagi mengandalkan
‘kebetulan’ bertemu Indra di sana. Dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang.
Lagipula, dia sudah punya kekasih.
Aku memilih untuk
berbaring dan membereskan barang – barangku. Esok, aku akan pulang. Membawa
bayangan orang ganteng lagi. Indra. Dia tak hanya ganteng menurutku. Dia juga
baik. Entah mengapa, pikiranku selalu berkata begitu. Indra orang baik. Tadi
siang, dia kembali ke hadapanku, meminta maaf, lalu pergi. Itu juga salah satu
alasanku malas untuk keluar. Aku sendiri tak mengerti, kenapa setelah kejadian
itu, aku malas kemana – mana.
From :
Indra
To
: Mita
Nggak ke alun – alun, Mbak?
Di sana rame lo.
Lagi – lagi nama Indra menghias layar handphoneku. Aku tersenyum
tipis. Entah kenapa aku sedikit kecewa dengannya. Masalah apa? Tadi siang?
Kecewa karena dia menghubungiku, namun setelah aku menemuinya, dia malah pergi?
From :
Mita
To : Indra
Enggak, Mas. Mau istirahat.
Besok pulang.
Diam – diam aku bersyukur. Ada Indra yang menemani. Tak ada ruginya
aku menolak ajakan saudaraku untuk bersenang – senang di keramaian, menikmati
padatnya pengunjung pameran.
Aku dan Indra
berbalas sms hingga malam. Kekecawaanku padanya menguap tak berbekas. Pandai
sekali dia mengambil hatiku. Apalagi dia bilang, tadi siang dia benar - benar
putus. Aku makin senang. Yes! Si ganteng putus sama Mak Lampir! Dan aku yakin
ini bukan sekedar takdir. Kejadian ini sama persis dengan satu tahun yang lalu.
Pertemuan pertamaku dengannya. Di sisi lain aku senang cowok ganteng ini tak
ada yang punya. Namun di sisi lain, aku merasa bersalah. Tak tahu kenapa, aku
seperti biang masalah Indra dan kekasihnya eh sudah jadi mantan ding.
Kepuasanku
berakhir ketika dia mengingatkanku hari sudah malam. Dia juga berpesan untuk
membaca do’a sebelum tidur. Duh, Indra. Perhatian sekali kamu. Jadi makin suka.
Hahaha...
18 Agustus 2009
Mataku terasa
lengket ketika Ibu membangunkanku. Jam masih menunjukkan pukul setengah 5.
Sedangkan travelnya jam 6. Waktu satu setengah jam itu masih cukup untuk mandi
dan sarapan. Bahkan ditambah mancing dulu pun masih cukup. Ah, Ibu ini mirip
akademi kemiliteran.
Aku menggeliat di
balik selimut. Menguap berkali – kali.
“Kamu itu lo, Mit.
Handphone dialarm kok nggak bangun – bangun!? Bangun cepet! Nanti travelnya
dateng kamu belum siap,” Ibu menyibak
selimutku. Eh, tunggu dulu. Alarm Hp? Perasaan, tadi malem selesai sms Indra
langsung tidur deh. Alarm darimana?
Lem yang
merekatkan mataku langsung meleleh. Kusambar handphoneku. Lagi – lagi nama Indra
menghias layar. Kehangatan itu mengalir lagi bagai darah dalam tubuhku.
Jantungku berdegup. Wah, ada apa ini?
From
: Indra
To : Mita
Bangun
bangun. Sholat Subuh terus mandi. Jangan lupa sarapan dan berdo’a sebelum
berangkat. Semoga selamat sampai tujuan, Mbak.
Travel menembus pagi. Mengantarku pulang ke kota asal. Meninggalkan
kota kecil, Pacitan. Kembali meninggalkan Indra saat dia putus dengan
kekasihnya. Sebuah kebetulan yang membuatku bertanya apakah itu takdir dari
Tuhan. Mungkin, di rumah, aku bisa menemukan jawaban mengapa jantungku berdegup
kencang bila ada sesuatu yang berhubungan dengan Indra. Pria baik – baik yang
memang harus dijaga oleh perempuan baik – baik macam aku. Hahaha..
Kembali memegangi
gelang pemberian Indra. Menatap keluar jendela, dan mengisi lamunan tentang
Indra.
Ndra, saat
itu aku mulai yakin perasaan aneh yang hadir tiba – tiba itu bukan sekedar
perasaan biasa. Tapi, aku gengsi mengakuinya. Aku selalu berharap jika kamu itu
peka. Peka pada perasaanku yang kian hari memuncak. Aku khawatir, jika
perasaanku ini memudar. Bukan karena waktu. Namun, karena aku sendiri letih
memperjuangkan perasaan yang kau sia – siakan.
Aku takut kau memberiku harapan
palsu. Aku takut salah mengartikan perhatianmu. Secuil perhatianmu saat itu,
mampu membuatku riang gembira selama seminggu. Bayangkan, Ndra! Itu hanya
secuil. Bagaimana kalau sebongkah? Bahkan seutuhnya. Itu juga membuatku takut,
Ndra. Takut itu semua tak akan terjadi. Takut jika kita memang hanya sebatas
teman.
See you next time, boy. I will
remember you. Forever. I’m promise. Aku harap kau mendengar janjiku, Ndra.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar