Rabu, 10 Juli 2013

Aku, Kamu, dan Kita (2)



Aku yang saat itu senang berkenalan dengannya tanpa sengaja. Aku yang saat itu berpisah dengannya karena sebuah rencana. Kota Pacitan, kota kecil yang paling mengesankan seumur hidup. Kota kecil yangmempertemukanku dengan orang bernama Indra. Kota kecil itu kini, menjadi kota yang selalu kurindu.
16 Agustus 2009
Aku kembali menjejakkan kaki di kota Pacitan. Saudaraku menikah dengan perempuan dari kota Pacitan. Yuhuuu.. Lumayan menyegarkan otak sekaligus mengulang pengalamanku dulu. Haha.. siapa tahu kecantol cowok kota kecil ini. Dan mungkin, mempertemukanku dengan pemberi gelang yang melingkar di tanganku saat ini.
Naik travel tak membuatku begitu mual seperti saat naik bus. Walaupun jalan yang kulalui sama, bahkan lama perjalanan sama, tetap tak menyurutkan semangatku ke sini. Aku sendiri bingung mengapa aku begitu senang.
Besok adalah resepsi pernikahan saudaraku. Duh, pasti besok aku dirias menor, pake kebaya, disanggul, ah... ribet banget sih. Ya, memang, di sini, adatnya masih lumayan kental. Pake siraman kembang 7 rupalah, pake tradisi inilah itulah, aku sendiri tak terlalu paham apa yang mereka lakukan. Aku malah sibuk berpikir bagaimana besok aku menolak untuk dirias.
17 Agustus 2009
Dari pagi buta, aku sudah digiring ke tempat resepsi. Aku mulai mengeluarkan jurusku. Belagak masih ngantuk, namun tetap saja, ibu tak mau tahu. Aku diseret ke kamar mandi dan diguyur. Bayangkan! Ah, Ibu. Nggak tahu anaknya lagi malas apa? Ehm.. malas dirias lebih tepatnya.
Di tempat resepsi, para perias sudah stay dengan bermacam alat make up. Yang buat aku senang sekarang adalah, jumlah para perias tak sebanding dengan yang akan dirias. Ini kesempatanku untuk kabur. Haha.. pura – pura antri di belakang, tapi ujung – ujungnya lari. Yes yes yes!
Aku berlari ke belakang rumah. Aduh.. sepertinya salah jalan. Di sini malah aku jadi sumber keributan. Di Pacitan, gotong royong masih dijunjung teguh. Belum ada catering di sini. Jadi, para tetanggalah yang memasak suguhan untuk para tamu. Ibu – ibu cerewet itu terus memakiku. Mana aku nggak ngerti bahasa mereka lagi. Cuek sajalah. Hahaha..
Aku terengah – engah. Niatnya kabur, malah aku capek sendiri. Huhh! Ah, biarlah. Setidaknya ini lebih baik daripada harus disanggul. Aku tak tahan aroma hairspray. Dan itu tidak hanya membuat efek rambut jadi kaku, tapi juga membuat perut mual.
“Eh, Mbak Mita, kan?” aku kaget bukan kepalang. Di depanku ada seorang pemuda mengulurkan tangan dengan wajah yang sangat familiar bagiku. Indra. Wah, kebetulan sekali dia ada di sini. Haha.. tak sia – sia aku kabur.
“Wah, Mas Indra. Apa kabar, Mas?” aku membalas uluran tangannya. Berjabat tangan erat. Tak sengaja ia melihat gelang yang melingkar di tanganku. Gelang darinya. Kulihat dia salah tingkah. Duh, aku sendiri juga salah tingkah. Segera kutarik tanganku.
“Oh eh.. Alhamdulillah baik. Masih saudara sama Mbak Tika to?” jawab Indra.
“Enggak. Saya saudaranya Mas Hafid. Mas Indra sendiri?” aku balik bertanya. Belum sempat Indra menjawab, dari belakangnya ada seorang perempuan menghampiri pemuda di hadapanku ini. Aku ternganga. Kenapa kejadiannya sangat persis dengan setahun lalu ya? Tapi perempuan kali ini berbeda. Lebih cantik yang dulu menurutku. Sayangnya, masih cantikan aku. Hahaha.. kira – kira siapa ya? Apakah pacarnya juga?
“Mas Indra ditimbali Ibu,” katanya lembut. Cuih! Aku bergidik. Kelihatan sekali lembut tutur katanya dibuat – buat. Indra mengangguk lalu mengenalkannya padaku.
“Ini Jihan, Mbak,” aku tersenyum. “Jihan. Pacarnya Mas Indra,” perempuan itu menambahkan. Aku semakin geli, kesal, dan ingin menyaruk tanah, lalu kulempar tepat di wajah Jihan. Sok banget!
“Aku Mita. Wah..  Pacar apa calon istri, nih? Pacar belum tentu calon istri lho,” skak! Sukurin! Kulihat Jihan menunduk. Indra tergelak. Aduh, Indra. Mau kamu senyum, ketawa, tetep aja ganteng. Kok kamu bisa macarin cewek kayak gini sih? Buka mata dong, ganteng.
“Mbak Mita ini ke Pacitan kok nggak kasih kabar,” yes! Indra tak menghiraukan pacarnya. “Kasih kabar gimana? Aku saja tak punya nomor handphone kamu,” aku tertawa pelan. Tapi batinku bersorak. Hahaha.. orang ganteng satu ini sepertinya memilih berbincang denganku.
“Ayo dong, Mas. Kasihan Ibu nungguin,” kata Jihan manja masih dengan nada dibuat – buat.
“Iya bentar,” balas Indra sambil mendengus. Aku makin girang. Kasihan deh lu Mak lampir!  “Ohh iya ya Mbak. Eee.. saya catat nomer Mbak Mita. Nanti saya missed call,” lanjutnya. Aku menyebutkan nomor handphoneku lalu dia pamit pergi.
Ndra,apa kau tahu, kau sering membuatku berpikir? Kau selalu membuatku tersenyum. Kau selalu membuatku tertawa.  Padahal, pertemuan kita kala itu sama seperti pertemuan pertama kita. Tak ada rencana. Tuhan menakdirkan kita untuk bertemu. Saat aku sudah mulai lupa denganmu. Mungkin, tanpa gelang itu, bayanganmu lama kelamaan memudar.
Di antara kita, selalu ada jarak. Dan saat jarak itu menghilang, kita berpisah. Mengapa ya? Tuhan, mengapa setiap aku bertemu Indra, perasaan aneh itu kembali? Perasaan saat aku terakhir kali menatap Indra dari balik kaca bus yang mulai melaju. Perasaan yang datang saat aku berpisah dengan Indra.
Aku menemukan kehangatan dari Indra. Tanpa sebuah pelukan darinya, aku merasakan kehangatan itu. Kehangatan yang megalir begitu saja. Keakraban yang terjalin antara aku dan dia, membuatku sangat nyaman. Padahal, aku dan Indra tak pernah berkomunikasi. Tak pernah.
Rumah itu, menjadi saksi pertemuan kedua kita, Ndra. Kau ingat tidak? Aku yakin kau masih mengingatnya. Tetapi, kau tahu tidak betapa gembiranya aku saat kembali bertatap muka denganmu? Kali ini, aku yakin, jawabanmu adalah tidak.
Ndra, aku selalu bertanya, apakah kau merasakan hal yang sama denganku? Ah, apa gunanya aku bertanya. Tak mungkin ada jawaban. Kau membiarkanku tersiksa dengan angan tentangmu. Kau membuatku bingung bagaimana cara mengenyahkan bayanganmu.
Acara resepsi dimulai siang ini. Kaburku tadi pagi membuahkan hasil. Karena aku datang tepat 1 menit sebelum acara dimulai. Alhasil, perias mengomel dan membiarkanku memakai pakaianku sendiri. Tanpa sanggul dan riasan menor. Asyik! Eh, bukan itu yang membuat ‘acara’ kaburku terkesan. Tapi bertemu dengan Indra! Lelaki yang pernah berada di puncak pikiranku setelah aku pulang dari kota Pacitan setahun lalu.
Pengantin mulai berjalan menuju singgasananya. Saatnya mereka menjadi pusat perhatian tamu undangan. Aku berdecak kagum dengan pengantin wanitanya. Luar biasa cantik. Dan aku juga tertawa melihat domas yang mengiringi jalan pengantin di belakang. Harusnya, aku berada di antara mereka. Nyatanya? Aku di sini bebas melihat mereka sambil dilayani – diberi makanan. Hahaha.. Aku yakin, mereka yang ada di sana, belum tentu mendapat makanan seperti aku.
            Di tengah menikmati es buah, handphoneku berbunyi. Kukira Ibu yang menyuruhku untuk kembali. Ternyata aku salah. Ini nomor tak dikenal. Siapa ya? Jangan – jangan....
                From   : No Name
To       : Mita
Mbak, saya Indra. Ayo ke sini. Saya di belakang. Nggak betah sama campursari.
Begitu pesan singkat darinya. Aku tertawa. Wah.. benar – benar anak muda yang sama sepertiku. Eh, tapi es buah ini masih melambai. Bentar ya, Indra. Es buah ini masih minta untuk diminum.
            Selesai, menikmati es buah, aku berjalan ke belakang. Di mana dia? Duh, jangan menghilang dong, Ndra. Kemana sih, kamu?
            Nggoleki Mas Indra to?” tiba – tiba pacar Indra di belakangku. Lagi – lagi dia berbicara dengan bahasa yang tak begitu kumengerti. Nyariin Indra, yang datang Mak Lampir. Wekss! Aku menjawab apa ya? Yang sekiranya nyambung sama bahasa alien satu ini.
            “Emmm.. mau es buah?” tanyaku. Nyambung nggak ya? Kalau pertanyaan dijawab dengan pertanyaan, ini sama saja dengan topik baru. Ah, semoga berhasil menyingkirkan mak lampir ini. “Helehh.. es podeng wae lo. Kok nyebutnya es buah,” lah, kok sewot? Benar – benar bikin naik darah nih orang.
            “Emang kenapa? Nggak boleh? Suka – suka saya, dong. Nggak usah sewot, Mbak. Ntar makin tua, lo. Tuh, udah muncul keriput. Atau jangan – jangan emang udah tua?” diar! Kasihan deh kamu! Hahaha.. aku tertawa terbahak – bahak kali ini. Sayangnya, hanya di dalam hati. Wajah Jihan memerah. Karena malu apa karena marah? Atau, ini salah satu jurusnya untuk memusnahkan aku? Gawat!
            “Eh, Mbak Mita. Sorry Mbak. Tadi saya ada kepentingan,” alhamdulillah. Nyawa saya tertolong oleh Dewa Penolong. Makasih, Ndra. Untung kamu datang, jadi tak usah berdebat panjang lebar dengan Mak Lampir.
            “Ini siapa to, Mas? Kamu itu kenal dia darimana? Cah wedok kemayune ora umum,” Indra langsung menyeret perempuan ini dari hadapanku. Aku semakin bingung. Kenapa ya? Jangan – jangan mereka putus? Bukan bukan. Akan putus. Semoga. Hahahaha... tawaku semakin lebar. Lagi – lagi hanya di dalam hati.
            Do’aku masih sama. Kau putus dengan kekasihmu. Untuk alasan apa, aku sendiri tak tahu. Kata hatiku selalu menggaungkan kalimat itu di telingaku. Seolah itu adalah harapan yang harus terjadi. Karena itu bukan sekedar harapan, melainkan sebuah takdir. Tapi, takdir apa? Takdir jika kau putus dengan kekasihmu, lalu menikah dengan orang lain? Sama saja, bukan? Aku hanya mampu menebak. Jika tebakanku salah, aku minta maaf, Ndra. Kau perlu tahu kalau ini nyata terjadi padaku. Aku terobsesi denganmu! Sadarlah!
                Malamnya, aku diajak untuk pergi ke alun – alun. Di sana ada pameran seperti yang kukunjungi setahun lalu. Namun aku menolak. Aku malas dengan keramaian. Peristiwa terpisahnya aku dari rombongan menghantuiku. Karena aku tak mungkin lagi mengandalkan ‘kebetulan’ bertemu Indra di sana. Dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang. Lagipula, dia sudah punya kekasih.
            Aku memilih untuk berbaring dan membereskan barang – barangku. Esok, aku akan pulang. Membawa bayangan orang ganteng lagi. Indra. Dia tak hanya ganteng menurutku. Dia juga baik. Entah mengapa, pikiranku selalu berkata begitu. Indra orang baik. Tadi siang, dia kembali ke hadapanku, meminta maaf, lalu pergi. Itu juga salah satu alasanku malas untuk keluar. Aku sendiri tak mengerti, kenapa setelah kejadian itu, aku malas kemana – mana.
            From   : Indra
            To        : Mita
Nggak ke alun – alun, Mbak? Di sana rame lo.
Lagi – lagi nama Indra menghias layar handphoneku. Aku tersenyum tipis. Entah kenapa aku sedikit kecewa dengannya. Masalah apa? Tadi siang? Kecewa karena dia menghubungiku, namun setelah aku menemuinya, dia malah pergi?
                From   : Mita
To        : Indra
Enggak, Mas. Mau istirahat. Besok pulang.
Diam – diam aku bersyukur. Ada Indra yang menemani. Tak ada ruginya aku menolak ajakan saudaraku untuk bersenang – senang di keramaian, menikmati padatnya pengunjung pameran.
            Aku dan Indra berbalas sms hingga malam. Kekecawaanku padanya menguap tak berbekas. Pandai sekali dia mengambil hatiku. Apalagi dia bilang, tadi siang dia benar - benar putus. Aku makin senang. Yes! Si ganteng putus sama Mak Lampir! Dan aku yakin ini bukan sekedar takdir. Kejadian ini sama persis dengan satu tahun yang lalu. Pertemuan pertamaku dengannya. Di sisi lain aku senang cowok ganteng ini tak ada yang punya. Namun di sisi lain, aku merasa bersalah. Tak tahu kenapa, aku seperti biang masalah Indra dan kekasihnya eh sudah jadi mantan ding.
            Kepuasanku berakhir ketika dia mengingatkanku hari sudah malam. Dia juga berpesan untuk membaca do’a sebelum tidur. Duh, Indra. Perhatian sekali kamu. Jadi makin suka. Hahaha...
            18 Agustus 2009
            Mataku terasa lengket ketika Ibu membangunkanku. Jam masih menunjukkan pukul setengah 5. Sedangkan travelnya jam 6. Waktu satu setengah jam itu masih cukup untuk mandi dan sarapan. Bahkan ditambah mancing dulu pun masih cukup. Ah, Ibu ini mirip akademi kemiliteran.
            Aku menggeliat di balik selimut. Menguap berkali – kali.
            “Kamu itu lo, Mit. Handphone dialarm kok nggak bangun – bangun!? Bangun cepet! Nanti travelnya dateng kamu belum siap,”  Ibu menyibak selimutku. Eh, tunggu dulu. Alarm Hp? Perasaan, tadi malem selesai sms Indra langsung tidur deh. Alarm darimana?
            Lem yang merekatkan mataku langsung meleleh. Kusambar handphoneku. Lagi – lagi nama Indra menghias layar. Kehangatan itu mengalir lagi bagai darah dalam tubuhku. Jantungku berdegup. Wah, ada apa ini?
            From  : Indra
            To        : Mita
            Bangun bangun. Sholat Subuh terus mandi. Jangan lupa sarapan dan berdo’a sebelum berangkat. Semoga selamat sampai tujuan, Mbak.
            Travel menembus pagi. Mengantarku pulang ke kota asal. Meninggalkan kota kecil, Pacitan. Kembali meninggalkan Indra saat dia putus dengan kekasihnya. Sebuah kebetulan yang membuatku bertanya apakah itu takdir dari Tuhan. Mungkin, di rumah, aku bisa menemukan jawaban mengapa jantungku berdegup kencang bila ada sesuatu yang berhubungan dengan Indra. Pria baik – baik yang memang harus dijaga oleh perempuan baik – baik macam aku. Hahaha..
            Kembali memegangi gelang pemberian Indra. Menatap keluar jendela, dan mengisi lamunan tentang Indra.
            Ndra, saat itu aku mulai yakin perasaan aneh yang hadir tiba – tiba itu bukan sekedar perasaan biasa. Tapi, aku gengsi mengakuinya. Aku selalu berharap jika kamu itu peka. Peka pada perasaanku yang kian hari memuncak. Aku khawatir, jika perasaanku ini memudar. Bukan karena waktu. Namun, karena aku sendiri letih memperjuangkan perasaan yang kau sia – siakan.
                Aku takut kau memberiku harapan palsu. Aku takut salah mengartikan perhatianmu. Secuil perhatianmu saat itu, mampu membuatku riang gembira selama seminggu. Bayangkan, Ndra! Itu hanya secuil. Bagaimana kalau sebongkah? Bahkan seutuhnya. Itu juga membuatku takut, Ndra. Takut itu semua tak akan terjadi. Takut jika kita memang hanya sebatas teman.
                See you next time, boy. I will remember you. Forever. I’m promise. Aku harap kau mendengar janjiku, Ndra.
Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini