31 Desember 2010
Yuhuu.. dapat jatah liburan lagi! Kesempatan ini kugunakan untuk
menjelajahi kota Pacitan. Mas Hafid sudah janji akan mengantarku ke tiap sudut
pesona kota kecil itu. Dengan syarat aku mau jadi baby sitter anaknya. That’s
no problem. Yang penting, aku bisa jalan – jalan di sana dengan leluasa bertema
liburan! Oh iya, jangan lupa kasih kabar sama Indra. Pemuda ganteng yang tak
sengaja kutemukan saat aku ditugaskan mengembara di Pacitan haha..
From :
Mita
To :
Indra
Mas, apa kabar? Ini aku mau ke Pacitan lo.
Haha.. liburan kemana, nih?
Pesan itu kukirim 9 jam yang lalu. Sebelum dan sesudah memasuki
travel. Tapi, kok belum terkirim ya? Pulsaku masih banyak. Sinyal juga tak
sulit di sini. Apa dia ganti nomor? Waduh...
Aku
cemas. Kau suka? Aku khawatir. Kau puas? Aku juga tak tahu mengapa aku khawatir
dan cemas terhadapmu. Padahal, aku bukan siapa-siapamu. Aku sendiri tak yakin
jika aku adalah tulang rusukmu. Bah, tulang rusuk? Kata – kata itu mungkin tak
pernah terpikir olehmu. Bahkan, semua perhatianmu padaku dulu, mungkin sudah
kau lupakan. Semua perhatianmu padaku dulu, mungkin kau anggap angin lalu.
Tapi, bagiku, itu masih kuingat dan kuanggap sebuah anugerah.
Usai mandi, aku menjalankan syarat Mas Hafid. Membantu Mbak Tika,
istri Mas Hafid, menjaga anaknya. Mbak Tika menyapu lantai, sedangkan aku
menggendong anaknya. Duh, lucunya anak ini. Boleh kubawa pulang nggak ya?
Hihihi..
“Mbak, kenal sama Indra?” aku membuka topik. Mbak Tika diam
sebentar. Tampaknya mengingat-ingat sesuatu.
“Indra anaknya Pak Eko itu to?” Mbak Tika balik bertanya. Wah, mana
aku tahu? Aku bertanya kok dia tanya balik. Haha.. jadi inget waktu debat sama
mantan pacarnya Indra. Dulu.
“Nggak tahu. Kan aku tanya,” jawabku polos. “Oh, kenal yen Indra
itu. Nyapo to?”
“Nggak papa. Kan, dulu aku pernah ketemu sama Indra. Terus katanya,
kalau aku ke Pacitan, kasih kabar ke dia. Nah, kemarin aku sms dia, tapi dianya
nggak bales smsku,” Mbak Tika mengangguk-angguk. Dia duduk di sampingku dan
mengambil alih menggendong anaknya. Tetap saja aku menganggap pertanyaanku
dijawab menggantung.
Malam tahun baru
kuhabiskan dengan berceloteh bersama keluarga kecil Mas Hafid. Bercerita ini
itu, ngalor ngidul, ditutup dengan rencana liburan esok.
Di atas ranjang, aku
tak kunjung memejamkan mata. Bukan karena tak ingin melewatkan malam pergantian
tahun, bukan karena takut mimpi buruk, bukan pula karena tidak kerasan. Apa
karena Indra? Duh, Indra lagi, Indra lagi. Kira-kira dia ngapain ya? Kira-kira
dia mikirin aku nggak ya?
Tepat pukul 00.00.
Sayup-sayup kudengar suara kembang api. Ah, ya. Ini kan tahun baru. Sudah
selayaknya setiap daerah merayakannya, dan wajar jika merayakan dengan
penyalaan kembang api di.... pusat kota. Apakah itu tempat yang sama saat aku
bertemu Indra? Apakah itu tempat yang sama saat aku mulai memikirkan Indra?
Apakah itu tempat yang sama saat aku mulai nyaman dengan Indra? Apakah?
Pertanyaan
tentangmu kembali menari-nari dalam benakku. Padahal belum tentu bayanganku
menari-nari dalam pikiranmu. Inikah yang disebut kurang kerjaan? Tapi, ini
sudah menjadi rutinitasku setiap malam sejak pertama kali aku berbincang
denganmu. Jadi, apakah selama ini aku selalu mengerjakan hal yang sia-sia?
Bukankah ini hipnotismu untuk memikatku? Atau untuk memikat yang lain? Yang
lebih sempurna dariku?
1 Januari 2011
Selesai mandi
pagi, aku di teras rumah. Menghirup udara segar kota Pacitan. Sambil
menggendong putra Mas Hafid. Dari kejauhan kulihat sosok yang selama ini
kudamba. Indra. Apakah rumahnya di sekitar sini? Atau dia tahu kalau aku ada di
sini? Wah.. yang ini sungguh mustahil. Itu Indra apa bukan?
“Sini, Mit. Tak
mandiin dulu. Nanti gek berangkat,” Mbak Mita tiba-tiba di belakangku.
Kuserahkan anaknya. Dan kumulai pengamatanku pada sosok yang kian dekat.
Indra! Ya, benar
itu Indra! Haruskah aku senang?
“Mas Indra!” duh,
jantungku berdegup lagi. Apa suaraku sampai di telinganya ya? Kalau tidak, kan
malu. Indra menoleh dan kaget. Apa aku seperti hantu?
“Eh, Mbak Mita.
Sudah lama di Pacitan?” Indra menghampiriku. Tetap dengan senyum dan sapaan
hangatnya.
“Baru kemarin
kok,” jawabku singkat. Tak tahu mengapa, pertanyaan pertanyaan yang kuluncurkan
tadi malam dalam otak, hancur lebur, menguap, tanpa sisa.
“Kok nggak kasih
kabar, sih, Mbak?” nah, ini nih. Mulai kebiasaan Indra. Apa dia lupa jika dia
sendiri yang memutuskan komunikasi denganku? Tanpa kabar dan konfirmasi yang
jelas. “Nomor kamu nggak bisa dihubungi,” Indra menepuk dahinya. Sepertinya dia
benar-benar lupa.
“Eh, Indra. Pie
kabare bapakmu? Wis suwi aku ora dolan nyang omahmu,” Mas
Hafid ternyata sudah di ambang pintu dengan baju yang rapi.
“Sae, Mas. Yo,
gek dolan to, hehe..” Indra menjawab. Hanya aku yang melongo, tak mengerti
bahasa mereka. Bahasa alien satu ini mengingatkanku pada pertemuan keduaku
dengan Indra. Dulu. “Badhe tindak pundi, Mas?”
“Itu lo Mita
ngajak jalan-jalan. Sampean wis kenal Mita to?” tanya Mas Hafid sambil
mengerling lucu. Aih, apa maksudnya? Indra hanya menjawab dengan sebuah anggukan.
“Ayo. Melu pie?” jika kalimat tanya pendek satu ini, aku mengerti. Mas
Hafid menawari Indra untuk ikut. Ah, apa aku tak salah dengar?
Indra tampak
berpikir. Ayolah, Ndra. Mengangguklah. Aku seperti mengucap jampi-jampi dalam
hati. Berharap, pria ganteng satu ini mendengar batinku.
Diar! Bak disambar geledek, aku kaget. Indra mengangguk! Mimpi apa
aku semalam? Berlibur di Pacitan, dengan Indra ini, bagiku hanya mimpi! Tapi,
ini nyata!
Mobil melaju. Mas Hafid sendiri yang menyetir. Di sampingnya Mbak
Tika dengan putranya. Aku dan Indra di belakang. Otakku mulai memilih topik
yang pas untuk dibicarakan. Tak boleh lagi salah topik.
“Mmm.. Mas Hafid itu dulu pertama kali ketemu Mbak Tika dimana?”
tanyaku. Ya.. mungkin saja ada kesamaan dengan pertemuanku dengan Indra. Siapa
tahu Indra benar-benar jodohku. Hihi.. Indra kontan menoleh. Mas Hafid dan Mbak
Tika tertawa. “Embuh,” Mas Hafid menjawab singkat sambil terkekeh. Aku
sendiri bingung.
“Gini lo, Mit. Waktu jadi pegawai baru di Pacitan, Mas Hafid sering
ke rumah Indra. Kumpul-kumpul gitu. Aku kan tetangganya Indra, jadi ya juga
sering ke rumah Indra,” jelas Mbak Tika. “Wah, cinlok nih,” Indra buka suara.
Aku tertawa. Oh, pantesan dulu Indra ada di pernikahan Mas Hafid.
Sampailah di Pantai
Banyu Tibo! Namanya lucu. Tapi pantainya super duper keren! Tak kalah dengan pria
di sampingku ini. Hahaha.. Aku tak takut lagi dengan ombak. Aku tak takut lagi
dengan laut. Karena Indra. Dan aku baru sadar jika hidupku penuh dengan peran
Indra.
Angin sepoi-sepoi.
Menyibakkan rambutku yang tergerai. Aku berdiri menghadap pantai. Perutku masih
mual karena jalan yang berkelok-kelok dan sepertinya jarang digunakan untuk
umum. Tapi, entahlah. Aku merasakan kesenangan tersendiri di liburan kali ini.
Apakah karena ....Indra?
Siang menjelang.
Matahari bersiap menduduki singgasana puncaknya. Kami beristirahat. Berbincang
ini itu. Bercanda. Ternyata Indra orangnya enak diajak ngobrol. Jadi tambah
suka. Haha..
Sore hari aku
sampai di rumah Mas Hafid. Setelah tadi mengantar Indra, tak sengaja aku
melihat Ibu Indra. Sangat cantik. Pantas saja anaknya ganteng. Aku bersalaman
dengan perempuan paruh baya itu. Dia tersenyum padaku. Waduh, calon mertua nih.
Amin. Hahaha...
“Mas, Bu Eko
ketemu calon mantune. Hahahaha..” Mbak Tika menjawil Mas Hafid sambil
melirikku. Mas Hafid terkekeh. Ngomongin apa sih? Ngomongin akukah? Tapi aku
memilih diam. Mantune? Apa ya itu artinya? “Mugo-mugo yo jane jodohmu,
Mit,” Mas Hafid menepuk pundakku. Jodoh? Siapa? Indra?
“Baru kali ini Bu
Eko mau menerima teman cewek Indra,” seloroh Mbak Tika. Aku semakin bingung. Iya,
ini positif Indra. Tapi maksudnya apa? “Maksudnya apa sih, Mbak?”
“Selama ini, Bu
Eko belum pernah menerima dengan baik teman cewek Indra. Pacarnya Indra yang
dulu-dulu itu tak pernah disambut baik sama Bu Eko. Baru kamu yang disambut
ramah sama dia,” kucerna kata-kata Mbak Tika. Benarkah? “Indra juga sering cerita
waktu ketemu kamu dulu. Pas kamu nggak jadi domas, kamu ketemu dia,
kan?” timpal Mas Hafid. Deg! Duh, malu aku. Mbak Tika tertawa pelan.
Aku memasuki kamar
dengan perasaan yang menggumpal, mengganjal, menyumbat, menyesakkan dada.
Benarkah yang dibicarakan Mbak Tika dan Mas Hafid? Gelang putih bertuliskan
Indra itu kembali kuambil dari dompet. Selama ini, benda itu selalu bertengger
di dalamnya. Sejak aku salah tingkah ketika tertangkap basah masih
mengenakannya.
Entah, waktu
itu siapa yang berperan. Indra, Bu Eko, Mbak Tika atau Mas Hafid. Membuatku
lagi-lagi membawa rasa penasaran yang memuncak dari Pacitan. Karena sosok pria
yang mampu membuatku merenung, mengajak Tuhan berbicara, mengajak Tuhan
mendengar keluh kesuh kesahku. Dan, baru kusadari, baru Indra yang membuatku
kalang kabut seperti saat itu.
Bersambung.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar