Rabu, 17 Juli 2013

Aku, Kamu, dan Kita (3)



31 Desember 2010
Yuhuu.. dapat jatah liburan lagi! Kesempatan ini kugunakan untuk menjelajahi kota Pacitan. Mas Hafid sudah janji akan mengantarku ke tiap sudut pesona kota kecil itu. Dengan syarat aku mau jadi baby sitter anaknya. That’s no problem. Yang penting, aku bisa jalan – jalan di sana dengan leluasa bertema liburan! Oh iya, jangan lupa kasih kabar sama Indra. Pemuda ganteng yang tak sengaja kutemukan saat aku ditugaskan mengembara di Pacitan haha..
From    : Mita
To        : Indra
Mas, apa kabar? Ini aku mau ke Pacitan lo. Haha.. liburan kemana, nih?
Pesan itu kukirim 9 jam yang lalu. Sebelum dan sesudah memasuki travel. Tapi, kok belum terkirim ya? Pulsaku masih banyak. Sinyal juga tak sulit di sini. Apa dia ganti nomor? Waduh...
Aku cemas. Kau suka? Aku khawatir. Kau puas? Aku juga tak tahu mengapa aku khawatir dan cemas terhadapmu. Padahal, aku bukan siapa-siapamu. Aku sendiri tak yakin jika aku adalah tulang rusukmu. Bah, tulang rusuk? Kata – kata itu mungkin tak pernah terpikir olehmu. Bahkan, semua perhatianmu padaku dulu, mungkin sudah kau lupakan. Semua perhatianmu padaku dulu, mungkin kau anggap angin lalu. Tapi, bagiku, itu masih kuingat dan kuanggap sebuah anugerah.
Usai mandi, aku menjalankan syarat Mas Hafid. Membantu Mbak Tika, istri Mas Hafid, menjaga anaknya. Mbak Tika menyapu lantai, sedangkan aku menggendong anaknya. Duh, lucunya anak ini. Boleh kubawa pulang nggak ya? Hihihi..
“Mbak, kenal sama Indra?” aku membuka topik. Mbak Tika diam sebentar. Tampaknya mengingat-ingat sesuatu.
“Indra anaknya Pak Eko itu to?” Mbak Tika balik bertanya. Wah, mana aku tahu? Aku bertanya kok dia tanya balik. Haha.. jadi inget waktu debat sama mantan pacarnya Indra. Dulu.
“Nggak tahu. Kan aku tanya,” jawabku polos. “Oh, kenal yen Indra itu. Nyapo to?”
“Nggak papa. Kan, dulu aku pernah ketemu sama Indra. Terus katanya, kalau aku ke Pacitan, kasih kabar ke dia. Nah, kemarin aku sms dia, tapi dianya nggak bales smsku,” Mbak Tika mengangguk-angguk. Dia duduk di sampingku dan mengambil alih menggendong anaknya. Tetap saja aku menganggap pertanyaanku dijawab menggantung.
            Malam tahun baru kuhabiskan dengan berceloteh bersama keluarga kecil Mas Hafid. Bercerita ini itu, ngalor ngidul, ditutup dengan rencana liburan esok.
            Di atas ranjang, aku tak kunjung memejamkan mata. Bukan karena tak ingin melewatkan malam pergantian tahun, bukan karena takut mimpi buruk, bukan pula karena tidak kerasan. Apa karena Indra? Duh, Indra lagi, Indra lagi. Kira-kira dia ngapain ya? Kira-kira dia mikirin aku nggak ya?
            Tepat pukul 00.00. Sayup-sayup kudengar suara kembang api. Ah, ya. Ini kan tahun baru. Sudah selayaknya setiap daerah merayakannya, dan wajar jika merayakan dengan penyalaan kembang api di.... pusat kota. Apakah itu tempat yang sama saat aku bertemu Indra? Apakah itu tempat yang sama saat aku mulai memikirkan Indra? Apakah itu tempat yang sama saat aku mulai nyaman dengan Indra? Apakah?
            Pertanyaan tentangmu kembali menari-nari dalam benakku. Padahal belum tentu bayanganku menari-nari dalam pikiranmu. Inikah yang disebut kurang kerjaan? Tapi, ini sudah menjadi rutinitasku setiap malam sejak pertama kali aku berbincang denganmu. Jadi, apakah selama ini aku selalu mengerjakan hal yang sia-sia? Bukankah ini hipnotismu untuk memikatku? Atau untuk memikat yang lain? Yang lebih sempurna dariku?
            1 Januari 2011
            Selesai mandi pagi, aku di teras rumah. Menghirup udara segar kota Pacitan. Sambil menggendong putra Mas Hafid. Dari kejauhan kulihat sosok yang selama ini kudamba. Indra. Apakah rumahnya di sekitar sini? Atau dia tahu kalau aku ada di sini? Wah.. yang ini sungguh mustahil. Itu Indra apa bukan?
            “Sini, Mit. Tak mandiin dulu. Nanti gek berangkat,” Mbak Mita tiba-tiba di belakangku. Kuserahkan anaknya. Dan kumulai pengamatanku pada sosok yang kian dekat.
            Indra! Ya, benar itu Indra! Haruskah aku senang?
            “Mas Indra!” duh, jantungku berdegup lagi. Apa suaraku sampai di telinganya ya? Kalau tidak, kan malu. Indra menoleh dan kaget. Apa aku seperti hantu?
            “Eh, Mbak Mita. Sudah lama di Pacitan?” Indra menghampiriku. Tetap dengan senyum dan sapaan hangatnya.
            “Baru kemarin kok,” jawabku singkat. Tak tahu mengapa, pertanyaan pertanyaan yang kuluncurkan tadi malam dalam otak, hancur lebur, menguap, tanpa sisa.
            “Kok nggak kasih kabar, sih, Mbak?” nah, ini nih. Mulai kebiasaan Indra. Apa dia lupa jika dia sendiri yang memutuskan komunikasi denganku? Tanpa kabar dan konfirmasi yang jelas. “Nomor kamu nggak bisa dihubungi,” Indra menepuk dahinya. Sepertinya dia benar-benar lupa.
            “Eh, Indra. Pie kabare bapakmu? Wis suwi aku ora dolan nyang omahmu, Mas Hafid ternyata sudah di ambang pintu dengan baju yang rapi.
            Sae, Mas. Yo, gek dolan to, hehe..” Indra menjawab. Hanya aku yang melongo, tak mengerti bahasa mereka. Bahasa alien satu ini mengingatkanku pada pertemuan keduaku dengan Indra. Dulu. “Badhe tindak pundi, Mas?
            “Itu lo Mita ngajak jalan-jalan. Sampean wis kenal Mita to?” tanya Mas Hafid sambil mengerling lucu. Aih, apa maksudnya? Indra hanya menjawab dengan sebuah anggukan. “Ayo. Melu pie?” jika kalimat tanya pendek satu ini, aku mengerti. Mas Hafid menawari Indra untuk ikut. Ah, apa aku tak salah dengar?
            Indra tampak berpikir. Ayolah, Ndra. Mengangguklah. Aku seperti mengucap jampi-jampi dalam hati. Berharap, pria ganteng satu ini mendengar batinku.
Diar! Bak disambar geledek, aku kaget. Indra mengangguk! Mimpi apa aku semalam? Berlibur di Pacitan, dengan Indra ini, bagiku hanya mimpi! Tapi, ini nyata!
Mobil melaju. Mas Hafid sendiri yang menyetir. Di sampingnya Mbak Tika dengan putranya. Aku dan Indra di belakang. Otakku mulai memilih topik yang pas untuk dibicarakan. Tak boleh lagi salah topik.
“Mmm.. Mas Hafid itu dulu pertama kali ketemu Mbak Tika dimana?” tanyaku. Ya.. mungkin saja ada kesamaan dengan pertemuanku dengan Indra. Siapa tahu Indra benar-benar jodohku. Hihi.. Indra kontan menoleh. Mas Hafid dan Mbak Tika tertawa. “Embuh,” Mas Hafid menjawab singkat sambil terkekeh. Aku sendiri bingung.
“Gini lo, Mit. Waktu jadi pegawai baru di Pacitan, Mas Hafid sering ke rumah Indra. Kumpul-kumpul gitu. Aku kan tetangganya Indra, jadi ya juga sering ke rumah Indra,” jelas Mbak Tika. “Wah, cinlok nih,” Indra buka suara. Aku tertawa. Oh, pantesan dulu Indra ada di pernikahan Mas Hafid.
            Sampailah di Pantai Banyu Tibo! Namanya lucu. Tapi pantainya super duper keren! Tak kalah dengan pria di sampingku ini. Hahaha.. Aku tak takut lagi dengan ombak. Aku tak takut lagi dengan laut. Karena Indra. Dan aku baru sadar jika hidupku penuh dengan peran Indra.
            Angin sepoi-sepoi. Menyibakkan rambutku yang tergerai. Aku berdiri menghadap pantai. Perutku masih mual karena jalan yang berkelok-kelok dan sepertinya jarang digunakan untuk umum. Tapi, entahlah. Aku merasakan kesenangan tersendiri di liburan kali ini. Apakah karena ....Indra?
            Siang menjelang. Matahari bersiap menduduki singgasana puncaknya. Kami beristirahat. Berbincang ini itu. Bercanda. Ternyata Indra orangnya enak diajak ngobrol. Jadi tambah suka. Haha..
            Sore hari aku sampai di rumah Mas Hafid. Setelah tadi mengantar Indra, tak sengaja aku melihat Ibu Indra. Sangat cantik. Pantas saja anaknya ganteng. Aku bersalaman dengan perempuan paruh baya itu. Dia tersenyum padaku. Waduh, calon mertua nih. Amin. Hahaha...
            “Mas, Bu Eko ketemu calon mantune. Hahahaha..” Mbak Tika menjawil Mas Hafid sambil melirikku. Mas Hafid terkekeh. Ngomongin apa sih? Ngomongin akukah? Tapi aku memilih diam. Mantune? Apa ya itu artinya? “Mugo-mugo yo jane jodohmu, Mit,” Mas Hafid menepuk pundakku. Jodoh? Siapa? Indra?
            “Baru kali ini Bu Eko mau menerima teman cewek Indra,” seloroh Mbak Tika. Aku semakin bingung. Iya, ini positif Indra. Tapi maksudnya apa? “Maksudnya apa sih, Mbak?”
            “Selama ini, Bu Eko belum pernah menerima dengan baik teman cewek Indra. Pacarnya Indra yang dulu-dulu itu tak pernah disambut baik sama Bu Eko. Baru kamu yang disambut ramah sama dia,” kucerna kata-kata Mbak Tika. Benarkah? “Indra juga sering cerita waktu ketemu kamu dulu. Pas kamu nggak jadi domas, kamu ketemu dia, kan?” timpal Mas Hafid. Deg! Duh, malu aku. Mbak Tika tertawa pelan.
            Aku memasuki kamar dengan perasaan yang menggumpal, mengganjal, menyumbat, menyesakkan dada. Benarkah yang dibicarakan Mbak Tika dan Mas Hafid? Gelang putih bertuliskan Indra itu kembali kuambil dari dompet. Selama ini, benda itu selalu bertengger di dalamnya. Sejak aku salah tingkah ketika tertangkap basah masih mengenakannya.
            Entah, waktu itu siapa yang berperan. Indra, Bu Eko, Mbak Tika atau Mas Hafid. Membuatku lagi-lagi membawa rasa penasaran yang memuncak dari Pacitan. Karena sosok pria yang mampu membuatku merenung, mengajak Tuhan berbicara, mengajak Tuhan mendengar keluh kesuh kesahku. Dan, baru kusadari, baru Indra yang membuatku kalang kabut seperti saat itu. 
Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini