Senin, 08 Juli 2013

Sahabat



Viko memasuki kelas. Tas masih di punggungnya. Sepatu tinggal sebelah. Dengan gaya soknya ia memasuki kelas dengan tenang. Omelan guru dan sorakan teman – teman ia dapatkan. Entah karena tebal muka atau karena terbiasa, Viko menerimanya dengan ikhlas. Seakan bukan masalah serius baginya.
            Viko duduk. Tempat duduknya tepat di belakangku. Kepalaku sudah penuh dengan sejuta pertanyaan tentang Viko. Bocah laki – laki yang sering atau entah suka melanggar tata tertib sekolah, bocah yang sering dihukum, sering diomeli guru, dan banyak lagi. Omelan guru sudah menjadi makanan sehari – hari baginya.
            “Kamu darimana, Vik? Kenapa baru masuk kelas? Bukannya kamu tadi tidak terlambat?” setengah berbisik aku bertanya. Viko melihatku sekilas.
            “Sepatuku putih. Aku masuk BK lagi,” jawabnya singkat. Aku hanya menghela napas. Apa yang sedang dia pikirkan? Jelas – jelas sekolah melarang untuk memakai sepatu putih, kenapa masih saja dipakai? Untuk menguji kesabaran guru menghadapi kenakalannya?
            “Kamu tahu sepatu putih dilarang kan? Kenapa masih kamu pakai?” aku bertanya lagi. Viko menghentikan kegiatannya. Menatapku. Aku gelagapan.
            “Kenapa tanya – tanya? Bukan urusanmu, kan? Kamu bukan siapa – siapaku!” rahang Viko mengeras.
            “Aku temanmu, Vik. Aku ingin membantumu,”
            “Aku tak butuh bantuanmu! Kamu tak tahu masalahku!” Viko membentakku. Sontak seluruh kelas mengarahkan pandangannya ke Viko. Guru yang sedang mengajar pun geleng – geleng kepala kemudian menyuruh Viko keluar kelas. Dengan langkah ringan, Viko meninggalkan bangkunya.
            “Itukah bantuanmu?” pelan, tapi jelas Aku mendengarnya. Pertanyaan Viko, seakan menusukku. Menantangku untuk membuktikan ucapanku. Tenang Viko, Aku akan membantumu! Entah itu berhasil atau tidak. Kamu temanku, Viko.
            Bel istirahat. Aku keluar bersama teman – teman. Mataku tertuju pada sosok di bangku depan kelas. Viko. Tatapan matanya kosong. Melamun. Kucoba kembali mendekati Viko.
            “Viko! Jajan yuk!” Viko mendongak. Tersenyum sinis.
            “Nggak laper,” aku mulai menyerah. Aku belum bisa memasuki dunia Viko. Ya, Viko mempunyai dunia sendiri. Mungkin, aku hanya bisa menunggu Viko berbagi dunia itu kepadaku. Dan itu mustahil!
***
            Viko kembali berulah. Ia ketahuan merokok di belakang sekolah. Hampir satu sekolah membicarakannya. Di kelas apalagi. Setiap guru yang masuk di kelasku, semua membicarakan Viko. Viko, Viko, dan Viko. Lagi – lagi, pikiranku melayang tentang Viko. Ingin kubantu dia menghadapi masalahnya. Tapi, respon dia terhadap bantuanku kembali teringat. Sakit hatiku karena kesombongan dia terkuak lagi. Ah, bodoh! Aku sudah berjanji untuk membantu Viko. Kenapa hanya sakit hati Aku menyerah? Tidak! Bendera putih itu kusimpan kembali. Aku tak ingin temanku terjerumus ke dalam jurang negatif. Semangatku kembali membara.
            Di istirahat pertama ini Aku memilih di kelas. Membaca buku novel terbaruku. Sunyi senyap. Aku di kelas sendiri. Semua pergi ke kantin, atau memang hanya ingin keluar kelas. Tiba – tiba terdengar suara langkah kaki diseret. Mendekatiku. Aku mendongak perlahan. Viko.
            “Masuk BK lagi. Uhhh!” Viko mengumpat. Aku masih diam. Menunggu reaksi Viko selanjutnya. Viko duduk di bangkunya. Kami berdua diam. Hanya berdua di kelas. Mungkin ini waktunya aku membujuk Viko untuk membagi dunianya.
            “Viko..” hanya itu kata – kata yang keluar dari mulutku. Lidahku kelu. Otakku tak mampu menyusun kalimat bujukan untuknya. Aku masih menunduk.
            “Padahal tadi jelas – jelas bukan hanya aku yang merokok. Kenapa cuma aku yang diskors? Sialan!” Viko kembali nyerocos. Tanpa sadar, Viko telah membagi dunianya. Kepadaku.
            “Kamu diskors berapa hari, Vik?”
            “3 hari,” jawab Viko singkat. Kelas kembali hening. Aku mulai menyadari sesuatu. Viko kecewa karena hanya dia yang dihukum. Viko tidak terima jika dihukum. Aku kira, Viko senang jika dihukum. Tapi kali ini, Viko jelas menolaknya. Viko masih punya semangat belajar. Aku tinggal menyulutnya.
            “Mmmm.. Aku bisa kok nulis catatan buat kamu. Biar kamu nggak ketinggalan pelajaran,” kembali kutawarkan bantuan. Viko hanya diam. Kemudian menatapku. Mulutnya melengkung, tersenyum. Senyum itu seperti ucapan terima kasih. Senyum manis Viko. Namun, senyum itu kembali lenyap. Viko menyampirkan tasnya di pundak.
            “Selamat bertemu 3 hari lagi,” Viko melangkah keluar kelas. Aku hanya tersenyum. Berusaha merekam senyum tulus dari mulut Viko. Lontaran kalimat dari bibirnya yang kini melunak. Tak seperti awal aku berbicara dengannya. Viko anak yang baik menurutku.
            Sejak saat itu, kami menjadi sahabat karib. Viko bersedia membagi dunianya untukku. Upayaku membantu Viko membuahkan hasil. Kemajuan prestasi Viko memang mengejutkan. Banyak yang tak percaya itu. Berbagai fitnah pun bermunculan. Yang katanya nyontek, yang kerja sama, yang punya bocoran soal, dan lain – lain. Tapi Viko tak peduli. Ia hanya ingin naik kelas dengan nilai terbaik. Aku sangat mendukung tekad Viko.
            Pernah suatu ketika kutanya mengapa Viko sering melanggar tata tertib sekolah, ia hanya menjawab dengan senyuman. Membuatku kian penasaran. Dia menjawab singkat. Mencari bapak. Apa hubungannya tata tertib dengan bapaknya? Ya, memang bapak Viko berpisah dengan Ibunya sejak lama. Dan kini, Viko tinggal bersama Ibunya. Apa yang Viko sembunyikan?
            Hari demi hari terlewati. Tiba saatnya pembagian raport. Jantungku berdegup kencang menanti hasilnya. Aku di dalam kelas bersama teman – teman yang lain. Namun aku belum bisa tenang. Viko belum datang. Bangkunya masih kosong. Hingga wali kelas masuk membawa setumpuk raport, Viko belum juga datang. Aku berharap cemas.
            Aku sedikit lega mendengar pengumuman dari wali kelas. Aku kembali menduduki peringkat pertama. Dan akupun memanen ucapan selamat dari teman – teman. Namun, itu tak membuatku sepenuhnya lega. Pikiranku masih melayang pada Viko. Sahabat terdekatku akhir – akhir ini.
            Pembagian raport selesai. Aku keluar bersama yang lain. Mataku tertumbuk pada sosok bocah di ujung koridor. Viko. Ia melambai ke arahku. Aku membalas lambaian tangannya. Seketika, plong rasanya. Aku menunggu Viko di luar kelas. Aku berdo’a semoga tekad Viko terwujud. Tak lama kemudian Viko keluar kelas. Tersenyum. Senyum yang kulihat pertama kali. Senyum manis Viko.
            “Selamat ya,” Viko menyalamiku. Aku ikut tersenyum. Tapi bukan itu yang kubutuhkan.
            “Makasih, Vik. Bagaimana raport kamu?” Aku tak bisa menahan mulutku untuk segera bertanya. Senyum Viko lenyap. Aku penasaran. Ada yang salah dari pertanyaanku? Sejurus kemudian, senyum Viko mengembang. Rasa ingin tahuku semakin besar. Menyesakkan beribu pertanyaan di benak.
            “Aku tidak naik kelas,” jawab Viko perlahan. Bak dihujani beribu panah, dadaku sakit sekali. Aku merasa gagal. Kulihat raport Viko. Benar, dia tidak naik kelas. “..aku terlalu nakal ya. Sampai – sampai tidak naik kelas,” lanjut Viko. Aku masih tak percaya. Aku tak bisa berkata apa – apa. Mataku berkaca – kaca. Kerongkonganku tercekat.
            “Maafkan aku, Vik,” Aku menangis. Aku merasa jadi sahabat yang tak berarti baginya. Hanya membuang – buang waktunya untuk belajar bersamaku. Salahkah aku?
            “Hei.. kamu nggak salah. Aku yang salah. Sebenarnya aku sering melanggar tata tertib sekolah, berharap agar aku dikeluarkan. Jika keluar, aku akan bekerja dan mencari bapak. Aku rindu sama bapak. Aku tak nyaman tinggal bersama ibu. Ibuku tidak perhatian seperti ibu kamu. Ibu selalu bekerja malam. Sedangkan siangnya, dia hanya tidur. Di sekolah pun, banyak yang tak peduli terhadapku. Teman, guru, semuanya. Tapi, kamu hadir. Kamu membantuku. Awalnya kukira kamu hanya becanda. Ternyata kamu benar – benar ikhlas membantuku. Itu yang membuatku bangkit. Aku tak ingin dikeluarkan dari sekolah,” Viko bercerita panjang lebar. Air mataku mengalir semakin deras. Baru kali ini Viko bercerita sebegitu lebarnya. Aku tak bisa berkata apa – apa.
            “Aku tadi bertengkar dengan Ibu. Makanya aku terlambat. Ibu menyuruhku putus sekolah. Tapi aku ngotot tidak mau. Hingga aku buat perjanjian. Jika aku naik kelas, aku akan melanjutkan sekolah. Jika tidak, aku pasti akan keluar. Dan nyatanya..... aku tidak naik kelas,” Viko menghela napas. Terdengar penuh sesal. Aku masih sesenggukkan.
            “Mungkin, ini pertemuan terakhir kita,” kata Viko sambil tersenyum.
            “Viko.....” kembali kuucap namanya. Air mataku menetes lagi. Bayangan Viko pun mulai mengabur. Kerongkonganku semakin sakit.
            “Baik – baik ya. Makasih untuk semuanya, ” Viko menepuk pundakku. Ia berjalan menyusuri koridor. Aku menangis sejadi – jadinya. Inikah pertemuan terakhir kita, Viko?
            Beberapa tahun telah berlalu. Aku menjadi dokter di sebuah Puskesmas. Puskesmas ini terletak jauh dari kota kelahiranku. Aku ditugaskan di sini. Agak terpencil. Sangat jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Aku masih menjadi dokter umum.
Siang ini pasien tak begitu banyak. Hingga banyak waktu longgar bagiku. Bahkan dari pagi hingga sekarang, baru belasan pasien yang datang. Pasien nomor urut 19 masuk ruang praktekku. Seorang bapak yang sudah agak tua.
            “Dokternya cantik,” puji pasien iitu. Aku tersenyum menanggapinya. Kubantu beliau duduk.
            “Bapak sendirian? Tidak diantar?”
            “Aku tadi diantar anakku. Dia juga seumuran kamu,” aku tersenyum lagi. Bapak itu juga tersenyum. Aku terkesiap. Sepertinya aku kenal dengan senyum itu. Tapi di mana? Aku baru pertama kali bertemu Bapak ini. Mana mungkin aku mengenal senyumnya?
            “Mmmm.. keluhannya apa Pak?” belum sempat pertanyaanku terjawab, pintu terbuka lagi. Mungkin itu anaknya, pikirku.
            “Nah, ini anakku. Viko namanya,” seketika aku mendongak. Dia tersenyum. Apa benar itu Viko temanku dulu?
            “Ya, Aku Viko. Ingatkah kamu?”
            “Viko... Ya tentu saja aku ingat,” kataku penuh semangat. Ternyata pasienku adalah bapaknya Viko. Viko mirip dengan bapaknya. Dan yang paling mirip adalah senyumnya. Diam – diam aku bersyukur kepada Tuhan karena kembali dipertemukan dengan sahabat lamaku.
            Selang beberapa hari, setelah pertemuan itu, ayah Viko meninggal. Aku ikut melayat. Di pemakaman kulihat Viko tidak menangis. Namun jelas matanya sembab. Dipandanginya nisan itu. Semua pelayat sudah meninggalkan makam. Tinggal aku dan Viko. Kudekati dia. Kuelus pundaknya.
            “Aku turut berduka, Viko. Semoga bapakmu diterima di sisi-Nya,” bisikku.
            “Mungkin itu jalan terbaik untuk Bapak. Bapak memang sudah sakit – sakitan sejak berpisah dengan Ibu dan meninggalkanku,” air mata Viko menetes. “...sekarang aku hidup sendiri,” lanjut Viko setengah menggumam.
            “Masih ada aku, Vik. Aku sahabatmu. Aku tak ingin kehilangan sahabat terbaik yang kedua kalinya. Kita masih sahabat, kan?” hiburku sambil mengacungkan kelingking di depan wajah Viko. Viko memandangku dan tersenyum.
            “Sahabat!” balas Viko sambil mengaitkan kelingkingnya pada kelingkingku. Aku pun ikut tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini