Viko memasuki kelas.
Tas masih di punggungnya. Sepatu tinggal sebelah. Dengan gaya soknya ia
memasuki kelas dengan tenang. Omelan guru dan sorakan teman – teman ia
dapatkan. Entah karena tebal muka atau karena terbiasa, Viko menerimanya dengan
ikhlas. Seakan bukan masalah serius baginya.
Viko
duduk. Tempat duduknya tepat di belakangku. Kepalaku sudah penuh dengan sejuta
pertanyaan tentang Viko. Bocah laki – laki yang sering atau entah suka
melanggar tata tertib sekolah, bocah yang sering dihukum, sering diomeli guru,
dan banyak lagi. Omelan guru sudah menjadi makanan sehari – hari baginya.
“Kamu
darimana, Vik? Kenapa baru masuk kelas? Bukannya kamu tadi tidak terlambat?”
setengah berbisik aku bertanya. Viko melihatku sekilas.
“Sepatuku
putih. Aku masuk BK lagi,” jawabnya singkat. Aku hanya menghela napas. Apa yang
sedang dia pikirkan? Jelas – jelas sekolah melarang untuk memakai sepatu putih,
kenapa masih saja dipakai? Untuk menguji kesabaran guru menghadapi kenakalannya?
“Kamu
tahu sepatu putih dilarang kan? Kenapa masih kamu pakai?” aku bertanya lagi.
Viko menghentikan kegiatannya. Menatapku. Aku gelagapan.
“Kenapa
tanya – tanya? Bukan urusanmu, kan? Kamu bukan siapa – siapaku!” rahang Viko
mengeras.
“Aku
temanmu, Vik. Aku ingin membantumu,”
“Aku
tak butuh bantuanmu! Kamu tak tahu masalahku!” Viko membentakku. Sontak seluruh
kelas mengarahkan pandangannya ke Viko. Guru yang sedang mengajar pun geleng –
geleng kepala kemudian menyuruh Viko keluar kelas. Dengan langkah ringan, Viko
meninggalkan bangkunya.
“Itukah
bantuanmu?” pelan, tapi jelas Aku mendengarnya. Pertanyaan Viko, seakan
menusukku. Menantangku untuk membuktikan ucapanku. Tenang Viko, Aku akan
membantumu! Entah itu berhasil atau tidak. Kamu temanku, Viko.
Bel
istirahat. Aku keluar bersama teman – teman. Mataku tertuju pada sosok di
bangku depan kelas. Viko. Tatapan matanya kosong. Melamun. Kucoba kembali
mendekati Viko.
“Viko!
Jajan yuk!” Viko mendongak. Tersenyum sinis.
“Nggak
laper,” aku mulai menyerah. Aku belum bisa memasuki dunia Viko. Ya, Viko
mempunyai dunia sendiri. Mungkin, aku hanya bisa menunggu Viko berbagi dunia
itu kepadaku. Dan itu mustahil!
***
Viko
kembali berulah. Ia ketahuan merokok di belakang sekolah. Hampir satu sekolah
membicarakannya. Di kelas apalagi. Setiap guru yang masuk di kelasku, semua
membicarakan Viko. Viko, Viko, dan Viko. Lagi – lagi, pikiranku melayang
tentang Viko. Ingin kubantu dia menghadapi masalahnya. Tapi, respon dia
terhadap bantuanku kembali teringat. Sakit hatiku karena kesombongan dia
terkuak lagi. Ah, bodoh! Aku sudah berjanji untuk membantu Viko. Kenapa hanya sakit
hati Aku menyerah? Tidak! Bendera putih itu kusimpan kembali. Aku tak ingin
temanku terjerumus ke dalam jurang negatif. Semangatku kembali membara.
Di
istirahat pertama ini Aku memilih di kelas. Membaca buku novel terbaruku. Sunyi
senyap. Aku di kelas sendiri. Semua pergi ke kantin, atau memang hanya ingin
keluar kelas. Tiba – tiba terdengar suara langkah kaki diseret. Mendekatiku.
Aku mendongak perlahan. Viko.
“Masuk
BK lagi. Uhhh!” Viko mengumpat. Aku masih diam. Menunggu reaksi Viko
selanjutnya. Viko duduk di bangkunya. Kami berdua diam. Hanya berdua di kelas.
Mungkin ini waktunya aku membujuk Viko untuk membagi dunianya.
“Viko..”
hanya itu kata – kata yang keluar dari mulutku. Lidahku kelu. Otakku tak mampu
menyusun kalimat bujukan untuknya. Aku masih menunduk.
“Padahal
tadi jelas – jelas bukan hanya aku yang merokok. Kenapa cuma aku yang diskors?
Sialan!” Viko kembali nyerocos. Tanpa sadar, Viko telah membagi dunianya.
Kepadaku.
“Kamu
diskors berapa hari, Vik?”
“3
hari,” jawab Viko singkat. Kelas kembali hening. Aku mulai menyadari sesuatu.
Viko kecewa karena hanya dia yang dihukum. Viko tidak terima jika dihukum. Aku
kira, Viko senang jika dihukum. Tapi kali ini, Viko jelas menolaknya. Viko
masih punya semangat belajar. Aku tinggal menyulutnya.
“Mmmm..
Aku bisa kok nulis catatan buat kamu. Biar kamu nggak ketinggalan pelajaran,”
kembali kutawarkan bantuan. Viko hanya diam. Kemudian menatapku. Mulutnya
melengkung, tersenyum. Senyum itu seperti ucapan terima kasih. Senyum manis
Viko. Namun, senyum itu kembali lenyap. Viko menyampirkan tasnya di pundak.
“Selamat
bertemu 3 hari lagi,” Viko melangkah keluar kelas. Aku hanya tersenyum.
Berusaha merekam senyum tulus dari mulut Viko. Lontaran kalimat dari bibirnya
yang kini melunak. Tak seperti awal aku berbicara dengannya. Viko anak yang
baik menurutku.
Sejak
saat itu, kami menjadi sahabat karib. Viko bersedia membagi dunianya untukku.
Upayaku membantu Viko membuahkan hasil. Kemajuan prestasi Viko memang
mengejutkan. Banyak yang tak percaya itu. Berbagai fitnah pun bermunculan. Yang
katanya nyontek, yang kerja sama, yang punya bocoran soal, dan lain – lain.
Tapi Viko tak peduli. Ia hanya ingin naik kelas dengan nilai terbaik. Aku
sangat mendukung tekad Viko.
Pernah
suatu ketika kutanya mengapa Viko sering melanggar tata tertib sekolah, ia
hanya menjawab dengan senyuman. Membuatku kian penasaran. Dia menjawab singkat.
Mencari bapak. Apa hubungannya tata tertib dengan bapaknya? Ya, memang bapak
Viko berpisah dengan Ibunya sejak lama. Dan kini, Viko tinggal bersama Ibunya.
Apa yang Viko sembunyikan?
Hari
demi hari terlewati. Tiba saatnya pembagian raport. Jantungku berdegup kencang
menanti hasilnya. Aku di dalam kelas bersama teman – teman yang lain. Namun aku
belum bisa tenang. Viko belum datang. Bangkunya masih kosong. Hingga wali kelas
masuk membawa setumpuk raport, Viko belum juga datang. Aku berharap cemas.
Aku
sedikit lega mendengar pengumuman dari wali kelas. Aku kembali menduduki
peringkat pertama. Dan akupun memanen ucapan selamat dari teman – teman. Namun,
itu tak membuatku sepenuhnya lega. Pikiranku masih melayang pada Viko. Sahabat
terdekatku akhir – akhir ini.
Pembagian
raport selesai. Aku keluar bersama yang lain. Mataku tertumbuk pada sosok bocah
di ujung koridor. Viko. Ia melambai ke arahku. Aku membalas lambaian tangannya.
Seketika, plong rasanya. Aku menunggu Viko di luar kelas. Aku berdo’a semoga
tekad Viko terwujud. Tak lama kemudian Viko keluar kelas. Tersenyum. Senyum
yang kulihat pertama kali. Senyum manis Viko.
“Selamat
ya,” Viko menyalamiku. Aku ikut tersenyum. Tapi bukan itu yang kubutuhkan.
“Makasih,
Vik. Bagaimana raport kamu?” Aku tak bisa menahan mulutku untuk segera
bertanya. Senyum Viko lenyap. Aku penasaran. Ada yang salah dari pertanyaanku?
Sejurus kemudian, senyum Viko mengembang. Rasa ingin tahuku semakin besar.
Menyesakkan beribu pertanyaan di benak.
“Aku
tidak naik kelas,” jawab Viko perlahan. Bak dihujani beribu panah, dadaku sakit
sekali. Aku merasa gagal. Kulihat raport Viko. Benar, dia tidak naik kelas.
“..aku terlalu nakal ya. Sampai – sampai tidak naik kelas,” lanjut Viko. Aku
masih tak percaya. Aku tak bisa berkata apa – apa. Mataku berkaca – kaca.
Kerongkonganku tercekat.
“Maafkan
aku, Vik,” Aku menangis. Aku merasa jadi sahabat yang tak berarti baginya.
Hanya membuang – buang waktunya untuk belajar bersamaku. Salahkah aku?
“Hei..
kamu nggak salah. Aku yang salah. Sebenarnya aku sering melanggar tata tertib
sekolah, berharap agar aku dikeluarkan. Jika keluar, aku akan bekerja dan
mencari bapak. Aku rindu sama bapak. Aku tak nyaman tinggal bersama ibu. Ibuku
tidak perhatian seperti ibu kamu. Ibu selalu bekerja malam. Sedangkan siangnya,
dia hanya tidur. Di sekolah pun, banyak yang tak peduli terhadapku. Teman,
guru, semuanya. Tapi, kamu hadir. Kamu membantuku. Awalnya kukira kamu hanya
becanda. Ternyata kamu benar – benar ikhlas membantuku. Itu yang membuatku
bangkit. Aku tak ingin dikeluarkan dari sekolah,” Viko bercerita panjang lebar.
Air mataku mengalir semakin deras. Baru kali ini Viko bercerita sebegitu
lebarnya. Aku tak bisa berkata apa – apa.
“Aku
tadi bertengkar dengan Ibu. Makanya aku terlambat. Ibu menyuruhku putus
sekolah. Tapi aku ngotot tidak mau. Hingga aku buat perjanjian. Jika aku naik
kelas, aku akan melanjutkan sekolah. Jika tidak, aku pasti akan keluar. Dan
nyatanya..... aku tidak naik kelas,” Viko menghela napas. Terdengar penuh
sesal. Aku masih sesenggukkan.
“Mungkin,
ini pertemuan terakhir kita,” kata Viko sambil tersenyum.
“Viko.....”
kembali kuucap namanya. Air mataku menetes lagi. Bayangan Viko pun mulai
mengabur. Kerongkonganku semakin sakit.
“Baik
– baik ya. Makasih untuk semuanya, ” Viko menepuk pundakku. Ia berjalan
menyusuri koridor. Aku menangis sejadi – jadinya. Inikah pertemuan terakhir kita,
Viko?
Beberapa
tahun telah berlalu. Aku menjadi dokter di sebuah Puskesmas. Puskesmas ini
terletak jauh dari kota kelahiranku. Aku ditugaskan di sini. Agak terpencil.
Sangat jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Aku masih menjadi dokter umum.
Siang ini pasien tak
begitu banyak. Hingga banyak waktu longgar bagiku. Bahkan dari pagi hingga
sekarang, baru belasan pasien yang datang. Pasien nomor urut 19 masuk ruang
praktekku. Seorang bapak yang sudah agak tua.
“Dokternya
cantik,” puji pasien iitu. Aku tersenyum menanggapinya. Kubantu beliau duduk.
“Bapak
sendirian? Tidak diantar?”
“Aku
tadi diantar anakku. Dia juga seumuran kamu,” aku tersenyum lagi. Bapak itu
juga tersenyum. Aku terkesiap. Sepertinya aku kenal dengan senyum itu. Tapi di
mana? Aku baru pertama kali bertemu Bapak ini. Mana mungkin aku mengenal
senyumnya?
“Mmmm..
keluhannya apa Pak?” belum sempat pertanyaanku terjawab, pintu terbuka lagi.
Mungkin itu anaknya, pikirku.
“Nah,
ini anakku. Viko namanya,” seketika aku mendongak. Dia tersenyum. Apa benar itu
Viko temanku dulu?
“Ya,
Aku Viko. Ingatkah kamu?”
“Viko...
Ya tentu saja aku ingat,” kataku penuh semangat. Ternyata pasienku adalah
bapaknya Viko. Viko mirip dengan bapaknya. Dan yang paling mirip adalah
senyumnya. Diam – diam aku bersyukur kepada Tuhan karena kembali dipertemukan
dengan sahabat lamaku.
Selang
beberapa hari, setelah pertemuan itu, ayah Viko meninggal. Aku ikut melayat. Di
pemakaman kulihat Viko tidak menangis. Namun jelas matanya sembab.
Dipandanginya nisan itu. Semua pelayat sudah meninggalkan makam. Tinggal aku
dan Viko. Kudekati dia. Kuelus pundaknya.
“Aku
turut berduka, Viko. Semoga bapakmu diterima di sisi-Nya,” bisikku.
“Mungkin
itu jalan terbaik untuk Bapak. Bapak memang sudah sakit – sakitan sejak
berpisah dengan Ibu dan meninggalkanku,” air mata Viko menetes. “...sekarang
aku hidup sendiri,” lanjut Viko setengah menggumam.
“Masih
ada aku, Vik. Aku sahabatmu. Aku tak ingin kehilangan sahabat terbaik yang
kedua kalinya. Kita masih sahabat, kan?” hiburku sambil mengacungkan kelingking
di depan wajah Viko. Viko memandangku dan tersenyum.
“Sahabat!”
balas Viko sambil mengaitkan kelingkingnya pada kelingkingku. Aku pun ikut
tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar