Apa pedulimu padaku? Aku
hanya temanmu yang akan tersenyum bila kamu tertawa. Kamu tak punya kewajiban
untuk menenangkanku. Kamu tak punya kewajiban untuk membuatku tertawa dengan
tingkahmu. Apalagi aku. Sama sekali tak punya kewajiban untuk mengatur hidupmu,
untuk mewarnai hidupmu dengan berbagai warna pelangi, menghujani hari-harimu
dengan kata-kata puitis, suasana romantis bagai kota Paris, sama sekali bukan
tujuanku sebagai pengagum sosokmu.
Kamu yang tak tahu
bagaimana aku tertohok saat kamu bersamanya. Kamu yang tak peduli apa tujuanku
merengek padamu untuk mengikuti kegiatan sore itu. Kamu yang tak tahu bagaimana
aku mati-matian menahan emosi, marah, kesal, kecewa saat kamu bermanja-manja
dengan dia.
Aku sadar, aku hanya
temanmu. Sebaik-baiknya seseorang dengan temannya, dia terlihat lebih baik
dengan orang yang dicintainya. Tak terkecuali kamu. Aku tahu itu. Aku tahu
dimana posisiku di kehidupanmu. Aku hanya orang yang selama 3 tahun menjadi
penggenap jumlah teman di kelasmu. Sedangkan dia? Menjadi orang yang selama
beberapa waktu ke depan pengisi hari-hari menyenangkanmu. Dia mampu
menghilangkan mendung di wajahmu. Aku tahu itu.
Kamu yang mendatangi
rumahku. Kamu yang duduk di depan bersamanya. Bersamaku. Menikmati indahnya
malam dengan bincang ringan. Bersamanya, bersamaku. Bercanda dengannya. Tidak
denganku. Aku di samping kananmu memainkan gitar, yang tiba-tiba lupa nada lagu
yang pernah kumainkan dulu. Persis seperti perasaanku. Merajut hati dengan
perlahan, lama, teliti, cermat. Tapi, tiba-tiba benang rajutanku kusut hingga
berubah kacau. Dan guntinglah penyelamatnya. Memotong dengan beringas. Tanpa
peduli apa yang dilakukannya adalah pemisah sesuatu yang dulu memang satu.
Aku, kamu, dan dia
adalah satu kelas. Sehari-hari bersama. Tentu saja, aku tahu betul bagaimana
kamu dan dia bercanda. Membuat lelucon, membuat kelas makin ramai, membuat
suasana sekolah tak akan terlupa sepanjang hidup, tanpa berniat menyesakkan
dadaku. Aku tahu itu. Rasa suka di antara kalian, bukan hal yang salah. Bukan
hal yang terlarang, dan termasuk hal wajar.
Mungkin, aku yang salah.
Aku yang terlalu ngotot agar kamu suka padaku, agar kamu tahu arti peduliku,
agar kamu memerhatikanku. Aku sadar. Rasa suka atau rasa cinta atau rasa
sayang, adalah hal yang tidak bisa dipaksa. Semua itu hadir dengan sendirinya.
Tak mampu dikendalikan. Hanya orang-orang tegar dan kuat yang mampu menahannya
hingga tak akan terjerumus ke dalam lembah maksiat.
Aku yang diam-diam
menjadikanmu alasanku untuk tersenyum, sekarang berubah. Senyum dalam
kepahitan, tertawa dalam tangisan. Aku ikut tersenyum jika kamu tertawa
bersamanya. Dan aku ikut tertawa saat dia bergelayut manja di pundakmu. Pedih
nan perih. Kuusahakan agar luka nyeri di ulu hati tak terbaca oleh siapapun
termasuk kamu dan dia. Aku membiarkan kalian berpuas diri dengan perasaan cinta
yang hadir menghias hari-harimu.
Berharap aku menjadi
dia. Berharap aku menjadi salah satu orang yang kamu jadikan alasan untuk
tersenyum, tertawa. Itu gila! Obsesi yang terlalu tinggi bagiku. Khayalan yang
hanya akan menurunkan pikiran rasionalku. Mengikis pelan-pelan logika dalam
otakku. Hanya karena kamu dan dia bercokol di depanku, sore itu.
Sang surya menenggelamkan
diri. Menyinari kehidupan lain di permukaan bumi. Menyisakan duka sore itu. Aku
tak tahu sejauh mana hubungan khusus kalian. Pengintaianku tak ingin mencari
tahu hubungan spesialmu dengan dia. Terlalu letih berusaha menyembunyikan
perasaan tanpa tahu kapan ujung pangkalnya. Yang kutahu, perasaan ini akan
selesai hingga waktunya tiba.
3 kata sapaan yang
meluncur lembut dari mulutmu, menggugahku untuk segera bangun pada kenyataan
bahwa kamu masih menganggapku ada. Tidak seperti mereka yang ‘menghilangkanku’
dari pandangannya. Seolah aku adalah udara. Mampu mereka tembus tanpa merasa
kesakitan. Mungkin, itulah pembedamu dengan mereka.
Apa kamu tahu maksud
jawabanku tadi? Apa kamu tahu alasanku mengoceh di sampingmu tadi? Hanya karena
ingin memperpanjang obrolan yang otomatis menahan langkahku untuk menjauh
darimu. Walaupun reaksimu hanya senyum tipis, tetap membuatku senang.
Setidaknya, kamu masih melihatku. Meski yang kuharap adalah kamu menimpali
leluconku. Ternyata tidak. Kamu membuka topik baru, dengan orang baru. Tidak
lagi denganku yang masih termangu karena kamu. Mencabut paku yang menahan
lajuku. Aku meninggalkanmu.
Kamu bukan termasuk
orang yang peduli padaku. Kamu juga bukan orang yang memperhatikanku. Cukup,
dengan kamu anggap aku ada, aku senang. Setidaknya aku bukan sekedar debu yang
tersapu angin dan mengotori jalan hidupmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar