Selasa, 30 Juli 2013

Aku di Antara Kamu dan Mereka



Apa pedulimu padaku? Aku hanya temanmu yang akan tersenyum bila kamu tertawa. Kamu tak punya kewajiban untuk menenangkanku. Kamu tak punya kewajiban untuk membuatku tertawa dengan tingkahmu. Apalagi aku. Sama sekali tak punya kewajiban untuk mengatur hidupmu, untuk mewarnai hidupmu dengan berbagai warna pelangi, menghujani hari-harimu dengan kata-kata puitis, suasana romantis bagai kota Paris, sama sekali bukan tujuanku sebagai pengagum sosokmu.
Kamu yang tak tahu bagaimana aku tertohok saat kamu bersamanya. Kamu yang tak peduli apa tujuanku merengek padamu untuk mengikuti kegiatan sore itu. Kamu yang tak tahu bagaimana aku mati-matian menahan emosi, marah, kesal, kecewa saat kamu bermanja-manja dengan dia.
Aku sadar, aku hanya temanmu. Sebaik-baiknya seseorang dengan temannya, dia terlihat lebih baik dengan orang yang dicintainya. Tak terkecuali kamu. Aku tahu itu. Aku tahu dimana posisiku di kehidupanmu. Aku hanya orang yang selama 3 tahun menjadi penggenap jumlah teman di kelasmu. Sedangkan dia? Menjadi orang yang selama beberapa waktu ke depan pengisi hari-hari menyenangkanmu. Dia mampu menghilangkan mendung di wajahmu. Aku tahu itu.
Kamu yang mendatangi rumahku. Kamu yang duduk di depan bersamanya. Bersamaku. Menikmati indahnya malam dengan bincang ringan. Bersamanya, bersamaku. Bercanda dengannya. Tidak denganku. Aku di samping kananmu memainkan gitar, yang tiba-tiba lupa nada lagu yang pernah kumainkan dulu. Persis seperti perasaanku. Merajut hati dengan perlahan, lama, teliti, cermat. Tapi, tiba-tiba benang rajutanku kusut hingga berubah kacau. Dan guntinglah penyelamatnya. Memotong dengan beringas. Tanpa peduli apa yang dilakukannya adalah pemisah sesuatu yang dulu memang satu.
Aku, kamu, dan dia adalah satu kelas. Sehari-hari bersama. Tentu saja, aku tahu betul bagaimana kamu dan dia bercanda. Membuat lelucon, membuat kelas makin ramai, membuat suasana sekolah tak akan terlupa sepanjang hidup, tanpa berniat menyesakkan dadaku. Aku tahu itu. Rasa suka di antara kalian, bukan hal yang salah. Bukan hal yang terlarang, dan termasuk hal wajar.
Mungkin, aku yang salah. Aku yang terlalu ngotot agar kamu suka padaku, agar kamu tahu arti peduliku, agar kamu memerhatikanku. Aku sadar. Rasa suka atau rasa cinta atau rasa sayang, adalah hal yang tidak bisa dipaksa. Semua itu hadir dengan sendirinya. Tak mampu dikendalikan. Hanya orang-orang tegar dan kuat yang mampu menahannya hingga tak akan terjerumus ke dalam lembah maksiat.
Aku yang diam-diam menjadikanmu alasanku untuk tersenyum, sekarang berubah. Senyum dalam kepahitan, tertawa dalam tangisan. Aku ikut tersenyum jika kamu tertawa bersamanya. Dan aku ikut tertawa saat dia bergelayut manja di pundakmu. Pedih nan perih. Kuusahakan agar luka nyeri di ulu hati tak terbaca oleh siapapun termasuk kamu dan dia. Aku membiarkan kalian berpuas diri dengan perasaan cinta yang hadir menghias hari-harimu.
Berharap aku menjadi dia. Berharap aku menjadi salah satu orang yang kamu jadikan alasan untuk tersenyum, tertawa. Itu gila! Obsesi yang terlalu tinggi bagiku. Khayalan yang hanya akan menurunkan pikiran rasionalku. Mengikis pelan-pelan logika dalam otakku. Hanya karena kamu dan dia bercokol di depanku, sore itu.
Sang surya menenggelamkan diri. Menyinari kehidupan lain di permukaan bumi. Menyisakan duka sore itu. Aku tak tahu sejauh mana hubungan khusus kalian. Pengintaianku tak ingin mencari tahu hubungan spesialmu dengan dia. Terlalu letih berusaha menyembunyikan perasaan tanpa tahu kapan ujung pangkalnya. Yang kutahu, perasaan ini akan selesai hingga waktunya tiba.
3 kata sapaan yang meluncur lembut dari mulutmu, menggugahku untuk segera bangun pada kenyataan bahwa kamu masih menganggapku ada. Tidak seperti mereka yang ‘menghilangkanku’ dari pandangannya. Seolah aku adalah udara. Mampu mereka tembus tanpa merasa kesakitan. Mungkin, itulah pembedamu dengan mereka.
Apa kamu tahu maksud jawabanku tadi? Apa kamu tahu alasanku mengoceh di sampingmu tadi? Hanya karena ingin memperpanjang obrolan yang otomatis menahan langkahku untuk menjauh darimu. Walaupun reaksimu hanya senyum tipis, tetap membuatku senang. Setidaknya, kamu masih melihatku. Meski yang kuharap adalah kamu menimpali leluconku. Ternyata tidak. Kamu membuka topik baru, dengan orang baru. Tidak lagi denganku yang masih termangu karena kamu. Mencabut paku yang menahan lajuku. Aku meninggalkanmu.
Kamu bukan termasuk orang yang peduli padaku. Kamu juga bukan orang yang memperhatikanku. Cukup, dengan kamu anggap aku ada, aku senang. Setidaknya aku bukan sekedar debu yang tersapu angin dan mengotori jalan hidupmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini