Jumat, 21 November 2014

Dawai Biru



Toko buku sore ini cukup ramai. Aku sudah melangkah ke lantai dua. Surga bagiku. Dengan lautan bukunya yang ingin kubeli semua, juga penataan yang rapi, serta aroma khas yang menguar di seluruh sudut ruangan, membuatku suka pada tempat ini. Sangat suka.
Pandangan mataku mengarah pada bagian buku New Release. Menatap tumpukan novel karyaku yang baru diterbitkan minggu lalu. Yang membuatku rajin datang ke tempat ini. Tiap hari mengecek berapa orang yang sudi membeli bukuku
Mataku tertumbuk pada seorang berjaket biru yang sedang berdiri di depan tumpukan bukuku. Membuka-buka buku yang tak begitu jelas jika kulihat dari sini. Mungkinkah yang dia pegang adalah bukuku? Percayakah ia bahwa aku sekarang menjadi penulis? Bukan seorang gadis yang pernah menjadi murid lesnya dulu? Yang sering ia ajari memetik dawai tiap minggu? Ada, sih, yang dia tak tahu sampai sekarang: aku selalu menunggu setiap pertemuan dengannya. Sayangnya, pertemuan itu sekarang tak pernah terjadi. Justru membuatku tersiksa karena kerinduan padanya sering meledak.
                                                      Dia yang memakai jaket biru tua.
Orang itu sekarang menuju kasir dengan membawa satu buku. Buku di tangannya terlihat mengkilap tertimpa cahaya lampu, menandakan masih tersampul.
Jantungku mendadak melompat-lompat. Masih kenalkah ia padaku? Haruskah aku menyapanya? Setelah sekian waktu aku tak pernah bertatap muka dengannya. Setelah beberapa kali pertemuan yang selalu terbentur oleh sekolah dan bimbingan belajar. Setelah aku dan dia sudah tak saling tertawa. Setelah aku dan dia seolah tak saling kenal. Tuhan, mampukah aku menatap wajahnya dan berkata “Hai” padanya? Sanggupkah?
Antrian di depan kasir itu maju perlahan. Pemuda berjaket biru itu juga bergerak satu langkah.
Kutatap pemuda itu. Tak menengok ke arahku sedikitpun. Perlu kupastikan bahwa orang itu sudah tak memperhatikan buku di bagian New Release. Pelan, kakiku melangkah ke arah tumpukan novelku yang masih tinggi.
Aku menengok orang itu. Tak melihatku. Lalu mataku beralih pada salah satu novelku yang sudah terbuka. Kuambil buku itu, kuelus perlahan sampulnya. Membuka tiap lembar dengan cepat. Dan kurasakan hatiku berontak. Menggelegak. Ingin sekali menghampiri orang itu, promosi bahwa ada bukuku di bagian Buku Baru. Meski sebenarnya adalah, menyapa orang itu dengan tujuan memberitahu bahwa aku masih ada dan masih mengharapkannya.
Air mataku hampir menetes. Cepat-cepat kututup bukuku, dan kukembalikan ke tempatnya.
Penglihatanku menangkap tumpukan buku yang berada tepat di samping novelku. “Petik Senar, Gitar Kau Dapat” terlihat jelas menghias sampul buku berwarna putih itu. Dengan gambar notasi balok dipadu gambar gitar warna hitam, membuat setiap orang yang lewat ingin membelinya. Diam-diam aku kecewa. Dia tak membeli novelku. Ah, mana mungkin dia tahu bahwa aku ini adalah muridnya yang dulu? Mana mungkin dia tahu bahwa kini aku telah menerbitkan sebuah novel? Dia tak mungkin tahu. Tak mungkin tahu bahwa aku masih mengharapkan sebuah pertemuan dengannya.
“Ayo, Jel!” sebuah sapa menyentakku. Membuatku menoleh cepat, dan mendapati seorang pemuda berjaket biru tengah menyapaku! Tersenyum, melambai tangan, lalu pergi, menghilang di anak tangga. Jantungku berdentam tak karuan.
Aku menyadari sesuatu. Segera kulangkahkan kaki menuju kasir. Tak sabar ingin bertanya sesuatu pada seseorang di balik mesin penghitung.
Otakku berputar cepat. Detak jantungku tak kunjung reda. Orang itu masih mengenaliku. Orang itu dengan baiknya menyapaku yang berpura-pura tak melihatnya. Orang itu masih menganggapku ada. Entah, dia masih menganggapku seorang ‘adik’ atau bukan. Ah, seharusnya aku tadi menahan langkahnya, menanyakan buku apa yang dia beli, mengingat dia bukan penggemar buku. Dia suka musik. Hanya musik. Cita-citanya jadi musisi.
 
                                 Foto ini kuambil tanpa sepengetahuannya. Dulu sekali.

Langkah demi langkah mendekati kasir, akhirnya giliranku tiba. Hati-hati aku bertanya pada seorang pegawai wanita di balik meja kasir.
“Ehm, Mbak,” kurasakan lidahku kelu.
“Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” wanita itu bertanya dengan ramah.
Aku ikut tersenyum. “Ng.... mau cek buku,” kataku lagi. Pegawai di kasir itu sudah hafal denganku. Tangannya menggerakkan mouse. Meng-klik beberapa kali, lalu kembali menatapku dengan senyum manisnya.
“Hari ini, ada 10 buku, Mbak,” tuturnya halus.
“Mmm... bisa lihat siapa saja yang membeli?” tanyaku. Senyum wanita itu hilang. Dahinya mengerut bingung. “Ngg.... anu. Pokoknya yang paling akhir. Sore ini. Ada tidak?” kuputar ulang pertanyaanku. Dalam hati aku berharap jawaban ‘iya’.
Kerutan di dahi wanitu itu semakin dalam. Tampak mengingat-ingat. “Sepertinya ada,” jawabnya agak ragu. “Oh, iya. Ada! Baru saja,” pekiknya sambil tersenyum lebar ke arahku.
“Oh. Ya sudah. Makasih, Mbak,” aku mengucap permisi, lalu berjalan menjauh dari kasir. Tanpa daya, seolah tubuhku tanpa rangka. Dia benar-benar membeli bukuku. Aku bingung harus bagaimana. Antara bahagia dan kecewa. Antara senang dan sesal. Antara rindu dan sayang. Aku linglung. Berarti, sebentar lagi, dia akan tahu siapa Biru yang kumaksud.
***
            “Wah, darimana, Bro?”
Pemuda berjaket biru itu tersenyum lebar lalu mengacungkan tas plastik yang dibawanya.
Temannnya terbelalak. “Buset! Sejak kapan jadi kutu buku?” kawannya terbahak, sedangkan pemuda itu tersipu. “Buku tentang apa, sih?” lagi, temannya bertanya. Kali ini sambil meraih bungkusan pastik di tangan pemuda itu. “Dibuka boleh?” dan pemuda itu mengangguk.
“Buka aja,” katanya.
Temannya membuka plastik yang membungkus buku itu. Setelah plastik terlepas, pelan, ia membuka lembar pertama. Lembar kedua, lembar ketiga, lembar ke empat ia baca sekilas, lalu ia kembalikan buku itu pada pemiliknya. Ia geleng-geleng kepala.
“Buat apa beli ginian?” tanya temannya pada pemuda itu.  Pemuda itu tersenyum.
"Murid gue ada yang ulang tahun. Orang tuanya baik baik ke gue. Ya mau nggak mau gue kasih kadolah,"
“Oh, iya! Murid lo ada yang jadi penulis. Minggu lalu bukunya diterbitin. Adik gue sampe nangis guling-guling minta dibeliin bukunya. Katanya, karyanya bagus-bagus. Lo udah lihat?”
Pemuda itu menoleh pada temannya. “Murid gue?” tanyanya heran.
“Iya. Murid lo. Yang suka bawa novel kemana-mana,” temannya menjelaskan dengan nada meyakinkan. Dan pemuda itu terdiam. Sudah tahu siapa yang dimaksud kawannya. Siapa lagi kalau bukan gadis yang disapanya sore ini di toko buku tadi?
Diliriknya buku berjudul “Petik Senar, Gitar Kau Dapat” yang ia pegang. Ah, seandainya dia tadi memilih buku yang berada di samping buku itu. Buku yang dibeli  remaja SMP di depannya saat mengantri di kasir tadi, yang terlihat girang karena bisa memiliki buku itu. “Dawai Biru” dengan nama penulis yang begitu dikenalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini