Toko
buku sore ini cukup ramai. Aku sudah melangkah ke lantai dua. Surga bagiku.
Dengan lautan bukunya yang ingin kubeli semua, juga penataan yang rapi, serta
aroma khas yang menguar di seluruh sudut ruangan, membuatku suka pada tempat
ini. Sangat suka.
Pandangan
mataku mengarah pada bagian buku New Release. Menatap tumpukan novel
karyaku yang baru diterbitkan minggu lalu. Yang membuatku rajin datang ke
tempat ini. Tiap hari mengecek berapa orang yang sudi membeli bukuku
Mataku
tertumbuk pada seorang berjaket biru yang sedang berdiri di depan tumpukan
bukuku. Membuka-buka buku yang tak begitu jelas jika kulihat dari sini.
Mungkinkah yang dia pegang adalah bukuku? Percayakah ia bahwa aku sekarang
menjadi penulis? Bukan seorang gadis yang pernah menjadi murid lesnya dulu? Yang
sering ia ajari memetik dawai tiap minggu? Ada, sih, yang dia tak tahu sampai
sekarang: aku selalu menunggu setiap pertemuan dengannya. Sayangnya, pertemuan
itu sekarang tak pernah terjadi. Justru membuatku tersiksa karena kerinduan
padanya sering meledak.
Orang
itu sekarang menuju kasir dengan membawa satu buku. Buku di tangannya terlihat
mengkilap tertimpa cahaya lampu, menandakan masih tersampul.
Jantungku
mendadak melompat-lompat. Masih kenalkah ia padaku? Haruskah aku menyapanya?
Setelah sekian waktu aku tak pernah bertatap muka dengannya. Setelah beberapa
kali pertemuan yang selalu terbentur oleh sekolah dan bimbingan belajar.
Setelah aku dan dia sudah tak saling tertawa. Setelah aku dan dia seolah tak
saling kenal. Tuhan, mampukah aku menatap wajahnya dan berkata “Hai” padanya?
Sanggupkah?
Antrian
di depan kasir itu maju perlahan. Pemuda berjaket biru itu juga bergerak satu
langkah.
Kutatap
pemuda itu. Tak menengok ke arahku sedikitpun. Perlu kupastikan bahwa orang itu
sudah tak memperhatikan buku di bagian New Release. Pelan, kakiku
melangkah ke arah tumpukan novelku yang masih tinggi.
Aku
menengok orang itu. Tak melihatku. Lalu mataku beralih pada salah satu novelku
yang sudah terbuka. Kuambil buku itu, kuelus perlahan sampulnya. Membuka tiap
lembar dengan cepat. Dan kurasakan hatiku berontak. Menggelegak. Ingin sekali
menghampiri orang itu, promosi bahwa ada bukuku di bagian Buku Baru. Meski
sebenarnya adalah, menyapa orang itu dengan tujuan memberitahu bahwa aku masih
ada dan masih mengharapkannya.
Air
mataku hampir menetes. Cepat-cepat kututup bukuku, dan kukembalikan ke tempatnya.
Penglihatanku
menangkap tumpukan buku yang berada tepat di samping novelku. “Petik Senar,
Gitar Kau Dapat” terlihat jelas menghias sampul buku berwarna putih itu. Dengan
gambar notasi balok dipadu gambar gitar warna hitam, membuat setiap orang yang
lewat ingin membelinya. Diam-diam aku kecewa. Dia tak membeli novelku. Ah, mana
mungkin dia tahu bahwa aku ini adalah muridnya yang dulu? Mana mungkin dia
tahu bahwa kini aku telah menerbitkan sebuah novel? Dia tak mungkin tahu. Tak
mungkin tahu bahwa aku masih mengharapkan sebuah pertemuan dengannya.
“Ayo,
Jel!” sebuah sapa menyentakku. Membuatku menoleh cepat, dan mendapati seorang
pemuda berjaket biru tengah menyapaku! Tersenyum, melambai tangan, lalu pergi,
menghilang di anak tangga. Jantungku berdentam tak karuan.
Aku
menyadari sesuatu. Segera kulangkahkan kaki menuju kasir. Tak sabar ingin
bertanya sesuatu pada seseorang di balik mesin penghitung.
Otakku
berputar cepat. Detak jantungku tak kunjung reda. Orang itu masih mengenaliku.
Orang itu dengan baiknya menyapaku yang berpura-pura tak melihatnya. Orang itu
masih menganggapku ada. Entah, dia masih menganggapku seorang ‘adik’ atau
bukan. Ah, seharusnya aku tadi menahan langkahnya, menanyakan buku apa yang dia
beli, mengingat dia bukan penggemar buku. Dia suka musik. Hanya musik.
Cita-citanya jadi musisi.
Foto ini kuambil tanpa sepengetahuannya. Dulu sekali.
Langkah demi langkah mendekati kasir, akhirnya giliranku
tiba. Hati-hati aku bertanya pada seorang pegawai wanita di balik meja kasir.
“Ehm,
Mbak,” kurasakan lidahku kelu.
“Iya,
Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” wanita itu bertanya dengan ramah.
Aku
ikut tersenyum. “Ng.... mau cek buku,” kataku lagi. Pegawai di kasir itu sudah
hafal denganku. Tangannya menggerakkan mouse. Meng-klik beberapa kali,
lalu kembali menatapku dengan senyum manisnya.
“Hari
ini, ada 10 buku, Mbak,” tuturnya halus.
“Mmm...
bisa lihat siapa saja yang membeli?” tanyaku. Senyum wanita itu hilang. Dahinya
mengerut bingung. “Ngg.... anu. Pokoknya yang paling akhir. Sore ini. Ada
tidak?” kuputar ulang pertanyaanku. Dalam hati aku berharap jawaban ‘iya’.
Kerutan
di dahi wanitu itu semakin dalam. Tampak mengingat-ingat. “Sepertinya ada,”
jawabnya agak ragu. “Oh, iya. Ada! Baru saja,” pekiknya sambil tersenyum lebar
ke arahku.
“Oh.
Ya sudah. Makasih, Mbak,” aku mengucap permisi, lalu berjalan menjauh dari
kasir. Tanpa daya, seolah tubuhku tanpa rangka. Dia benar-benar membeli bukuku.
Aku bingung harus bagaimana. Antara bahagia dan kecewa. Antara senang dan
sesal. Antara rindu dan sayang. Aku linglung. Berarti, sebentar lagi, dia
akan tahu siapa Biru yang kumaksud.
***
“Wah, darimana, Bro?”
Pemuda
berjaket biru itu tersenyum lebar lalu mengacungkan tas plastik yang dibawanya.
Temannnya
terbelalak. “Buset! Sejak kapan jadi kutu buku?” kawannya terbahak, sedangkan
pemuda itu tersipu. “Buku tentang apa, sih?” lagi, temannya bertanya. Kali ini
sambil meraih bungkusan pastik di tangan pemuda itu. “Dibuka boleh?” dan pemuda
itu mengangguk.
“Buka
aja,” katanya.
Temannya
membuka plastik yang membungkus buku itu. Setelah plastik terlepas, pelan, ia
membuka lembar pertama. Lembar kedua, lembar ketiga, lembar ke empat ia baca
sekilas, lalu ia kembalikan buku itu pada pemiliknya. Ia geleng-geleng kepala.
“Buat
apa beli ginian?” tanya temannya pada pemuda itu. Pemuda itu tersenyum.
"Murid gue ada yang ulang tahun. Orang tuanya baik baik ke gue. Ya mau nggak mau gue kasih kadolah,"
“Oh,
iya! Murid lo ada yang jadi penulis. Minggu lalu bukunya diterbitin. Adik gue
sampe nangis guling-guling minta dibeliin bukunya. Katanya, karyanya
bagus-bagus. Lo udah lihat?”
Pemuda
itu menoleh pada temannya. “Murid gue?” tanyanya heran.
“Iya.
Murid lo. Yang suka bawa novel kemana-mana,” temannya menjelaskan dengan nada
meyakinkan. Dan pemuda itu terdiam. Sudah tahu siapa yang dimaksud kawannya.
Siapa lagi kalau bukan gadis yang disapanya sore ini di toko buku tadi?
Diliriknya
buku berjudul “Petik Senar, Gitar Kau Dapat” yang ia pegang. Ah, seandainya dia
tadi memilih buku yang berada di samping buku itu. Buku yang dibeli remaja SMP di depannya saat mengantri di
kasir tadi, yang terlihat girang karena bisa memiliki buku itu. “Dawai Biru”
dengan nama penulis yang begitu dikenalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar