Jumat, 28 November 2014

Mungkinkah Orang Itu Menulis Ini Kepada Pemilik Blog?



Aku kembali melihatnya sore ini. Dia memakai baju berlogo klub sepak bola ternama Spanyol, dan celana jeans hitam. Mungkin, gadis itu memang menyukai klub sepak bola tersebut, karena sempat beberapa kesempatan aku melihatnya memakai jaket berlogo sama. Sore ini, dia sedang belajar fisika. Mungkin, besok dia akan ulangan atau hanya memperdalam materi karena UAS sudah dekat. Ehm, entah kenapa aku berpikir begitu. Apa karena setiap Senin dan Rabu aku selalu melihatnya? Apa karena aku selalu melihatnya mengambil air wudhu lalu sholat? Atau ada hal lain?
            Gadis itu jarang tersenyum meskipun tak bisa dibilang selalu cemberut. Aku pernah beberapa kali melihat senyumnya, tawanya, celotehnya, dan suatu hari pernah aku mendengar suaranya. Aku juga pernah mendapatinya tengah mengintipku dari balik kelasnya. Hahaha. Kira-kira apa yang dipikirkan gadis itu ya? Apakah dia tahu jika aku sering melihatnya diam-diam? Ah, jangan sampai dia tahu.
            Contohnya saja sore ini. Berkali-kali aku melewatinya. Berkali-kali aku melihatnya sedang mengerjakan sesuatu. Berkali-kali pula dia melihat ke arahku. Apa dia sudah tahu jika aku sering mengamatinya dibalik diamku? Aku yakin tak ada yang tahu selain aku sendiri dan Tuhan. Teman-temanku tak kuberi tahu. Apalagi gadis itu. Aku jarang berbicara dengannya. Selain karena aku dan dia tidak satu kelas, kupikir dia gadis yang pendiam. Diam hanya untuk orang-orang yang belum ia kenal, termasuk diriku.
            Ehm, ngomong-ngomong, aku pernah menegurnya. Dua kali seingatku. Yang pertama, ketika dia akan menyalakan komputer umum di sini, dan komputer itu sedang eror. Berkali-kali ia menengok ke belakang, mencari bantuan, dan serta-merta kakiku melangkah ke arahnya. Ya, aku memang bukan ahli komputer. Tapi setidaknya, aku bisa membantunya mencari bantuan.
            “Komputernya bisa nyala?” tanyaku waktu itu. Gadis itu langsung menoleh ke arahku.
            Dia mengerucutkan bibir. “Nggak tahu. Nggak bisa,” jawabnya lalu memandang layar komputer di depannya.
Jujur, ingin sekali aku mencubit pipinya. Saat itu dia dua kali lebih menggemaskan. Tanganku langsung meraih mouse. Menggerak-gerakkan, tapi nihil. Layar komputer tetap hitam. Lalu tanganku menekan tombol ON pada CPU, kutunggu beberapa saat, sayangnya tetap nihil. Gadis itu mendesah kecewa. Aku sedikit merasa bersalah karena tidak langsung mencari bantuan. Seharusnya aku menyadari dari awal bahwa aku memang bukan ahli komputer. Dan yang lebih penting, seharusnya aku mengaku bahwa aku tak tahu-menahu kenapa komputer ini tak bisa menyala.
“Ehm, tunggu sebentar. Akan kupanggil kawanku,” kataku kemudian. Aku menyerah. Kulihat dia mengangguk, dan aku segera melesat mencari temanku.
Itu adalah yang pertama. Sedangkan yang kedua, aku  menyapanya sekaligus menyarankan. Ya sebenarnya ingin menyapa, dan kujadikan saran sebagai tamengnya. Kala itu, ketika aku bersiap sholat, gadis itu baru akan memasuki mushola. Dia berjalan sambil memeluk mukena miliknya yang kemudian ia letakkan di dalam mushola. Gadis itu akan mengambil air wudhu, tepat seperti yang kuduga. Aku sudah siap untuk menyapanya. Kupelankan gerakanku mengembalikan gulungan lengan kemejaku, menunggunya menyalakan keran, dan itu sesuai perkiraan. Keran air mati.
“Wudhu di kamar mandi saja. Di situ kerannya mati,” kataku. Gadis itu menoleh sedikit terkejut. Mungkin, dia kaget melihatku tengah tersenyum lembut ke arahnya. Eh, benarkah aku tersenyum lembut? Kenapa hanya kepada gadis itu? Kenapa bukan pada gadis yang tadi juga bernasib sama—menyalakan keran air yang mati?
“Oh,” sedikit canggung dia membalas senyumku lalu melangkah ke kamar mandi.
Ya, itu adalah sekilas cerita seorang gadis yang menyita perhatianku selama ini. Aku sering bertemu dengannya ketika dia meletakkan helm di tempat penitipan helm. Helmnya berwarna hitam, senada dengan jam tangan yang selalu melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tasnya ganti-ganti. Dulu pernah berwarna oranye, sempat warna cokelat dengan motif bunga, dan sore ini...... entah, aku tak melihat tasnya.
Kupikir, gadis itu pribadi yang menyenangkan. Aku sering melihatnya tertawa di tengah teman-temannya. Tak jarang pula aku melihatnya biasa saja ketika melihat nilai Try Out dipajang di papan pengumuman. Mungkin, dia sedikit kecewa dengan nilainya. Terkadang, gadis itu mendengus kesal melihat teman-temannya begitu gembira dengan nilai-nilai tinggi dan ranking yang tinggi pula. Sayang sekali, aku tak tahu namanya. Aku tak bisa memonitor nilai-nilai Try Out­-nya.
Oh, iya. Ada satu lagi yang masih terganjal di pikiranku. Beberapa waktu lalu, gadis itu tidak masuk. Dan entah kebetulan atau tidak, itu bertepatan dengan adanya kabar bahwa ada dua orang, sama-sama perempuan, ke Bogor selama satu minggu untuk lomba menulis cerita. Jangan-jangan salah satu di antaranya adalah gadis itu? Jangan-jangan dia pandai menulis? Jangan-jangan dia meraih juara? Wah, aku belum mengucapkan selamat padanya. Ehm, tapi kupikir-pikir, itu tak masalah. Jika aku mengucapkan selamat, itu sama saja membuka rahasiaku selama ini yang jadi pengamat rahasianya.

Ah, entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini