Aku
kembali melihatnya sore ini. Dia memakai baju berlogo klub sepak bola ternama
Spanyol, dan celana jeans hitam. Mungkin, gadis itu memang menyukai klub sepak
bola tersebut, karena sempat beberapa kesempatan aku melihatnya memakai jaket
berlogo sama. Sore ini, dia sedang belajar fisika. Mungkin, besok dia akan
ulangan atau hanya memperdalam materi karena UAS sudah dekat. Ehm, entah kenapa
aku berpikir begitu. Apa karena setiap Senin dan Rabu aku selalu melihatnya?
Apa karena aku selalu melihatnya mengambil air wudhu lalu sholat? Atau ada hal
lain?
Gadis itu jarang tersenyum meskipun
tak bisa dibilang selalu cemberut. Aku pernah beberapa kali melihat senyumnya,
tawanya, celotehnya, dan suatu hari pernah aku mendengar suaranya. Aku juga
pernah mendapatinya tengah mengintipku dari balik kelasnya. Hahaha. Kira-kira
apa yang dipikirkan gadis itu ya? Apakah dia tahu jika aku sering melihatnya
diam-diam? Ah, jangan sampai dia tahu.
Contohnya saja sore ini.
Berkali-kali aku melewatinya. Berkali-kali aku melihatnya sedang mengerjakan
sesuatu. Berkali-kali pula dia melihat ke arahku. Apa dia sudah tahu jika aku
sering mengamatinya dibalik diamku? Aku yakin tak ada yang tahu selain aku
sendiri dan Tuhan. Teman-temanku tak kuberi tahu. Apalagi gadis itu. Aku jarang
berbicara dengannya. Selain karena aku dan dia tidak satu kelas, kupikir dia
gadis yang pendiam. Diam hanya untuk orang-orang yang belum ia kenal, termasuk
diriku.
Ehm, ngomong-ngomong, aku pernah
menegurnya. Dua kali seingatku. Yang pertama, ketika dia akan menyalakan
komputer umum di sini, dan komputer itu sedang eror. Berkali-kali ia menengok
ke belakang, mencari bantuan, dan serta-merta kakiku melangkah ke arahnya. Ya,
aku memang bukan ahli komputer. Tapi setidaknya, aku bisa membantunya mencari
bantuan.
“Komputernya bisa nyala?” tanyaku
waktu itu. Gadis itu langsung menoleh ke arahku.
Dia mengerucutkan bibir. “Nggak
tahu. Nggak bisa,” jawabnya lalu memandang layar komputer di depannya.
Jujur,
ingin sekali aku mencubit pipinya. Saat itu dia dua kali lebih menggemaskan.
Tanganku langsung meraih mouse. Menggerak-gerakkan, tapi nihil. Layar
komputer tetap hitam. Lalu tanganku menekan tombol ON pada CPU, kutunggu
beberapa saat, sayangnya tetap nihil. Gadis itu mendesah kecewa. Aku sedikit
merasa bersalah karena tidak langsung mencari bantuan. Seharusnya aku menyadari
dari awal bahwa aku memang bukan ahli komputer. Dan yang lebih penting,
seharusnya aku mengaku bahwa aku tak tahu-menahu kenapa komputer ini tak bisa
menyala.
“Ehm,
tunggu sebentar. Akan kupanggil kawanku,” kataku kemudian. Aku menyerah.
Kulihat dia mengangguk, dan aku segera melesat mencari temanku.
Itu
adalah yang pertama. Sedangkan yang kedua, aku
menyapanya sekaligus menyarankan. Ya sebenarnya ingin menyapa, dan
kujadikan saran sebagai tamengnya. Kala itu, ketika aku bersiap sholat, gadis
itu baru akan memasuki mushola. Dia berjalan sambil memeluk mukena miliknya
yang kemudian ia letakkan di dalam mushola. Gadis itu akan mengambil air wudhu,
tepat seperti yang kuduga. Aku sudah siap untuk menyapanya. Kupelankan
gerakanku mengembalikan gulungan lengan kemejaku, menunggunya menyalakan
keran, dan itu sesuai perkiraan. Keran air mati.
“Wudhu
di kamar mandi saja. Di situ kerannya mati,” kataku. Gadis itu menoleh sedikit
terkejut. Mungkin, dia kaget melihatku tengah tersenyum lembut ke arahnya. Eh,
benarkah aku tersenyum lembut? Kenapa hanya kepada gadis itu? Kenapa bukan pada
gadis yang tadi juga bernasib sama—menyalakan keran air yang mati?
“Oh,”
sedikit canggung dia membalas senyumku lalu melangkah ke kamar mandi.
Ya,
itu adalah sekilas cerita seorang gadis yang menyita perhatianku selama ini.
Aku sering bertemu dengannya ketika dia meletakkan helm di tempat penitipan
helm. Helmnya berwarna hitam, senada dengan jam tangan yang selalu melingkar di
pergelangan tangan kirinya. Tasnya ganti-ganti. Dulu pernah berwarna oranye,
sempat warna cokelat dengan motif bunga, dan sore ini...... entah, aku tak melihat
tasnya.
Kupikir,
gadis itu pribadi yang menyenangkan. Aku sering melihatnya tertawa di tengah
teman-temannya. Tak jarang pula aku melihatnya biasa saja ketika melihat nilai Try
Out dipajang di papan pengumuman. Mungkin, dia sedikit kecewa dengan nilainya.
Terkadang, gadis itu mendengus kesal melihat teman-temannya begitu gembira
dengan nilai-nilai tinggi dan ranking yang tinggi pula. Sayang sekali, aku tak
tahu namanya. Aku tak bisa memonitor nilai-nilai Try Out-nya.
Oh,
iya. Ada satu lagi yang masih terganjal di pikiranku. Beberapa waktu lalu,
gadis itu tidak masuk. Dan entah kebetulan atau tidak, itu bertepatan dengan
adanya kabar bahwa ada dua orang, sama-sama perempuan, ke Bogor selama satu
minggu untuk lomba menulis cerita. Jangan-jangan salah satu di antaranya adalah
gadis itu? Jangan-jangan dia pandai menulis? Jangan-jangan dia meraih juara?
Wah, aku belum mengucapkan selamat padanya. Ehm, tapi kupikir-pikir, itu tak
masalah. Jika aku mengucapkan selamat, itu sama saja membuka rahasiaku selama ini
yang jadi pengamat rahasianya.
Ah,
entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar