Wejangan Mas
Ravi malam ini emang bikin ‘nyesss’ banget.
“Untuk
apa kaususah-susah memendam rindu pada seseorang yang tak sepenuhnya
merindukanmu? Untuk apa kausulit melupakan seseorang yang bahkan tak pernah
mengingatmu?” ini ‘nyess’ pertama. Bayangkan saja, jika pada kalimat awal
percakapan, langsung ditodong kalimat sebegini tajamnya?
“Mungkin, dia sudah lupa. Atau,
anggap saja dia telah lupa. Dia lupa karena memang otaknya malas mengingat.
Bukan karena dia terserang amnesia. Dia tak mungkin ingat pada pertanyaan, yang
baginya ringan untuk diucap, Jel! Pertanyaan bodoh yang kauanggap sangat
berarti. Yang selalu kauanggap lebih. Yang selalu kauingat, kaunanti pertanyaan
setelahnya, yang selalu membuatmu malas untuk beranjak dari hidupnya!
Penghambatmu untuk bergerak.” Kuakui, ini benar. Aku begitu mengharapkannya
setelah dia mengucapkan sebuah pertanyaan yang tak akan kutulis di sini.
“Dia tak tahu apa-apa. Atau, anggap
saja dia tak mau tahu tentangmu. Pahit, memang. Tapi, apa boleh buat? Daripada
kauketinggian berharap, dan ujung-ujungnya kaudihempaskan ke tanah berbatu dan
bergelombang, bahkan dengan gaya menukik? Tak hanya pahit, tapi sakit. Pedih.
Perih. Terluka lagi.
“Kautak perlu mengurusi hidupnya
lagi. Tak perlu menjadi penguntit lagi di hidupnya. Tak lagi mengamati
senyumnya, tawanya yang sering meledak kapan saja, dan perhatiannya yang selalu
ia bagi kepada siapa saja. Tak hanya untukmu, Jel. Tak hanya untuk gadis yang
sering menulis tentangnya. Tapi juga untuk semua orang, bahkan untuk orang yang
sedikitpun tak memperhatikannya. Kaupasti tahu dia adalah orang yang baik. Sangat
baik. Orang yang pantas kausukai,” lagi, tertohok. Kalimatnya yang panjang
bikin ‘nyess’nya juga lebih lama.
“Tak apa, kan, menangisi seseorang
yang pergi, ketika sedang cinta-cintanya?” tanyaku lirih.
“Ya,
memang tak apa. Tapi perlu kauingat, Jel! Itu hal yang sia-sia. Bukankah, lebih
menguntungkan jika semua perasaanmu yang begitu hancur ini, kaubuat tulisan
lalu kaukirim kepada yang bersangkutan? Biar dia tahu sekalian. Biar dia ingat.
Aku yakin, jika kamu memancing pertanyaan seputar peristiwa-peristiwa
tentangnya yang kauistimewakan, dia belum lupa. Tak apa, Jel. Biar dia tahu.”
Nada Mas Ravi melembut. Aku terdiam.
“Atau
kauberpikiran, lebih baik begini? Saling diam, saling tak tahu, saling tak
anggap ada, saling tak acuh, saling tak peduli? Kaubetah berlama-lama begini,
Jel? Sampai perasaanmu yang remuk ini sudah membentuk perasaan yang baru?
Sampai dia benar-benar lupa padamu? Atau kaumembiarkan orang lain yang ternyata
sudah tahu, untuk membocorkan tulisan-tulisanmu untuknya?” ini benar. Membuat
jantungku berdetak lebih cepat.
“Kautahu?
Bagiku, tulisan-tulisan yang kauposting di blog, terlalu tidak rahasia. Yah,
mungkin, karena aku adalah ladangmu bercerita. Jadi, aku bisa tahu semua. Aku
sendiri tak tahu, tulisan-tulisanmu itu menurutnya apa. Bahkan aku tak tahu,
jika dia sudah membacanya atau belum, atau tak peduli.
“Lucunya,
kaubegitu berharap bahwa dia bukan orang yang hobi membaca. Pada saat yang
bersamaan, kaubegitu berharap bahwa dia adalah orang yang peka. Kesimpulannya,
yang rumit itu, Anda, bukan dia.” tandas Mas Ravi yang membuatku sesenggukan.
“Sebenarnya,
kamu takut jika dia tahu, dia malah menjauh. Tapi, di sisi lain, kamu ingin dia
tahu, setidaknya agar dia memberi penjelasan apakah kamu benar-benar isitimewa
di hidupnya, atau bukan. Kamu pasti begitu takut dia berkata bahwa kamu memang
bukan wanita spesial. Jadi, kamu memilih jatuh cinta diam-diam,” tambah Mas
Ravi. Tangisku langsung deras.
Hei,
apakah kaubenar-benar seperti yang dikatakan abangku ini? Kuharap abangku
adalah salah satu anggota PERKEMI. Kuharap abangku hanya mengada-ada. Kuharap.
“Apa
kamu butuh mengerti kenapa kamu ingin selalu bertemu dengannya? Apa kamu butuh
tahu kenapa otakmu begitu sulit mengenyahkannya? Apa kamu butuh rumus kimia
untuk menerjemahkan reaksi yang ada di tubuhmu terhadapnya saat ini? Tidak,
kan? Tak perlu bukti itu semua, kan? Karena cinta memang tak perlu penjelasan.
Cinta hanya butuh: kau suka, dia juga suka. Jadi, jangan salahkan cinta, jika
hanya kauyang suka. Berarti itu bukan cinta. Itu hanya rasa suka biasa.” Kalimat di
samping adalah kata-kata dari Mas Bayu yang sudah digubah untuk memenuhi unsur
puitis. Sepertinya memang benar. Ini bukan cinta, tapi rasa suka biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar