Jumat, 05 Desember 2014

Bukan Cinta



Wejangan Mas Ravi malam ini emang bikin ‘nyesss’ banget.
“Untuk apa kaususah-susah memendam rindu pada seseorang yang tak sepenuhnya merindukanmu? Untuk apa kausulit melupakan seseorang yang bahkan tak pernah mengingatmu?” ini ‘nyess’ pertama. Bayangkan saja, jika pada kalimat awal percakapan, langsung ditodong kalimat sebegini tajamnya?
            “Mungkin, dia sudah lupa. Atau, anggap saja dia telah lupa. Dia lupa karena memang otaknya malas mengingat. Bukan karena dia terserang amnesia. Dia tak mungkin ingat pada pertanyaan, yang baginya ringan untuk diucap, Jel! Pertanyaan bodoh yang kauanggap sangat berarti. Yang selalu kauanggap lebih. Yang selalu kauingat, kaunanti pertanyaan setelahnya, yang selalu membuatmu malas untuk beranjak dari hidupnya! Penghambatmu untuk bergerak.” Kuakui, ini benar. Aku begitu mengharapkannya setelah dia mengucapkan sebuah pertanyaan yang tak akan kutulis di sini.
            “Dia tak tahu apa-apa. Atau, anggap saja dia tak mau tahu tentangmu. Pahit, memang. Tapi, apa boleh buat? Daripada kauketinggian berharap, dan ujung-ujungnya kaudihempaskan ke tanah berbatu dan bergelombang, bahkan dengan gaya menukik? Tak hanya pahit, tapi sakit. Pedih. Perih. Terluka lagi.
            “Kautak perlu mengurusi hidupnya lagi. Tak perlu menjadi penguntit lagi di hidupnya. Tak lagi mengamati senyumnya, tawanya yang sering meledak kapan saja, dan perhatiannya yang selalu ia bagi kepada siapa saja. Tak hanya untukmu, Jel. Tak hanya untuk gadis yang sering menulis tentangnya. Tapi juga untuk semua orang, bahkan untuk orang yang sedikitpun tak memperhatikannya. Kaupasti tahu dia adalah orang yang baik. Sangat baik. Orang yang pantas kausukai,” lagi, tertohok. Kalimatnya yang panjang bikin ‘nyess’nya juga lebih lama.
            “Tak apa, kan, menangisi seseorang yang pergi, ketika sedang cinta-cintanya?” tanyaku lirih.
“Ya, memang tak apa. Tapi perlu kauingat, Jel! Itu hal yang sia-sia. Bukankah, lebih menguntungkan jika semua perasaanmu yang begitu hancur ini, kaubuat tulisan lalu kaukirim kepada yang bersangkutan? Biar dia tahu sekalian. Biar dia ingat. Aku yakin, jika kamu memancing pertanyaan seputar peristiwa-peristiwa tentangnya yang kauistimewakan, dia belum lupa. Tak apa, Jel. Biar dia tahu.” Nada Mas Ravi melembut. Aku terdiam.
“Atau kauberpikiran, lebih baik begini? Saling diam, saling tak tahu, saling tak anggap ada, saling tak acuh, saling tak peduli? Kaubetah berlama-lama begini, Jel? Sampai perasaanmu yang remuk ini sudah membentuk perasaan yang baru? Sampai dia benar-benar lupa padamu? Atau kaumembiarkan orang lain yang ternyata sudah tahu, untuk membocorkan tulisan-tulisanmu untuknya?” ini benar. Membuat jantungku berdetak lebih cepat.
“Kautahu? Bagiku, tulisan-tulisan yang kauposting di blog, terlalu tidak rahasia. Yah, mungkin, karena aku adalah ladangmu bercerita. Jadi, aku bisa tahu semua. Aku sendiri tak tahu, tulisan-tulisanmu itu menurutnya apa. Bahkan aku tak tahu, jika dia sudah membacanya atau belum, atau tak peduli.
“Lucunya, kaubegitu berharap bahwa dia bukan orang yang hobi membaca. Pada saat yang bersamaan, kaubegitu berharap bahwa dia adalah orang yang peka. Kesimpulannya, yang rumit itu, Anda, bukan dia.” tandas Mas Ravi yang membuatku sesenggukan.
“Sebenarnya, kamu takut jika dia tahu, dia malah menjauh. Tapi, di sisi lain, kamu ingin dia tahu, setidaknya agar dia memberi penjelasan apakah kamu benar-benar isitimewa di hidupnya, atau bukan. Kamu pasti begitu takut dia berkata bahwa kamu memang bukan wanita spesial. Jadi, kamu memilih jatuh cinta diam-diam,” tambah Mas Ravi. Tangisku langsung deras.
Hei, apakah kaubenar-benar seperti yang dikatakan abangku ini? Kuharap abangku adalah salah satu anggota PERKEMI. Kuharap abangku hanya mengada-ada. Kuharap.

“Apa kamu butuh mengerti kenapa kamu ingin selalu bertemu dengannya? Apa kamu butuh tahu kenapa otakmu begitu sulit mengenyahkannya? Apa kamu butuh rumus kimia untuk menerjemahkan reaksi yang ada di tubuhmu terhadapnya saat ini? Tidak, kan? Tak perlu bukti itu semua, kan? Karena cinta memang tak perlu penjelasan. Cinta hanya butuh: kau suka, dia juga suka. Jadi, jangan salahkan cinta, jika hanya kauyang suka. Berarti itu bukan cinta. Itu hanya rasa suka biasa.” Kalimat di samping adalah kata-kata dari Mas Bayu yang sudah digubah untuk memenuhi unsur puitis. Sepertinya memang benar. Ini bukan cinta, tapi rasa suka biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini