Ini
hari natal. Aku tahu kamu tidak ke gereja. Aku tahu kamu tidak akan tergesa
membuka bungkusan-bungkusan kado di bawah pohon cemara berhias lampu
warna-warni dengan bintang di pucuknya. Aku tahu, kamu tidak sedang
bertanya-tanya apakah Santa bertandang ke rumahmu tadi malam. Aku juga tahu,
kamu sudah terlalu dewasa untuk mengerti bahwa kamu tinggal di daerah
khatulistiwa—tidak ada salju di hari natal. Aku tahu.
Malam natal, sudah kunanti-nanti
esoknya menjadi hari natal. Tak sabar, ingin aku mendatangimu dan menjabat
tanganmu lalu memberimu sekotak kado berpita biru—warna kesukaanmu. Ingin aku
kembali melihatmu setelah sekian lama aku tak tahu kabarmu. Aku ingin kamu
kembali, ke sini, di dekatku. Dan kurasa, hari natal, adalah waktu yang tepat
untuk itu. Untukmu kembali.
Aku sudah lupa, tanggal berapa,
bulan apa, yang jelas tahun ini, lekat aku menatap wajah seriusmu. Tanpa
berkedip, fokus pada layar monitor yang entah, tak kutahu ada apa dengan
komputer di depanmu itu. Tanpa sebentuk senyum, yang tadinya sempat kautujukan
untukku. Tanpa menghiraukan diriku yang masih berdiri mematung melihatmu.
Mungkin, itu adalah kali terakhir aku melihatmu dengan balutan baju warna merah
yang wajib bagimu. Setidaknya, itu seingatku.
Malam natal, aku sudah merancang 1001
cara agar mataku masih bertahan di jarum jam 12, dan menjadi pengucap pertama
untukmu. Malam natal, diiringi sahut-sahutan nyanyian gereja, aku memikirkanmu.
Membayangkan ekspresimu, jika semua hal di atas benar-benar kulakukan. Dan aku
tersenyum sendiri, jika aku benar-benar kembali bertemu denganmu. Jika hari
natal tahun ini, kamu benar-benar di sini, di dekatku.
Sayangnya, ketika hari natal tiba,
aku justru lupa. Aku lupa bahwa ini adalah hari natal, dan merupakan hari
istimewa untukmu. Selain tanggal merah, ucapan “Selamat Hari Natal” yang silih
berganti di layar kaca, dan mungkin, beberapa kado dari temanmu. Aku lupa pada
khayalan-khayalanku tadi malam jika aku yang akan jadi pengucap pertama, karena
aku terlalu letih akibat suatu kesibukan yang tak kutulis di sini, dan malah
tertidur sampai matahari memunculkan semburatnya. Pagi ini, aku lupa yang
sempat memikirkanmu di tengah nyanyian gereja. Aku lupa bahwa hari natal adalah
hari spesial untukmu.
25 Desember, bukan tentang natal,
Santa, salju, kado di bawah pohon cemara berhias, dan tanggal merah. Lebih dari
itu, tentu saja. Ini harimu. Hari spesialmu. Istimewa juga menurutku. Karena,
hari ini, setelah sekian lama kita tak berjumpa, aku kembali mendapatimu—dalam tawa—sesuatu
yang jarang kulihat—karena memang, aku jarang bertemu denganmu akhir-akhir ini.
Ya, hari ini, aku kembali melihatmu dengan baju warna merah wajibmu. Dengan
tawa. Hari ini juga.
Meski begitu, setelah aku
benar-benar melihatmu, di hari spesialmu—secara tak terduga aku justru bertemu
denganmu—yang sempat kupikirkan tadi malam, tapi juga sempat terlupa pagi ini.
Aku tidak menjabat tanganmu dan mengucap sepatah kalimat untukmu, karena aku
benar-benar lupa bahwa ini hari spesialmu, dan karena aku terlalu senang akibat
pertemuan singkat kita siang ini.
Maaf, tadi lupa. Sebenarnya, aku
hanya ingin bilang ini:
“Selamat ulang tahun, Mas,” dengan
senyum paling manis yang kumiliki.
Untuk seseorang,
Yang tak
merayakan natal,
Tapi
menganggap, 25 Desember adalah istimewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar