Selasa, 23 Desember 2014

Mengenang



Hai, Mas Bayu. Apa kabar? Semoga, kabarmu baik-baik saja, seperti aku di sini yang baik-baik saja. Jika aku tak baik, tidak mungkin aku menulis tentang kamu, kan? Haha. Ini sudah bulan ke-enam setelah aku dan kamu bertatap muka, dan mengabadikan sore 23 Juni 2014 di Jogja. Sudah setengah tahun, Mas. Nggak kebayang, kan? Ah, pasti kamu sudah lupa. Mungkin saja, setelah aku meminta tanda tanganmu sore itu, besoknya, ada lagi yang bersikap sama denganku ketika melihatmu. Mungkin saja, ada gadis lain yang meminta berfoto denganmu lusanya. Mungkin saja, bukan?
            
Jadi, begini. Setelah aku bertemu denganmu untuk yang pertama, aku jadi sering stalk twittermu yang hanya dihuni jangkrik saking sepinya. Kamu jarang nge-tweet, kan? Atau, kamu punya twitter lain?
Oke, abaikan. Selain itu, aku jadi sering menulis cerpen dengan tokoh utama bernama ‘Bayu’. Lain lagi, aku sering menulis status dengan menyertakan ‘Mas Bayu’, seolah-olah statusku berasal dari apa yang kamu katakan. Lainnya, aku jadi sering mengikuti perkembangan karirmu. Ketika di Jogja waktu itu, kamu masih timnas U23, yang tengah bersiap untuk ASIAN Games 2014, kan? Dan untuk menunjang persiapan itu, kamu ke Italia, kan? Melawan Cagliari, AS Roma, dan.... dan.... ah, aku lupa. Pokoknya itu.
            
Setelah pertemuan kita, aku jadi memperhatikan orang-orang bernama Bayu, kecuali teman satu sekolahku yang memang ada yang namanya Bayu. Oke, abaikan. Aku ingin bercerita tentang Bayu yang sama-sama atlet sepertimu. Tapi, atlet futsal, bukan sepak bola. Namanya Bayu. Bambang Bayu Saptaji. Dia juga atlet yang sering jadi tumpuan dalam penyerangan. Mirip sepertimu. Dia adalah atlet yang sering jadi pusat perhatian para komentator karena kelincahannya, sama sepertimu. Oh, iya, ada lagi yang namanya Bayu. Dia atlet sepak bola, timnas U16. Dia menjadi pusat perhatian setelah kedua golnya yang bersarang di gawang lawan. Dia cukup lincah, berposisi sebagai penyerang. Bayu Yudha.
             
Mas Bayu, dengar-dengar, markas klubmu pindah ke Bali, ya? Apakah kamu juga sudah ke sana? Aku tahu, cukup lama kamu berada di Samarinda. Kekasihmu juga orang Samarinda, kan? Lantas, bagaimana jika kamu pindah ke Bali? Hubungan jarak jauh, Mas? Ah, aku tak berhak mempertanyakan ini. Terlalu pribadi, bukan? Siapa, sih, aku? Hanya gadis yang dengan malu-malu, dan bingung, bagaimana cara agar kamu menengok setelah melangkah melewati gerbang lapangan UNY. Hanya gadis yang bingung, melihat Rizky Pellu, Andritany, Pak Aji Santoso, beberapa official, Fandi Eko, Ramdani Lestaluhu, Syakir Sulaiman, yang keluar dari lapangan UNY. Entah menantimu, entah menanti siapa. Hanya bingung dan berkali-kali menoleh ke arah orang tuanya yang berdiri di belakangnya.
             
Dan, yak! Kamu ada, aku memanggilmu.
            
 “Mas Bayu!”
            
Dan kamu menoleh, dan aku berkata, “Minta foto, ya?” dan kamu berhenti di samping mobil hitam, entah itu mobil milik siapa, dan aku bergegas menyerahkan kamera digital kepada kakakku, dan aku menghampirimu dengan tangan yang menggenggam buku novel Semangat Mem-BATU serta spidol, dan aku berdiri di dekatmu, dan kedua tanganmu di belakang mirip ‘istirahat di tempat’, dan kamu lelah tapi berusaha tetap tersenyum di kamera, dan jatungku berdegup begitu cepat, begitu bergejolak, dan setelah foto kita sudah terekam dalam kamera, aku masih menahanmu.
           
“Tanda tangannya sekalian,” sambil menyerahkan spidol dan buku yang sedari tadi kugenggam. Kamu membolak-balik sebentar, mungkin bingung—apakah hanya seorang Bayu Gatra yang tanda tangan? Ataukah ada pemain lain yang akan diminta bertanda tangan? Jadi, tanda tangan yang diberikan, besar atau kecil? Di sudut atau di tengah?
           
“Itu, minta kaos itu. Banyak dia,” aku menoleh sekilas kepada yang bersuara itu. Karena aku begitu bersemangat dan tak mempedulikan sekitar saking senangnya, aku tak begitu tahu jelas siapa yang berkata. Kata ibuku, itu Pak Aji yang bilang. Sambil menunjuk Mas Bayu yang hanya mesam-mesem sambil menandatangani bukuku. (Bagian ini belum kutulis di tulisan sebelumnya, kan? Ini juga nonfiksi, lo. Bukan ngarang-ngarang. Aku baru ingat ini, ketika beberapa hari yang lalu, bapakku membicarakan hal ini.).
            
“Ini nge-fans sama sampeyan,” nah, ini ibuku yang bilang pada Mas Bayu. (Ini juga bagian yang belum kutulis di tulisanku yang sebelumnya, kan? Sama, ini nonfiksi.). Ibuku berkata seperti itu pada Mas Bayu. Menggunakan bahasa Jawa, yang aku yakin, Mas Bayu mengerti.
             
Bodohnya, kenapa saat tanda tangan, aku tak melihat wajah Mas Bayu lekat? Dalam jarak dekat, padahal. Bukan hanya di layar kaca yang mengandalkan kamera milik stasiun tv yang meliput. Waktu itu nyata! Di depan mata! Ah, sial! Aku justru melihat tangannya yang sedang memberi tanda tangan.
            
Dengan jarak waktu yang entah lama, entah sebentar, aku melihat Syakir Sulaiman diapit dua gadis sambil tersenyum pada kamera ponsel yang dipegang seseorang di depan mereka. Aku juga melihat Andritany yang melewati dua gadis yang foto dengan Syakir, tapi akhirnya ditahan untuk diminta foto, entah pada gadis bernama siapa. Yang jelas, aku sudah dapat tanda tangan dan foto dengan Mas Bayu, aku bahagia. Yang kuungkap dengan nyolot-nyolot tak jelas sambil jalan ke mobil. Membuat kakak, ibu, dan bapak, geleng-geleng kepala sambil terkikik geli.
             
6 bulan, dan aku merindukanmu. Merindukan Mas Bayu. Dengan menulis, aku berusaha menghidupkan kembali kenangan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini