Hai,
Mas Bayu. Apa kabar? Semoga, kabarmu baik-baik saja, seperti aku di sini yang
baik-baik saja. Jika aku tak baik, tidak mungkin aku menulis tentang kamu, kan?
Haha. Ini sudah bulan ke-enam setelah aku dan kamu bertatap muka, dan
mengabadikan sore 23 Juni 2014 di Jogja. Sudah setengah tahun, Mas. Nggak kebayang,
kan? Ah, pasti kamu sudah lupa. Mungkin saja, setelah aku meminta tanda
tanganmu sore itu, besoknya, ada lagi yang bersikap sama denganku ketika
melihatmu. Mungkin saja, ada gadis lain yang meminta berfoto denganmu lusanya.
Mungkin saja, bukan?
Jadi, begini. Setelah aku bertemu
denganmu untuk yang pertama, aku jadi sering stalk twittermu yang hanya
dihuni jangkrik saking sepinya. Kamu jarang nge-tweet, kan? Atau, kamu punya
twitter lain?
Oke, abaikan. Selain itu, aku jadi sering menulis cerpen dengan tokoh utama bernama ‘Bayu’. Lain lagi, aku sering menulis status dengan menyertakan ‘Mas Bayu’, seolah-olah statusku berasal dari apa yang kamu katakan. Lainnya, aku jadi sering mengikuti perkembangan karirmu. Ketika di Jogja waktu itu, kamu masih timnas U23, yang tengah bersiap untuk ASIAN Games 2014, kan? Dan untuk menunjang persiapan itu, kamu ke Italia, kan? Melawan Cagliari, AS Roma, dan.... dan.... ah, aku lupa. Pokoknya itu.
Oke, abaikan. Selain itu, aku jadi sering menulis cerpen dengan tokoh utama bernama ‘Bayu’. Lain lagi, aku sering menulis status dengan menyertakan ‘Mas Bayu’, seolah-olah statusku berasal dari apa yang kamu katakan. Lainnya, aku jadi sering mengikuti perkembangan karirmu. Ketika di Jogja waktu itu, kamu masih timnas U23, yang tengah bersiap untuk ASIAN Games 2014, kan? Dan untuk menunjang persiapan itu, kamu ke Italia, kan? Melawan Cagliari, AS Roma, dan.... dan.... ah, aku lupa. Pokoknya itu.
Setelah pertemuan kita, aku jadi
memperhatikan orang-orang bernama Bayu, kecuali teman satu sekolahku yang
memang ada yang namanya Bayu. Oke, abaikan. Aku ingin bercerita tentang Bayu
yang sama-sama atlet sepertimu. Tapi, atlet futsal, bukan sepak bola. Namanya
Bayu. Bambang Bayu Saptaji. Dia juga atlet yang sering jadi tumpuan dalam
penyerangan. Mirip sepertimu. Dia adalah atlet yang sering jadi pusat perhatian
para komentator karena kelincahannya, sama sepertimu. Oh, iya, ada lagi yang
namanya Bayu. Dia atlet sepak bola, timnas U16. Dia menjadi pusat perhatian
setelah kedua golnya yang bersarang di gawang lawan. Dia cukup lincah,
berposisi sebagai penyerang. Bayu Yudha.
Mas Bayu, dengar-dengar, markas
klubmu pindah ke Bali, ya? Apakah kamu juga sudah ke sana? Aku tahu, cukup lama
kamu berada di Samarinda. Kekasihmu juga orang Samarinda, kan? Lantas,
bagaimana jika kamu pindah ke Bali? Hubungan jarak jauh, Mas? Ah, aku tak
berhak mempertanyakan ini. Terlalu pribadi, bukan? Siapa, sih, aku? Hanya gadis
yang dengan malu-malu, dan bingung, bagaimana cara agar kamu menengok setelah
melangkah melewati gerbang lapangan UNY. Hanya gadis yang bingung, melihat
Rizky Pellu, Andritany, Pak Aji Santoso, beberapa official, Fandi Eko,
Ramdani Lestaluhu, Syakir Sulaiman, yang keluar dari lapangan UNY. Entah menantimu,
entah menanti siapa. Hanya bingung dan berkali-kali menoleh ke arah orang
tuanya yang berdiri di belakangnya.
Dan, yak! Kamu ada, aku memanggilmu.
“Mas Bayu!”
Dan kamu menoleh, dan aku berkata,
“Minta foto, ya?” dan kamu berhenti di samping mobil hitam, entah itu mobil
milik siapa, dan aku bergegas menyerahkan kamera digital kepada kakakku, dan
aku menghampirimu dengan tangan yang menggenggam buku novel Semangat Mem-BATU
serta spidol, dan aku berdiri di dekatmu, dan kedua tanganmu di belakang mirip
‘istirahat di tempat’, dan kamu lelah tapi berusaha tetap tersenyum di kamera,
dan jatungku berdegup begitu cepat, begitu bergejolak, dan setelah foto kita
sudah terekam dalam kamera, aku masih menahanmu.
“Tanda tangannya sekalian,” sambil
menyerahkan spidol dan buku yang sedari tadi kugenggam. Kamu membolak-balik
sebentar, mungkin bingung—apakah hanya seorang Bayu Gatra yang tanda tangan?
Ataukah ada pemain lain yang akan diminta bertanda tangan? Jadi, tanda tangan
yang diberikan, besar atau kecil? Di sudut atau di tengah?
“Itu, minta kaos itu. Banyak dia,”
aku menoleh sekilas kepada yang bersuara itu. Karena aku begitu bersemangat dan
tak mempedulikan sekitar saking senangnya, aku tak begitu tahu jelas siapa yang
berkata. Kata ibuku, itu Pak Aji yang bilang. Sambil menunjuk Mas Bayu yang hanya
mesam-mesem sambil menandatangani bukuku. (Bagian ini belum kutulis di tulisan
sebelumnya, kan? Ini juga nonfiksi, lo. Bukan ngarang-ngarang. Aku baru ingat
ini, ketika beberapa hari yang lalu, bapakku membicarakan hal ini.).
“Ini nge-fans sama sampeyan,”
nah, ini ibuku yang bilang pada Mas Bayu. (Ini juga bagian yang belum kutulis
di tulisanku yang sebelumnya, kan? Sama, ini nonfiksi.). Ibuku berkata seperti
itu pada Mas Bayu. Menggunakan bahasa Jawa, yang aku yakin, Mas Bayu mengerti.
Bodohnya, kenapa saat tanda tangan,
aku tak melihat wajah Mas Bayu lekat? Dalam jarak dekat, padahal. Bukan hanya
di layar kaca yang mengandalkan kamera milik stasiun tv yang meliput. Waktu itu
nyata! Di depan mata! Ah, sial! Aku justru melihat tangannya yang sedang memberi
tanda tangan.
Dengan jarak waktu yang entah lama,
entah sebentar, aku melihat Syakir Sulaiman diapit dua gadis sambil tersenyum
pada kamera ponsel yang dipegang seseorang di depan mereka. Aku juga melihat
Andritany yang melewati dua gadis yang foto dengan Syakir, tapi akhirnya
ditahan untuk diminta foto, entah pada gadis bernama siapa. Yang jelas, aku
sudah dapat tanda tangan dan foto dengan Mas Bayu, aku bahagia. Yang kuungkap dengan
nyolot-nyolot tak jelas sambil jalan ke mobil. Membuat kakak, ibu, dan bapak,
geleng-geleng kepala sambil terkikik geli.
6 bulan, dan aku merindukanmu.
Merindukan Mas Bayu. Dengan menulis, aku berusaha menghidupkan kembali
kenangan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar