Sampai di
penghujung tahun 2014. Di sini, aku tak akan menulis panjang-panjang. Hanya,
cerita, mengapa aku menganggap tahun ini begitu istimewa.
Awal tahun 2014. Tepatnya, tanggal 5
sampai 8 Januari 2014. Untuk pertama kali, menghirup udara kota Bandung. Untuk
pertama kali, melewati terjalnya Jalan Daendels. Untuk pertama kali, mendengar
langsung bahasa Sunda yang begitu kental, dan untuk pertama, pergi jauh-jauh
dengan lebih dari seratus manusia seumuran. Ehm, se-angkatan, dalam program study
tour. Oh iya, untuk pertama kali, berada di Trans Studio yang, yah, untuk
penghuni sebuah kota kecil nan terpencil ini, wahana bermain dan belajar itu
adalah spesial.
Bergerak lagi menuju bulan
berikutnya. Lagi, untuk pertama kali, aku mendapat tugas membuat film. Santai,
tak usah panik ketinggalan kereta. Cerita-ceritaku masih dalam bentuk tulisan.
Film ini bukan tentang tulisanku, kok. Haha. Film yang kubuat tahun ini adalah
Proklamasi Kemerdekaan. Untuk pertama kali, merasakan susahnya jadi penulis
skenario, pengarahan pemain—kurang lebih sutradara, editor, aktrisnya pula.
Begadang demi baiknya film ini, malah yang jadi perhatian adalah behind the
scene yang kubuat Cuma-Cuma. :) Tapi aku rapopo. Dapat tanggapan bagus dari
penonton itu sudah lebih dari cukup, kan, baru pertama kali.
The next, yang ini, bisa
dikatakan sedikit pahit. Bahkan, sampai sekarang aku masih enggan mengingatnya.
Tapi, inilah perjalanan. Pahit atau manis, tanpa campuran keduanya, aku tak
akan sekuat ini. Terjal, bisa dikatakan begitu. Tangis mewarnai dalam bulan
ini. Mental dan fisik diasah habis-habisan, dan yang terjadi, malah batinku
tidak terima. Teman-teman bingung? Oke, kujelaskan singkat, daripada tangisku
kembali pecah tapi teman-teman mengerutkan dahi, heran.
Sampailah
pada pertengahan tahun. Kakakku sudah lulus SMA. Berniat kuliah, dan sibuk
memilih universitas. Negeri atau swasta. Di Jogja apa Surakarta. Pilihan
pertama jurusan apa, pilihan kedua di fakultas apa. Kesibukan kakakku ini, juga
membawa diriku, yang kuanggap klimaks tahun ini.
Kakakku mendaftar di salah satu
universitas di Jogja. Nenekku juga berobat di Jogja karena kaki beliau sakit.
Sekeluarga ikut, karena itu libur sekolah. Aku sendiri sudah memboikot tempat
duduk paling belakang, membawa bantal bentuk bintang dan boneka minion, membawa
kamera digital, tiga buku, permanent marker, earphone, memakai
baju berlogo Barcelona, celana doreng tentara, dan sandal berwarna hijau yang
saat ini masih kupakai. Tadinya, bapakku sudah ingin ke kursi belakang, tapi
karena sudah kududuki seluruh kursi, komplit dengan wajah cemberut, bapak
mengalah. Duduk berdesakkan dengan nenek dan ibu. Yang menyetir Pakdheku, yang
sudah hafal jalanan Jogja luar kepala.
Ngomong-ngomong, bagaimana aku
sangat detail menceritakannya? Karena hari itu, momen paling bersejarah,
diabadikan.
Pagi-pagi berangkat. Sampai di
Jogja, muter-muter sebentar cari tempat praktek dokter nenekku. Setelah ketemu,
ibuku mendaftar—ternyata sang dokter belum waktunya praktek—masih nanti siang,
jadi, kami satu rombongan melanjutkan perjalanan ke salah satu universitas kota
itu. Baru aku tahu akhir-akhir ini, jarak tempat dokter dan kampus itu terbilang
jauh. Hahaha. Waktu itu aku tak begitu menyadari karena sibuk memikirkan cara
menyapa calon orang terkenal yang belum kutahu namanya. Sibuk merangkai
kata-kata untuk menyuruh mereka bertanda tangan di tiga buku yang kubawa itu. Hahahaha.
Aku memilih menyumbat telingaku dengan earphone.
Sampai di kampus, sudah ramai yang
mendaftar. Kakak, ibu, dan bapak ikut berkerumun di sana. Pakdheku mencari
toilet. Tinggal aku dan nenekku yang memilih duduk di kursi luar. Kaki nenekku sakit jika harus berjalan ke dalam, apalagi
dengan orang-orang berkeliaran. Aku menunggui nenek, duduk di sampingnya,
sambil berkali-kali menjulurkan kepala melongok ke dalam, kalau-kalau bapak,
ibu, atau kakakku lewat. Dan ternyata, salah satu dari mereka tidak ada yang
lewat. Betah di dalam. Ah, penasaran.
Ehm, oke-oke, aku akan menyingkat
cerita. Sesuai pembukaan di atas, bahwa aku tak akan menulis panjang-panjang.
Baiklah. Siang itu, aku hampir mati bosan, sedangkan ibu, nenek, dan pakdhe
menuju dokter. Aku dan bapak menunggu kakakku yang dokumennya terselip tak tahu
dimana—akhirnya dipanggil di detik-detik akhir, dengan segelintir orang
tersisa.
Lebih singkat lagi, semua urusan
sudah selesai. Tapi, belum bagiku. Butuh merajuk, agar pakdhe mengarahkan mobil
ke UNY. Haha. Berhasil! Dan ternyata di sana, di luar perkiraan! Bukan calon
orang terkenal, tapi di lapangan itu, bertebaran orang-orang terkenal. Tahu,
kan, siapa yang kumaksud? Tak perlu kuceritakan, kan?
Tokoh klimaks yang sudah kutulis
berulang-ulang. Hahaha. Bayu Gatra Sanggiawan.
Bulan berikutnya. Ini menguras air
mata. Menangis karena perasaan yang terasa diaduk-aduk hingga menyesakkan, menyumpal jantung hingga
berdetak tak teratur, dan mulut yang enggan berucap ada apa denganku sebenarnya.
Hanya rentetan abjad yang menemaniku, juga dua sahabatku, Zahra dan Ega, yang
dengan setianya membiarkan telinga mereka dipenuhi cerita-ceritaku yang,
mungkin, tak penting bagi mereka.
Next, anggap saja ini sudah
di bulan lahirku. Agustus. Biasa saja menurutku. Satu yang kuingat, di hari
ulang tahun itu, ada seseorang yang waktu itu berdiri di depanku, yang kuharap
satu kalimat darinya, tapi sampai saat ini pun, “HBD” atau “Selamat ulang tahun”-nya
tak pernah kuterima. Btw, kakakku sudah diterima di salah satu universitas di
Solo. Yang di Jogja tidak diambil. Mungkin, memang Tuhan, hanya menjadikan itu
perantara sebuah pertemuan........ ah, kan, Bayu Gatra lagi. Oke, oke, abaikan.
Bulan selanjutnya, nenekku menjalani
operasi untuk menyembuhkan kakinya. Aku ikut menginap di rumah sakit, dan
menemukan kecanduan untuk kembali datang ke sana. Tentunya bukan datang dalam
rangka sakit. Setidaknya, jadi orang tak penting yang melewati pintu utama,
menengok ke kanan—tempat orang itu bekerja, aku mau. Haha. Sangat bahagia. Iya,
orang itu. Yang mirip... baca tulisanku sebelumnya, ya? Mirip Mahdi, Bayu,
dan.......
Tapi di luar itu, ketika aku harus
pulang karena sekolah, sedangkan nenekku masih menjalani pemulihan di rumah sakit,
aku menangis sesenggukan. Sendirian, setiap di rumah. Mandi, tidur, dan belajar,
masih di rumah. Tapi di luar itu, kegiatanku di bimbingan belajar, dan rumah
saudara. Merindukan keluarga yang keempat-empatnya di Surakarta. Bapak
mengambil cuti untuk menunggui nenek, ibu tentu selalu di samping nenek,
sedangkan kakakku masih menjadi mahasiswi anyaran yang menjalani MOS. Lah, aku?
Di sini, di kota ini, berteman kucing yang selalu mengikuti kemana aku pergi.
Menangis tersedu-sedu sehabis sholat karena pulang sekolah langsung menelpon
ibu, dan begitu mendengar suaranya, tak tertahankan, air mata mengalir kencang.
Deras. Paling menyedihkan tahun ini.
Berikut, langsung saja di awal bulan
November. Baru-baru ini. Sangat membahagiakan, dan merupakan pencapaian terbaik
selama lima belas tahun lebih aku
menghirup udara. Kemauan hati untuk terus membaca, dan akhirnya menghasilkan
karya. Dalam perjalanan membuat karya, tak jarang orang tuaku kesal sendiri
melihat bungsunya ini, diam di kamar dengan tumpukan huruf—entah membaca maupun
menyusun kalimat. Beberapa waktu, merayu-rayu demi sebuah buku. Bulan November,
adalah pembuktian, meskipun aku tak berniat menjadikan karyaku sebagai bukti
diamku berkutat dalam huruf selama ini.
Sebuah karya yang kubuat tanpa
keyakinan kuat, tapi usaha keras, menembus nasional. Ingin tahu seperti apa
detailnya? Tunggu saja sampai buku itu keluar, aku akan menceritakannya. Ingat,
ya, buku itu milik negara, tidak diperdagangkan. Jadi, buat teman-teman yang
ingin baca, kirim pesan ke aku, nanti aku publikasikan. Terutama tulisanku,
komplit dengan suka duka membuat tulisan itu.
Nah,
di sini, ada hal lucu yang ingin kuceritakan. Jadi, begini:
Bulan
itu, kotaku sedang ramai karena kedatangan kelompok sirkus lumba-lumba.
Beberapa teman, berfoto dengan hewan lucu itu. Beberapa bercerita jika malam
minggu ini dihabiskan di pertunjukkan lumba-lumba itu. Ada lagi yang menulis
status, bahwa dalam satu minggu, sudah tiga kali ia ke sana. Pertama dengan teman-teman,
kemudian dengan keluarga, dan yang terakhir dengan kekasihnya. Ehm.... aku?
Sekalipun tak pernah ke sana. Hanya ingin. Orang tuaku tak berniat ke sana, tak
tertarik. Lagipula, aku seperti tak ada waktu karena les. Jikapun luang, itu
untuk tidur di rumah. Sampai rombongan lumba-lumba itu berpindah kota, aku
belum pernah menyaksikannya.
Tapi,
Tuhan ternyata punya keputusan lain. Tulisanku yang masuk nasional, membawaku
terbang naik pesawat, ke daerah puncak Bogor, Cisarua. Dekat kebun binatang,
ya, bukan di kebun binatangnya. Hm. Oh,
iya, lumba-lumba, ya? Justru di Bogor itulah—Taman Safari, aku menonton
langsung mamalia laut itu berkecipak di air, melempar bola ke penonton,
mengerjakan matematika, dan lain sebagainya. Inginku hanya menonton
pertunjukkan lumba-lumba, di kotaku. Tapi, kata Tuhan? Di Bogor. Dan tak hanya
lumba-lumba di sana. Pertunjukkan-pertunjukkan
lain, yang belum ada di Pacitan. Menakjubkan. Percaya, Tuhan memberi sejuta
kenikmatan, setelah memberi satu kesengsaraan.
Dan,
taraaa..... Desember. Libur, tentu. Sampai di kesimpulan.
Setiap
lorong kesukaran, ujungnya adalah jalan keluar, dengan di tengahnya ada beribu
cara.
NB: Tahun
ini, banyak orang-orang baru yang akhirnya jadi bagian penting dalam hidupku.
Untuknya, semoga harimu ke depan menyenangkan. Terima kasih atas pengabaian yang
masih awet hingga penghujung tahun ini.
Terima kasih sebesar-besarnya untuk orang-orang yang lebih tahan lama
menyayangiku. Salam tahun baru. Semoga kalian diberi kenikmatan dunia akhirat.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar