Sabtu, 13 Desember 2014

Ah, Kecewa



Sore ini rumahku kedatangan tamu istimewa. Tanpa identitas seragam merah atau biru dengan garuda di dada, aku langsung tahu siapa dia. Sepupuku, Putu Gede Juni Antara yang mengajak temannya, Mahdi Fahri Albaar. Entah bagaimana mereka berdua bisa bertemu, yang kutahu, Bli Putu berada di Surabaya dan Kak Mahdi ada di Maluku. Pokoknya, mereka berdua ada di rumahku sore ini.

            Aku langsung heboh tak karuan ketika melihat mereka ruang tamu. Mendapati seorang berkaos hitam, dan satunya memakai jaket biru ala timnas. Seisi rumah menyambut mereka berdua, dan aku segera menggandeng Bli Putu, bercerita apa saja yang lebih sering ditanggapi dengan senyum dan tawa kecilnya. Kak Mahdi hanya mesam-mesem, karena baru kali ini dia menginjakkan kaki di rumahku. Baru pertama ini dia kenal denganku. Mungkin, rada heran dengan gadis yang baru bangun tidur, bisa bercerita dengan kecepatan 100 km/jam.
            Aku tersadar sesuatu. Kapan lagi sepupuku ini datang ke rumah? Tidak pasti setahun sekali. Apalagi, rumahnya tidak di Jawa, tapi di Pulau Dewata. Kerjanya di Surabaya. Jauh, kan, dari kota tercinta? Serta-merta aku kembali ke kamar, mengambil kamera. Mengabadikan pertemuan kami berdua, ehm, bertiga, sore ini.
            Kudesak kakak perempuanku yang juga pulang dari Surakarta, untuk mengambil foto kami bertiga—aku, Bli Putu, dan Kak Mahdi. Dengan ogah-ogahan, dia mengatur pose kami, lalu meng-klik tombol pengambilan gambar. Beberapa kali. Belum puas, aku masih ngotot untuk foto berdua, hanya dengan Bli Putu. Lagi-lagi pemuda itu menanggapiku dengan tawa renyahnya.
Kami tersenyum lebar di kamera, dan tentu saja, malam ini foto-foto itu sudah harus beredar di dunia maya. Mengganti foto profilku yang masih dengan taruna akmil berbaju biru, yang dulu sempat datang ke kotaku. Menemani fotoku dengan pemain timnas lainnya, Bayu Gatra Sanggiawan.
Tak terasa, hari semakin sore. Bli Putu dan Kak Mahdi berpamitan. Mereka harus pulang. Dan aku menahan mereka mati-matian. Secara kebetulan sekali, alam mendukungku. Ia menurunkan hujannya deras sekali. Menghambat langkah Bli Putu untuk meninggalkan rumahku. Alhasil, aku mengundangnya untuk kembali bercerita dan foto bersama. Kali ini, kami duduk-duduk di teras, bukan di ruang tamu.
Mas, hapemu opo to? 1 tanyaku.
Kui, 2” tunjuknya pada handphone jadul yang tergeletak di kursi.
Lah, udu Andro (android)? 3” aku heran.
Dia tertawa. “Androne sopo? Ora. Ra pernah aku nduwe Andro, 4
Aku mengerutkan dahi, rapat. “Lha jarene fans clubmu, hapemu Andro? 5
Yo to? 6” dia malah balik bertanya.
Ah, embuhlah. 7 Abaikan!” aku mengibaskan tangan yang ia sambut dengan tawanya.
Setelah hujan benar-benar reda, Bli Putu dan Kak Mahdi meninggalkan rumah. Yang lagi-lagi kutahan agar Bli Putu lebih lama lagi di sini. Aku begitu merindukannya. Sangat!
“Eh, tunggu! Tunggu!” pekikku. “Anu, twitter kamu apaan sih, Mas?” tanyaku sambil menghadang langkahnya.
“Lah, kamu belum tahu?” aku menggeleng. Bertepatan dengan hujan yang kembali turun deras. Selanjutnya Bli Putu menjawab pertanyaanku yang sama sekali tak terdengar karena tertutup hujan.
“Hah? Apaan?” tanyaku kencang.
Bli Putu menarikku, membisik sesuatu, atau mungkin, dia mengucap nama twitternya yang lagi-lagi kalah dengan suara hujan. Aku langsung mengambil handphone di kursi, yang ternyata di situ masih ada handphonenya Bli Putu. Ketinggalan.
Bli Putu menuliskan nama twitternya di situ. Mengherankan sekali, karena nama twitter itu panjang, mirip kereta. Tapi aku diam saja, dan melepas kepergian Bli Putu dengan rasa—entah kecewa, senang, rindu, dan berbagai rasa campur aduk. Sepupu seorang bintang. Tanpa dia jadi pemain timnas pun, aku dan Bli Putu jarang bertemu. Kapan lagi dia datang ke rumah?
“He, Jel! Bangun! Main badminton, yuk!” tiba-tiba suara kakak perempuanku, memaksaku membuka mata. Aku mengerjap sebentar. Posisiku masih di tempat tidur. Bukan di ruang tamu, atau masih berdiri di halaman melepas Bli Putu. Ehm, Putu Gede Juni Antara? Aku sepupunya, kan?
Kakak perempuanku masih berdiri di ambang pintu. Menanti jawabanku. Iya atau, tidak. Dan aku memilih tidak, membuatnya mendengus kemudian berlalu dari pandanganku.
Baru aku sadar, bahwa aku bukan sepupu Bli Putu. Kak Mahdi juga tak mungkin. Mereka berdua tak mengenaliku, apalagi tahu rumahku. Aku hanya penggemar mereka. Bukan saudara, bahkan, teman pun bukan. Apa iya, manusia Bali itu mampu berbahasa Jawa? Apa iya, Kak Mahdi yang di Maluku dan Bli Putu di Surabaya bertemu, hanya untuk bertamu di rumahku? Apa iya, jauh-jauh mereka ke sini hanya satu sore tanpa menginap? Apa iya, pemain bintang sekelas Bli Putu, ponselnya hampir bobrok begitu? Apa iya, nama twitter panjangnya mirip kereta api? Ganjil, kan? Berarti hanya mimpi.
Aku kecewa telah bangun sore ini.




Catatan:
1.      Mas, hapemu opo to? = Mas, ponsel kamu apaan, sih?
2.      Kui = Itu
3.      Lah, udu Andro? = Lho, bukan Andro?
4.      Androne sopo? Ora. Ra pernah aku nduwe Andro = Andronya siapa? Nggak. Nggak pernah aku punya Andro
5.      Lha jarene fans clubmu, hapemu andro? = Lha katanya fans clubmu, ponsel kamu Andro?
6.      Yo to? = Emang iya?
7.      Ah, embuhlah. =  Ah, entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini