Sore ini
rumahku kedatangan tamu istimewa. Tanpa identitas seragam merah atau biru dengan garuda
di dada, aku langsung tahu siapa dia. Sepupuku, Putu Gede Juni Antara yang
mengajak temannya, Mahdi Fahri Albaar. Entah bagaimana mereka berdua bisa
bertemu, yang kutahu, Bli Putu berada di Surabaya dan Kak Mahdi ada di Maluku.
Pokoknya, mereka berdua ada di rumahku sore ini.
Aku langsung heboh tak karuan ketika
melihat mereka ruang tamu. Mendapati seorang berkaos hitam, dan satunya memakai jaket
biru ala timnas. Seisi rumah menyambut mereka berdua, dan aku segera
menggandeng Bli Putu, bercerita apa saja yang lebih sering ditanggapi dengan
senyum dan tawa kecilnya. Kak Mahdi hanya mesam-mesem, karena baru kali ini dia
menginjakkan kaki di rumahku. Baru pertama ini dia kenal denganku. Mungkin,
rada heran dengan gadis yang baru bangun tidur, bisa bercerita dengan kecepatan
100 km/jam.
Aku tersadar sesuatu. Kapan lagi
sepupuku ini datang ke rumah? Tidak pasti setahun sekali. Apalagi, rumahnya
tidak di Jawa, tapi di Pulau Dewata. Kerjanya di Surabaya. Jauh, kan, dari kota
tercinta? Serta-merta aku kembali ke kamar, mengambil kamera. Mengabadikan
pertemuan kami berdua, ehm, bertiga, sore ini.
Kudesak kakak perempuanku yang juga
pulang dari Surakarta, untuk mengambil foto kami bertiga—aku, Bli Putu, dan Kak
Mahdi. Dengan ogah-ogahan, dia mengatur pose kami, lalu meng-klik tombol
pengambilan gambar. Beberapa kali. Belum puas, aku masih ngotot untuk foto
berdua, hanya dengan Bli Putu. Lagi-lagi pemuda itu menanggapiku dengan tawa renyahnya.
Kami
tersenyum lebar di kamera, dan tentu saja, malam ini foto-foto itu sudah harus
beredar di dunia maya. Mengganti foto profilku yang masih dengan taruna akmil
berbaju biru, yang dulu sempat datang ke kotaku. Menemani fotoku dengan pemain
timnas lainnya, Bayu Gatra Sanggiawan.
Tak
terasa, hari semakin sore. Bli Putu dan Kak Mahdi berpamitan. Mereka harus
pulang. Dan aku menahan mereka mati-matian. Secara kebetulan sekali, alam
mendukungku. Ia menurunkan hujannya deras sekali. Menghambat langkah Bli Putu
untuk meninggalkan rumahku. Alhasil, aku mengundangnya untuk kembali bercerita
dan foto bersama. Kali ini, kami duduk-duduk di teras, bukan di ruang tamu.
“Mas,
hapemu opo to? 1” tanyaku.
“Kui,
2” tunjuknya pada handphone jadul yang tergeletak di kursi.
“Lah,
udu Andro (android)? 3” aku heran.
Dia
tertawa. “Androne sopo? Ora. Ra pernah aku nduwe Andro, 4”
Aku
mengerutkan dahi, rapat. “Lha jarene fans clubmu, hapemu Andro?
5”
“Yo
to? 6” dia malah balik bertanya.
“Ah,
embuhlah. 7 Abaikan!” aku mengibaskan tangan yang ia sambut
dengan tawanya.
Setelah
hujan benar-benar reda, Bli Putu dan Kak Mahdi meninggalkan rumah. Yang
lagi-lagi kutahan agar Bli Putu lebih lama lagi di sini. Aku begitu
merindukannya. Sangat!
“Eh,
tunggu! Tunggu!” pekikku. “Anu, twitter kamu apaan sih, Mas?” tanyaku sambil
menghadang langkahnya.
“Lah,
kamu belum tahu?” aku menggeleng. Bertepatan dengan hujan yang kembali turun
deras. Selanjutnya Bli Putu menjawab pertanyaanku yang sama sekali tak
terdengar karena tertutup hujan.
“Hah?
Apaan?” tanyaku kencang.
Bli
Putu menarikku, membisik sesuatu, atau mungkin, dia mengucap nama twitternya
yang lagi-lagi kalah dengan suara hujan. Aku langsung mengambil handphone di
kursi, yang ternyata di situ masih ada handphonenya Bli Putu. Ketinggalan.
Bli
Putu menuliskan nama twitternya di situ. Mengherankan sekali, karena nama
twitter itu panjang, mirip kereta. Tapi aku diam saja, dan melepas kepergian
Bli Putu dengan rasa—entah kecewa, senang, rindu, dan berbagai rasa campur
aduk. Sepupu seorang bintang. Tanpa dia jadi pemain timnas pun, aku dan Bli Putu
jarang bertemu. Kapan lagi dia datang ke rumah?
“He,
Jel! Bangun! Main badminton, yuk!” tiba-tiba suara kakak perempuanku, memaksaku
membuka mata. Aku mengerjap sebentar. Posisiku masih di tempat tidur. Bukan di
ruang tamu, atau masih berdiri di halaman melepas Bli Putu. Ehm, Putu Gede Juni
Antara? Aku sepupunya, kan?
Kakak
perempuanku masih berdiri di ambang pintu. Menanti jawabanku. Iya atau, tidak.
Dan aku memilih tidak, membuatnya mendengus kemudian berlalu dari pandanganku.
Baru
aku sadar, bahwa aku bukan sepupu Bli Putu. Kak Mahdi juga tak mungkin. Mereka
berdua tak mengenaliku, apalagi tahu rumahku. Aku hanya penggemar mereka. Bukan
saudara, bahkan, teman pun bukan. Apa iya, manusia Bali itu mampu berbahasa
Jawa? Apa iya, Kak Mahdi yang di Maluku dan Bli Putu di Surabaya bertemu, hanya
untuk bertamu di rumahku? Apa iya, jauh-jauh mereka ke sini hanya satu sore tanpa
menginap? Apa iya, pemain bintang sekelas Bli Putu, ponselnya hampir bobrok
begitu? Apa iya, nama twitter panjangnya mirip kereta api? Ganjil, kan? Berarti
hanya mimpi.
Aku
kecewa telah bangun sore ini.
Catatan:
1.
Mas, hapemu opo to? = Mas, ponsel
kamu apaan, sih?
2.
Kui = Itu
3.
Lah, udu Andro? = Lho, bukan
Andro?
4.
Androne sopo? Ora. Ra pernah aku nduwe
Andro =
Andronya siapa? Nggak. Nggak pernah aku punya Andro
5.
Lha jarene fans clubmu, hapemu andro? = Lha katanya
fans clubmu, ponsel kamu Andro?
6.
Yo to? = Emang iya?
7.
Ah, embuhlah. = Ah, entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar