Rabu, 17 Desember 2014

Duabelas, Aku Masih di Sini




Masih di tempat duduk yang sama, pagi ini aku menyaksikan beberapa pemain yang tengah melakukan pemanasan. Berlari kecil dari ujung ke ujung lapangan, mencoba tendangan jarak jauh, saling oper sesama teman, dan menguji tangkapan bolanya bagi kiper. Masih dari tempat duduk yang sama, aku melihat para supporter mulai memenuhi bangku penonton dengan segala atribut yang dibawanya untuk menyemarakkan pertandingan. Sayangnya, orang-orang itu—pemain di lapangan dan para penonton, adalah orang yang berbeda, tidak seperti beberapa bulan yang lalu. Padahal, aku masih di tempat duduk yang sama.

            Beberapa waktu lalu, ketika aku menggilai sepak bola semenjak aku bertemu salah satu pemain timnas—Bayu Gatra, kamu mengajakku ke tempat ini. Berpromosi jika olahraga yang kamu tekuni, tak kalah menarik dengan olahraga yang aku sukai. Kamu menggamit lenganku, mendudukkanku di tempat duduk ini, berpesan aku harus hati-hati, dan jangan lupa meneriakkan namamu ketika kamu berhasil menjebol gawang lawan. Aku mengangguk sedikit malas, karena antusiasme olahraga dengan 5 pemain ini, kalah jauh dibanding sepak bola. Supporter yang datang, bahkan bisa dihitung jari.

            Waktu itu, kamu memang sudah mendapat seragam warna merah dengan lambang negara di dada, tapi aku tak begitu antusias, karena kamu bukan atlet sepak bola. Meski begitu, kamu tak bosan terus berkisah bahwa olahraga satu ini, sebelas-duabelas dengan sepak bola. Kamu, yang bercita-cita jadi atlet sepak bola, tapi karena sebuah alasan yang tak akan kutulis di sini, harus rela terdampar ke dalam sebuah olahraga yang kurang diminati masyarakat. Yah, setidaknya, sebelum namamu, dan timmu berkibar di negeri ini.

            Masih di tempat duduk yang sama, aku melihat para pemain menyudahi pemanasan di lapangan. Wasit juga sudah berkumpul. Basa-basi pertandingan seperti biasa, dan pertandingan dimulai.

            Mataku memindai nomor punggung masing-masing pemain. Sedikit tersentak, karena tak satupun pemain di lapangan sana yang memakai nomor punggungmu. 1, 2, 3, bahkan ada yang 99, tapi, nomor punggungmu tidak ada. Tidak dipakai, atau memang tak tertarik dengan nomor yang kauanggap keberuntungan. 12.

            “Nomor punggung duabelas, semangat!” teriakku spontan. Tak peduli seluruh pasang mata yang melihat ke arahku dengan tatapan heran, karena tak ada satupun punggung yang tertulisi nomor 12. Aku tak peduli, sama tak pedulinya dengan kamu yang enggan melihat wajah bosanku berada di tempat ini—dulu—sebelum aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada olahraga ini. 

            Dulu ketika kamu masih menjadi bagian di lapangan itu, orang-orang di sekitarku memakai baju-baju merah, apalagi semakin mendekati final, semakin tim mendekati puncak kemenangan. Tapi sekarang, orang-orang di sekitarku, orang-orang yang berbeda, memakai baju warna-warni—sesuai tim yang mereka dukung. Dulu, kamu yang jadi bagian di lapangan itu, berposisi di depan, tak jarang pula membantu pertahanan. Tapi sekarang, teman-temankulah yang berada di sana—di lapangan yang dulu hampir setiap hari kauinjak. Dulu, ada yang sering mengantarku duduk di sini, berpesan seperti yang telah aku tulis di atas, tapi sekarang, aku sendirian di sini. Hanya dengan teman-teman. Tak ada yang mengantar, tak ada yang berpesan.

            Setelah, aku jatuh cinta dengan olahraga ini, kamu harus pergi. Dan di bawah sana, gol terjadi, timku memimpin. Tak ada yang tersenyum ke arahku saat perayaan cetak gol. Padahal aku masih di tempat duduk yang sama.


Untuk seseorang,
yang menjadikan China,
sebagai tempat berpetualang selanjutnya,
Selamat malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini