Masih di tempat
duduk yang sama, pagi ini aku menyaksikan beberapa pemain yang tengah melakukan
pemanasan. Berlari kecil dari ujung ke ujung lapangan, mencoba tendangan jarak
jauh, saling oper sesama teman, dan menguji tangkapan bolanya bagi kiper. Masih
dari tempat duduk yang sama, aku melihat para supporter mulai memenuhi bangku
penonton dengan segala atribut yang dibawanya untuk menyemarakkan pertandingan.
Sayangnya, orang-orang itu—pemain di lapangan dan para penonton, adalah orang
yang berbeda, tidak seperti beberapa bulan yang lalu. Padahal, aku masih di
tempat duduk yang sama.
Beberapa waktu lalu, ketika aku
menggilai sepak bola semenjak aku bertemu salah satu pemain timnas—Bayu Gatra,
kamu mengajakku ke tempat ini. Berpromosi jika olahraga yang kamu tekuni, tak
kalah menarik dengan olahraga yang aku sukai. Kamu menggamit lenganku,
mendudukkanku di tempat duduk ini, berpesan aku harus hati-hati, dan jangan
lupa meneriakkan namamu ketika kamu berhasil menjebol gawang lawan. Aku
mengangguk sedikit malas, karena antusiasme olahraga dengan 5 pemain ini, kalah
jauh dibanding sepak bola. Supporter yang datang, bahkan bisa dihitung jari.
Waktu itu, kamu memang sudah
mendapat seragam warna merah dengan lambang negara di dada, tapi aku tak begitu
antusias, karena kamu bukan atlet sepak bola. Meski begitu, kamu tak bosan
terus berkisah bahwa olahraga satu ini, sebelas-duabelas dengan sepak bola.
Kamu, yang bercita-cita jadi atlet sepak bola, tapi karena sebuah alasan yang
tak akan kutulis di sini, harus rela terdampar ke dalam sebuah olahraga yang
kurang diminati masyarakat. Yah, setidaknya, sebelum namamu, dan timmu berkibar
di negeri ini.
Masih di tempat duduk yang sama, aku
melihat para pemain menyudahi pemanasan di lapangan. Wasit juga sudah
berkumpul. Basa-basi pertandingan seperti biasa, dan pertandingan dimulai.
Mataku memindai nomor punggung
masing-masing pemain. Sedikit tersentak, karena tak satupun pemain di lapangan
sana yang memakai nomor punggungmu. 1, 2, 3, bahkan ada yang 99, tapi, nomor
punggungmu tidak ada. Tidak dipakai, atau memang tak tertarik dengan nomor yang
kauanggap keberuntungan. 12.
“Nomor punggung duabelas, semangat!”
teriakku spontan. Tak peduli seluruh pasang mata yang melihat ke arahku dengan
tatapan heran, karena tak ada satupun punggung yang tertulisi nomor 12. Aku tak
peduli, sama tak pedulinya dengan kamu yang enggan melihat wajah bosanku berada
di tempat ini—dulu—sebelum aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada olahraga
ini.
Dulu ketika kamu masih menjadi
bagian di lapangan itu, orang-orang di sekitarku memakai baju-baju merah,
apalagi semakin mendekati final, semakin tim mendekati puncak kemenangan. Tapi
sekarang, orang-orang di sekitarku, orang-orang yang berbeda, memakai baju
warna-warni—sesuai tim yang mereka dukung. Dulu, kamu yang jadi bagian di
lapangan itu, berposisi di depan, tak jarang pula membantu pertahanan. Tapi
sekarang, teman-temankulah yang berada di sana—di lapangan yang dulu hampir
setiap hari kauinjak. Dulu, ada yang sering mengantarku duduk di sini, berpesan
seperti yang telah aku tulis di atas, tapi sekarang, aku sendirian di sini.
Hanya dengan teman-teman. Tak ada yang mengantar, tak ada yang berpesan.
Setelah, aku jatuh cinta dengan
olahraga ini, kamu harus pergi. Dan di bawah sana, gol terjadi, timku memimpin.
Tak ada yang tersenyum ke arahku saat perayaan cetak gol. Padahal aku masih di
tempat duduk yang sama.
Untuk seseorang,
yang menjadikan China,
sebagai tempat berpetualang selanjutnya,
Selamat malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar