Malam
ini, aku belajar satu hal dari percakapan antara kakakku dan orang tuaku. Ini
terkait perjuangan kakakku yang harus mengorbankan sesuatu yang penting baginya
untuk menuju Negeri Pizza.
“Tapi, Bunda, teman-temanku sudah
dapat piagam yang dapat digunakan untuk kelas selanjutnya,” suara kakakku yang
menembus tembok kamar, membuyarkan fokusku pada materi Perang Dunia II. Kubiarkan
kursor berkedip. Aku menanti tanggapan bunda terhadap anak sulungnya.
“Ravi....” lembut suara bunda
menyusul. “Kaumeninggalkan klub sepak bolamu di sini, kan, untuk
keberangkatanmu ke Italia. Bukannya sudah dari dulu kamu ingin ke sana?
Makanya, kamu rela jauh-jauh menimba ilmu sampai Bandung demi Italia,”
“Jika
kausungguh-sungguh, pengorbananmu pasti membuahkan hasil, Ravi,” Oh, ternyata
di situ ada ayah yang menengahi. Aku jadi semakin tertarik dengan percakapan
ini. Kulirik layar laptop sekilas, lalu menopang dagu dan menegakkan telinga.
“Kauditerima beasiswa di Italia. Negeri yang kauimpikan. Itu jauh lebih
berharga dibanding piagam penghargaan untuk melanjutkan kelas di dalam klubmu,”
kata ayah pelan. Aku menurunkan tangan, menegakkan dudukku. Sepertinya, aku
mengerti arah pembicaraan ini.
“Tapi,
Yah, Bun, di klub, sudah ada fasilitas yang hampir setara dengan yang di
Bandung. Juga, sudah ada kelompok umur dan kelas yang dibagi untuk latihan
lebih intensif,” kakakku mengambil nafas. “Makanya, kemarin klubku berhasil
juara. Dan mereka mendapat piagam penghargaan untuk melanjutkan kelas,” lanjut
kakakku. Jelas sekali nada sedih itu. Menyesal telah meninggalkan klub bolanya.
Hening
di ruang keluarga. Bisa kurasakan betapa dinginnya ruangan yang hanya terpisah
tembok denganku itu. Mas Ravi pasti tengah menunduk dalam, Bunda berkali-kali
menghela nafas untuk menenangkan diri, dan Ayah hanya diam mengikuti aliran
pembicaraan. Merasa beruntung aku tak terjebak dalam situasi yang hanyut
menguras emosi di ruang keluarga malam ini. Ketika kakakku harus pergi
meninggalkan klubnya di kota ini, demi meraih beasiswa sekolah di Italia,
kakakku harus berangkat ke Bandung.
“Berjuang
dulu, Ravi. Anggap saja ini adalah seleksi alam. Dan kau adalah manusia
terpilih untuk mendapat penghargaan yang lebih jauh tinggi nilainya dibanding
piagam untuk melanjutkan kelas. Bayangkan! Italia, Ravi! Tak main-main. Tak
semua orang bisa masuk ke sana. Dan ayah berdo’a, supaya kaujadi orang
Indonesia pertama yang menjejakkan kaki ke sekolah bola Italia itu!” terang
ayah panjang lebar. Ehm, kuakui, baru kali ini ayahku berbicara mirip pidato
tujuh belasan. “Butuh berguling untuk bangun dari mimpi omong kosong, butuh
berdiri untuk mengisi omongan kosong mimpi itu!” seru ayah.
“Tapi,
Yah, mereka adalah teman seperjuanganku. Mereka latihan bersamaku. Hujan,
panas, kulewatkan bersama mereka. Lalu, kenapa saat mereka meraih kemenangan,
aku tak terlibat? Kenapa aku yang harus disingkirkan oleh Tuhan gara-gara
sekolah bola Italia sialan itu?” nada Mas Ravi meninggi. Merujuk gelombang yang
siap memecah pantai kapan saja. Lagi, baru ini aku mendengar suara kakakku yang
entah memelas, sedih, atau menyesal. Campur aduk. Sarat emosi.
“Setiap
kenikmatan butuh kesengsaraan,” suara bunda mengisi keheningan. “Insya Allah,
jika kausungguh-sungguh, nikmat yang Tuhan berikan padamu, jauh lebih besar
dibanding mereka. Jika kau sukses di Italia nanti, percaya sama Bunda. Kauakan
jadi pemain bola terhebat di negeri ini. Klubmu, pasti sudah sujud-sujud di
depan kamu, agar kamu kembali bergabung dengan mereka. Buatlah mereka
membutuhkanmu, Rav!”
Tanpa
mampu melihat gerak tubuh mereka bertiga di balik tembok kamar, aku
memproyeksikan kakakku mendongak, menatap bunda lekat-lekat. Mengucapkan banyak
terima kasih, lalu memeluk kedua orang tuaku dengan erat. Lah, aku? Tunggu
sampai pintu kamar terbuka. Sebuah wajah menyembul di balik pintu dan memelukku
sama eratnya. Tunggu saja.
Aku tersenyum dan melanjutkan belajarku.
Aku tersenyum dan melanjutkan belajarku.
......................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar