Senin, 08 Desember 2014

Peristiwa Malam Ini



Malam ini, aku belajar satu hal dari percakapan antara kakakku dan orang tuaku. Ini terkait perjuangan kakakku yang harus mengorbankan sesuatu yang penting baginya untuk menuju Negeri Pizza.
            “Tapi, Bunda, teman-temanku sudah dapat piagam yang dapat digunakan untuk kelas selanjutnya,” suara kakakku yang menembus tembok kamar, membuyarkan fokusku pada materi Perang Dunia II. Kubiarkan kursor berkedip. Aku menanti tanggapan bunda terhadap anak sulungnya.
            “Ravi....” lembut suara bunda menyusul. “Kaumeninggalkan klub sepak bolamu di sini, kan, untuk keberangkatanmu ke Italia. Bukannya sudah dari dulu kamu ingin ke sana? Makanya, kamu rela jauh-jauh menimba ilmu sampai Bandung demi Italia,”
            Aku tersenyum kecil. Siap mendengar tanggapan abangku.
“Jika kausungguh-sungguh, pengorbananmu pasti membuahkan hasil, Ravi,” Oh, ternyata di situ ada ayah yang menengahi. Aku jadi semakin tertarik dengan percakapan ini. Kulirik layar laptop sekilas, lalu menopang dagu dan menegakkan telinga. “Kauditerima beasiswa di Italia. Negeri yang kauimpikan. Itu jauh lebih berharga dibanding piagam penghargaan untuk melanjutkan kelas di dalam klubmu,” kata ayah pelan. Aku menurunkan tangan, menegakkan dudukku. Sepertinya, aku mengerti arah pembicaraan ini.
“Tapi, Yah, Bun, di klub, sudah ada fasilitas yang hampir setara dengan yang di Bandung. Juga, sudah ada kelompok umur dan kelas yang dibagi untuk latihan lebih intensif,” kakakku mengambil nafas. “Makanya, kemarin klubku berhasil juara. Dan mereka mendapat piagam penghargaan untuk melanjutkan kelas,” lanjut kakakku. Jelas sekali nada sedih itu. Menyesal telah meninggalkan klub bolanya.
Hening di ruang keluarga. Bisa kurasakan betapa dinginnya ruangan yang hanya terpisah tembok denganku itu. Mas Ravi pasti tengah menunduk dalam, Bunda berkali-kali menghela nafas untuk menenangkan diri, dan Ayah hanya diam mengikuti aliran pembicaraan. Merasa beruntung aku tak terjebak dalam situasi yang hanyut menguras emosi di ruang keluarga malam ini. Ketika kakakku harus pergi meninggalkan klubnya di kota ini, demi meraih beasiswa sekolah di Italia, kakakku harus berangkat ke Bandung.
“Berjuang dulu, Ravi. Anggap saja ini adalah seleksi alam. Dan kau adalah manusia terpilih untuk mendapat penghargaan yang lebih jauh tinggi nilainya dibanding piagam untuk melanjutkan kelas. Bayangkan! Italia, Ravi! Tak main-main. Tak semua orang bisa masuk ke sana. Dan ayah berdo’a, supaya kaujadi orang Indonesia pertama yang menjejakkan kaki ke sekolah bola Italia itu!” terang ayah panjang lebar. Ehm, kuakui, baru kali ini ayahku berbicara mirip pidato tujuh belasan. “Butuh berguling untuk bangun dari mimpi omong kosong, butuh berdiri untuk mengisi omongan kosong mimpi itu!” seru ayah.
“Tapi, Yah, mereka adalah teman seperjuanganku. Mereka latihan bersamaku. Hujan, panas, kulewatkan bersama mereka. Lalu, kenapa saat mereka meraih kemenangan, aku tak terlibat? Kenapa aku yang harus disingkirkan oleh Tuhan gara-gara sekolah bola Italia sialan itu?” nada Mas Ravi meninggi. Merujuk gelombang yang siap memecah pantai kapan saja. Lagi, baru ini aku mendengar suara kakakku yang entah memelas, sedih, atau menyesal. Campur aduk. Sarat emosi.
“Setiap kenikmatan butuh kesengsaraan,” suara bunda mengisi keheningan. “Insya Allah, jika kausungguh-sungguh, nikmat yang Tuhan berikan padamu, jauh lebih besar dibanding mereka. Jika kau sukses di Italia nanti, percaya sama Bunda. Kauakan jadi pemain bola terhebat di negeri ini. Klubmu, pasti sudah sujud-sujud di depan kamu, agar kamu kembali bergabung dengan mereka. Buatlah mereka membutuhkanmu, Rav!”
Tanpa mampu melihat gerak tubuh mereka bertiga di balik tembok kamar, aku memproyeksikan kakakku mendongak, menatap bunda lekat-lekat. Mengucapkan banyak terima kasih, lalu memeluk kedua orang tuaku dengan erat. Lah, aku? Tunggu sampai pintu kamar terbuka. Sebuah wajah menyembul di balik pintu dan memelukku sama eratnya. Tunggu saja. 
Aku tersenyum dan melanjutkan belajarku.
......................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini