Kisah kita
mirip sinetron, Mas. Kita belum bertatap muka dan saling mengenal ketika aku
sudah ngobrol ini-itu dengan kawan-kawanmu. Aku tak tahu jika kamu adalah teman
mereka. Tentunya kamu juga belum tahu bahwa aku sudah mengenal teman-temanmu.
Sampai sekarangpun, aku tak tahu, apakah teman-temanmu sudah bercerita bahwa
aku juga salah satu kawan mereka, kawanmu juga, pastinya. Ah, entah. Ini
terlalu rumit.
Lucu sekali, bukan? Seharusnya aku
sudah mengenalmu sebelum teman-temanku mengenalmu. Seharusnya aku sudah tahu
dirimu, sebelum teman-temanku tahu siapa namamu. Seharusnya kita sudah lebih
dari sekedar aku-tahu-kamu—kamu-tahu-aku. Seharusnya kita adalah teman dekat,
karib, dan akrab. Bukan jauh-jauhan seperti. Bukan tak saling kenal begini.
Bukan tak saling anggap. Seharusnya bukan teman-temanku yang lebih mengenalmu.
Tapi, aku. Ehm, jika waktu itu kamu ikut teman-temanmu. Jika waktu itu kamu
ikut bergabung. Jika waktu itu kamu tak berhalangan untuk hadir. Kita pasti
sudah saling kenal.
Bukannya apa-apa. Aku hanya takut,
kamu tak mengenalku. Aku hanya takut, kamu tak tahu namaku. Aku hanya takut,
kamu benar-benar tak peduli padaku. Aku hanya takut menyalah-artikan
pertanyaanmu dulu. Aku hanya takut jika—jika kamu mengistimewakan yang lain.
Jika sudah ada wanita spesial di hidupmu. Yah, perlu kuakui, aku takut.
Oke. Aku mengaku kalah. Aku
menyerah. Aku tak betah berpura-pura. Harus kuakui, bahwa aku merindukanmu.
Sangat rindu.
Hari yang begitu berarti, hari yang
tak kusangka-sangka menjadi hari pertemuanku denganmu, hari yang tak
kunanti-nanti, hari yang sama sekali jauh dari kata istimewa. Sayangnya kamu
menjungkirbalikkan itu semua. Kamu membuat hari itu sangat berarti, sangat
spesial, membuatku selalu ingin memutar hari itu, ketika aku dan kamu bertatap
muka untuk yang pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar