Kafe
ini masih ramai seperti saat pertama kali aku menjejakkan kaki di sini. Meja
berbentuk lingkaran berwarna putih, satu paket dengan sepasang kursi hijau
diletakkan berhadapan. Pelayan-pelayannya juga masih ramah seperti dulu. Bahkan,
beberapa dari mereka—terutama yang sudah senior, selalu menyapaku jika aku
berkunjung ke sini. Mereka sudah hafal denganku, sama hafalnya dengan minuman
favoritku: secangkir cappucino.
Sekarang,
aku duduk di sudut kafe—salah satu tempat favoritku di sini, sambil mengamati
orang-orang yang datang dan pergi di kafe ini. Mulai dari segerombolan remaja
yang pulang sekolah, lalu dengan santainya mereka memblokade beberapa meja dan
kursi, sambil tertawa-tawa—entah apa yang mereka tertawakan.
Suara
lonceng khas tanda pintu terbuka, berdentang di telinga. Otomatis pandanganku
mengarah pada pintu masuk.
Terlihat,
suami-istri muda berjalan beriringan memasuki kafe. Sang suami menggendong anak
lelakinya yang tampak imut menggemaskan, lalu berjalan melewati para remaja
tadi untuk memilih meja. Mengucap permisi pada para remaja, namun tidak
digubris. Karena remaja-remaja itu tak peduli. Suami-istri muda itu saling
pandang, menghela napas panjang. Akhirnya, sang istri menunjuk meja di
sebelahku yang kosong, dan mereka bertiga sekarang tengah becanda bersama, bak
keluarga bahagia. Seolah menertawakan kesendirianku berkunjung ke kafe ini.
Sendiri?
Ah,
aku jadi malas mengamati pengunjung lain. Sisanya dari yang kuceritakan di atas
adalah beberapa pasang kekasih. Yang membuatku iri setengah mati. Kembali
merasa sepi.
Gambar diambil via kedai kopi |
Ya. Aku memang sendirian di sini. Sekarang ini. Seperti orang bodoh—merasa kesepian di tengah ramainya pengunjung kafe siang ini. Hanya ditemani secangkir cappucino yang masih mengepulkan asap—membuatku menunggunya untuk mendingin.
Menunggunya
dingin? Ehm, sebenarnya itu hanya alasanku untuk berlama-lama di kafe ini. Aku
jarang sekali berlama-lama dengan yang namanya cappucino. Aku suka meminumnya
saat masih panas. Lebih suka lagi ketika dia telah menghangat. Tapi aku tak
suka dingin. Berkebalikan dengan dia. Dia lebih suka yang dingin. Sangat suka.
Ah
dia.....
Kepalaku
terasa pening ketika hatiku menyenandungkan namanya. Pemuda satu itu, kenapa
masih betahnya berlama-lama di pikiranku? Kenapa masih sudi mampir di
mimpi-mimpiku? Kenapa masih menyempatkan diri untuk menengokku meskipun hanya
dalam wujud kenangan? Sungguh, aku tak pernah mengharapkan ini. Walaupun aku
sendiri tak yakin jika aku memang tak mencintainya lagi.
Tak
dapat dipungkiri, aku masih mengikuti kabarnya. Aku masih sering menungguinya
latihan bola di GOR kampus. Aku masih sering berdiri di tengah padatnya
penonton sambil meneriakkan namanya. Aku masih sering mengelu-elukan namanya
saat dia mencetak gol. Tanpa dia tahu.
Saat-saat
seperti itu, aku menyesal. Kenapa hubunganku dengannya putus di tengah jalan?
Di tengah orang-orang tahu bahwa hubunganku dengannya baik-baik saja. Di tengah
keluargaku dan keluarganya saling mengenal. Di tengah serius-seriusnya aku
untuk mencintai kekurangannya. Di tengah aku menikmati senyumnya yang selalu
ditujukan untukku usai cetak gol. Di tengah lidahku mencicipi dinginnya
cappucino miliknya, dan dia mengecap cappucino hangat milikku. Di tengah aku
dan dia rajin-rajinnya menghabiskan waktu di kafe ini. Kenapa ‘baik-baik saja’
itu berakhir begitu saja?
Air
mata mulai menggenang seiring kepalaku makin berdenyut. Kuletakkan kepalaku di
atas meja untuk menutupi tangisku dan mengurangi denyut di kepalaku.
Ah,
meja. Mataku langsung menyusuri meja di depanku. Meja bundar warna putih ini, selalu
membuat tanganku gatal untuk mencoretkan tinta di atasnya. Entah hanya coretan,
gambar, atau sebuah nama. Tapi dia, tak pernah bosan mengingatkanku bahwa meja
ini bukan milikku. Ia tak pernah jengah berkata bahwa, meja putih ini harus
selalu bersih. Kalau perlu, sampai aku dan dia jadi nenek-kakek, meja ini harus
berwarna putih. Dan dia tak pernah lupa untuk membawakanku kertas yang akhirnya
jadi lahanku untuk mencoret-coret. Entah kenapa dia setelaten itu.
Perbedaan
umur sekian tahun, membuatku nyaman dengan dia. Dia jauh lebih dewasa. Selalu
siap memanjakanku jika aku merengek-rengek padanya untuk menonton sebuah film
baru. Selalu sigap jika aku sedang butuh bantuan. Selalu mengajakku untuk
menonton pertandingannya. Bahkan baru satu tahun yang lalu, aku diajak ke ibukota
untuk menonton dia sedang membela negara (dia salah satu pemain tim nasional).
Secepat itukah semua itu jadi kenangan?
Secangkir
cappucino selalu jadi saksi bisu pertemuanku dengannya. Aku, dia, dan secangkir
cappucino. Tiga Serangkai yang sangat sulit dipisahkan. Tapi entah kenapa, aku
dan dia memilih untuk berpisah. Jikapun aku jadi secangkir cappucino, tentu aku
akan bertanya-tanya mengenai alasan kenapa suatu hubungan yang menyenangkan,
bisa berakhir menyedihkan? Yang berujung pada penyesalan. Ah, entahlah. Aku
merasa kemungkinan-kemungkinan di kepalaku telah habis untuk memikirkan apa yang
terjadi pada hubunganku dengannya.
Aku
melirik secangkir cappucino di sisiku. Dia sudah tak mengepulkan asap. Bisa
dipastikan sudah tak ada kehangatan di dalamnya. Sama seperti hubunganku
dengannya. Dingin. Tapi dia suka.
Aku
mengangkat kepala dan terduduk tegak. Tanganku meraih secangkir cappucino.
Ingin kunikmati dalam-dalam dinginnya cappucino ini. Berharap, aku bisa tahu
alasan dia menyukai cappucino dingin. Alih-alih aku juga bisa tahu alasan
hubunganku dengannya kandas di tengah jalan. Terhempas mengenaskan tanpa badai
dan angin topan.
Saat
mulutku menyentuh tepi cangkir cappucino, suara lonceng tanda pintu terbuka,
mengetuk telinga. Pandanganku langsung menuju pintu masuk.
Sepersekian
detik, seluruh inderaku berhenti bekerja. Telingaku senyap seketika—tak
mendengar suara apapun kecuali dentuman lonceng pintu yang bagiku adalah
dentuman meriam penjajah. Tubuhku terhempas. Dadaku langsung terasa sesak.
Otot-ototku menegang. Tak bisa bergerak. Kaku. Ujung-ujung jari mendingin. Padahal, hanya memberi waktu otak untuk
percaya pada indera penglihatan.
Benarkah
itu dia?
Butuh
waktu untuk percaya bahwa itu adalah benar-benar dia. Butuh waktu untuk percaya
bahwa dia..... dia..... dengan santainya menggandeng seorang perempuan di
tempat favoritku dengannya. Teganya dia mengajak orang baru di tempat ini.
Tempat ini hanya milikku dengannya! Tempat ini hanya untukku dan untuknya!
Seharusnya tak ada orang lain. Seharusnya tak ada orang baru. Seharusnya dia
tahu jika aku masih terluka karena hubunganku dengannya kandas. Seharusnya dia
tahu jika aku belum bisa melupakannya.
Setelah
tubuhku mampu bereaksi, reaksi pertama adalah: meletakkan kembali cappucino
dingin yang tadinya akan kuminum. Kemudian bangkit, dan segera pergi dari sana.
Aku harus cepat-cepat menyelamatkan hatiku yang belum benar-benar melupakan
dia. Aku belum bisa. Belum.....
Tanpa
menyentuh lagi secangkir cappucino yang sudah benar-benar dingin itu, aku
melenggang pergi. Melewatinya yang sepertinya sedikit terkejut karena
kehadiranku di tempat ini. Seandainya dia tahu bahwa hatiku makin terluka.
Seandainya dia tahu bahwa kedatanganku di tempat ini hanya untuk menenangkan
diri dengan secangkir cappucino. Seandainya perasaannya masih seperti dulu, dia
pasti sudah mengejarku. Bukan melihatku dengan tatapan bingung. Ah, entah!
Kepalaku makin berdenyut.
Dan seharusnya, perasaan ini
menghilang seiring waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar