Senin, 13 Juni 2016

Cinta Cappucino



Kafe ini masih ramai seperti saat pertama kali aku menjejakkan kaki di sini. Meja berbentuk lingkaran berwarna putih, satu paket dengan sepasang kursi hijau diletakkan berhadapan. Pelayan-pelayannya juga masih ramah seperti dulu. Bahkan, beberapa dari mereka—terutama yang sudah senior, selalu menyapaku jika aku berkunjung ke sini. Mereka sudah hafal denganku, sama hafalnya dengan minuman favoritku: secangkir cappucino.

Sekarang, aku duduk di sudut kafe—salah satu tempat favoritku di sini, sambil mengamati orang-orang yang datang dan pergi di kafe ini. Mulai dari segerombolan remaja yang pulang sekolah, lalu dengan santainya mereka memblokade beberapa meja dan kursi, sambil tertawa-tawa—entah apa yang mereka tertawakan.

Suara lonceng khas tanda pintu terbuka, berdentang di telinga. Otomatis pandanganku mengarah pada pintu masuk.


Terlihat, suami-istri muda berjalan beriringan memasuki kafe. Sang suami menggendong anak lelakinya yang tampak imut menggemaskan, lalu berjalan melewati para remaja tadi untuk memilih meja. Mengucap permisi pada para remaja, namun tidak digubris. Karena remaja-remaja itu tak peduli. Suami-istri muda itu saling pandang, menghela napas panjang. Akhirnya, sang istri menunjuk meja di sebelahku yang kosong, dan mereka bertiga sekarang tengah becanda bersama, bak keluarga bahagia. Seolah menertawakan kesendirianku berkunjung ke kafe ini.

Sendiri?

Ah, aku jadi malas mengamati pengunjung lain. Sisanya dari yang kuceritakan di atas adalah beberapa pasang kekasih. Yang membuatku iri setengah mati. Kembali merasa sepi.

 
Gambar diambil via kedai kopi

Ya. Aku memang sendirian di sini. Sekarang ini. Seperti orang bodoh—merasa kesepian di tengah ramainya pengunjung kafe siang ini. Hanya ditemani secangkir cappucino yang masih mengepulkan asap—membuatku menunggunya untuk mendingin.

Menunggunya dingin? Ehm, sebenarnya itu hanya alasanku untuk berlama-lama di kafe ini. Aku jarang sekali berlama-lama dengan yang namanya cappucino. Aku suka meminumnya saat masih panas. Lebih suka lagi ketika dia telah menghangat. Tapi aku tak suka dingin. Berkebalikan dengan dia. Dia lebih suka yang dingin. Sangat suka.

Ah dia.....

Kepalaku terasa pening ketika hatiku menyenandungkan namanya. Pemuda satu itu, kenapa masih betahnya berlama-lama di pikiranku? Kenapa masih sudi mampir di mimpi-mimpiku? Kenapa masih menyempatkan diri untuk menengokku meskipun hanya dalam wujud kenangan? Sungguh, aku tak pernah mengharapkan ini. Walaupun aku sendiri tak yakin jika aku memang tak mencintainya lagi.

Tak dapat dipungkiri, aku masih mengikuti kabarnya. Aku masih sering menungguinya latihan bola di GOR kampus. Aku masih sering berdiri di tengah padatnya penonton sambil meneriakkan namanya. Aku masih sering mengelu-elukan namanya saat dia mencetak gol. Tanpa dia tahu.

Saat-saat seperti itu, aku menyesal. Kenapa hubunganku dengannya putus di tengah jalan? Di tengah orang-orang tahu bahwa hubunganku dengannya baik-baik saja. Di tengah keluargaku dan keluarganya saling mengenal. Di tengah serius-seriusnya aku untuk mencintai kekurangannya. Di tengah aku menikmati senyumnya yang selalu ditujukan untukku usai cetak gol. Di tengah lidahku mencicipi dinginnya cappucino miliknya, dan dia mengecap cappucino hangat milikku. Di tengah aku dan dia rajin-rajinnya menghabiskan waktu di kafe ini. Kenapa ‘baik-baik saja’ itu berakhir begitu saja?

Air mata mulai menggenang seiring kepalaku makin berdenyut. Kuletakkan kepalaku di atas meja untuk menutupi tangisku dan mengurangi denyut di kepalaku.

Ah, meja. Mataku langsung menyusuri meja di depanku. Meja bundar warna putih ini, selalu membuat tanganku gatal untuk mencoretkan tinta di atasnya. Entah hanya coretan, gambar, atau sebuah nama. Tapi dia, tak pernah bosan mengingatkanku bahwa meja ini bukan milikku. Ia tak pernah jengah berkata bahwa, meja putih ini harus selalu bersih. Kalau perlu, sampai aku dan dia jadi nenek-kakek, meja ini harus berwarna putih. Dan dia tak pernah lupa untuk membawakanku kertas yang akhirnya jadi lahanku untuk mencoret-coret. Entah kenapa dia setelaten itu.

Perbedaan umur sekian tahun, membuatku nyaman dengan dia. Dia jauh lebih dewasa. Selalu siap memanjakanku jika aku merengek-rengek padanya untuk menonton sebuah film baru. Selalu sigap jika aku sedang butuh bantuan. Selalu mengajakku untuk menonton pertandingannya. Bahkan baru satu tahun yang lalu, aku diajak ke ibukota untuk menonton dia sedang membela negara (dia salah satu pemain tim nasional). Secepat itukah semua itu jadi kenangan?

Secangkir cappucino selalu jadi saksi bisu pertemuanku dengannya. Aku, dia, dan secangkir cappucino. Tiga Serangkai yang sangat sulit dipisahkan. Tapi entah kenapa, aku dan dia memilih untuk berpisah. Jikapun aku jadi secangkir cappucino, tentu aku akan bertanya-tanya mengenai alasan kenapa suatu hubungan yang menyenangkan, bisa berakhir menyedihkan? Yang berujung pada penyesalan. Ah, entahlah. Aku merasa kemungkinan-kemungkinan di kepalaku telah habis untuk memikirkan apa yang terjadi pada hubunganku dengannya.

Aku melirik secangkir cappucino di sisiku. Dia sudah tak mengepulkan asap. Bisa dipastikan sudah tak ada kehangatan di dalamnya. Sama seperti hubunganku dengannya. Dingin. Tapi dia suka.

Aku mengangkat kepala dan terduduk tegak. Tanganku meraih secangkir cappucino. Ingin kunikmati dalam-dalam dinginnya cappucino ini. Berharap, aku bisa tahu alasan dia menyukai cappucino dingin. Alih-alih aku juga bisa tahu alasan hubunganku dengannya kandas di tengah jalan. Terhempas mengenaskan tanpa badai dan angin topan.

Saat mulutku menyentuh tepi cangkir cappucino, suara lonceng tanda pintu terbuka, mengetuk telinga. Pandanganku langsung menuju pintu masuk.

Sepersekian detik, seluruh inderaku berhenti bekerja. Telingaku senyap seketika—tak mendengar suara apapun kecuali dentuman lonceng pintu yang bagiku adalah dentuman meriam penjajah. Tubuhku terhempas. Dadaku langsung terasa sesak. Otot-ototku menegang. Tak bisa bergerak. Kaku. Ujung-ujung jari mendingin.  Padahal, hanya memberi waktu otak untuk percaya pada indera penglihatan.

Benarkah itu dia?

Butuh waktu untuk percaya bahwa itu adalah benar-benar dia. Butuh waktu untuk percaya bahwa dia..... dia..... dengan santainya menggandeng seorang perempuan di tempat favoritku dengannya. Teganya dia mengajak orang baru di tempat ini. Tempat ini hanya milikku dengannya! Tempat ini hanya untukku dan untuknya! Seharusnya tak ada orang lain. Seharusnya tak ada orang baru. Seharusnya dia tahu jika aku masih terluka karena hubunganku dengannya kandas. Seharusnya dia tahu jika aku belum bisa melupakannya.

Setelah tubuhku mampu bereaksi, reaksi pertama adalah: meletakkan kembali cappucino dingin yang tadinya akan kuminum. Kemudian bangkit, dan segera pergi dari sana. Aku harus cepat-cepat menyelamatkan hatiku yang belum benar-benar melupakan dia. Aku belum bisa. Belum.....

Tanpa menyentuh lagi secangkir cappucino yang sudah benar-benar dingin itu, aku melenggang pergi. Melewatinya yang sepertinya sedikit terkejut karena kehadiranku di tempat ini. Seandainya dia tahu bahwa hatiku makin terluka. Seandainya dia tahu bahwa kedatanganku di tempat ini hanya untuk menenangkan diri dengan secangkir cappucino. Seandainya perasaannya masih seperti dulu, dia pasti sudah mengejarku. Bukan melihatku dengan tatapan bingung. Ah, entah! Kepalaku makin berdenyut.
            
 Dan seharusnya, perasaan ini menghilang seiring waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini