Kamis, 23 Juni 2016

Jogja Tak Lagi Sama



Aku tahu, Jogja tak lagi sama.

Mungkin pedagang di warung tenda itu sudah pindah. Mungkin mahasiswa yang dulu masih suka tongkrongan di pinggir jalan, sudah pada wisuda. Mungkin rumput yang ada di lapangan itu sudah dipangkas lalu tumbuh lagi. Mungkin pagar pembatas sudah ada pertambahan karat di beberapa sisi. Mungkin beberapa bangunan telah dicat ulang.

Jogja tak lagi sama. Awan mendung yang dulu menaungi pertemuan pertama, telah turun sebagai hujan beberapa hari kemudian. Lantas menguap lagi, membentuk awan, hujan, menguap, awan, hujan, begitu seterusnya dua tahun terakhir.
            
 Jogja tak lagi sama.
            
 Mahasiswa yang dulu pernah menegur, mungkin sudah memasuki semester sekian, atau mungkin sudah wisuda, atau bisa jadi masih mengerjakan skripsi. Euforia yang kental menyelimuti Jogja waktu itu juga sudah reda jauh-jauh hari. Dan mereka, manusia-manusia berseragam biru dengan garuda di dada, juga pasti telah berubah. Mungkin ada yang baru menikah, sudah punya anak, atau bisa saja ada yang masih dalam tahap memilih pasangan.
             
Lalu, soal organisasi yang menaungi hobi sekaligus pekerjaan mereka, dalam kurun waktu 24 bulan terakhir, sedang bertransformasi. Sempat bermasalah, dan beberapa pihak berusaha mengembalikan organisasi itu supaya sehat. Dan karena permasalahan dalam organisasi itulah, yang menghentikan obsesiku untuk kembali ke Jogja. Karena aku tahu, manusia berseragam biru dengan garuda di dada yang dulu pernah kutemui, sangat bergantung dengan organisasi. Jika organisasinya bermasalah, maka mereka bermasalah. Dan kalau organisasinya telah sehat, maka, mereka juga akan sehat. Dan mungkin akan kembali ke Jogja, meski aku yakin, tidak dalam waktu dekat. Yang jelas, selama 24 bulan terakhir, organisasi belum benar-benar beres. Dan aku tidak lagi ingin ke Jogja, karena manusia berseragam biru dengan garuda di dada, tak ada di sana.
             
Aku tahu, Jogja tak lagi sama.

Universitas itu pasti sudah membuka beberapa kali pendaftaran calon mahasiswa baru, dan meluluskan sekian ratus mahasiswa lama. Gedung universitas, meskipun bentuknya tak ada perubahan, tapi dindingnya sudah dicat berulang-ulang. Apalagi jika memang ada renovasi—soal ini, aku benar-benar tidak tahu.

23 Juni pun tak lagi sama.

Kini tidak hanya soal manusia berseragam biru dengan garuda di dada. Aku punya banyak teman, yang salah satunya berulangtahun tanggal 23 Juni. Aku mengucap selamat ulang tahun padanya, bukan lagi melakukan peringatan tiap tanggal 23 Juni soal Jogja, yang justru lebih mirip peringatan kematian seseorang.

Pemain nomor punggung 23 pun tak lagi sama.

Orang itu, sekarang memakai nomor punggung 8. Untuk pemain nomor punggung 23, aku punya idola lain sekarang. Dan itu, di luar sepak bola. Mungkin, bisa aku bahas nanti-nanti dalam tulisanku yang lain.

Yang jelas, kini Jogja tak lagi sama. 23 Juni tak lagi sama.

Hanya matahari yang menyinari Jogja sore itu, dan rindu yang masih sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini