Aku tahu, Jogja
tak lagi sama.
Mungkin
pedagang di warung tenda itu sudah pindah. Mungkin mahasiswa yang dulu masih
suka tongkrongan di pinggir jalan, sudah pada wisuda. Mungkin rumput yang ada
di lapangan itu sudah dipangkas lalu tumbuh lagi. Mungkin pagar pembatas sudah
ada pertambahan karat di beberapa sisi. Mungkin beberapa bangunan telah dicat
ulang.
Jogja
tak lagi sama. Awan mendung yang dulu menaungi pertemuan pertama, telah turun
sebagai hujan beberapa hari kemudian. Lantas menguap lagi, membentuk awan,
hujan, menguap, awan, hujan, begitu seterusnya dua tahun terakhir.
Jogja tak lagi sama.
Mahasiswa yang dulu pernah menegur,
mungkin sudah memasuki semester sekian, atau mungkin sudah wisuda, atau bisa jadi
masih mengerjakan skripsi. Euforia yang kental menyelimuti Jogja waktu itu juga
sudah reda jauh-jauh hari. Dan mereka, manusia-manusia berseragam biru dengan
garuda di dada, juga pasti telah berubah. Mungkin ada yang baru menikah, sudah
punya anak, atau bisa saja ada yang masih dalam tahap memilih pasangan.
Lalu, soal organisasi yang menaungi
hobi sekaligus pekerjaan mereka, dalam kurun waktu 24 bulan terakhir, sedang
bertransformasi. Sempat bermasalah, dan beberapa pihak berusaha mengembalikan
organisasi itu supaya sehat. Dan karena permasalahan dalam organisasi itulah,
yang menghentikan obsesiku untuk kembali ke Jogja. Karena aku tahu, manusia
berseragam biru dengan garuda di dada yang dulu pernah kutemui, sangat
bergantung dengan organisasi. Jika organisasinya bermasalah, maka mereka
bermasalah. Dan kalau organisasinya telah sehat, maka, mereka juga akan sehat.
Dan mungkin akan kembali ke Jogja, meski aku yakin, tidak dalam waktu dekat.
Yang jelas, selama 24 bulan terakhir, organisasi belum benar-benar beres. Dan
aku tidak lagi ingin ke Jogja, karena manusia berseragam biru dengan garuda di
dada, tak ada di sana.
Aku
tahu, Jogja tak lagi sama.
Universitas itu pasti sudah membuka
beberapa kali pendaftaran calon mahasiswa baru, dan meluluskan sekian ratus
mahasiswa lama. Gedung universitas, meskipun bentuknya tak ada perubahan, tapi
dindingnya sudah dicat berulang-ulang. Apalagi jika memang ada renovasi—soal
ini, aku benar-benar tidak tahu.
23 Juni pun tak lagi sama.
Kini tidak hanya soal manusia
berseragam biru dengan garuda di dada. Aku punya banyak teman, yang salah
satunya berulangtahun tanggal 23 Juni. Aku mengucap selamat ulang tahun
padanya, bukan lagi melakukan peringatan tiap tanggal 23 Juni soal Jogja, yang
justru lebih mirip peringatan kematian seseorang.
Pemain nomor punggung 23 pun tak
lagi sama.
Orang itu, sekarang memakai nomor
punggung 8. Untuk pemain nomor punggung 23, aku punya idola lain sekarang. Dan
itu, di luar sepak bola. Mungkin, bisa aku bahas nanti-nanti dalam tulisanku
yang lain.
Yang jelas, kini Jogja tak lagi
sama. 23 Juni tak lagi sama.
Hanya matahari yang menyinari Jogja sore
itu, dan rindu yang masih sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar