Minggu, 19 Juni 2016

Terima Kasih Telah Pergi



Tempat ini ramai seperti pertama kali aku menjejakkan kaki ke sini. Pelayan-pelayan yang seketika menyambutku, juga sapaan hangat dari balik kasir. Kalau aku tidak menahan salah satu pelayan yang hafal seleraku, mungkin secangkir cappucino sudah tersaji di meja. Tapi, tidak. Aku ke sini bukan untuk menikmati minuman favoritku. Pelayan itu mengerutkan kening samar, namun tidak bertanya lebih lanjut. Aku hanya bilang jika sedang menunggu teman, dan akan memesan nanti-nanti.
             
Setengah jam duduk tanpa pesanan apapun, pemuda itu akhirnya datang. Tersenyum lebar, menarik kursi di depanku, kemudian duduk. Ia memanggil pelayan yang kemudian tersenyum-senyum melihat kami. Aku tahu, dia tahu mengenai hubungan kami dalam bagian baik-baik saja. Dan pelayan itu tak perlu tahu jika hubungan kami yang baik-baik saja itu telah berakhir begitu saja.
             
Aku menarik napas panjang. Belum mengeluarkan sepatah katapun. Pandanganku terlempar ke pengunjung-pengunjung yang menyesaki di tempat ini. Tak lama, pelayan mendekat, menghidangkan pesanan. Aku hanya tersenyum, berterima kasih.
  
"Kamu kenapa suka sepak bola?” akhirnya, pemuda di depanku, David, bertanya sambil menyeruput minumannya.

Gambar diambil via kedai kopi

 Aku menatap David sebentar, kemudian menjawab, “Kan, ada kamu,” aku tersenyum.
            
 David tertawa kecil, mencibir. “Terus, kenapa suka basket? Karena ada Dilanmu?” David kembali bertanya. Aku langsung diam. Tersenyum tipis, membuang muka, mengitarkan pandangan ke orang-orang di sekitar kami. Saat mataku kembali ke David, David sudah mengeluarkan ekspresi mengejek.
            
 “Jangan panggil dia Dilan. Dia tidak suka,” ujarku pelan.
           
 “Tapi dia tidak ada di sini. Lagipula, kamu yang pertama kali memanggilnya Dilan,” sahut David enteng. Ia kembali menyeruput minumannya.
            
 Please, David. Aku tidak datang ke sini hanya untuk membahas soal Dilanku,” kataku akhirnya. “Ada apa?”
             
Aku menatap David yang menarik napas panjang. Menundukkan pandangan, memainkan sedotan di gelas. Cukup lama David terdiam, lalu ia membalas tatapanku. “Ini soal,” David kembali terdiam, menelan ludah, “Hubungan kita.”
            
 Deg! Salah satu degup jantungku berdetak cukup keras. Diikuti irama cepat, dan darahku mulai berdesir halus. Aku menelan ludah, lalu menunduk. Menarik napas panjang, menghembuskannya pelan.“Tapi, hubungan kita sudah selesai jauh-jauh hari, Vid,”
            
 “Tapi kamu selalu datang setiap aku minta bertemu. Kamu selalu memberi bantuan ketika aku meminta. Apa iya, kamu memang sudah melupakan hubungan ini? Benar-benar lupa?” cecar David. Aku mengangkat muka, menatap kedua mata menenangkan miliknya. Kedua mata itu kali ini terlihat lebih redup, entah kenapa. Seperti menyiratkan lelah yang tak mampu diucap.
             
“Vid, bukannya kamu yang memilih lebih dulu pergi?”
             
“Iya, tapi...”
             
“Kamu yang lebih dulu merasa bahagia,” tukasku. “Apa pedulimu soal perasaanku? Harusnya, kamu cukup berterima kasih dengan kehadiranku, meskipun hubungan kita telah berakhir begitu saja. Tidak perlu mengurusi soal perasaan, yang memang kita sudah sepakat mengakhirinya,”
             
“Tapi..”
            
 “Kamu sudah menemukan Mileamu. Aku sudah menemukan Dilanku. Bukankah itu cukup?”
            
 “Jel, please!” David memohon. Kedua matanya benar-benar redup sekarang. Aku terdiam, memberinya kesempatan bicara. “Aku... aku, selalu merasa bersalah setiap kamu datang saat aku meminta. Tapi.. tapi aku tidak punya teman baik selain kamu,”
             
Aku tertawa kecil. Mengempaskan punggung ke sandaran kursi, melipat tangan di dada. Membuang muka. “Teman baik?” aku kembali menatap David. “Apalagi yang kamu harapkan selain jadi teman baik? Bukankah teman baik memang seharusnya begitu? Selalu ada setiap diminta bantuan. Selalu datang setiap dibutuhkan...”
             
“Tapi kamu tidak pernah memintaku seperti itu!” David memotong sengit.
             
“Ya, karena aku punya teman baik lain, David,” sahutku. David kontan tertegun. “Saat kamu datang di hidupku, aku merasa kamulah  duniaku. Merasa bahwa kamu adalah sosok malaikat yang sengaja diutus oleh Tuhan untuk menjagaku. Satu-satunya manusia paling baik yang harus aku kenali. Satu-satunya manusia di muka bumi yang perlu aku temui...” semakin lama, suaraku semakin lirih. Serak. “Dan saat kamu memilih pergi, maka, duniaku terasa hilang. Kakiku bingung berpijak. Sekelilingku tak lagi sama. Malaikat penjagaku tidak ada.”
             
Mataku mulai berkaca-kaca. David terdiam. Entah menungguku melanjutkan cerita, atau menyesali kepergiannya. “Dan saat tanpa sengaja kita bertemu di sini, ketika aku sedang kehilangan kamu—manusia paling baik yang pernah aku kenal, kamu sudah jadi manusia paling baik untuk seseorang, perempuan itu. Kamu mulai mengenalkan duniamu padanya. Cappucino dingin, tempat ini...” air mataku menetes. Aku langsung tersenyum tipis, menghapus air mata di pipi. “Kamu ingat kan, Vid?” tanyaku. David tak menjawab.
             
“Waktu itu aku merasa jadi manusia paling menyedihkan sedunia. Menyalahkan Tuhan yang mengambil malaikat penjagaku. Menyalahkan diriku sendiri yang tidak tahu letak kesalahanku sampai duniaku menghilang. Terlalu banyak yang aku salahkan, sampai orang-orang terdekat, mulai berdatangan. Menghiburku,” lanjutku sambil tersenyum. “Sejak itu, aku mulai sadar, bahwa duniaku tidak hilang. Hanya berganti, dan jauh lebih luas. Temanku bertambah, dan caraku berbahagia lebih beragam. Tidak melulu tertawa hanya karena seorang David yang melontarkan canda. Banyak, kok, temanku yang jago lawak,” aku tertawa. David tersenyum tipis.
             
“Dan, di duniaku yang baru, aku jadi tahu, bahwa manusia paling baik tidak hanya kamu,” sambungku. David menunduk. “Aku ada setiap kamu butuh bantuan, karena aku pernah merasakan sedihnya butuh uluran tangan,” tuturku pelan. “Dan seperti katamu, aku adalah teman baikmu. Wajar kan, jika aku selalu ada setiap kamu membutuhkanku?”
             
David mengangkat muka, menatap kedua mataku.
             
“Tapi, kenapa kamu menangis?” David bertanya pelan. Aku terdiam. “Kamu tidak perlu menangis jika memang tidak menyesali kandasnya hubungan kita,”
             
“Memangnya, kamu menyesal?” tanyaku. David diam. “Vid, kamu sudah punya Milea. Aku sudah ada Dilan.Sekalipun menyesal, untuk apa diratapi? Kita berhak bahagia. Dan kita juga wajib memberi mereka kesempatan untuk membahagiakan kita...”
            
 “Aku harap, kamu kembali.” David memotong tiba-tiba. Aku tersentak. Segera kucari kebohongan di kedua mata David, yang ternyata tidak ada.
             
“Tapi.. untuk apa, Vid?” tanyaku terbata. Sekuat tenaga aku menahan suaraku agar tidak terdengar gemetar, namun kerongkonganku tercekat. Sulit sekali bersuara. Kedua mataku kembali berkaca-kaca.
            
 “Yang jelas, aku tidak mengharapkanmu kembali hanya untuk aku tinggal pergi lagi. Aku ingin kamu kembali, karena aku merasa, hanya kamu yang paling berhak berada di sisi...”
           
 “Vid, jangan egois!” sentakku emosi.
             
David terdiam, menatapku lama, sampai akhrnya ia mengangkat kedua tangan, tanda menyerah. “Oke, oke, baiklah. Aku hanya berharap. Tidak terwujud juga tidak masalah. Toh, jika harapan itu tidak terealisasi, yang sakit kan aku. Bukan kamu, apalagi Mileaku,” David menyahut datar, lalu menyeruput minumannya.
             
“Tapi jika Mileamu tahu kalau kamu punya harapan seperti itu, Mileamu yang akan sakit,” ujarku serius. David menatapku tajam.
             
“Apa pedulimu soal Mileaku?”
            
 “Karena aku dan Mileamu sama-sama perempuan. Dan aku pernah merasakan sakitnya ditinggalkan tiba-tiba oleh seseorang yang kuanggap berarti dalam hidup,” aku mulai berkemas. “Melihatmu yang punya harapan seperti itu, aku jadi tidak yakin kalau aku benar-benar kembali ke hidupmu, kamu tidak akan menyakitiku lagi,” aku bangkit berdiri.
           
 “Eh, mau kemana?”
             
“Menyelamatkan hati supaya tidak tenggelam di hidupmu lagi,” dan tanpa menunggu David bereaksi, aku melangkah keluar dari tempat ini. Tempat penuh kenangan bersama seorang pemuda yang dulu menjadi duniaku. Tempat itu, jadi saksi saat aku begitu menyukai cappucino yang menghangat, bersama pemuda yang menyukai cappucino dingin. Di tempat itu pula, aku menyaksikan sendiri alasan pemuda itu meninggalkanku tiba-tiba. Dan kali ini, tempat itu jadi saksi, pemuda yang sempat menghilangkan semangat hidupku, berusaha kembali lagi.
             
Aku menarik napas panjang, menghembuskannya pelan. Mengucap syukur dalam hati, karena Tuhan menjauhkan dia dari hidupku. Dia, pemuda paling baik, yang ternyata paling egois. Yang sayangnya, belum benar-benar pergi dari hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini