Tempat ini
ramai seperti pertama kali aku menjejakkan kaki ke sini. Pelayan-pelayan yang
seketika menyambutku, juga sapaan hangat dari balik kasir. Kalau aku tidak
menahan salah satu pelayan yang hafal seleraku, mungkin secangkir cappucino
sudah tersaji di meja. Tapi, tidak. Aku ke sini bukan untuk menikmati minuman
favoritku. Pelayan itu mengerutkan kening samar, namun tidak bertanya lebih
lanjut. Aku hanya bilang jika sedang menunggu teman, dan akan memesan
nanti-nanti.
Setengah jam duduk tanpa pesanan
apapun, pemuda itu akhirnya datang. Tersenyum lebar, menarik kursi di depanku,
kemudian duduk. Ia memanggil pelayan yang kemudian tersenyum-senyum melihat
kami. Aku tahu, dia tahu mengenai hubungan kami dalam bagian baik-baik saja. Dan
pelayan itu tak perlu tahu jika hubungan kami yang baik-baik saja itu telah
berakhir begitu saja.
Aku menarik napas panjang. Belum
mengeluarkan sepatah katapun. Pandanganku terlempar ke pengunjung-pengunjung
yang menyesaki di tempat ini. Tak lama, pelayan mendekat, menghidangkan
pesanan. Aku hanya tersenyum, berterima kasih.
"Kamu kenapa suka sepak bola?” akhirnya,
pemuda di depanku, David, bertanya sambil menyeruput minumannya.
Gambar diambil via kedai kopi |
Aku menatap David sebentar, kemudian
menjawab, “Kan, ada kamu,” aku tersenyum.
David tertawa kecil, mencibir.
“Terus, kenapa suka basket? Karena ada Dilanmu?” David kembali bertanya. Aku langsung
diam. Tersenyum tipis, membuang muka, mengitarkan pandangan ke orang-orang di
sekitar kami. Saat mataku kembali ke David, David sudah mengeluarkan ekspresi
mengejek.
“Jangan panggil dia Dilan. Dia tidak
suka,” ujarku pelan.
“Tapi dia tidak ada di sini.
Lagipula, kamu yang pertama kali memanggilnya Dilan,” sahut David enteng. Ia
kembali menyeruput minumannya.
“Please, David. Aku tidak
datang ke sini hanya untuk membahas soal Dilanku,” kataku akhirnya. “Ada apa?”
Aku menatap David yang menarik napas
panjang. Menundukkan pandangan, memainkan sedotan di gelas. Cukup lama David
terdiam, lalu ia membalas tatapanku. “Ini soal,” David kembali terdiam, menelan
ludah, “Hubungan kita.”
Deg! Salah satu degup jantungku
berdetak cukup keras. Diikuti irama cepat, dan darahku mulai berdesir halus.
Aku menelan ludah, lalu menunduk. Menarik napas panjang, menghembuskannya
pelan.“Tapi, hubungan kita sudah selesai jauh-jauh hari, Vid,”
“Tapi kamu selalu datang setiap aku
minta bertemu. Kamu selalu memberi bantuan ketika aku meminta. Apa iya, kamu
memang sudah melupakan hubungan ini? Benar-benar lupa?” cecar David. Aku
mengangkat muka, menatap kedua mata menenangkan miliknya. Kedua mata itu kali
ini terlihat lebih redup, entah kenapa. Seperti menyiratkan lelah yang tak
mampu diucap.
“Vid, bukannya kamu yang memilih
lebih dulu pergi?”
“Iya, tapi...”
“Kamu yang lebih dulu merasa
bahagia,” tukasku. “Apa pedulimu soal perasaanku? Harusnya, kamu cukup
berterima kasih dengan kehadiranku, meskipun hubungan kita telah berakhir
begitu saja. Tidak perlu mengurusi soal perasaan, yang memang kita sudah
sepakat mengakhirinya,”
“Tapi..”
“Kamu sudah menemukan Mileamu. Aku
sudah menemukan Dilanku. Bukankah itu cukup?”
“Jel, please!” David memohon.
Kedua matanya benar-benar redup sekarang. Aku terdiam, memberinya kesempatan
bicara. “Aku... aku, selalu merasa bersalah setiap kamu datang saat aku
meminta. Tapi.. tapi aku tidak punya teman baik selain kamu,”
Aku tertawa kecil. Mengempaskan
punggung ke sandaran kursi, melipat tangan di dada. Membuang muka. “Teman
baik?” aku kembali menatap David. “Apalagi yang kamu harapkan selain jadi teman
baik? Bukankah teman baik memang seharusnya begitu? Selalu ada setiap diminta
bantuan. Selalu datang setiap dibutuhkan...”
“Tapi kamu tidak pernah memintaku
seperti itu!” David memotong sengit.
“Ya, karena aku punya teman baik
lain, David,” sahutku. David kontan tertegun. “Saat kamu datang di hidupku, aku
merasa kamulah duniaku. Merasa bahwa
kamu adalah sosok malaikat yang sengaja diutus oleh Tuhan untuk menjagaku.
Satu-satunya manusia paling baik yang harus aku kenali. Satu-satunya manusia di
muka bumi yang perlu aku temui...” semakin lama, suaraku semakin lirih. Serak.
“Dan saat kamu memilih pergi, maka, duniaku terasa hilang. Kakiku bingung berpijak.
Sekelilingku tak lagi sama. Malaikat penjagaku tidak ada.”
Mataku mulai berkaca-kaca. David
terdiam. Entah menungguku melanjutkan cerita, atau menyesali kepergiannya. “Dan
saat tanpa sengaja kita bertemu di sini, ketika aku sedang kehilangan kamu—manusia
paling baik yang pernah aku kenal, kamu sudah jadi manusia paling baik untuk
seseorang, perempuan itu. Kamu mulai mengenalkan duniamu padanya. Cappucino
dingin, tempat ini...” air mataku menetes. Aku langsung tersenyum tipis,
menghapus air mata di pipi. “Kamu ingat kan, Vid?” tanyaku. David tak menjawab.
“Waktu itu aku merasa jadi manusia
paling menyedihkan sedunia. Menyalahkan Tuhan yang mengambil malaikat
penjagaku. Menyalahkan diriku sendiri yang tidak tahu letak kesalahanku sampai
duniaku menghilang. Terlalu banyak yang aku salahkan, sampai orang-orang
terdekat, mulai berdatangan. Menghiburku,” lanjutku sambil tersenyum. “Sejak
itu, aku mulai sadar, bahwa duniaku tidak hilang. Hanya berganti, dan jauh
lebih luas. Temanku bertambah, dan caraku berbahagia lebih beragam. Tidak
melulu tertawa hanya karena seorang David yang melontarkan canda. Banyak, kok,
temanku yang jago lawak,” aku tertawa. David tersenyum tipis.
“Dan, di duniaku yang baru, aku jadi
tahu, bahwa manusia paling baik tidak hanya kamu,” sambungku. David menunduk.
“Aku ada setiap kamu butuh bantuan, karena aku pernah merasakan sedihnya butuh
uluran tangan,” tuturku pelan. “Dan seperti katamu, aku adalah teman baikmu.
Wajar kan, jika aku selalu ada setiap kamu membutuhkanku?”
David mengangkat muka, menatap kedua
mataku.
“Tapi, kenapa kamu menangis?” David
bertanya pelan. Aku terdiam. “Kamu tidak perlu menangis jika memang tidak
menyesali kandasnya hubungan kita,”
“Memangnya, kamu menyesal?” tanyaku.
David diam. “Vid, kamu sudah punya Milea. Aku sudah ada Dilan.Sekalipun
menyesal, untuk apa diratapi? Kita berhak bahagia. Dan kita juga wajib memberi
mereka kesempatan untuk membahagiakan kita...”
“Aku harap, kamu kembali.” David
memotong tiba-tiba. Aku tersentak. Segera kucari kebohongan di kedua mata David,
yang ternyata tidak ada.
“Tapi.. untuk apa, Vid?” tanyaku
terbata. Sekuat tenaga aku menahan suaraku agar tidak terdengar gemetar, namun
kerongkonganku tercekat. Sulit sekali bersuara. Kedua mataku kembali
berkaca-kaca.
“Yang jelas, aku tidak mengharapkanmu
kembali hanya untuk aku tinggal pergi lagi. Aku ingin kamu kembali, karena aku
merasa, hanya kamu yang paling berhak berada di sisi...”
“Vid, jangan egois!” sentakku emosi.
David terdiam, menatapku lama,
sampai akhrnya ia mengangkat kedua tangan, tanda menyerah. “Oke, oke, baiklah. Aku
hanya berharap. Tidak terwujud juga tidak masalah. Toh, jika harapan itu tidak
terealisasi, yang sakit kan aku. Bukan kamu, apalagi Mileaku,” David menyahut
datar, lalu menyeruput minumannya.
“Tapi jika Mileamu tahu kalau kamu
punya harapan seperti itu, Mileamu yang akan sakit,” ujarku serius. David
menatapku tajam.
“Apa pedulimu soal Mileaku?”
“Karena aku dan Mileamu sama-sama
perempuan. Dan aku pernah merasakan sakitnya ditinggalkan tiba-tiba oleh
seseorang yang kuanggap berarti dalam hidup,” aku mulai berkemas. “Melihatmu
yang punya harapan seperti itu, aku jadi tidak yakin kalau aku benar-benar
kembali ke hidupmu, kamu tidak akan menyakitiku lagi,” aku bangkit berdiri.
“Eh, mau kemana?”
“Menyelamatkan hati supaya tidak
tenggelam di hidupmu lagi,” dan tanpa menunggu David bereaksi, aku melangkah
keluar dari tempat ini. Tempat penuh kenangan bersama seorang pemuda yang dulu
menjadi duniaku. Tempat itu, jadi saksi saat aku begitu menyukai cappucino yang
menghangat, bersama pemuda yang menyukai cappucino dingin. Di tempat itu pula,
aku menyaksikan sendiri alasan pemuda itu meninggalkanku tiba-tiba. Dan kali
ini, tempat itu jadi saksi, pemuda yang sempat menghilangkan semangat hidupku,
berusaha kembali lagi.
Aku menarik napas panjang,
menghembuskannya pelan. Mengucap syukur dalam hati, karena Tuhan menjauhkan dia
dari hidupku. Dia, pemuda paling baik, yang ternyata paling egois. Yang
sayangnya, belum benar-benar pergi dari hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar