Jumat, 05 September 2014

AB 07



Sudah sejak beberapa hari yang lalu aku suka duduk di depan kamar rawat kakakku.  Oh iya, 2 hari yang lalu kakakku kakinya dioperasi karena patah—jatuh waktu bermain bola. Dan dia dibawa ke sini untuk pemasangan pen dan segala tetek bengek lainnya agar bisa berjalan normal kembali. Syukurlah operasinya berjalan lancar, dan sekarang tinggal pemulihan.
Nah, kenapa aku suka duduk di depan kamar rawat kakakku? Terutama ketika pagi-pagi begini. Ehm, yang pertama, karena aku bosan di kamar rawat kakakku. Kedua, karena malas mendengar kakak laki-lakiku itu merajuk manja pada Bunda. Ketiga, karena..... hmm.... karena.......
             
Penghuni kamar rawat depan.

Pasien yang berada di seberang kamar kakakku. Laki-laki. Mungkin, usianya tak beda jauh dariku. Pertama kali aku melihatnya adalah ketika kakakku diboyong ke kamar ini setelah menangis keras karena kakinya yang patah, tersenggol oleh Ibu-ibu paruh baya yang terlihat tergesa. Aku tak begitu mengamati Ibu-ibu itu karena dia terlalu cepat berlalu setelah membuat tangis kakakku. Yang kutahu, mata Ibu itu memerah tanda dia—entah menangis atau menahan tangis. Ibu itu menuju kamar AB 07 dan seorang pemuda yang duduk di kursi roda depan kamar itu—dalam posisi memunggungiku, masuk ke kamar itu. Yang jelas, aku tak begitu peduli—lebih memedulikan kakakku yang nasib kakinya terlalu malang.

Esok paginya, setelah mandi, aku berjalan-jalan di sekitar kamar rawat. Berkeliling—siapa tahu ada yang menarik. Tempat para perawat, taman belakang, air mancur beserta kolam ikan, kamar berkelas Super VIP, kulewati dengan tatapan biasa saja. Tak ada yang menarik, batinku. Daripada berjalan tanpa tujuan mirip orang bodoh begini, aku memutuskan untuk kembali ke kamat rawat kakakku.

Langkahku hampir sampai di kamar AB 06—kamar rawat kakakku, ketika mataku tertumbuk pada sosok di depan pintu kamar AB 07—kamar rawat yang bersebarangan dengan kamar rawat kakakku. Terpisah sebuah taman kecil dengan rumput yang hijau sedap dipandang mata. Sosok itu terlihat sedang menunggu sesuatu dari dalam kamar. Sama seperti sosok itu, tanpa sadar aku turut menunggu. Seolah menanti-nanti adegan klimaks dari sebuah film.

            Aku masih menunggu.

Sosok itu mengulurkan kedua tangannya. Aku menahan napas. Jika kemarin aku tak bertemu sosok itu—yang menabrak kaki kakakku—perempuan paruh baya dengan mata memerah—mungkin, aku tak mempedulikan dia sekarang. Mungkin, aku sudah masuk ke kamar kakakku, lalu kembali mengingatkan kakakku pada peristiwa kakakku-menangis-keras.

Aku menahan napas. Menanti siapa yang perempuan itu tunggu.

Kali ini, posisiku sempurna menghadap ke kamar AB 07. Aku termangu mendapati seorang pemuda yang duduk di kursi roda dengan tangan kanan serta kedua kaki terbelit perban. Oh iya, sekarang, perempuan paruh baya itu yang mendorong kursi roda. Ternyata, tadi tangannya terulur untuk menerima kursi roda yang diduduki pemuda itu. Dan fokusku saat ini, adalah kepada pemuda itu.

Aku tak begitu mendengar apa yang pemuda itu dan yang mendorong kursi rodanya—mungkin itu Ibunya, bicarakan. Aku hanya melihat Ibunya membisikkan sesuatu, dan pemuda itu menggeleng, sesekali juga mengangguk. Kembali aku melihat mata Ibu-ibu itu memerah disertai bulir bening yang menggenang di ujung mata. Sedangkan tatapan pemuda itu kosong, mulutnya juga tak melengkungkan senyum sedikitpun. Mungkin, dia memikirkan nasib tangan dan kedua kakinya yang sempurna terbelit perban. Mungkin, sebentar lagi akan dioperasi seperti kakakku.

Ah, kakakku! Aku memekik dalam hati. Mataku mengerjap beberapa kali. Menyadari betapa lamanya aku berdiri di depan kamar rawat kakakku, hanya karena ingin mengamati penghuni kamar AB 07. Ya Tuhan! Sekali lagi, aku melihat pemuda di atas kursi roda itu dengan tangan kananku memegang gagang pintu. Dan entah karena apa, pemuda itu juga menoleh ke arahku. Pandangan kami bertemu!! Aku terkesiap, dan segera memutar gagang pintu lalu masuk ke kamar rawat kakakku.   

Ya! Sejak saat itu, aku sering menunggu di depan kamar rawat kakakku—mengamati kamar AB 07. Tiap pagi, dengan kursi roda yang didorong ayah atau ibunya,  pemuda itu selalu keluar kamar. Mungkin, karena ingin menghirup udara segar dari rerumputan taman. Tatapan matanya sudah tak kosong, meskipun senyum masih jarang singgah di bibirnya. Setidaknya itu pengamatanku selama ini.

Tapi, pagi ini berbeda. Pemuda itu tak tampak. Ibunya juga tak terlihat. Hanya ayahnya yang tadi sempat ke kamar, lalu keluar lagi dengan langkah cepat. Setelah itu, tak ada lagi aktivitas di kamar AB 07.  

Kenapa dengan pasien yang dirawat di situ? Ada apa dengan pemuda yang tiap pagi duduk kursi roda—menikmati hijaunya rumput taman pemisah AB 06 dan AB 07? Tiba-tiba saja aku terserang kekhawatiran. Alih-alih penasaran, aku bertanya pada perawat yang kebetulan lewat.

            “Mbak! Ehm, mau tanya,” aku menghentikan langkah perawat itu. “Ngg...  pasien kamar AB 07 ke mana ya?”

             “Kamar AB 07?” perawat berjilbab biru itu tampak berpikir. “Ehm, sebentar ya,” tambahnya lalu membuka-buka berkas yang berada di pelukannya. “Oh. Pasien bernama Dani itu ya? Dia sedang operasi,” kata perawat itu beberapa saat kemudian. Aku sedikit terkejut.
            
 “Oh, terima kasih, Mbak,” ucapku sambil tersenyum.

Sepeninggal perawat itu, aku termenung. Oh, jadi namanya Dani. Oh, dia akan operasi. Dan entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal hingga membuat dadaku sesak. Entah apa itu. Antara rasa takut, khawatir, dan.... dan.... ah, entahlah. Tuhan, ada apa denganku ini? Kenapa pula aku harus khawatir ketika orang yang tak kukenal—yang bernama Dani itu sedang operasi? Padahal, kemarin ketika kakakku yang dioperasi, aku biasa saja. Ada apa denganku, Tuhan? Aku juga heran, kenapa aku merasa lesu ketika pasien bernama Dani itu tak terlihat di mataku pagi ini. Ah, entahlah. Ambigu!

Pagi berikutnya. Aku kembali duduk di depan kamar kakakku. Kembali mengamati kamar AB 07. Sayangnya, suasana di kamar seberang, masih seperti yang kemarin. Sepi. Tak ada Dani, ayah atau ibunya di sekitar kamar itu. Bahkan, seperti tidak berpenghuni. Apa Dani sudah pulang? Tapi, di papan nama pasien (aku baru sadar jika papan nama pasien yang tergantung lebar-lebar di sisi tembok kamar kakakku tertulis nama kamar serta penghuni kamar—seharusnya sudah tahu siapa penghuni kamar AB 07), masih tertulis nama Dani menempati AB 07. Rasa khawatir kembali menyusupi batinku. Ada apa dengan diriku ini?

            Ada apa dengan Dani?

Kembali. Pagi berikutnya aku menanti kabar terbaru dari kamar AB 07. Tapi nihil. Masih seperti yang kemarin. No activities!

Pagi berikutnya. Aku sempat berdebat dengan Bunda yang akan membimbing berjalan kakakku. Aku ngotot ingin membantu kakakku belajar berjalan, karena ingin kembali mengamati kamar AB 07. Akhirnya Bunda mengalah, dan sekarang aku memegangi kakakku yang berjalan menggunakan tongkat penyangga.

Tiba-tiba saja, pintu kamar AB 07 terbuka. Saking kagetnya diriku, aku lupa memegangi kakakku. Dia mengomeliku. Tapi aku tak peduli. Langsung saja meminta maaf, dan kembali memeganginya. Tapi sekarang fokusku terpecah. Memegangi kakakku, namun mata terus memandangi kamar AB 07.
Tanpa sadar aku menahan napas. Persis ketika pertama kali menemukan Dani. Menunggu bagian klimaks dalam adegan sebuah film. Menunggu apa yang terjadi selanjutnya di kamar AB 07.


Berharap Dani kembali keluar dari sana........................



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini