Gadis itu
berjalan dengan sedikit tergesa memasuki stadion yang semakin padat. Ia tak
ingin terlambat menyaksikan pertandingan yang diikuti kekasihnya. Kemarin, dia
sudah berjanji untuk datang. Apalagi, hari ini adalah ulang tahun kekasihnya. Meskipun
gadis itu tahu, kekasihnya pasti akan fokus pada pertandingan—tidak akan
melihatnya yang nanti akan meneriakkan nama sang kekasih. Tapi setidaknya,
gadis itu ingin menunjukkan rasa cintanya pada sang pacar. Tak salah, kan?
Ternyata gadis itu tidak menuju
tribun penonton. Ia malah berjalan mendekati pintu keluar-masuk ruang ganti
pemain. Langkahnya yang tadi besar-besar dan cepat-cepat, sekarang terhenti. Di
dekat ruang ganti pemain, beberapa personil pengamanan tampak berjaga. Bagaimana
jika dia tak dibolehkan masuk menemui kekasihnya? Lebih baik menunggu di sini atau
melangkah memberikan kado yang sedari tadi meresahkan hatinya—yang takut jika
kekasihnya tak mau menerima kejutan kecilnya? Tapi, ini, pasti akan jadi
kejutan tersendiri bagi sang kekasih. Siapa yang tak senang kalau seseorang
yang dicinta, tiba-tiba datang memberi kado ulang tahun di saat yang tidak
terduga?
Gadis itu masih berdiri mematung
sekitar 15 meter dari ruang ganti. Badannya bergerak maju-mundur. Tangannya
memegangi selempang tasnya dengan gelisah. Nafasnya tak teratur. Jatungnya
berdegup kencang. Sesekali jari tangannya mengetuk-ngetuk kado yang berada di
tasnya tanpa ia sadari. Gadis itu sungguhan resah. Bimbang. Apa nanti saja
setelah selesai pertandingan ia akan memberi kado ini? Bukan kejutan yang tak
terduga, itu namanya. Tapi..... ah, mungkin lebih baik memang nanti saja.
Kekasihnya pasti mengerti. Kekasihnya pasti menganggap kado itu kejutan. Ya.
Mungkin lebih baik nanti setelah pertandingan, batin gadis itu.
Gadis itu menghela nafas panjang.
Memastikan sekali lagi bahwa ruang ganti pemain adalah ruangan yang dijaga
petugas keamanan. Bahwa ia tak dapat ke sana seenaknya. Apalagi hanya untuk
memberi kejutan untuk pacar. Setelah memberi kepastian pada diri sendiri bahwa
kejutannya belum gagal, gadis itu berbalik. Melangkah keluar bermaksud ke
tribun penonton yang mulai penuh sesak. Tapi langkahnya kembali tertahan.
Sebuah suara menyapa dirinya.
“Hei,” kata suara itu. “Kenapa kamu
ke sini?”
Gadis itu berbalik pelan-pelan dengan
telinga yang berdiri tegak karena memastikan bahwa itu suara kekasihnya. Dan
ketika posisi tubuhnya sempurna berhadapan dengan si pemilik suara, gadis itu
menegang. Ia diam terpaku di tempat. Tangannya gemetar. Jantungnya berdegup
dengan irama cepat. Nadinya seolah tak berdenyut. Matanya menatap lekat
seseorang di depan ruang ganti pemain—menatap pemuda yang sedari tadi menggelisahkan
dirinya kalau-kalau kekasihnya tak menyukai kejutan kecilnya. Pemuda itu, kini
tengah tersenyum. Untuk seseorang.
Bagai gerakan lambat, tubuh gadis
itu melemas, namun ia masih mampu berdiri tegak. Air matanya meleleh pelan.
Otaknya tak mampu bekerja. Tangannya yang sedari tadi meremas selempang tas,
bergerak turun, membuka tas. Masih dengan memandangi pemuda di depan ruang
ganti pemain yang dijaga pengamanan, gadis itu mengeluarkan kado yang
sepertinya sudah tak sabar untuk diberikan kepada si penerima. Dan ketika sudah
benar-benar dikeluarkan, kotak kado itu seolah sama lemasnya. Ia jatuh terkapar
di lantai dengan suara pelan, namun mampu mendenyutkan nadi gadis itu dan
mengejutkan otaknya yang segera berputar cepat.
DAK !!
Serentak seluruh mata yang ada di
situ menoleh ke arah sumber suara—kepada si gadis yang masih terkejut dengan
suara kotak kado mencium lantai. Salah satu pasang mata terbelalak mendapati
seorang gadis yang sangat ia kenal tengah berjongkok mengambil sebuah kotak
berbungkus kertas kado warna biru—sumber suara menyejutkan di tempat itu.
Dan ketika gadis itu berdiri, pemuda
itu menangkap tatapan perih menyayat hati dari si gadis. Meskipun jelas sekali
terlihat air mata yang mengaliri pipi, bibir gadis itu masih mampu
melengkungkan senyum bak pelangi. Senyum yang tak dipaksakan, namun air mata
sudah cukup jadi saksi bahwa gadis itu tersenyum dengan hati sakit.
1 tetes air mata kembali
turun—satu-satunya benda yang mampu melenggang dengan tenang di koridor ruang
ganti pemain, ya, hanya air mata ini. Karena semua di tempat ini berbau tegang.
Jantung yang berdegup kencang dengan bunyi yang teramat keras, mata yang tak
capek terus-terusan terbelalak, mulut yang terbungkam, otak yang tak mampu
bekerja saking terkejutnya dengan kejadian yang seharusnya suprised jadi
menyakitkan ini, sampai oksigen yang enggan mampir ke hidung untuk bernapas.
Semuanya
terjadi dengan gerakan yang lambat. Sangat lambat. Hingga sebuah suara
menormalkan gerakan lambat ini.
“Se....lamat.... ulang tahun.....
Mas,”
Sebuah kalimat yang menggetarkan
hati. Mencairkan satu per satu kebekuan di tempat ini. Udara sudah menyalurkan
oksigen ke organ pernapasan, mata yang sudah kembali ke ukuran normal, dan
mulut yang tadinya terlongo kini telah mengatup rapat. Kecuali jatung yang
masih saja berdegup dengan cepat dan keras.
Getaran hati itu, dengan cepat
menimbulkan respon ke semua orang di tempat ini. Seluruh otak sudah mampu
bekerja—menerka kejadian ini. Bagaimana tegangnya gadis yang mendapati
kekasihnya sedang menyapa wanita lain, padahal dia ke sini untuk memberi kado ulang
tahun untuk sang pacar, dan bagaimana terkejutnya si pemuda yang mendapati
kekasihnya tengah menangis karena melihat dirinya dihampiri seorang wanita
cantik. Ditambah, senyum dan ucapan “selamat ulang tahun” dari kekasihnya,
semakin menampar dadanya yang terasa sesak dan mampat.
Pemuda itu belum mampu bereaksi
ketika gadis berbalik pergi. Bagaimana tidak tahan untuk pergi, jika seseorang
yang mengaku sangat mencintainya malah menemui wanita lain, yang mungkin lebih
dicintainya? Bagaimana ia tidak ingin segera berlari, jika ternyata kekasihnya
menyapa wanita lain? Entah, kekuatan darimana jika senyum itu mampu terlengkung
di bibirnya padahal air matanya mengalir deras. Entah, sihir apa yang mampu
membuat mulutnya mengucapkan “selamat ulang tahun”, padahal hatinya tersayat
luka yang cukup dalam. Gadis itu tak tahu. Yang jelas, kotak kado yang sekarang
ia pegang, harus ia lempar! Entah kemanapun itu! Yang penting tak akan
mengingatkannya pada pemuda yang sekarang tengah berlari mengejarnya. Tak akan
ingat.... tak akan ingat.............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar