Sabtu, 02 Agustus 2014

Surat Untuk Nomor 2



Saputan gerimis tipis, menemaniku di saat aku menulis ini. Tentang kamu—idola remaja di se-antero tanah air. Putu Gede Juni Antara.

7 Juni.
Aku tak pernah menganggap tanggal itu istimewa. Aku tak tahu ada  yang mementingkan tanggal itu. Lebih tepatnya tak peduli. Karena bagiku, Juni bukanlah bulan masehi yang menggembirakan jika tak ada libur sekolah, yang bahkan berlipat-lipat tahun ini. Aku juga enggan mencatat hal-hal apa yang menarik di bulan Juni,  jika bukan sepupuku yang berulang tahun di hari ke-16 bulan ini.

Juni......
Nama bulan itu, terselip dalam nama panjangmu. Se-simple itu kamu buat aku penasaran apa hubungannya kamu dengan bulan ke-6 masehi. Tak perlu kamu mengadakan kuis berhadiah jutaan rupiah untuk mencari biodatamu—tempat tanggal lahirmu. Cukup sesederhana itu.

Awalnya, aku tak peduli pada penghuni bek. Sepanjang sejarah aku menyukai sepak bola, belum pernah aku segila ini terhadap pemain bola bagian belakang. Untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta pada penyerang, lalu gelandang. Dan entah mengapa, perhatianku menuju posisimu. Mungkin, ini hanya berlaku untuk timmu. Lucunya, teman seperjuanganmu, yang sering bertukar tempat denganmu, juga mampu membuat jemariku menulis lalu mem-posting-nya. Atau, inikah yang dinamakan eouforia?

Sekali lagi, dulu aku tak peduli pada pemain bek. Tapi, ketika timmu berhasil menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia, tak terkecuali diriku yang semenjak itu mulai rajin mencari informasi tentang tim kebanggaan Indonesia ini. Dan kamu, tak luput dari keisenganku mencari informasi. Yang mempertemukanku dengan akun bernama: @GedePutuJA. Sebuah akun yang dulu pernah aktif nge-tweet, dan entah mengapa sekarang akun itu jarang atau bahkan tak pernah ON.

Aku masih ingat ketika aku berkata, “Wuih. Ganteng e. Lho, lak iki sing dadi bek kae yo? Oalah iki to twitter e. Asli ra yo?” (termejahan: Wah, ganteng sekali. Lho, bukannya ini yang jadi bek itu dulu ya? Oh, ini twitternya. Asli nggak ya?) aku juga masih sangat ingat ketika akun itu mengucap terima kasih kepada orang-orang yang memberi selamat atas kemenangan timnya—orang-orang yang telah beruntung menemukan lebih awal akun itu. Sampai saat ini, aku masih bertanya: Apakah aku termasuk orang-orang awal yang tahu akunmu, tapi tak jadi pengikut akunmu? Apakah aku juga termasuk orang beruntung, pernah menyaksikan tweet terbarumu dulu, yang sekarang jika itu sebuah makanan, sudah membusuk? Karena ya.... itu tadi. Aku belum peduli pada pemain bek.

Aku sendiri tak tahu pasti, tanggal berapa aku bisa sampai segila ini dengan tim kamu juga kamu. Aku lupa bagaimana prosesnya bisa jatuh cinta pada wing bek kanan. Aku hanya ingat saat kamu mempertahankan posisimu. Aku hanya ingat ketika dulu, kamu lebih banyak berada di belakang. Aku hanya mengingat-ingat bahwa akhir-akhir ini kamu membantu penyerangan. Aku bahkan tak ingat jika kamu pernah menjebol gawang Myanmar. Karena, ya, aku belum peduli padamu.

Tapi, aku tak tahu kenapa, di bulan Juni ini, seakan-akan aku terisap ke dalam sosokmu. Mencari hampir seluruh fansclub dan fansbase-mu; mencari informasi tentangmu; biodatamu; dan... semuanya. Tentang kamu. Kautahu? Akhir-akhir ini, aku juga menulis tentang kamu dan aku yang terlibat kisah cinta beda keyakinan. Cerita cinta roman yang sedang laku di pasaran akhir-akhir ini. Ah, sudahlah. Aku takut menyinggung SARA. Iya, itu.

Malam kemarin, aku sempat me-mention salah satu fansbasemu: @FCGedePutuJA. Dan kami terlibat balas-membalas mention, yang menurutku panjang lebar, mengingat fans kamu tidak hanya bocah SMP yang berani menulis tentang ini.

Fotomu yang dijadikan avatar akun itu, membuat otakku salah mengartikan bahwa itu kamu. Aku sendiri bingung membayangkan bagaimana ekspresiku jika kamu benar-benar membalas mentionku. Dan memilih mengenyahkan daripada ketinggian berharap. Iya. Sampai-sampai, tanganku menutup huruf F dan C agar seakan-akan kamu benar-benar membalas mentionku. Haha. Inilah yang dinamakan gila berlebih.

Aku bukan pemain sepak bola. Aku hanya penggemar sepak bola. Entah apapun nama klubnya, siapapun pemainnya, dimanapun tempatnya, jika itu mampu menyita perhatian, aku pasti ada. Tak terkecuali timmu yang seolah-olah datang dari negeri antah-berantah, lalu dengan beraninya mengobrak-abrik ‘zona nyaman’ persepak-bolaan negeri ini. Menjungkirbalikkan semuanya yang berujung pada fakta bahwa: sepak bola kita seolah lupa pada sejarah. Siapakah negara Asia pertama yang mengikuti Piala Dunia? Hindia-Belanda. Indonesia!

Oh, iya. Putu Gede Juni Antara. Namamu sudah berkibar. Semua orang sudah tahu siapa kamu. Jadi, jika aku menulis tentang kamu, mungkin ini sudah klise. Mungkin, sudah banyak yang menulis tentang pemuda bernama Putu Gede Juni Antara. Dengan data yang lebih lengkap dan kata-kata yang lebih puitis. Tapi, ini, kamu, hebat, Bli. Mampu membuat bocah berumur hampir 15 tahun ini, ingin menulis tentangmu.

Aku menulis ini, agar kamu bisa membacanya. Agar kamu tahu ada yang menggemarimu. Bukan karena wajahmu, tapi karena kesederhanaan yang terpancar dari senyummu. Bagiku, Bli Putu adalah motivator. Bukan karena Bli Putu bisa bicara bla-bla-bla di depan orang dengan berbagai macam saran pembenahan hidup, tapi karena Bli mampu menyulut semangat orang-orang—salah satunya diriku, untuk berkarya. Apapun bakat dan minat orang itu.

Aku menulis ini, karena aku tahu. Dunia maya membuatku segala sesuatu yang jauh jadi terasa lebih dekat. Salah satunya Bli Putu. Meskipun hanya semu.

Dariku,
Seluruh cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini