Minggu, 18 Desember 2016

Sedang Dalam Proses Melupakan

 “Sabtu nanti, nonton yuk!” ujarnya di telepon.
           
“Ha? Nonton apa?” tanyaku dengan otak yang belum tersambung dengan nyawa—akibat dari bangun secara mendadak, gara-gara luput tidak mengatur ponsel dengan mode pesawat—dan entah kenapa orang itu tiba-tiba telepon jam setengah dua belas malam begini.
            
“Ada pemutaran ulang film bagus. Tiketnya gratis!” dia menjawab antusias. Aku mengerutkan kening.
           
“Gratis?” aku bertanya, meragukan indera pendengaranku dalam keadaan nyawa baru terisi separuh seperti ini.
            
“Iya, gratis. Mau?”

Jumat, 07 Oktober 2016

Perasaan dan Kamu

Ternyata perasaan itu masih bersemayam. Ternyata selama ini ia hanya duduk tenang, menunggu sesuatu untuk menyulutnya, dan ia akan bertingkah. Menggelora seenak jidat. Membuat nafsu makan menurun, tidak ada semangat, menyurutkan senyum dan tawa, serta mengusir sebagian besar selera untuk bercanda. Dia benar-benar jahat. Atau setidaknya, malam ini aku merasa dia begitu jahat. Tiba-tiba bangkit dari ketenangannya selama ini, dan mengobrak-abrik tatanan hatiku yang sempat mati-matian aku rapikan sedemikian rupa.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Kembalilah Seperti Dulu

Kamu jangan berubah, bagaikan avatar yang padahal sedang dibutuhkan dunia. Meskipun kamu bukan avatar, dan dunia belum membutuhkan kamu, tapi aku yang saat ini membutuhkan kamu.
            
Bagaimanapun juga, kamu adalah penghiburan yang tepat untuk segala keluh kesah. Hanya tawa kamu yang mampu menenangkan sekaligus pemberi semangat yang mujarab. Tidak perlu kamu mengajakku ke tempat di mana harus mengeluarkan banyak uang hanya untuk menyeduh cokelat panas, kamu hanya ke rumahku sambil tersenyum lebar, sudah cukup untuk membuatku kembali tertawa. Biasanya kamu ke rumah memakai jaket baseball, habis mandi, sehingga membuat wajahmu kelihatan segar, dan itu saja cukup membangkitkan semangat baruku di hari itu. Kamu tidak pernah muluk-muluk untuk menghiburku, karena sesederhana kamu datang ke rumah, adalah penghiburan yang menyenangkan.

Jumat, 23 September 2016

Tidak Perlu Diberi Judul



Hai.
            
 Eh, hai. Tumben sekali menyapa. Sudah tidak sibuk?
             
Yah begitulah.
             
Bukannya kamu mau ikut event sebentar lagi?
             
Hm, begitulah.
             
Oh, baiklah. Coba aku tebak. Kamu pasti sedang patah hati sore ini. Ya, kan?

Jumat, 12 Agustus 2016

Ritual Minggu Pagi



Mungkin esok, atau lusa, kamu akan mengerti, mengapa aku jatuh cinta padamu berkali-kali. Kamu tidak pernah menyadari betapa kamu adalah pemuda yang istimewa. Pembuat banyak tawa, pencipta rindu yang hebat. Kamu tidak tahu bahwa pernah pada suatu masa, aku menyebut namamu di balik setiap alasanku memilih atau memutuskan sesuatu. Aku sempat menjadikan kota yang sering kamu ceritakan berkali-kali itu, sebagai kota tujuanku nanti. Karena hanya melalui ceritamu, aku sudah jatuh hati dengan kota itu, lantas merasa bahwa kota itu memang tepat untukku.

Butuh waktu lama untuk menemukan alasan lain, bahwa kota itu bukan sekadar kota yang aku suka hanya karena ceritamu. Aku perlu berada di sana beberapa waktu, untuk mencintai kota itu tanpa alasan apapun. Bukan karena kamu.

Senin, 25 Juli 2016

Terima Kasih Untuk 3 Tahun Ini



            Kami menemukannya pada tahun 2013. Beberapa bulan setelah kucing pertama kami meninggalkan rumah. Waktu itu tubuhnya masih sangat mungil, belum bisa mengeong, bulunya masih jarang dan pada berdiri. Jika anak kucing lain biasanya langsung menghindar ketika kami mendekat, dia tidak. Justru selalu keliling rumah, mencari celah supaya bisa masuk. Dia seperti menemukan rumahnya sendiri.

Sehari setelah ia menampakkan diri di pekarangan rumah, ia kedapatan sekarat di halaman belakang. Tubuh mungilnya tergolek lemah di antara pasir-pasir. Bulunya berwarna cokelat muda yang membuatnya hampir tidak terlihat berada di sana. Jika mata tidak jeli, bisa saja ia terinjak, karena selain tubuhnya seperti berkamuflase di atas pasir, ia juga belum bisa bersuara. Hanya menatap kami dengan sorot mata sayu yang menimbulkan rasa iba pada siapapun yang melihatnya.

Sabtu, 16 Juli 2016

Pertemuan



Teruntuk kota yang tidak masuk daftar tujuan wisata
Terima kasih telah berbaik hati menjadi latar sebuah pertemuan
Untuk mendung, senja, dan gerimis
Terima kasih telah menyempurnakan pertemuan tak disengaja

Kamis, 23 Juni 2016

Jogja Tak Lagi Sama



Aku tahu, Jogja tak lagi sama.

Mungkin pedagang di warung tenda itu sudah pindah. Mungkin mahasiswa yang dulu masih suka tongkrongan di pinggir jalan, sudah pada wisuda. Mungkin rumput yang ada di lapangan itu sudah dipangkas lalu tumbuh lagi. Mungkin pagar pembatas sudah ada pertambahan karat di beberapa sisi. Mungkin beberapa bangunan telah dicat ulang.

Jogja tak lagi sama. Awan mendung yang dulu menaungi pertemuan pertama, telah turun sebagai hujan beberapa hari kemudian. Lantas menguap lagi, membentuk awan, hujan, menguap, awan, hujan, begitu seterusnya dua tahun terakhir.

Minggu, 19 Juni 2016

Terima Kasih Telah Pergi



Tempat ini ramai seperti pertama kali aku menjejakkan kaki ke sini. Pelayan-pelayan yang seketika menyambutku, juga sapaan hangat dari balik kasir. Kalau aku tidak menahan salah satu pelayan yang hafal seleraku, mungkin secangkir cappucino sudah tersaji di meja. Tapi, tidak. Aku ke sini bukan untuk menikmati minuman favoritku. Pelayan itu mengerutkan kening samar, namun tidak bertanya lebih lanjut. Aku hanya bilang jika sedang menunggu teman, dan akan memesan nanti-nanti.
             
Setengah jam duduk tanpa pesanan apapun, pemuda itu akhirnya datang. Tersenyum lebar, menarik kursi di depanku, kemudian duduk. Ia memanggil pelayan yang kemudian tersenyum-senyum melihat kami. Aku tahu, dia tahu mengenai hubungan kami dalam bagian baik-baik saja. Dan pelayan itu tak perlu tahu jika hubungan kami yang baik-baik saja itu telah berakhir begitu saja.

Senin, 13 Juni 2016

Cinta Cappucino



Kafe ini masih ramai seperti saat pertama kali aku menjejakkan kaki di sini. Meja berbentuk lingkaran berwarna putih, satu paket dengan sepasang kursi hijau diletakkan berhadapan. Pelayan-pelayannya juga masih ramah seperti dulu. Bahkan, beberapa dari mereka—terutama yang sudah senior, selalu menyapaku jika aku berkunjung ke sini. Mereka sudah hafal denganku, sama hafalnya dengan minuman favoritku: secangkir cappucino.

Sekarang, aku duduk di sudut kafe—salah satu tempat favoritku di sini, sambil mengamati orang-orang yang datang dan pergi di kafe ini. Mulai dari segerombolan remaja yang pulang sekolah, lalu dengan santainya mereka memblokade beberapa meja dan kursi, sambil tertawa-tawa—entah apa yang mereka tertawakan.

Suara lonceng khas tanda pintu terbuka, berdentang di telinga. Otomatis pandanganku mengarah pada pintu masuk.

Cerita Ramadhan #1



Puasa satu minggu pertama. Aku menghela napas panjang. Ponselku bergetar tanpa henti. Terus saja menerima pesan dari beberapa grup, yang kesemuanya adalah membahas rencana buka bersama. Memilih tempat, menyesuaikan hari. Si pembuat rencana, biasanya mengutuk teman-teman yang tidak kunjung muncul di obrolan grup. Si aktif, biasanya memberikan sederet usul. Soal hari, tempat, menu makanan, sampai budget yang harus dikeluarkan. Si pasif, biasanya menanggapi dengan “Terserah”. Dan ketika si pembuat rencana memilih hari sesuai daftar milik si aktif, si pasif muncul kembali, dan bilang “Tidak bisa”. Si pembuat rencana kembali memutar kepala, lagi-lagi harus memilih hari.
             
Begitu saja terus. Selama satu minggu pertama bulan ramadhan.

Kamis, 05 Mei 2016

Maafkan Milea-mu, Dilan-ku



13.28.
             
Mataku membuka pelan-pelan, mengerjap-ngerjap. Menoleh pelan ke jendela. Hujan membungkus kota siang ini. Aku menguap lebar-lebar. Meregangkan tubuh. Sebelah tangan meraih ponsel, dan kudapati lima panggilan tak terjawab dari nomor yang sama. Dilanku.
             
Aku tersenyum masam. Aku berjanji akan menonton pertandingan basketnya pukul 14.15 siang ini. Sementara sekarang sudah hampir setengah dua, tapi aku belum apa-apa. Baru bangun dari tidur siang. Dia telah berjanji akan bermain paling bagus untukku. Aku tertawa kecil saat ia mengatakan itu. Tentu saja ia nanti bermain bagus atas nama tim—demi sekolahnya, sekolahku juga. Aku mendesah pelan, menoleh kembali ke jendela. Hujan memelan, berubah jadi gerimis kecil-kecil. Setelah meregangkan tubuh sekali, aku baru bangkit, menuju kamar mandi. Cuci muka, ganti baju, kemudian menuju gelanggang olahraga kota.

Sabtu, 30 April 2016

Kamu (Bukan) Dilan dan Aku (Bukan) Milea



Aku tahu, kamu bukan Dilan, dan diriku bukan Milea. Tapi, tak apa kan, jika kisah kita di masa abu-abu putih ini seperti mereka? Kamu memang bukan anak geng motor seperti Dilan, dan aku juga tidak cantik seperti Milea. Tapi, jika aku dan kamu memberi sedikit warna di masa abu-abu putih ini, siapa tahu kisah kita akan abadi seperti mereka? Ya, meskipun aku tahu bahwa ujungnya, Dilan dan Milea tidak bersama. Aku juga sangat tahu, kamu bukan tipe orang yang ingin melakukan pekerjaan sia-sia—untuk apa berjuang sedemikian rupa jika pada akhirnya tidak akan bersama?

Minggu, 10 April 2016

Setelah Kembali ke Peredaran


"Kamu darimana saja, Arez? Sudah lama tidak datang ke sini. Kamu baik-baik, kan? Tidak sakit?" Google+ memberondongku dengan pertanyaan, padahal kakiku baru menginjak beranda. Aku tersenyum tipis.

"Aku baik-baik saja," jawabku.

Google+ masih menatapku cemas. Seperti tak yakin dengan jawabanku, Google+ menempelkan tangannya di dahiku. Aku mengernyit.

"Oh, syukurlah. Aku kira kamu demam," kata Google+ sambil menurunkan tangannya dari dahiku. Sesaat kemudian, beliau tersenyum lebar. "Mari, mari masuk! Aku punya suguhan baru untukmu!" ajaknya seraya mendorongku masuk.

Benar saja. Saat aku memasuki rumahnya, aku terpukau. Jauh, jauh berbeda dari terakhir aku menginjakkan kaki di sini. Meskipun selera Google+ masih sama, namun, benda-benda yang dipilih untuk mengisi ruangan, membuat rumah ini selama sekian detik, tidak aku kenali. Mungkin, karena pernak-pernik yang terpasang adalah sesuatu yang lebih modern? Lebih baru?

Minggu, 31 Januari 2016

Intuisi



Akhirnya dia benar-benar datang. Tersenyum lebar sambil menenteng tas. Wajahnya terlihat segar habis mandi. Dan benar saja. Aroma wangi yang aku tahu bukan produk parfum, menyambut hidungku saat dia mendekat. Dia masih seperti dulu. Ramah dan murah senyum.
             
Kemarin dia bilang akan pulang. Dan jika sempat, dia akan ke sini untuk membantuku belajar. Maka, seperti yang dulu-dulu. Aku akan menyiapkan ribuan pertanyaan, agar dia berbicara banyak-banyak. Juga, agar dia lebih lama duduk di sampingku. Berpura-pura tidak tahu, maka, ia akan menjelaskan banyak hal. Membicarakan sesuatu yang kutanyakan, dengan selingan canda. Diiringi gestur tangannya demi mempermudahku untuk mengerti. Dan aku selalu menyukai itu. Terkadang, aku bertanya lagi, lalu dia menggaruk kepala sebentar—memikirkan cara lain untuk menerangkan.

Rabu, 27 Januari 2016

Sebaiknya, Kamu Tetap (Tak) Peduli



Harusnya ini jadi sore yang membahagiakan. Aku sudah memperhitungkannya semenjak kita masih berbagi meja. Ketika kamu disuruh memilih nomor punggung untuk pertandingan sepak bola antar kelas, sore ini. Aku segera menghitung kalender, kurang berapa minggu setelah hari itu. Apalagi, kamu menyebut nomor punggung pemain bola favoritku. Kamu memilih nomor itu, membuatku kian bersemangat menunggu sore ini. Aku harus berfoto denganmu yang memakai nomor itu. Harus. Sebagai teman sebangku, tentu saja.
             
Tapi sepertinya hal itu berantakan. Beberapa hari mendekati pertandingan, kamu justru menjauh. Karena pengakuan tempo hari. Ketika aku baru tahu ternyata kamu tahu. Tentang perasaan itu. Tentang sesuatu yang aku sendiri masih ragu. Saat kamu berkata ‘Sebaiknya, jangan’ lalu mengambil tas dan memindahnya. Mengganti teman sebangku sekenanya. Egois. Tak peduli. Tak lagi berbagi meja.
            

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini