Ternyata
perasaan itu masih bersemayam. Ternyata selama ini ia hanya duduk tenang,
menunggu sesuatu untuk menyulutnya, dan ia akan bertingkah. Menggelora seenak
jidat. Membuat nafsu makan menurun, tidak ada semangat, menyurutkan senyum dan
tawa, serta mengusir sebagian besar selera untuk bercanda. Dia benar-benar
jahat. Atau setidaknya, malam ini aku merasa dia begitu jahat. Tiba-tiba
bangkit dari ketenangannya selama ini, dan mengobrak-abrik tatanan hatiku yang
sempat mati-matian aku rapikan sedemikian rupa.
Minggu ini tugas sekolah dan jadwal
proyek yang akan aku kerjakan, berbenturan. Dan perasaan tersebut, resmi
menjadikan benturan itu semakin berantakan. Sementara kamu, resmi aku tetapkan
sebagai penyulut perasaan sialan itu.
Sudah lama aku meneguhkan diri untuk
tidak berharap terlalu banyak padamu. Aku masih punya perjalanan panjang untuk
meraih karir. Bahwa aku lebih baik menata diriku sendiri untuk membahagiakan
orang tua dengan prestasi. Karena dengan ini, aku hanya perlu menata perasaanku
sendiri. Tidak perlu melibatkan kamu—tidak perlu menuntut perasaan seseorang
lain agar memahamiku. Aku memilih sibuk mengerjakan proyek-proyek tambahan,
daripada sibuk mencari perhatian kamu yang aku pikir justru membuat kamu akan
menjelaskan jarak. Aku tahu betul bahwa di
antara aku dan kamu benar-benar ada penghalang meski tak kasat mata. Entah
bagaimana Tuhan membuatku paham, jika Dia sengaja tidak memberiku kesempatan
untuk mengenalmu lebih jauh. Apapun itu, Pemilik Semesta ini berhasil. Sukses
membuatku tahu diri.
Namun malam ini, dengan tulisanku
yang macam begini, justru membuatku terkesan menyibukkan diri, supaya
perhatianku tidak hanya di kamu. Padahal, aku pikir, aku hanya ingin
mempertegas bahwa aku punya dunia sendiri yang perlu aku urusi. Karena kamu
bukan duniaku. Karena kamu hanyalah BAGIAN kecil dari duniaku. Dan aku tahu,
kamu tidak akan menuntutku lebih dari itu.
Aku takut, jika aku sibuk hanya demi
melupakan kamu—melupakan perasaan ini, justru tubuhkulah yang akan menyerah
kalah. Jika targetku adalah melupakan kamu, pasti aku akan memforsir tenaga di
tubuhku. Belum-belum jika di sela kesibukan aku akan ingat, bahwa kegiatanku
yang bertumpuk-tumpuk ini hanya untuk melupakan kamu. Maka, mau tak mau, aku
akan ingat bahwa kamu harus dilupakan. Yang berarti, kesibukanku demi melupakan
kamu adalah percuma.
Bagaimanapun juga, selama tujuh
belas tahun aku bernapas, aku masih menyempatkan diri untuk belajar mencari hal
positif dari suatu permasalahan.
Malam ini, meskipun tatanan hatiku
sudah porak-poranda, aku jadi tahu, bahwa perasaan sialan yang aku pikir sudah
hilang akibat tergerus seluruh kesibukan, masih ada. Dia masih nyaman berada di
dalam diriku. Dan malam ini, ia menunjukkan tajinya. Gara-gara kamu tanpa
sengaja mengusik kenyamanan dia, lantas menyulut sumbunya. Sehingga perasaan
itu agak sulit dikendalikan. Padahal kamu hanya tanpa sengaja—coba kalau
benar-benar sengaja, ah sudahlah, aku tidak ingin membayangkan betapa leburnya
hatiku jika itu memang terjadi.
Yang jelas, entah bagaimana
orang-orang menyebutkan, sibukku saat ini adalah untuk orang tuaku, bukan untuk
melupakan kamu. Dan yang jelas, bukannya aku pura-pura tegar dan pura-pura
tidak peduli lagi dengan kamu, tapi aku hanya sedang belajar fokus—fokus terhadap
duniaku sendiri. Untuk suatu saat nanti, kalau kamu memang ditakdirkan menjadi
bagian dari duniaku, dengan porsi yang jauh lebih besar daripada sekarang, atau
mungkin, hal itu untuk orang lain, aku anggap itu hadiah dari Tuhan. Setelah
saat ini aku harus jatuh bangun, mati-matian kembali menata isi hatiku, hanya
gara-gara perasaan sialan ini belum benar-benar pergi. Yang jelas, yang aku
yakini sampai sekarang adalah, Tuhan tidak akan memberikan yang lebih baik,
tapi yang lebih tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar