Minggu, 18 Desember 2016

Sedang Dalam Proses Melupakan

 “Sabtu nanti, nonton yuk!” ujarnya di telepon.
           
“Ha? Nonton apa?” tanyaku dengan otak yang belum tersambung dengan nyawa—akibat dari bangun secara mendadak, gara-gara luput tidak mengatur ponsel dengan mode pesawat—dan entah kenapa orang itu tiba-tiba telepon jam setengah dua belas malam begini.
            
“Ada pemutaran ulang film bagus. Tiketnya gratis!” dia menjawab antusias. Aku mengerutkan kening.
           
“Gratis?” aku bertanya, meragukan indera pendengaranku dalam keadaan nyawa baru terisi separuh seperti ini.
            
“Iya, gratis. Mau?”
            
“Mau!” pekikku spontan, dan langung kubekap mulutku rapat-rapat, sudah tengah malam. Orang itu tertawa, menyebut judul film yang akan diputar ulang, dan langsung membuat otak di kepalaku berpijar-pijar semangat. Tanpa dia tahu, aku mengangguk-angguk mengiyakan. Setelah ngobrol satu-dua kalimat, menjelang telepon ditutup, dia baru sadar kalau manusia kelelawar macam aku, mengangkat telepon dengan suara setengah mendengkur seperti tadi—berarti aku habis bangun tidur. Aku tertawa.
            
“Baru tahu kalau kamu bisa tidur di bawah jam dua belas,” katanya dengan nada takjub. Aku kembali tertawa, mengucap selamat malam, dan sambung telepon diputus dari sana.
            
Lalu, tibalah aku di Sabtu pagi yang mendung ini. Di sini. Di depan ruangan yang akan memutar film bagus itu. Berkali-kali menghela napas, menatap datar ruang yang belum ada penghuninya kecuali para panitia pemutaran film. Itu fakta. Dan apa yang aku ceritakan di atas—terbangun tengah malam gara-gara ditelepon seseorang—adalah sesuatu yang tidak perlu kamu percaya. Karena satu lagi fakta yang perlu aku tulis di sini adalah: aku juga salah satu panitia—tidak perlu diberitahu orang lain tentang acara ini.
            
Kembali menghela napas panjang, menatap jam di pergelangan tangan kiri. Jam tujuh tepat, baru satu-dua orang yang memasuki ruang pemutaran film. Salah satu teman panitiaku, justru asyik—berbangga diri menjadi penyobek tiket yang kemarin kami bagikan secara gratis. Semakin lama, penonton semakin banyak. Berbondong-bondong menyerahkan selembar tiket gratis itu, membuat kawanku yang berada di depan pintu makin cerah wajahnya. Tangannya semakin lihai menyobek kertas.
            
Aku yang tadinya hanya bersandar di pembatas balkon—ruangan ini berada di lantai dua—melongok ke dalam ruangan, lalu menghela napas. Baru terisi separuh—berarti masih ada separuh pemilik tiket yang belum menuju ruangan ini. Lalu aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan temanku mendadak menepuk bahu, membuatku sedikit tersentak.
            
“Kasih pengumuman, yuk! Para pemilik tiket harus segera merapat. Filmnya mau diputar,” katanya, aku terdiam satu detik, dua detik, baru mengangguk. Itu fakta. Aku berlari-lari kecil menuju mikrofon pengumuman, memberi pemberitahuan singkat. Dan sekembalinya dari tempat pengumuman, aku menuju ruangan pemutaran film, diikuti beberapa penonton yang juga berjalan menuju ruangan itu. Pada detik itulah aku melihat dia. Iya, dia, seseorang yang menjadi pembuka dalam cerita ini. Sekarang tengah bertanya ke teman panitiaku apakah ada sisa tiket gratis sehingga ia bisa nonton pemutaran ulang film itu. Teman-temanku saling tatap sejenak, ikut bingung. Memang ada sisa tiket, tapi itu untuk orang yang sudah pesan tapi belum ke sini. Setelah berunding sesaat, berhitung situasi, kami menyerahkan selembar tiket gratis padanya, dan ia langsung tersenyum manggut-manggut. Aku menghela napas tertahan—baru saja tadi aku memikirkan dia mengajakku nonton film ini, ternyata dia benar-benar menonton. Bersamaku. Bersama hampir dua ratus orang lain di tempat ini.
            
Setelah tidak ada tugas lagi di depan pintu ruangan ini, aku ke dalam. Mengambil tempat paling belakang, menatap punggung orang itu, yang secara sukses lebih banyak menyita fokus pikiranku dibanding film yang diputar di depan.
            
Dia, adalah seseorang yang pernah aku harapkan mati-matian, meskipun aku tahu dia tidak perlu tahu soal ini. Dia adalah seseorang yang tidak mengenalku, tidak tahu namaku, tapi aku tahu namanya, nama keluarganya, bahkan wajah adiknya yang tidak jauh beda dengan dia. Aku yang merasa banyak mengetahui tentang dia, tapi luput menyadari bahwa dia justru tidak tahu sama sekali tentang aku. Dan itu adalah suatu hal yang tidak patut aku banggakan—aku sendiri dengan bodohnya baru mengakui bahwa hasil penyelidikanku tentang dia adalah sia-sia, setelah pada akhirnya ia menjatuhkan hati, pada seorang lain.
            
Aku baru menghitung jika terlalu banyak hari yang aku lewatkan dengan pikiran yang penuh dengan dia. Seseorang pemilik senyum paling manis, baik hati, suka menolong, dan tidak sombong. Seseorang yang menyita habis seluruh perhatian, dan menjadikanku sering mencatat hal-hal kecil tidak penting—misalnya, ia suka warna anu, soalnya sering pakai baju warna anu, atau dia suka makanan manis, soalnya dulu sewaktu ada festival makanan, dia lebih suka mencoba makanan yang manis. Dan ratusan hal tidak penting lainnya, yang—aku harus banyak-banyak bersyukur soal ini—membuatku dapat menciptakan banyak tokoh dengan sikap maupun sifat tentang dia, hasil catatan tidak pentingku itu.
            
Sayangnya, di suatu hari yang malang, telingaku harus jadi anggota tubuh pertama yang mengetahui bahwa dia sudah menjatuhkan pilihan. Meskipun otakku masih meneguhkan hati agar tidak begitu saja pergi dan menghentikan perasaan ini, pada akhirnya memang jatahnya aku sendiri yang perlu menghentikannya. Tentang dia yang telah menjatuhkan pilihan, walaupun mataku belum menyaksikan secara langsung, kepalaku sudah memerintah agar berjalan mundur, atau diam di tempat. Jangan sampai perasaan sialan ini dilanjutkan, atau itu sama saja menusukkan perut pada tajamnya kenyataan bahwa cerita itu benar, dan tinggal menunggu waktu bagaimana seseorang itu  menunjukkan perempuan pilihannya kepada dunia.
            
Maka, tibalah aku di sini, di Sabtu pagi mendung, di dalam ruangan yang tengah memutar film motivasi, menatap punggung seseorang yang sama sekali tidak menyadari keberadaanku di sini. Aku yang akhirnya memutuskan untuk membunuh perasaan, menghentikan penyelidikan, menyobek-nyobek catatan tidak pentingku tentang dia, nyatanya, hari ini, saat aku melihat sosoknya, justru teringat banyak hal yang membuatku menyukainya. Itu fakta. Dan masalahnya adalah, melupakan dia begitu saja, tidak semudah membalik telapak tangan. Untuk solusi dari masalah itu, sampai sekarang aku belum memikirkannya.
            
Aku bisa saja berdoa semoga dia memilih orang yang salah. Tapi percuma, belum tentu Tuhanku yang Maha Baik mengabulkannya. Apalagi, aku tidak akan bertindak sejahat itu. Aku hanya ingin, jiwaku ini tetap sehat meskipun otak dan hatiku perlu berjuang mati-matian agar menanggalkan perasaan sialan itu. Aku hanya ingin, ada banyak hal yang dapat aku lakukan setelah banyak hari kemarin aku lalui dengan sia-sia—dan banyak hal itu membuat aku lupa tentang perasaan ini. Ya, dan harus. Maka, demi keselamatan jiwa, otak, dan hati, aku harus mencari kesibukan. Secepatnya. Kalau perlu, detik pertama setelah lampu ruangan ini menyala, pertanda pemutaran film telah usai. Yang ternyata lampu ruangan ini benar-benar menyala, dan aku baru sadar jika sepanjang pemutaran film justru melamunkan dia.


Temanku menepuk bahu, menyuruhku bangkit dan membuka pintu, lantas mengucap terima kasih kepada para penonton yang telah datang. Dan seseorang itu menjadi orang ketiga yang meninggalkan ruangan, melewatiku, melempar senyum, dan aku mulai merasa bahwa tekadku di akhir lamunan tadi sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini