“Sabtu
nanti, nonton yuk!” ujarnya di telepon.
“Ha? Nonton apa?” tanyaku dengan
otak yang belum tersambung dengan nyawa—akibat dari bangun secara mendadak,
gara-gara luput tidak mengatur ponsel dengan mode pesawat—dan entah kenapa
orang itu tiba-tiba telepon jam setengah dua belas malam begini.
“Ada pemutaran ulang film bagus.
Tiketnya gratis!” dia menjawab antusias. Aku mengerutkan kening.
“Gratis?” aku bertanya, meragukan
indera pendengaranku dalam keadaan nyawa baru terisi separuh seperti ini.
“Mau!” pekikku spontan, dan langung
kubekap mulutku rapat-rapat, sudah tengah malam. Orang itu tertawa,
menyebut judul film yang akan diputar ulang, dan langsung membuat otak di
kepalaku berpijar-pijar semangat. Tanpa dia tahu, aku mengangguk-angguk
mengiyakan. Setelah ngobrol satu-dua kalimat, menjelang telepon ditutup, dia
baru sadar kalau manusia kelelawar macam aku, mengangkat telepon dengan suara
setengah mendengkur seperti tadi—berarti aku habis bangun tidur. Aku tertawa.
“Baru tahu kalau kamu bisa tidur di
bawah jam dua belas,” katanya dengan nada takjub. Aku kembali tertawa, mengucap
selamat malam, dan sambung telepon diputus dari sana.
Lalu, tibalah aku di Sabtu pagi yang
mendung ini. Di sini. Di depan ruangan yang akan memutar film bagus itu.
Berkali-kali menghela napas, menatap datar ruang yang belum ada penghuninya
kecuali para panitia pemutaran film. Itu fakta. Dan apa yang aku ceritakan di
atas—terbangun tengah malam gara-gara ditelepon seseorang—adalah sesuatu yang
tidak perlu kamu percaya. Karena satu lagi fakta yang perlu aku tulis di sini
adalah: aku juga salah satu panitia—tidak perlu diberitahu orang lain tentang
acara ini.
Kembali menghela napas panjang,
menatap jam di pergelangan tangan kiri. Jam tujuh tepat, baru satu-dua orang
yang memasuki ruang pemutaran film. Salah satu teman panitiaku, justru asyik—berbangga
diri menjadi penyobek tiket yang kemarin kami bagikan secara gratis. Semakin
lama, penonton semakin banyak. Berbondong-bondong menyerahkan selembar tiket
gratis itu, membuat kawanku yang berada di depan pintu makin cerah wajahnya.
Tangannya semakin lihai menyobek kertas.
Aku yang tadinya hanya bersandar di
pembatas balkon—ruangan ini berada di lantai dua—melongok ke dalam ruangan, lalu
menghela napas. Baru terisi separuh—berarti masih ada separuh pemilik
tiket yang belum menuju ruangan ini. Lalu aku mengedarkan pandangan ke
sekeliling, dan temanku mendadak menepuk bahu, membuatku sedikit tersentak.
“Kasih pengumuman, yuk! Para pemilik
tiket harus segera merapat. Filmnya mau diputar,” katanya, aku terdiam satu
detik, dua detik, baru mengangguk. Itu fakta. Aku berlari-lari kecil menuju
mikrofon pengumuman, memberi pemberitahuan singkat. Dan sekembalinya dari
tempat pengumuman, aku menuju ruangan pemutaran film, diikuti beberapa penonton
yang juga berjalan menuju ruangan itu. Pada detik itulah aku melihat dia. Iya, dia,
seseorang yang menjadi pembuka dalam cerita ini. Sekarang tengah bertanya ke
teman panitiaku apakah ada sisa tiket gratis sehingga ia bisa nonton pemutaran
ulang film itu. Teman-temanku saling tatap sejenak, ikut bingung. Memang ada
sisa tiket, tapi itu untuk orang yang sudah pesan tapi belum ke sini. Setelah
berunding sesaat, berhitung situasi, kami menyerahkan selembar tiket gratis
padanya, dan ia langsung tersenyum manggut-manggut. Aku menghela napas
tertahan—baru saja tadi aku memikirkan dia mengajakku nonton film ini, ternyata
dia benar-benar menonton. Bersamaku. Bersama hampir dua ratus orang lain di
tempat ini.
Setelah tidak ada tugas lagi di
depan pintu ruangan ini, aku ke dalam. Mengambil tempat paling belakang,
menatap punggung orang itu, yang secara sukses lebih banyak menyita fokus
pikiranku dibanding film yang diputar di depan.
Dia, adalah seseorang yang pernah
aku harapkan mati-matian, meskipun aku tahu dia tidak perlu tahu soal ini. Dia
adalah seseorang yang tidak mengenalku, tidak tahu namaku, tapi aku tahu
namanya, nama keluarganya, bahkan wajah adiknya yang tidak jauh beda dengan
dia. Aku yang merasa banyak mengetahui tentang dia, tapi luput menyadari bahwa
dia justru tidak tahu sama sekali tentang aku. Dan itu adalah suatu hal yang tidak
patut aku banggakan—aku sendiri dengan bodohnya baru mengakui bahwa hasil
penyelidikanku tentang dia adalah sia-sia, setelah pada akhirnya ia menjatuhkan
hati, pada seorang lain.
Aku baru menghitung jika terlalu
banyak hari yang aku lewatkan dengan pikiran yang penuh dengan dia. Seseorang
pemilik senyum paling manis, baik hati, suka menolong, dan tidak sombong.
Seseorang yang menyita habis seluruh perhatian, dan menjadikanku sering
mencatat hal-hal kecil tidak penting—misalnya, ia suka warna anu, soalnya
sering pakai baju warna anu, atau dia suka makanan manis, soalnya dulu sewaktu
ada festival makanan, dia lebih suka mencoba makanan yang manis. Dan ratusan
hal tidak penting lainnya, yang—aku harus banyak-banyak bersyukur soal
ini—membuatku dapat menciptakan banyak tokoh dengan sikap maupun sifat tentang
dia, hasil catatan tidak pentingku itu.
Sayangnya, di suatu hari yang
malang, telingaku harus jadi anggota tubuh pertama yang mengetahui bahwa dia
sudah menjatuhkan pilihan. Meskipun otakku masih meneguhkan hati agar tidak
begitu saja pergi dan menghentikan perasaan ini, pada akhirnya memang jatahnya
aku sendiri yang perlu menghentikannya. Tentang dia yang telah menjatuhkan
pilihan, walaupun mataku belum menyaksikan secara langsung, kepalaku sudah memerintah
agar berjalan mundur, atau diam di tempat. Jangan sampai perasaan sialan ini dilanjutkan,
atau itu sama saja menusukkan perut pada tajamnya kenyataan bahwa cerita itu
benar, dan tinggal menunggu waktu bagaimana seseorang itu menunjukkan perempuan pilihannya kepada dunia.
Maka, tibalah aku di sini, di Sabtu
pagi mendung, di dalam ruangan yang tengah memutar film motivasi, menatap
punggung seseorang yang sama sekali tidak menyadari keberadaanku di sini. Aku
yang akhirnya memutuskan untuk membunuh perasaan, menghentikan penyelidikan,
menyobek-nyobek catatan tidak pentingku tentang dia, nyatanya, hari ini, saat
aku melihat sosoknya, justru teringat banyak hal yang membuatku menyukainya.
Itu fakta. Dan masalahnya adalah, melupakan dia begitu saja, tidak semudah
membalik telapak tangan. Untuk solusi dari masalah itu, sampai sekarang aku
belum memikirkannya.
Aku bisa saja berdoa semoga dia
memilih orang yang salah. Tapi percuma, belum tentu Tuhanku yang Maha Baik
mengabulkannya. Apalagi, aku tidak akan bertindak sejahat itu. Aku hanya ingin,
jiwaku ini tetap sehat meskipun otak dan hatiku perlu berjuang mati-matian agar
menanggalkan perasaan sialan itu. Aku hanya ingin, ada banyak hal yang dapat
aku lakukan setelah banyak hari kemarin aku lalui dengan sia-sia—dan banyak hal
itu membuat aku lupa tentang perasaan ini. Ya, dan harus. Maka, demi
keselamatan jiwa, otak, dan hati, aku harus mencari kesibukan. Secepatnya.
Kalau perlu, detik pertama setelah lampu ruangan ini menyala, pertanda
pemutaran film telah usai. Yang ternyata lampu ruangan ini benar-benar menyala,
dan aku baru sadar jika sepanjang pemutaran film justru melamunkan dia.
Temanku
menepuk bahu, menyuruhku bangkit dan membuka pintu, lantas mengucap terima
kasih kepada para penonton yang telah datang. Dan seseorang itu menjadi orang
ketiga yang meninggalkan ruangan, melewatiku, melempar senyum, dan aku mulai
merasa bahwa tekadku di akhir lamunan tadi sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar