Jumat, 24 Maret 2017

T(h)e-Man.


“Ya, namanya juga teman,”

            Barangkali menjadi satu-satunya alasan supaya aku dapat memenuhi kotak masuk ponselmu buat minta referensi lagu, film, novel, video-video lucu, dan apapun, sampai nama kamu selalu menjadi pemuncak dalam kolom ‘Sering Dihubungi’. Mungkin jika ada kolom ‘Sering Dirindukan’, nama kamu juga ada di urutan teratas. Hehe, gombal ya? Tapi aku serius. Termasuk perasaan sialan yang aku pikir hanya sementara ini, ternyata sampai sekarang dia masih ada dan sampai sekarang kamu belum tahu.


            “Ya, namanya juga teman,”

            Jadi aku bisa mengirim pesan untukmu tengah malam, menulis namamu dengan huruf kapital semua—menggambarkan bahwa aku tengah memanggilmu dengan suara kencang, sok-sokan ada sesuatu yang penting, padahal hanya minta diunduhkan lagu baru. Aku menyukai lagu akustik, boleh juga dentingan piano dari lagu-lagu yang sudah bosan aku dengarkan sebelumnya. Dan biasanya lagu-lagu itu dinyanyikan ulang dengan format yang aku suka itu—gitar akustik maupun piano—dan kamu harus kena getahnya untuk mengunduh lagu itu. Kan teman? Bolehlah ya? Untungnya kamu baik, dan masih betah menganggap aku ‘hanya teman’-mu.

            “Ya, namanya juga teman,”

            Adalah muara terakhir bagi perasaanku yang makin hari makin menjadi, berhubung setiap hari aku lihat senyum kamu dan mendengar tawa kamu. Wajah panik kamu dan lelucon garing kamu. Ekspresi menyepelekan dan komentar sadis kamu. Kemudian tawaku yang biasanya langsung tercipta setelah itu. Kamu tahu inginku bagaimana? Membekap mulutmu, lantas tersenyum sinis, dan seseorang memotret kita dengan adegan semacam itu, lalu fotonya aku pasang di berbagai akun sosial media milikku. Bagaimana? Gemparlah dunia.

            “Ya, namanya juga teman,”

            Jadi aku tidak perlu begitu mengistimewakan kamu, sampai mau-maunya difoto lantas memasang foto kamu di seluruh sosial media milikku. Aku tidak perlu mendapat pengakuan dari kamu sebagai ‘teman terbaik’, karena pada dasarnya kamu menganggap semua yang ada di sekitarmu adalah sama. Sama-sama teman. Yang terbaik, itu beda lagi. Aku juga merasa tidak perlu banyak orang tahu bahwa kita memiliki suatu hubungan bernama ‘teman’. Aku merasa tidak perlu melakukan hal itu semua, kecuali mencintai kamu.

            “Ya, namanya juga teman,”

            Makanya aku bebas bilang sayang, cinta, kangen, karena memang hanya teman. Aku suka bergurau, kamu tahu itu. Padahal aku tidak sedang melucu, itu yang kamu tidak tahu.


            Untungnya teman. Jadi aku tidak perlu repot-repot menjaga perasaan, menyembunyikan kepedulian, cerewet tanpa ampun, jaga image, bisa ketawa bebas, canda, dan banyak hal lain tanpa canggung. Pada dasarnya, aku ahli soal menyembunyikan perasaan, karena sudah berpengalaman. Yang tidak ahli adalah, jika perasaan itu tumbuh di dalam suatu hubungan yang kamu beri nama, “Ya, namanya juga teman,”. Makanya, aku minta maaf seandainya aku masih agak megap-megap jika berhadapan dengan kamu, yang padahal seharusnya, juga berstatus: ‘hanya teman’-ku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini