“Ya, namanya juga teman,”
Barangkali menjadi satu-satunya
alasan supaya aku dapat memenuhi kotak masuk ponselmu buat minta referensi
lagu, film, novel, video-video lucu, dan apapun, sampai nama kamu selalu
menjadi pemuncak dalam kolom ‘Sering Dihubungi’. Mungkin jika ada kolom ‘Sering
Dirindukan’, nama kamu juga ada di urutan teratas. Hehe, gombal ya? Tapi aku
serius. Termasuk perasaan sialan yang aku pikir hanya sementara ini, ternyata
sampai sekarang dia masih ada dan sampai sekarang kamu belum tahu.
“Ya, namanya juga teman,”
Jadi aku bisa mengirim pesan untukmu
tengah malam, menulis namamu dengan huruf kapital semua—menggambarkan bahwa aku
tengah memanggilmu dengan suara kencang, sok-sokan ada sesuatu yang penting,
padahal hanya minta diunduhkan lagu baru. Aku menyukai lagu akustik, boleh juga
dentingan piano dari lagu-lagu yang sudah bosan aku dengarkan sebelumnya. Dan
biasanya lagu-lagu itu dinyanyikan ulang dengan format yang aku suka itu—gitar
akustik maupun piano—dan kamu harus kena getahnya untuk mengunduh lagu itu. Kan
teman? Bolehlah ya? Untungnya kamu baik, dan masih betah menganggap aku ‘hanya
teman’-mu.
“Ya, namanya juga teman,”
Adalah muara terakhir bagi
perasaanku yang makin hari makin menjadi, berhubung setiap hari aku lihat
senyum kamu dan mendengar tawa kamu. Wajah panik kamu dan lelucon garing kamu. Ekspresi
menyepelekan dan komentar sadis kamu. Kemudian tawaku yang biasanya langsung
tercipta setelah itu. Kamu tahu inginku bagaimana? Membekap mulutmu, lantas
tersenyum sinis, dan seseorang memotret kita dengan adegan semacam itu, lalu
fotonya aku pasang di berbagai akun sosial media milikku. Bagaimana? Gemparlah
dunia.
“Ya, namanya juga teman,”
Jadi aku tidak perlu begitu
mengistimewakan kamu, sampai mau-maunya difoto lantas memasang foto kamu di
seluruh sosial media milikku. Aku tidak perlu mendapat pengakuan dari kamu
sebagai ‘teman terbaik’, karena pada dasarnya kamu menganggap semua yang ada di
sekitarmu adalah sama. Sama-sama teman. Yang terbaik, itu beda lagi. Aku juga merasa
tidak perlu banyak orang tahu bahwa kita memiliki suatu hubungan bernama
‘teman’. Aku merasa tidak perlu melakukan hal itu semua, kecuali mencintai
kamu.
“Ya, namanya juga teman,”
Makanya aku bebas bilang sayang,
cinta, kangen, karena memang hanya teman. Aku suka bergurau, kamu tahu itu. Padahal
aku tidak sedang melucu, itu yang kamu tidak tahu.
Untungnya teman. Jadi aku tidak
perlu repot-repot menjaga perasaan, menyembunyikan kepedulian, cerewet tanpa ampun,
jaga image, bisa ketawa bebas, canda, dan banyak hal lain tanpa canggung.
Pada dasarnya, aku ahli soal menyembunyikan perasaan, karena sudah
berpengalaman. Yang tidak ahli adalah, jika perasaan itu tumbuh di dalam suatu
hubungan yang kamu beri nama, “Ya, namanya juga teman,”. Makanya, aku minta
maaf seandainya aku masih agak megap-megap jika berhadapan dengan kamu, yang
padahal seharusnya, juga berstatus: ‘hanya teman’-ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar