Sabtu, 30 April 2016

Kamu (Bukan) Dilan dan Aku (Bukan) Milea



Aku tahu, kamu bukan Dilan, dan diriku bukan Milea. Tapi, tak apa kan, jika kisah kita di masa abu-abu putih ini seperti mereka? Kamu memang bukan anak geng motor seperti Dilan, dan aku juga tidak cantik seperti Milea. Tapi, jika aku dan kamu memberi sedikit warna di masa abu-abu putih ini, siapa tahu kisah kita akan abadi seperti mereka? Ya, meskipun aku tahu bahwa ujungnya, Dilan dan Milea tidak bersama. Aku juga sangat tahu, kamu bukan tipe orang yang ingin melakukan pekerjaan sia-sia—untuk apa berjuang sedemikian rupa jika pada akhirnya tidak akan bersama?
             
Aku tahu, kamu bukan Dilan, dan diriku bukan Milea. Tapi aku tahu, kamu punya jiwa pemberontak seperti Dilan, dan diriku selalu ingin meredam kemarahanmu itu seperti Milea. Kadang kamu lupa dengan siapa berhadapan. Jika merasa benar, kamu akan hantam siapapun yang menghalangimu. Kamu suka lupa alternatif lain yang sebenarnya dapat kamu lakukan untuk melawan mereka. Kamu tidak ingat otak cemerlang yang kamu punya, padahal itu dapat memukul mereka dengan telak.
             
Aku tahu, kamu bukan Dilan, dan diriku bukan Milea. Tapi, aku minta padamu malam ini, izinkan aku mengkhayalkan kisah kita seperti mereka. Aku yang merasa kamu cintai dengan cara berbeda. Kamu yang merasa sangat beruntung memiliki perempuan seperti diriku. Tapi kamu tidak pernah membangga-banggakanku di depan teman-temanmu seperti yang Dilan lakukan. Aku juga tidak menceritakanmu di depan orang-orang yang mencibir hubungan kita. Karena menurutmu itu sia-sia. Kita sudah bahagia, dan tak perlu mengurusi hidup mereka yang kurang kegiatan.
            
Aku tahu kamu bukan Dilan, dan diriku bukan Milea. Tapi, asal kamu tahu, bahwa cerita-cerita dalam hubungan kita mirip dengan mereka. Ah, jika saja kamu membaca novel itu, pasti kamu manggut-manggut sambil tersenyum. Kamu akan merasa kisah kita ditulis oleh seseorang entah siapa, dan bukunya laku keras. Seharusnya ada royalti untuk kita. Hahaha. Ah ya, kamu pasti menganggapku materialistik jika membahas hal ini.
            
Baiklah, aku tahu kamu bukan Dilan, dan diriku bukan Milea. Tapi boleh kan, aku sedikit merekayasa hubungan kita selama ini? Aku janji, hanya dalam tulisan ini.
            
Hobiku dan hobimu berbeda. Aku suka duduk berjam-jam di depan laptop, menuntaskan pikiran, ditemani secangkir cokelat panas ataupun cappucino. Sementara kamu lebih suka berada di alam bebas, memacu adrenalin. Aku menyukai sepak bola, kamu lebih suka basket. Jika dilihat dari hobi, kita adalah dua kutub yang berlawanan. Aku timur, kamu barat. Aku utara, kamu selatan. Tapi kamu selalu berkata bahwa dua kutub yang berlawanan, sebenarnya memiliki gaya tarik-menarik. Ya, aku setuju dalam hal ini, meski terbersit khawatir jika suatu saat nanti perbedaan ini justru jadi pemisah. Namun kamu selalu berhasil meyakinkanku bahwa Indonesia yang memiliki banyak perbedaan, selalu punya cara untuk menyatukan. Begitu juga aku dan kamu.
             
Memang, ada sedikit rekayasa hubungan kita dalam tulisan ini. Mungkin, jika kamu membaca, kamu terpingkal-pingkal sambil geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin kisah kita sesempurna ini? Tapi tak apa. Siapa tahu malaikat baik hati sedang lewat dan mencatat tulisan ini, lantas mengaminkan, dan menyetorkannya pada Tuhan. Kamu tidak mau, kan, cerita kita berhenti saat masa abu-abu putih telah habis?
            
Aku tahu kamu bukan Dilan, dan diriku bukan Milea. Kita hidup di tahun yang serba cepat. Tidak memerlukan surat dan tukang pos hanya untuk berkirim pesan. Kamu juga tidak akan menyuruh petugas PLN, ataupun tetanggaku untuk sekadar memberi cokelat. Karena kita hidup di jaman yang—seseorang yang punya pacar, selalu jadi sorotan. Kamu tidak menginginkan hal itu. Kamu tidak pernah ingin ditonjolkan. Jadi, bisa dipastikan, kamu tidak akan memilih seperti Dilan yang sering bersengkokol dengan semesta untuk memberi kejutan kepada Milea-nya dengan cara yang tak terduga. Aku juga yakin, kamu tidak akan memberi TTS yang sudah terisi untuk kado ulang tahunku tanggal tiga puluh Agustus nanti.
             
Tanganku terhenti. Otakku sedang meramu kata untuk menuliskan seandainya kamu Dilan dan aku Milea. Tapi belum sempat kata-kata itu terangkai, ponsel di samping laptop bergetar. Namamu tertera di layar, membuat tanganku cepat-cepat membuka.


Hai, Penulis Abal-abal. Ini surat dariku, Atlet Amatiran. Aku ya aku, kamu ya kamu. Kita punya kisah sendiri. Lebih menarik, bahkan. Tanpa diceritakan pun, orang-orang menginginkan kisah kita menjadi milik mereka. Aku tahu, manusia tak pernah lepas dari kekurangan. Maka, sesuai operasi matematika: ganjil tambah ganjil sama dengan genap. Kamu tidak perlu rendah diri lantaran kekuranganmu, karena aku akan menggenapkannya semampuku.

             
Satu detik, dua detik. Tertegun. Detik ketiga, tersenyum. Makin lama, makin lebar, kemudian tertawa. Kamu selalu bisa meyakinkan.
            
Baiklah, mungkin ini tanda darimu agar aku segera mengakhiri tulisan ini. Biarpun kamu bukan Dilan, dan diriku bukan Milea, yang penting kita tidak lupa untuk saling membahagiakan. Biarpun kisah kita bukan Dia Adalah Dilanku ataupun Suara dari Dilan, setidaknya aku dapat menuliskan kisah kita walaupun hanya pada dua lembar ukuran A4, dan terunggah di blog pribadi. Karena sejujurnya, tulisan ini iseng aku buat untuk mengisi waktu ketika diriku masih terkulai lemas akibat virus flu menyerang. Selamat malam kamu, bukan Dilan-ku. Ini dari aku, bukan Milea-mu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini