Aku tahu, kamu
bukan Dilan, dan diriku bukan Milea. Tapi, tak apa kan, jika kisah kita di masa
abu-abu putih ini seperti mereka? Kamu memang bukan anak geng motor seperti
Dilan, dan aku juga tidak cantik seperti Milea. Tapi, jika aku dan kamu memberi
sedikit warna di masa abu-abu putih ini, siapa tahu kisah kita akan abadi
seperti mereka? Ya, meskipun aku tahu bahwa ujungnya, Dilan dan Milea tidak
bersama. Aku juga sangat tahu, kamu bukan tipe orang yang ingin melakukan
pekerjaan sia-sia—untuk apa berjuang sedemikian rupa jika pada akhirnya tidak
akan bersama?
Aku tahu, kamu bukan Dilan, dan
diriku bukan Milea. Tapi aku tahu, kamu punya jiwa pemberontak seperti Dilan,
dan diriku selalu ingin meredam kemarahanmu itu seperti Milea. Kadang kamu lupa
dengan siapa berhadapan. Jika merasa benar, kamu akan hantam siapapun yang
menghalangimu. Kamu suka lupa alternatif lain yang sebenarnya dapat kamu
lakukan untuk melawan mereka. Kamu tidak ingat otak cemerlang yang kamu punya, padahal
itu dapat memukul mereka dengan telak.
Aku tahu, kamu bukan Dilan, dan
diriku bukan Milea. Tapi, aku minta padamu malam ini, izinkan aku mengkhayalkan
kisah kita seperti mereka. Aku yang merasa kamu cintai dengan cara berbeda.
Kamu yang merasa sangat beruntung memiliki perempuan seperti diriku. Tapi kamu
tidak pernah membangga-banggakanku di depan teman-temanmu seperti yang Dilan
lakukan. Aku juga tidak menceritakanmu di depan orang-orang yang mencibir
hubungan kita. Karena menurutmu itu sia-sia. Kita sudah bahagia, dan tak perlu
mengurusi hidup mereka yang kurang kegiatan.
Aku tahu kamu bukan Dilan, dan
diriku bukan Milea. Tapi, asal kamu tahu, bahwa cerita-cerita dalam hubungan
kita mirip dengan mereka. Ah, jika saja kamu membaca novel itu, pasti kamu
manggut-manggut sambil tersenyum. Kamu akan merasa kisah kita ditulis oleh
seseorang entah siapa, dan bukunya laku keras. Seharusnya ada royalti untuk
kita. Hahaha. Ah ya, kamu pasti menganggapku materialistik jika membahas hal
ini.
Baiklah, aku tahu kamu bukan Dilan,
dan diriku bukan Milea. Tapi boleh kan, aku sedikit merekayasa hubungan kita
selama ini? Aku janji, hanya dalam tulisan ini.
Hobiku dan hobimu berbeda. Aku suka
duduk berjam-jam di depan laptop, menuntaskan pikiran, ditemani secangkir
cokelat panas ataupun cappucino. Sementara kamu lebih suka berada di
alam bebas, memacu adrenalin. Aku menyukai sepak bola, kamu lebih suka basket.
Jika dilihat dari hobi, kita adalah dua kutub yang berlawanan. Aku timur, kamu
barat. Aku utara, kamu selatan. Tapi kamu selalu berkata bahwa dua kutub yang
berlawanan, sebenarnya memiliki gaya tarik-menarik. Ya, aku setuju dalam hal
ini, meski terbersit khawatir jika suatu saat nanti perbedaan ini justru jadi
pemisah. Namun kamu selalu berhasil meyakinkanku bahwa Indonesia yang memiliki
banyak perbedaan, selalu punya cara untuk menyatukan. Begitu juga aku dan kamu.
Memang, ada sedikit rekayasa
hubungan kita dalam tulisan ini. Mungkin, jika kamu membaca, kamu
terpingkal-pingkal sambil geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin kisah kita
sesempurna ini? Tapi tak apa. Siapa tahu malaikat baik hati sedang lewat dan
mencatat tulisan ini, lantas mengaminkan, dan menyetorkannya pada Tuhan. Kamu tidak
mau, kan, cerita kita berhenti saat masa abu-abu putih telah habis?
Aku tahu kamu bukan Dilan, dan
diriku bukan Milea. Kita hidup di tahun yang serba cepat. Tidak memerlukan
surat dan tukang pos hanya untuk berkirim pesan. Kamu juga tidak akan menyuruh
petugas PLN, ataupun tetanggaku untuk sekadar memberi cokelat. Karena kita hidup
di jaman yang—seseorang yang punya pacar, selalu jadi sorotan. Kamu tidak
menginginkan hal itu. Kamu tidak pernah ingin ditonjolkan. Jadi, bisa
dipastikan, kamu tidak akan memilih seperti Dilan yang sering bersengkokol
dengan semesta untuk memberi kejutan kepada Milea-nya dengan cara yang tak
terduga. Aku juga yakin, kamu tidak akan memberi TTS yang sudah terisi untuk
kado ulang tahunku tanggal tiga puluh Agustus nanti.
Tanganku terhenti. Otakku sedang
meramu kata untuk menuliskan seandainya kamu Dilan dan aku Milea. Tapi belum
sempat kata-kata itu terangkai, ponsel di samping laptop bergetar. Namamu
tertera di layar, membuat tanganku cepat-cepat membuka.
Hai,
Penulis Abal-abal. Ini surat dariku, Atlet Amatiran. Aku ya aku, kamu ya kamu.
Kita punya kisah sendiri. Lebih menarik, bahkan. Tanpa diceritakan pun,
orang-orang menginginkan kisah kita menjadi milik mereka. Aku tahu, manusia tak
pernah lepas dari kekurangan. Maka, sesuai operasi matematika: ganjil tambah
ganjil sama dengan genap. Kamu tidak perlu rendah diri lantaran kekuranganmu,
karena aku akan menggenapkannya semampuku.
Satu detik, dua detik. Tertegun.
Detik ketiga, tersenyum. Makin lama, makin lebar, kemudian tertawa. Kamu selalu
bisa meyakinkan.
Baiklah, mungkin ini tanda darimu
agar aku segera mengakhiri tulisan ini. Biarpun kamu bukan Dilan, dan diriku
bukan Milea, yang penting kita tidak lupa untuk saling membahagiakan. Biarpun
kisah kita bukan Dia Adalah Dilanku ataupun Suara dari Dilan, setidaknya aku
dapat menuliskan kisah kita walaupun hanya pada dua lembar ukuran A4, dan
terunggah di blog pribadi. Karena sejujurnya, tulisan ini iseng aku buat
untuk mengisi waktu ketika diriku masih terkulai lemas akibat virus flu
menyerang. Selamat malam kamu, bukan Dilan-ku. Ini dari aku, bukan Milea-mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar