13.28.
Mataku membuka pelan-pelan,
mengerjap-ngerjap. Menoleh pelan ke jendela. Hujan membungkus kota siang ini.
Aku menguap lebar-lebar. Meregangkan tubuh. Sebelah tangan meraih ponsel, dan kudapati
lima panggilan tak terjawab dari nomor yang sama. Dilanku.
Aku tersenyum masam. Aku berjanji akan
menonton pertandingan basketnya pukul 14.15 siang ini. Sementara sekarang sudah
hampir setengah dua, tapi aku belum apa-apa. Baru bangun dari tidur siang. Dia
telah berjanji akan bermain paling bagus untukku. Aku tertawa kecil saat ia
mengatakan itu. Tentu saja ia nanti bermain bagus atas nama tim—demi
sekolahnya, sekolahku juga. Aku mendesah pelan, menoleh kembali ke jendela.
Hujan memelan, berubah jadi gerimis kecil-kecil. Setelah meregangkan tubuh
sekali, aku baru bangkit, menuju kamar mandi. Cuci muka, ganti baju, kemudian
menuju gelanggang olahraga kota.
Sampai di gelanggang olahraga, aku
ke tempat karcis. Kakak kelasku yang jaga di sana, tersenyum lebar ke arahku.
Melambaikan selembar tiket. “Dari Dilanmu,” katanya. Aku menyodorkan uang, tapi
kakak kelasku menolak. “Sudah dibayar Dilanmu,” katanya lagi sambil tertawa.
Aku terkejut sedikit, dan kakak kelasku itu mengangguk, meyakinkan. Aku balas mengangguk
kecil lalu berjalan ke tribun penonton.
Aku memasuki gelanggang olahraga
tepat sebelum pertandingan dimulai. Kedua tim selesai pemanasan, dan sekarang
tengah berdo’a di pinggir lapangan. Aku menoleh kanan-kiri, dan mendapati
teman-temanku melambai dari tribun penonton sebelah kiri. Sambil berlari kecil,
aku menuju ke sana.
Dari tribun, aku menatap Dilanku
lekat-lekat. Berharap ia mendongak, dan melihatku sedang menepati janji.
Sementara ini, ia dibangkucadangkan. Mungkin, Dilanku dianggap sebagai senjata rahasia
oleh pelatih. Sedikit berbeda dengan Dilan di novel yang jadi Panglima Tempur
dalam geng motor. Dilanku cukup jadi anak basket. Jadi senjata rahasia.
Pertandingan cukup ulet. Entah lini
serang yang kurang tajam atau bagian pertahanan yang kuat, masing-masing tim belum mampu mencetak skor
secara signifikan. Tembakan tiga poin banyak yang meleset. Umpan panjang lebih
sering terlempar keluar lapangan. Pelatih di pinggir lapangan bersedekap,
sesekali berteriak memberi arahan. Teman-teman samping kanan-kiriku tertahan
tanpa kata. Diam. Tegang. Sama seperti Dilanku di sisi lapangan yang matanya
tak lepas pada pertandingan. Tak sekalipun tatapannya mengitari tribun untuk
melihat bahwa Mileanya berada di antara penonton. Aku mendesah pelan. Menghibur
diri dalam hati, bahwa kedatanganku ke sini juga untuk sekolahku. Duniaku tidak
hanya sebagai Mileanya Dilanku.
Memasuki quarter kedua. Alur
pertandingan relatif sama. Lini serang kurang tajam atau bagian pertahanan
terlalu kuat. Aku masih mengamati Dilanku yang terus saja menatap lekat
lapangan. Dua orang lewat di depanku, memutus pandangan. Aku sedikit terkejut,
menoleh ke kiri untuk melihat siapa yang lewat. Dua orang gadis duduk agak jauh
dariku. Aku mengernyitkan kening. Salah satu dari gadis itu, sepertinya aku
kenal. Tapi di mana? Siapa?
Sorakan teman-teman di samping
kanan-kiriku cukup mengejutkan. Aku langsung menatap lapangan, kemudian papan
skor. Tiga poin berhasil dilesakkan oleh tim sekolahku. Suasana pertandingan
sedikit meningkat. Teriakan lebih membahana. Akhirnya aku mengabaikan perempuan
tadi, pilih ikut memberikan suntikan semangat dari tribun, sambil sesekali
menoleh ke Dilanku yang akhirnya dapat tersenyum lebar.
Menit-menit akhir quarter kedua,
tim sekolahku lebih beringas. Tembakan tiga poin jauh lebih banyak yang masuk
dibanding pada quarter pertama. Dan yang jelas, Dilanku di sisi lapangan
jadi lebih rileks. Berkali-kali tersenyum lebar, sesekali becanda bersama kawan
di sampingnya. Dan akhirnya pula, matanya mengitari tribun. Aku tahu, dia
mencariku. Sengaja aku menatapnya dalam-dalam, memberi tanda bahwa aku menepati
janji. Memberitahu bahwa aku berada di tribun penonton, tepat di seberangnya.
Tanpa kata. Mengandalkan kekuatan perasaan seperti yang sering digambarkan di
film-film. Aku mengasah kemampuan kami untuk bertelepati.
Tatapan cowok itu berhenti di salah
satu sisi tribun. Aku terhenyak. Ia tersenyum. Makin lama makin lebar, kemudian
tangannya melambai. Deg! Satu detakan jantungku menghentak cukup keras.
Kepalaku menoleh ke kiri, kaku,
sembilan puluh derajat, mengikuti arah pandang Dilanku. Serasa dilolosi
tulang-tulang dari tubuhku, lemas. Kurang lebih sepuluh meter dariku, dua gadis
yang tadi sempat memutus pandanganku dari Dilanku, salah satunya, sedang
melambai. Tersenyum lebar. Kutarik paksa mataku untuk kembali melihat Dilanku
di sisi lapangan, seraya berdo’a semoga dia tidak sedang membalas senyum lebar
salah satu dari dua gadis itu. Dilanku masih tersenyum, masih melambaikan
tangan. Salah satu gadis itu ternyata juga masih tersenyum, melambaikan tangan.
Keduanya terhubung. Telepatiku yang putus.
Otakku buru-buru mencari siapa salah
satu gadis itu yang sepertinya, aku pernah bertemu dengannya. Gadis yang
melambaikan tangan kepada Dilanku. Kutatap lekat-lekat gadis itu. Sayangnya, di
tengah sibuk mengingat, temanku justru menyenggol lenganku. Aku langsung
menoleh.
“Dilanmu,” temanku memberitahu
pendek. Menunjuk Dilanku yang tengah tersenyum lebar. Aku tersenyum sekadarnya.
Hatiku sedang tidak begitu baik. Sedikit mengkal, sedikit kesal entah kenapa.
Padahal, masih ada kemungkinan salah satu gadis itu adalah teman lama Dilanku.
Dan untuk itu, aku tidak berhak cemburu.
Memasuki quarter ketiga,
Dilanku baru masuk. Beberapa teriakan untuknya sempat membahana. Tak mengapa,
itu dari teman-temannya, aku tahu. Termasuk dari salah satu gadis itu, yang
berteriak paling kencang. Otakku terus kusuruh mengingat, tapi hasilnya nihil.
Belum menemukan satu pun keterangan mengenai gadis itu dari memori kepalaku.
Sampai akhirnya aku menyerah, dan memilih fokus terhadap Dilanku yang sekarang
mengumpan bola jauh ke depan.
Tensi pertandingan sedikit menurun
dibanding sebelumnya. Tapi aku semakin bersemangat karena Dilanku bermain. Ia
menepati janjinya. Menyuguhkan permainan yang bagus, setidaknya itu menurutku. Dilanku bermain sampai quarter keempat,
dan selesai. Tim sekolahku lolos babak selanjutnya, bertanding lagi nanti
malam.
Dua gadis yang tadi mengusik
pikiranku, berjalan keluar gelanggang olahraga. Mungkin pulang. Aku mengerutkan
kening. Merasa ada sesuatu yang perlu aku bicarakan dengan Dilanku. Tadinya aku
tidak ingin menemui Dilanku, karena tahu bahwa ia harus segera istirahat untuk
pertandingan di babak selanjutnya nanti malam. Tapi, instingku berkata ada
sesuatu yang mengganjal, dan harus kuselesaikan saat ini juga.
Setelah melihat Dilanku keluar dari
ruang ganti pemain, aku pun berpamitan kepada teman-teman. Diiringi suitan dan
sahutan “cie”, aku melangkah menuju Dilanku yang berjalan keluar gelanggang
olahraga. Dan baru sampai di ambang pintu keluar gelanggang olahraga, aku termangu.
Tertegun untuk yang kedua kali.
Di tempat parkir, kulihat Dilanku
sedang dihampiri gadis yang tadi. Awalnya gadis itu canggung, mencoba tersenyum
lebar. Dilanku pun membalas senyumnya, lantas berkata banyak. Sesuatu hal yang sangat jarang dilakukan oleh
Dilanku, kecuali terhadap teman akrabnya. Aku menyipitkan mata. Gadis yang
diajak bicara oleh Dilanku itu posisinya menghadap ke arahku, dan Dilanku
memunggungiku. Jadi, aku dapat melihat dengan jelas ekspresi gadis itu yang
menatap Dilanku tanpa kedip. Ada sorot mata penuh kerinduan namun ditahan
mati-matian. Aku tahu, gadis itu terkadang tertawa menanggapi lelucon yang
mungkin dilontarkan oleh Dilanku. Tapi ia tak dapat menutupi seluruhnya
kerinduan itu. Kecanggungan itu.
Dan aku baru teringat sesuatu. Aku ingat dimana melihat gadis itu. Ponsel Dilanku.
Dan aku baru teringat sesuatu. Aku ingat dimana melihat gadis itu. Ponsel Dilanku.
“Hanya dia,” kata Dilanku waktu itu sambil menyodorkan ponselnya. Aku menatapnya ragu, dia mengangguk. Menyorongkan ponselnya, menyuruhku menerimanya. Aku menghela napas, lantas mengambil ponsel itu. “Meskipun tidak sempat termiliki, tapi hanya dia, wanita sebelum kamu,” lanjut Dilanku membuatku menoleh kepadanya. Ia kembali mengangguk, meyakinkan. Maksud dari perkataannya adalah, hanya gadis itu yang mampu membuat hatinya bergetar sebelum aku. Tapi gadis itu belum pernah, dan jangan sampai pernah menjadi kekasih cowok yang kuanggap sebagai Dilan ini. Dilanku juga menambahkan bahwa gadis itu hanya masa lalunya. Masa depan Dilanku ada di sampingnya, yang tak lain adalah diriku. Aku hanya tertawa menanggapi.
Sekarang,
Dilanku berhenti bercerita. Mungkin menanti komentar gadis di depannya yang
sedang menatapnya dalam-dalam. Kulihat, keduanya terdiam. Entah menikmati aroma
bekas hujan, memaksa waktu berjalan lambat, merasa sedang berada di film, atau
apalah itu. Yang jelas gadis itu sedang menatap Dilanku tanpa kedip, penuh kerinduan. Dilanku juga tidak tampak sedang
bercerita seperti tadi. Kakipun otomatis melangkah ke arah mereka.
“Eh,
hai!” aku menyapa dengan nada riang. Mengejutkan mereka berdua. Memecah tatapan
kerinduan itu. Sebagai gantinya, gadis itu melihatku dengan tatapan, ‘Oh, jadi
ini yang disebut –sebut Milea-nya?’
Aku
sempat bersalaman dan berbincang dengan gadis itu. Tapi tak lama, gadis itu
kemudian berpamitan pulang. Menyisakan aku dengan Dilanku di tempat parkir
gelanggang olahraga.
“Dia
hanya masa lalu,” kata Dilanku setelah gadis itu benar-benar pergi. Dilanku
dapat menebak dengan tepat isi hatiku, bahkan sebelum aku mengutarakannya. “Kamu
tidak perlu khawatir,” Dilanku mencoba menghibur, tersenyum.
“Seseorang
yang mengatakan masa lalu, itu tandanya sesuatu itu pernah berharga. Dan tidak
menutup kemungkinan, akan kembali menjadi yang berarti suatu saat nanti,”
kataku membuat Dilanku terdiam. Aku pun mengibaskan tangan, tak ingin
memperpanjang masalah. “Kamu cepat pulang, istirahat! Nanti malam tanding lagi,
kan?”
Dilanku
mengangguk. “Kamu nanti malam nonton?”
Tidak.
Hatiku sedang tidak baik. Takutnya masalah ini memiliki ekor tak berujung. Aku pun
menggeleng. “Ada tugas negara,”
“Sepak
bola?”
“Lebih
penting dari sepak bola,” aku tersenyum sinis. Melipat tangan di dada. Dilanku
menelan ludah. Ia dapat merasakan bahwa hatiku belum baik. Tapi, mau tak mau,
ia menuruti. Pulang, beristirahat. Demi pertandingan nanti malam pula. Aku
menghela napas panjang. Berbicara soal masa lalu tak kan pernah selesai. Dilanku
bukan tipe manusia yang mudah menjatuhkan pilihan. Jadi sekali ia memilih, itu
pasti tidak main-main. Dari situ, dapat disimpulkan bahwa gadis yang tadi, juga
bukan gadis main-main. Aku melengos.
Sekali
lagi, soal asmara, Dilanku tidak pernah main-main. Sekali menjatuhkan pilihan,
ia akan serius. Jadi, kalau bersama gadis yang tadi tidak berhasil membina
hubungan, berarti gadis itulah yang meninggalkan. Lalu apa artinya sorot
kerinduan itu? Apa maksudnya menatap Dilanku tanpa kedip? Hanya untuk ingin
kembali memiliki? Terhambat oleh kecanggungan dan....aku?
Aku
mendesah napas keras. Hatiku menjadi semakin tidak baik. Dilanku kena imbasnya.
Aku lantas menghela napas berkali-kali, mengharap ketenangan. Akhirnya aku
pulang. Benar-benar meninggalkan pelataran parkir gelanggang olahraga.
Sebelumnya
cerita ini hanya akan tertulis sampai di sini. Lalu temanku mengirim gambar
keadaan lapangan gelanggang olahraga malam ini yang hampir seluruh pemain
bergerombol di satu sisi. Di bawah gambar itu tertulis, ‘Dilanmu. Cidera.’
Instingku
mengatakan bahwa Dilanku tidak fokus terhadap pertandingan karena otaknya
sedang memikirkan sesuatu. Pikiranku lantas mengembara kemana-mana. Tidak seharusnya
tadi sore aku marah padanya. Kedatangan gadis itu bukan kemauan Dilanku. Tidak perlu
seserius ini. Tidak perlu berakibat buruk seperti ini. Dan seharusnya aku
menonton pertandingannya malam ini. Meninggalkan tugas negara yang sebenarnya
tidak begitu penting. Seharusnya aku tidak perlu menuruti gengsi untuk mengkal
padanya—padahal aku tidak pernah bisa benar-benar marah kepada Dilanku. Maafkan
Milea-mu, Dilanku. Seharusnya sore ini tidak perlu membicarakan masa lalu.
Bukankah kita sudah benar-benar bahagia saat ini? Dan akan terus berbahagia
walaupun masa abu-abu putih telah habis?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar