Kamis, 05 Mei 2016

Maafkan Milea-mu, Dilan-ku



13.28.
             
Mataku membuka pelan-pelan, mengerjap-ngerjap. Menoleh pelan ke jendela. Hujan membungkus kota siang ini. Aku menguap lebar-lebar. Meregangkan tubuh. Sebelah tangan meraih ponsel, dan kudapati lima panggilan tak terjawab dari nomor yang sama. Dilanku.
             
Aku tersenyum masam. Aku berjanji akan menonton pertandingan basketnya pukul 14.15 siang ini. Sementara sekarang sudah hampir setengah dua, tapi aku belum apa-apa. Baru bangun dari tidur siang. Dia telah berjanji akan bermain paling bagus untukku. Aku tertawa kecil saat ia mengatakan itu. Tentu saja ia nanti bermain bagus atas nama tim—demi sekolahnya, sekolahku juga. Aku mendesah pelan, menoleh kembali ke jendela. Hujan memelan, berubah jadi gerimis kecil-kecil. Setelah meregangkan tubuh sekali, aku baru bangkit, menuju kamar mandi. Cuci muka, ganti baju, kemudian menuju gelanggang olahraga kota.
            
Sampai di gelanggang olahraga, aku ke tempat karcis. Kakak kelasku yang jaga di sana, tersenyum lebar ke arahku. Melambaikan selembar tiket. “Dari Dilanmu,” katanya. Aku menyodorkan uang, tapi kakak kelasku menolak. “Sudah dibayar Dilanmu,” katanya lagi sambil tertawa. Aku terkejut sedikit, dan kakak kelasku itu mengangguk, meyakinkan. Aku balas mengangguk kecil lalu berjalan ke tribun penonton.
             
Aku memasuki gelanggang olahraga tepat sebelum pertandingan dimulai. Kedua tim selesai pemanasan, dan sekarang tengah berdo’a di pinggir lapangan. Aku menoleh kanan-kiri, dan mendapati teman-temanku melambai dari tribun penonton sebelah kiri. Sambil berlari kecil, aku menuju ke sana.
             
Dari tribun, aku menatap Dilanku lekat-lekat. Berharap ia mendongak, dan melihatku sedang menepati janji. Sementara ini, ia dibangkucadangkan. Mungkin, Dilanku dianggap sebagai senjata rahasia oleh pelatih. Sedikit berbeda dengan Dilan di novel yang jadi Panglima Tempur dalam geng motor. Dilanku cukup jadi anak basket. Jadi senjata rahasia.
             
Pertandingan cukup ulet. Entah lini serang yang kurang tajam atau bagian pertahanan yang kuat,  masing-masing tim belum mampu mencetak skor secara signifikan. Tembakan tiga poin banyak yang meleset. Umpan panjang lebih sering terlempar keluar lapangan. Pelatih di pinggir lapangan bersedekap, sesekali berteriak memberi arahan. Teman-teman samping kanan-kiriku tertahan tanpa kata. Diam. Tegang. Sama seperti Dilanku di sisi lapangan yang matanya tak lepas pada pertandingan. Tak sekalipun tatapannya mengitari tribun untuk melihat bahwa Mileanya berada di antara penonton. Aku mendesah pelan. Menghibur diri dalam hati, bahwa kedatanganku ke sini juga untuk sekolahku. Duniaku tidak hanya sebagai Mileanya Dilanku.
            
Memasuki quarter kedua. Alur pertandingan relatif sama. Lini serang kurang tajam atau bagian pertahanan terlalu kuat. Aku masih mengamati Dilanku yang terus saja menatap lekat lapangan. Dua orang lewat di depanku, memutus pandangan. Aku sedikit terkejut, menoleh ke kiri untuk melihat siapa yang lewat. Dua orang gadis duduk agak jauh dariku. Aku mengernyitkan kening. Salah satu dari gadis itu, sepertinya aku kenal. Tapi di mana? Siapa?
             
Sorakan teman-teman di samping kanan-kiriku cukup mengejutkan. Aku langsung menatap lapangan, kemudian papan skor. Tiga poin berhasil dilesakkan oleh tim sekolahku. Suasana pertandingan sedikit meningkat. Teriakan lebih membahana. Akhirnya aku mengabaikan perempuan tadi, pilih ikut memberikan suntikan semangat dari tribun, sambil sesekali menoleh ke Dilanku yang akhirnya dapat tersenyum lebar.
            
Menit-menit akhir quarter kedua, tim sekolahku lebih beringas. Tembakan tiga poin jauh lebih banyak yang masuk dibanding pada quarter pertama. Dan yang jelas, Dilanku di sisi lapangan jadi lebih rileks. Berkali-kali tersenyum lebar, sesekali becanda bersama kawan di sampingnya. Dan akhirnya pula, matanya mengitari tribun. Aku tahu, dia mencariku. Sengaja aku menatapnya dalam-dalam, memberi tanda bahwa aku menepati janji. Memberitahu bahwa aku berada di tribun penonton, tepat di seberangnya. Tanpa kata. Mengandalkan kekuatan perasaan seperti yang sering digambarkan di film-film. Aku mengasah kemampuan kami untuk bertelepati.
             
Tatapan cowok itu berhenti di salah satu sisi tribun. Aku terhenyak. Ia tersenyum. Makin lama makin lebar, kemudian tangannya melambai. Deg! Satu detakan jantungku menghentak cukup keras.
             
Kepalaku menoleh ke kiri, kaku, sembilan puluh derajat, mengikuti arah pandang Dilanku. Serasa dilolosi tulang-tulang dari tubuhku, lemas. Kurang lebih sepuluh meter dariku, dua gadis yang tadi sempat memutus pandanganku dari Dilanku, salah satunya, sedang melambai. Tersenyum lebar. Kutarik paksa mataku untuk kembali melihat Dilanku di sisi lapangan, seraya berdo’a semoga dia tidak sedang membalas senyum lebar salah satu dari dua gadis itu. Dilanku masih tersenyum, masih melambaikan tangan. Salah satu gadis itu ternyata juga masih tersenyum, melambaikan tangan. Keduanya terhubung. Telepatiku yang putus.
             
Otakku buru-buru mencari siapa salah satu gadis itu yang sepertinya, aku pernah bertemu dengannya. Gadis yang melambaikan tangan kepada Dilanku. Kutatap lekat-lekat gadis itu. Sayangnya, di tengah sibuk mengingat, temanku justru menyenggol lenganku. Aku langsung menoleh.
             
“Dilanmu,” temanku memberitahu pendek. Menunjuk Dilanku yang tengah tersenyum lebar. Aku tersenyum sekadarnya. Hatiku sedang tidak begitu baik. Sedikit mengkal, sedikit kesal entah kenapa. Padahal, masih ada kemungkinan salah satu gadis itu adalah teman lama Dilanku. Dan untuk itu, aku tidak berhak cemburu.
            
Memasuki quarter ketiga, Dilanku baru masuk. Beberapa teriakan untuknya sempat membahana. Tak mengapa, itu dari teman-temannya, aku tahu. Termasuk dari salah satu gadis itu, yang berteriak paling kencang. Otakku terus kusuruh mengingat, tapi hasilnya nihil. Belum menemukan satu pun keterangan mengenai gadis itu dari memori kepalaku. Sampai akhirnya aku menyerah, dan memilih fokus terhadap Dilanku yang sekarang mengumpan bola jauh ke depan.
             
Tensi pertandingan sedikit menurun dibanding sebelumnya. Tapi aku semakin bersemangat karena Dilanku bermain. Ia menepati janjinya. Menyuguhkan permainan yang bagus, setidaknya itu  menurutku. Dilanku bermain sampai quarter keempat, dan selesai. Tim sekolahku lolos babak selanjutnya, bertanding lagi nanti malam.
            
Dua gadis yang tadi mengusik pikiranku, berjalan keluar gelanggang olahraga. Mungkin pulang. Aku mengerutkan kening. Merasa ada sesuatu yang perlu aku bicarakan dengan Dilanku. Tadinya aku tidak ingin menemui Dilanku, karena tahu bahwa ia harus segera istirahat untuk pertandingan di babak selanjutnya nanti malam. Tapi, instingku berkata ada sesuatu yang mengganjal, dan harus kuselesaikan saat ini juga.
            
Setelah melihat Dilanku keluar dari ruang ganti pemain, aku pun berpamitan kepada teman-teman. Diiringi suitan dan sahutan “cie”, aku melangkah menuju Dilanku yang berjalan keluar gelanggang olahraga. Dan baru sampai di ambang pintu keluar gelanggang olahraga, aku termangu. Tertegun untuk yang kedua kali.
            
Di tempat parkir, kulihat Dilanku sedang dihampiri gadis yang tadi. Awalnya gadis itu canggung, mencoba tersenyum lebar. Dilanku pun membalas senyumnya, lantas berkata banyak.  Sesuatu hal yang sangat jarang dilakukan oleh Dilanku, kecuali terhadap teman akrabnya. Aku menyipitkan mata. Gadis yang diajak bicara oleh Dilanku itu posisinya menghadap ke arahku, dan Dilanku memunggungiku. Jadi, aku dapat melihat dengan jelas ekspresi gadis itu yang menatap Dilanku tanpa kedip. Ada sorot mata penuh kerinduan namun ditahan mati-matian. Aku tahu, gadis itu terkadang tertawa menanggapi lelucon yang mungkin dilontarkan oleh Dilanku. Tapi ia tak dapat menutupi seluruhnya kerinduan itu. Kecanggungan itu.

             Dan aku baru teringat sesuatu. Aku ingat dimana melihat gadis itu. Ponsel Dilanku.

“Hanya dia,” kata Dilanku waktu itu sambil menyodorkan ponselnya. Aku menatapnya ragu, dia mengangguk. Menyorongkan ponselnya, menyuruhku menerimanya. Aku menghela napas, lantas mengambil ponsel itu. “Meskipun tidak sempat termiliki, tapi hanya dia, wanita sebelum kamu,” lanjut Dilanku membuatku menoleh kepadanya. Ia kembali mengangguk, meyakinkan. Maksud dari perkataannya adalah, hanya gadis itu yang mampu membuat hatinya bergetar sebelum aku. Tapi gadis itu belum pernah, dan jangan sampai pernah menjadi kekasih cowok yang kuanggap sebagai Dilan ini.  Dilanku juga menambahkan bahwa gadis itu hanya masa lalunya. Masa depan Dilanku ada di sampingnya, yang tak lain adalah diriku. Aku hanya tertawa menanggapi.

Sekarang, Dilanku berhenti bercerita. Mungkin menanti komentar gadis di depannya yang sedang menatapnya dalam-dalam. Kulihat, keduanya terdiam. Entah menikmati aroma bekas hujan, memaksa waktu berjalan lambat, merasa sedang berada di film, atau apalah itu. Yang jelas gadis itu sedang menatap Dilanku tanpa kedip, penuh  kerinduan. Dilanku juga tidak tampak sedang bercerita seperti tadi. Kakipun otomatis melangkah ke arah mereka.

“Eh, hai!” aku menyapa dengan nada riang. Mengejutkan mereka berdua. Memecah tatapan kerinduan itu. Sebagai gantinya, gadis itu melihatku dengan tatapan, ‘Oh, jadi ini yang disebut –sebut Milea-nya?’

Aku sempat bersalaman dan berbincang dengan gadis itu. Tapi tak lama, gadis itu kemudian berpamitan pulang. Menyisakan aku dengan Dilanku di tempat parkir gelanggang olahraga.

“Dia hanya masa lalu,” kata Dilanku setelah gadis itu benar-benar pergi. Dilanku dapat menebak dengan tepat isi hatiku, bahkan sebelum aku mengutarakannya. “Kamu tidak perlu khawatir,” Dilanku mencoba menghibur, tersenyum.

“Seseorang yang mengatakan masa lalu, itu tandanya sesuatu itu pernah berharga. Dan tidak menutup kemungkinan, akan kembali menjadi yang berarti suatu saat nanti,” kataku membuat Dilanku terdiam. Aku pun mengibaskan tangan, tak ingin memperpanjang masalah. “Kamu cepat pulang, istirahat! Nanti malam tanding lagi, kan?”

Dilanku mengangguk. “Kamu nanti malam nonton?”

Tidak. Hatiku sedang tidak baik. Takutnya masalah ini memiliki ekor tak berujung. Aku pun menggeleng. “Ada tugas negara,”

“Sepak bola?”

“Lebih penting dari sepak bola,” aku tersenyum sinis. Melipat tangan di dada. Dilanku menelan ludah. Ia dapat merasakan bahwa hatiku belum baik. Tapi, mau tak mau, ia menuruti. Pulang, beristirahat. Demi pertandingan nanti malam pula. Aku menghela napas panjang. Berbicara soal masa lalu tak kan pernah selesai. Dilanku bukan tipe manusia yang mudah menjatuhkan pilihan. Jadi sekali ia memilih, itu pasti tidak main-main. Dari situ, dapat disimpulkan bahwa gadis yang tadi, juga bukan gadis main-main. Aku melengos.

Sekali lagi, soal asmara, Dilanku tidak pernah main-main. Sekali menjatuhkan pilihan, ia akan serius. Jadi, kalau bersama gadis yang tadi tidak berhasil membina hubungan, berarti gadis itulah yang meninggalkan. Lalu apa artinya sorot kerinduan itu? Apa maksudnya menatap Dilanku tanpa kedip? Hanya untuk ingin kembali memiliki? Terhambat oleh kecanggungan dan....aku?

Aku mendesah napas keras. Hatiku menjadi semakin tidak baik. Dilanku kena imbasnya. Aku lantas menghela napas berkali-kali, mengharap ketenangan. Akhirnya aku pulang. Benar-benar meninggalkan pelataran parkir gelanggang olahraga.


Sebelumnya cerita ini hanya akan tertulis sampai di sini. Lalu temanku mengirim gambar keadaan lapangan gelanggang olahraga malam ini yang hampir seluruh pemain bergerombol di satu sisi. Di bawah gambar itu tertulis, ‘Dilanmu. Cidera.’


Instingku mengatakan bahwa Dilanku tidak fokus terhadap pertandingan karena otaknya sedang memikirkan sesuatu. Pikiranku lantas mengembara kemana-mana. Tidak seharusnya tadi sore aku marah padanya. Kedatangan gadis itu bukan kemauan Dilanku. Tidak perlu seserius ini. Tidak perlu berakibat buruk seperti ini. Dan seharusnya aku menonton pertandingannya malam ini. Meninggalkan tugas negara yang sebenarnya tidak begitu penting. Seharusnya aku tidak perlu menuruti gengsi untuk mengkal padanya—padahal aku tidak pernah bisa benar-benar marah kepada Dilanku. Maafkan Milea-mu, Dilanku. Seharusnya sore ini tidak perlu membicarakan masa lalu. Bukankah kita sudah benar-benar bahagia saat ini? Dan akan terus berbahagia walaupun masa abu-abu putih telah habis?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini