Minggu, 10 April 2016

Setelah Kembali ke Peredaran


"Kamu darimana saja, Arez? Sudah lama tidak datang ke sini. Kamu baik-baik, kan? Tidak sakit?" Google+ memberondongku dengan pertanyaan, padahal kakiku baru menginjak beranda. Aku tersenyum tipis.

"Aku baik-baik saja," jawabku.

Google+ masih menatapku cemas. Seperti tak yakin dengan jawabanku, Google+ menempelkan tangannya di dahiku. Aku mengernyit.

"Oh, syukurlah. Aku kira kamu demam," kata Google+ sambil menurunkan tangannya dari dahiku. Sesaat kemudian, beliau tersenyum lebar. "Mari, mari masuk! Aku punya suguhan baru untukmu!" ajaknya seraya mendorongku masuk.

Benar saja. Saat aku memasuki rumahnya, aku terpukau. Jauh, jauh berbeda dari terakhir aku menginjakkan kaki di sini. Meskipun selera Google+ masih sama, namun, benda-benda yang dipilih untuk mengisi ruangan, membuat rumah ini selama sekian detik, tidak aku kenali. Mungkin, karena pernak-pernik yang terpasang adalah sesuatu yang lebih modern? Lebih baru?

Yang jelas, benda-benda yang terpajang rapi di dinding maupun yang diletakkan di meja, membuatku suka.

"Kamu mau di sini, atau di kamarmu? Bukankah dulu, kaulebih suka berada di kamar?" tanya Google+ mengejutkan lamunanku. Aku tergeragap, tersenyum, dengan separuh pikiran yang masih takjub dengan perubahan ini. Melihatku, Google+ tersenyum, mendorongku lagi untuk menuju kamarku.


Sampai di kamar, Google+ memaksaku untuk terperangah yang kedua kali. Takjub berkali-kali. Beliau mengubah kamarku, tanpa mengubah tata letak barang-barangku. Tulisan-tulisanku yang biasanya hanya bertebaran dalam kamar, sekarang rapi tertata di sudut kamar. Referensi-referensi dari orang-orang yang karyanya bagus, juga memenuhi sudut ruang. Koleksi foto hanya beberapa, yang aku tahu, foto itu lebih banyak dari Google+. Di sini, aku tidak banyak menyimpan foto. Pun aku tidak begitu hobi berfoto.

Aku menghela napas.

Berada di sini, membuatku merasakan 'pulang'. Lantas aku tersenyum perih. Beberapa saat lagi, aku akan pergi dari sini. Entah untuk berapa lama, dan entah kapan aku sempat kembali ke sini.

"Kau kenapa lagi?" Google+ bertanya dengan nada prihatin, melihatku yang tertunduk dalam. Aku mendongak, menatap wajah tuanya. Mencoba tersenyum. Google+ mengerti. Beliau mengangguk-angguk. Tersenyum mafhum. "Bahkan di sini, kamu belum mendapat banyak teman. Padahal, asal kamu tahu, banyak anak baru yang ingin bertemu denganmu. Tapi justru kamu seperti siluman. Terkadang terlihat, lebih sering hilang," Google+ mencoba bergurau.

Aku tidak tertawa. Justru memeluknya erat. "Maafkan aku. Tapi aku memang harus pergi. Aku janji, aku tidak akan melupakan tempat ini. Di sini, seluruh kisah itu tertampung dengan baik. Aku sangat berterima kasih padamu,"

Google+ menepuk-nepuk punggungku. "Sama-sama. Aku juga berterima kasih padamu. Karena, sebelum rumahku seperti ini, kamu telah setia berada di sini. Menulis banyak cerita. Mengundang banyak perhatian. Meskipun hati teriris sakit, tapi kamu tetap menulis. tetap menghasilkan karya. Aku salut padamu, Arez,"

Kami berpelukan agak lama. Tanpa sadar, aku meneteskan air mata.

"Aku janji, akan terus berinovasi tentang rumah ini. Jadi, kelak, jika kau datang kembali, kau akan terkesan sekali lagi. Aku janji," Google+ melepas pelukan. Tersenyum menatap wajahku. Aku menyeka air mata. "Oh, ya, ya. Kau pasti butuh istirahat. Silakan, silakan istirahat. Bahkan, jika kau sering menginap seperti dulu, aku sangat bersenang hati,"

Aku tersenyum tipis. Mengangguk. "Terima kasih,"

Google+ mengangguk-angguk. Menghela napas panjang, kemudian meninggalkanku sendirian di kamar yang masih membuatku takjub. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seluruh benda yang terpasang adalah baru. Namun, tata letak dan benda-benda yang tersimpan, masih milikku. Yang dulu.

Aku menghela napas. Merebahkan diri di kasur yang terasa lebih nyaman. Pertanyaan dari Google+ kembali terngiang-ngiang.

'Kemana saja selama ini?'

Ya, kemana saja aku selama ini? Mencari suasana baru? Kehidupan baru? Demi melupakan yang dulu?

Ya, aku mendapat suasana baru. Teman baru. Pengalaman baru. Namun, apakah lantas aku melupakan hal yang telah berlalu? Tidak. Semakin aku berusaha lupa, semakin otakku getol mengingat.

Kemudian, dia datang. Dengan sejuta tawanya, sejuta harapannya, dan tatapannya yang menenangkan. Bercerita banyak. Soal masa kecilnya, sengsaranya hidup di pedesaan, sampai mengharuskannya merantau ke kota yang lebih besar, dan soal cita-citanya yang entah belum terpikirkan bagaimana cara meraihnya. Tapi ia tetap yakin dengan belajar baik, menjadi orang baik, selalu berbuat baik, akan membuat hidupnya lebih tenang. Damai. Walaupun tidak menjamin cita-citanya tercapai, dengan pikiran yang tenteram, mampu membuat logika otaknya jernih.

Dia pula yang mengajarkanku bahwa masa lalu jangan dilupakan. Karena memaksa otak untuk lupa, sama saja mempersilakan otak untuk mengingat dan terus memikirkan.

"Untuk melepas sesuatu, tak perlu ucapan selamat tinggal, apalagi lambaian tangan. Cukup siapkan hati untuk," dia berhenti sejenak. Pandangannya menerawang. Lantas tersenyum samar. Menghela napas, dan melanjutkan dengan suara selembut kapas, ".....menerima,"

Aku terhenyak. Merenungi kata-katanya.

Aku hanya perlu menerima. Hanya. Perlu. Menerima. Sampai aku mencoba menyentil masa laluku, dan menguarkannya berwujud komedi. Seluruh orang tertawa. Temanku bertambah. Kesibukanku bertambah. Sampai akhirnya aku benar-benar tidak merasa punya masa lalu sepahit yang aku rasa dulu. Kalimatnya sakti.

Lalu apa hubungannya dengan tempat ini? Mengapa dengan kesibukan yang bertubi-tubi, aku justru datang ke sini?

Aku merubah posisi tidurku yang tadi telentang, sekarang miring. Meringkuk. Memejamkan mata.

Dulu, aku datang ke sini, ketika sedang luka dan berdarah-darah. Mengutuk masa lalu. Merutuki semesta. Setiap detik terasa sesak. Sampai aku butuh sesuatu untuk menumpahkan segalanya. Dan di tempat ini, aku merasa punya ruang untuk menumpahkan seluruh keluhku. Mengurung diri di kamar berhari-hari. Menyesali diri. Mengumpat kepada takdir. Dan justru membuat Google+ menarik minat orang lain. Mengundang mereka untuk datang ke sini.

Kemudian aku pergi. Lama. Dan menemukan dia. Menyeretku ke banyak arus pergaulan berbagai status sosial. Mengajariku banyak hal baru. Pemahaman baru. Memberiku semangat untuk hidup.

Aku membuka mata. Mencoba tersenyum. Namun justru air mata yang keluar. Satu-dua menyusul. Kemudian menderas. Aku sesenggukan.

Dia kemarin datang dengan tawanya yang lebar seperti biasa. Mengajakku makan sambil membahas acara kami dalam suatu kegiatan organisasi yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku iya-iya saja, karena memang sudah rutinitas kami seperti itu. Tapi ternyata berbeda. Tengah asyik-asyiknya membaca susunan kegiatan, seseorang datang ke tempat duduk kami. Tersenyum lebar. Aku mendongak, menyipitkan mata. Tidak kenal. Tanpa diduga, dia bangkit dari duduknya. Aku menoleh cepat ke arahnya. Ia mengedipkan sebelah mata, menyuruhku berdiri.

Aku dan orang itu bersalaman dengan canggung. Duduk kembali dengan kikuk. Lantas dia menyuruh orang itu memesan makanan. Sambil orang itu membuka daftar menu, dia berbisik lirih di telingaku.

"Dia, calonku. Bagaimana? Aku yakin, kamu akan setuju,"

Aku terdiam cukup lama. Sampai makanan datang.

Aku berusaha keras membujuk kerongkongan untuk menelan. Mengutuk lidah yang tak dapat merasakan apa-apa.  Dan aku tidak kuat. Makananku belum habis, tapi aku merasa harus segera pergi dari situ.

Hatiku hancur.

Berkeping-keping dan berserakan.

Maka, di sinilah aku sekarang. Di rumah konglomerat bernama Google+, meringkuk di dalam kamar dengan paviliun bernama Blogging.

Aku mencoba membuka mata. Mengerjap beberapa kali, lantas membatin di sudut hati, ‘Penumbuh semangatku, pembunuh hatiku.

‘Dimanapun kamu berada sekarang, Selamat Malam. Semoga kamu tenang, baik-baik saja, dan bahagia.’



Jadi, aku harus mempersiapkan hati untuk...... melepas dia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini