"Kamu darimana saja, Arez? Sudah lama tidak datang ke sini. Kamu baik-baik, kan? Tidak
sakit?" Google+ memberondongku dengan pertanyaan, padahal kakiku baru
menginjak beranda. Aku tersenyum tipis.
"Aku
baik-baik saja," jawabku.
Google+ masih
menatapku cemas. Seperti tak yakin dengan jawabanku, Google+ menempelkan
tangannya di dahiku. Aku mengernyit.
"Oh,
syukurlah. Aku kira kamu demam," kata Google+ sambil menurunkan tangannya
dari dahiku. Sesaat kemudian, beliau tersenyum lebar. "Mari, mari masuk!
Aku punya suguhan baru untukmu!" ajaknya seraya mendorongku masuk.
Benar saja.
Saat aku memasuki rumahnya, aku terpukau. Jauh, jauh berbeda dari terakhir aku
menginjakkan kaki di sini. Meskipun selera Google+ masih sama, namun, benda-benda
yang dipilih untuk mengisi ruangan, membuat rumah ini selama sekian detik,
tidak aku kenali. Mungkin, karena pernak-pernik yang terpasang adalah sesuatu
yang lebih modern? Lebih baru?
Yang jelas,
benda-benda yang terpajang rapi di dinding maupun yang diletakkan di meja,
membuatku suka.
"Kamu mau
di sini, atau di kamarmu? Bukankah dulu, kaulebih suka berada di kamar?"
tanya Google+ mengejutkan lamunanku. Aku tergeragap, tersenyum, dengan separuh
pikiran yang masih takjub dengan perubahan ini. Melihatku, Google+ tersenyum,
mendorongku lagi untuk menuju kamarku.
Sampai di
kamar, Google+ memaksaku untuk terperangah yang kedua kali. Takjub
berkali-kali. Beliau mengubah kamarku, tanpa mengubah tata letak
barang-barangku. Tulisan-tulisanku yang biasanya hanya bertebaran dalam kamar,
sekarang rapi tertata di sudut kamar. Referensi-referensi dari orang-orang yang
karyanya bagus, juga memenuhi sudut ruang. Koleksi foto hanya beberapa, yang
aku tahu, foto itu lebih banyak dari Google+. Di sini, aku tidak banyak
menyimpan foto. Pun aku tidak begitu hobi berfoto.
Aku menghela
napas.
Berada di sini,
membuatku merasakan 'pulang'. Lantas aku tersenyum perih. Beberapa saat lagi,
aku akan pergi dari sini. Entah untuk berapa lama, dan entah kapan aku sempat
kembali ke sini.
"Kau
kenapa lagi?" Google+ bertanya dengan nada prihatin, melihatku yang
tertunduk dalam. Aku mendongak, menatap wajah tuanya. Mencoba tersenyum.
Google+ mengerti. Beliau mengangguk-angguk. Tersenyum mafhum. "Bahkan di
sini, kamu belum mendapat banyak teman. Padahal, asal kamu tahu, banyak anak
baru yang ingin bertemu denganmu. Tapi justru kamu seperti siluman. Terkadang
terlihat, lebih sering hilang," Google+ mencoba bergurau.
Aku tidak
tertawa. Justru memeluknya erat. "Maafkan aku. Tapi aku memang harus
pergi. Aku janji, aku tidak akan melupakan tempat ini. Di sini, seluruh kisah
itu tertampung dengan baik. Aku sangat berterima kasih padamu,"
Google+
menepuk-nepuk punggungku. "Sama-sama. Aku juga berterima kasih padamu.
Karena, sebelum rumahku seperti ini, kamu telah setia berada di sini. Menulis
banyak cerita. Mengundang banyak perhatian. Meskipun hati teriris sakit, tapi
kamu tetap menulis. tetap menghasilkan karya. Aku salut padamu, Arez,"
Kami berpelukan
agak lama. Tanpa sadar, aku meneteskan air mata.
"Aku
janji, akan terus berinovasi tentang rumah ini. Jadi, kelak, jika kau datang
kembali, kau akan terkesan sekali lagi. Aku janji," Google+ melepas
pelukan. Tersenyum menatap wajahku. Aku menyeka air mata. "Oh, ya, ya. Kau
pasti butuh istirahat. Silakan, silakan istirahat. Bahkan, jika kau sering
menginap seperti dulu, aku sangat bersenang hati,"
Aku tersenyum
tipis. Mengangguk. "Terima kasih,"
Google+
mengangguk-angguk. Menghela napas panjang, kemudian meninggalkanku sendirian di
kamar yang masih membuatku takjub. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Seluruh benda yang terpasang adalah baru. Namun, tata letak dan benda-benda
yang tersimpan, masih milikku. Yang dulu.
Aku menghela
napas. Merebahkan diri di kasur yang terasa lebih nyaman. Pertanyaan dari
Google+ kembali terngiang-ngiang.
'Kemana saja
selama ini?'
Ya, kemana saja
aku selama ini? Mencari suasana baru? Kehidupan baru? Demi melupakan yang dulu?
Ya, aku
mendapat suasana baru. Teman baru. Pengalaman baru. Namun, apakah lantas aku
melupakan hal yang telah berlalu? Tidak. Semakin aku berusaha lupa, semakin
otakku getol mengingat.
Kemudian, dia
datang. Dengan sejuta tawanya, sejuta harapannya, dan tatapannya yang
menenangkan. Bercerita banyak. Soal masa kecilnya, sengsaranya hidup di
pedesaan, sampai mengharuskannya merantau ke kota yang lebih besar, dan soal
cita-citanya yang entah belum terpikirkan bagaimana cara meraihnya. Tapi ia
tetap yakin dengan belajar baik, menjadi orang baik, selalu berbuat baik, akan
membuat hidupnya lebih tenang. Damai. Walaupun tidak menjamin cita-citanya
tercapai, dengan pikiran yang tenteram, mampu membuat logika otaknya jernih.
Dia pula yang
mengajarkanku bahwa masa lalu jangan dilupakan. Karena memaksa otak untuk lupa,
sama saja mempersilakan otak untuk mengingat dan terus memikirkan.
"Untuk
melepas sesuatu, tak perlu ucapan selamat tinggal, apalagi lambaian tangan.
Cukup siapkan hati untuk," dia berhenti sejenak. Pandangannya menerawang.
Lantas tersenyum samar. Menghela napas, dan melanjutkan dengan suara selembut
kapas, ".....menerima,"
Aku terhenyak.
Merenungi kata-katanya.
Aku hanya perlu
menerima. Hanya. Perlu. Menerima. Sampai aku mencoba menyentil masa laluku, dan
menguarkannya berwujud komedi. Seluruh orang tertawa. Temanku bertambah.
Kesibukanku bertambah. Sampai akhirnya aku benar-benar tidak merasa punya masa
lalu sepahit yang aku rasa dulu. Kalimatnya sakti.
Lalu apa
hubungannya dengan tempat ini? Mengapa dengan kesibukan yang bertubi-tubi, aku
justru datang ke sini?
Aku merubah
posisi tidurku yang tadi telentang, sekarang miring. Meringkuk. Memejamkan
mata.
Dulu, aku
datang ke sini, ketika sedang luka dan berdarah-darah. Mengutuk masa lalu.
Merutuki semesta. Setiap detik terasa sesak. Sampai aku butuh sesuatu untuk
menumpahkan segalanya. Dan di tempat ini, aku merasa punya ruang untuk
menumpahkan seluruh keluhku. Mengurung diri di kamar berhari-hari. Menyesali
diri. Mengumpat kepada takdir. Dan justru membuat Google+ menarik minat orang
lain. Mengundang mereka untuk datang ke sini.
Kemudian aku
pergi. Lama. Dan menemukan dia. Menyeretku ke banyak arus pergaulan berbagai
status sosial. Mengajariku banyak hal baru. Pemahaman baru. Memberiku semangat
untuk hidup.
Aku membuka
mata. Mencoba tersenyum. Namun justru air mata yang keluar. Satu-dua menyusul.
Kemudian menderas. Aku sesenggukan.
Dia kemarin
datang dengan tawanya yang lebar seperti biasa. Mengajakku makan sambil
membahas acara kami dalam suatu kegiatan organisasi yang akan diselenggarakan
minggu depan. Aku iya-iya saja, karena memang sudah rutinitas kami seperti itu.
Tapi ternyata berbeda. Tengah asyik-asyiknya membaca susunan kegiatan,
seseorang datang ke tempat duduk kami. Tersenyum lebar. Aku mendongak,
menyipitkan mata. Tidak kenal. Tanpa diduga, dia bangkit dari duduknya. Aku
menoleh cepat ke arahnya. Ia mengedipkan sebelah mata, menyuruhku berdiri.
Aku dan orang
itu bersalaman dengan canggung. Duduk kembali dengan kikuk. Lantas dia menyuruh
orang itu memesan makanan. Sambil orang itu membuka daftar menu, dia berbisik
lirih di telingaku.
"Dia,
calonku. Bagaimana? Aku yakin, kamu akan setuju,"
Aku terdiam
cukup lama. Sampai makanan datang.
Aku berusaha
keras membujuk kerongkongan untuk menelan. Mengutuk lidah yang tak dapat
merasakan apa-apa. Dan aku tidak kuat.
Makananku belum habis, tapi aku merasa harus segera pergi dari situ.
Hatiku hancur.
Berkeping-keping
dan berserakan.
Maka, di sinilah
aku sekarang. Di rumah konglomerat bernama Google+, meringkuk di dalam kamar
dengan paviliun bernama Blogging.
Aku mencoba
membuka mata. Mengerjap beberapa kali, lantas membatin di sudut hati, ‘Penumbuh
semangatku, pembunuh hatiku.
‘Dimanapun kamu
berada sekarang, Selamat Malam. Semoga kamu tenang, baik-baik saja, dan
bahagia.’
Jadi, aku harus mempersiapkan hati untuk...... melepas dia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar