Akhirnya dia
benar-benar datang. Tersenyum lebar sambil menenteng tas. Wajahnya terlihat
segar habis mandi. Dan benar saja. Aroma wangi yang aku tahu bukan produk
parfum, menyambut hidungku saat dia mendekat. Dia masih seperti dulu. Ramah dan
murah senyum.
Kemarin dia bilang akan pulang. Dan
jika sempat, dia akan ke sini untuk membantuku belajar. Maka, seperti yang
dulu-dulu. Aku akan menyiapkan ribuan pertanyaan, agar dia berbicara
banyak-banyak. Juga, agar dia lebih lama duduk di sampingku. Berpura-pura tidak
tahu, maka, ia akan menjelaskan banyak hal. Membicarakan sesuatu yang
kutanyakan, dengan selingan canda. Diiringi gestur tangannya demi mempermudahku
untuk mengerti. Dan aku selalu menyukai itu. Terkadang, aku bertanya lagi, lalu
dia menggaruk kepala sebentar—memikirkan cara lain untuk menerangkan.
Beberapa malam kemarin, aku dan dia
sempat membicarakan memori itu. Dan intuisiku bilang, mungkin, di kamar
indekosnya sana, dia ikut tertawa mengenang peristiwa itu. Saat aku masih buta
soal perlapisan tanah dan batuan. Maka, waktu itu, aku benar-benar bertanya
hal-hal yang tidak aku tahu. Yang ternyata mengakibatkan diriku kecanduan untuk
mendengar suaranya ketika menjawab pertanyaanku dengan sabar. Lantas, aku mulai
menumpuk pertanyaan. Menyiapkan ratusan hingga ribuan, demi mendengar suaranya
saat memecahkan tanda tanya di kepalaku—dan suara itu, selalu menyejukkan
indera pendengaranku.
Dia tidak pernah tahu, bahwa aku
sempat menyalahkan program pendidikan menengah atas yang hanya tiga tahun. Aku
berharap ada tahun tambahan, agar dia lebih lama berada di sini. Agar aku punya
kesempatan untuk bertemu dengannya. Walaupun akhirnya aku sadar, hal ini
hanyalah keegoisan gadis remaja tanggung yang sedang terkena zat adiktif
seorang pemuda yang terkenal ramah dan murah senyum.
Ehm,
sebenarnya, aku pernah mengutarakan hal ini. Tapi dia hanya tertawa. Menganggap
apa yang aku bicarakan sebatas lelucon. Dia tidak pernah tahu bahwa aku serius.
Dia tidak pernah tahu bahwa gadis remaja yang sering menghabiskan sore
dengannya sambil mengamati batuan mineral, ternyata telah menumbuhkan suatu
perasaan yang bahkan tidak tahu namanya apa. Yang jelas, jika bersama dia,
perasaan ini menyenangkan. Sayangnya, jika dia tidak ada, perasaan ini berubah
menjengkelkan.
Semakin
menjengkelkan lagi, ketika dia mulai sibuk mempersiapkan ujian akhir. Dia tak
lagi membantuku belajar. Meskipun via chatting masih sering mengudara di
malam hari menjelang tidur, tapi aku merasa, hal itu tak pernah mengusir
perasaan menjengkelkan ini jauh-jauh. Selalu tersisa. Dan aku tahu, penuntasnya
hanyalah: pertemuan. Tapi aku juga tahu, dia sedang mempersiapkan masa depan.
Sesuatu yang sangat tidak perlu aku ikut campuri. Maka, secara teratur, aku
mempersilakannya untuk berkonsentrasi terhadap pilihan universitas dan jurusan.
Menghilang sebentar dari kehidupannya, agar dia benar-benar fokus demi masa
depannya.
Beberapa
bulan kemudian, kabar bahagia itu datang. Dia diterima di universitas favorit,
di jurusan yang dia inginkan—melalui jalur undangan pula. Aku sempat
mengucapkannya selamat. Selamat karena usahanya tidak sia-sia, serta selamat
berjuang menghadapi ospek. Dia tertawa dengan ucapan selamat yang kedua.
Walaupun hanya melalui pesan teks, tapi intuisiku waktu itu bilang, dia di sana
juga tertawa. Karena hanya segelintir orang yang diterima di jurusan yang
dicita-citakan, universitas ternama, dan jalur undangan. Dia termasuk orang
beruntung.
Sayangnya,
kebahagiaan itu, cepat lenyap dari hadapanku. Dia semakin sibuk. Seolah
menghilang dari peredaran. Menjawab pertanyaanku di chatting secara
singkat, dan terkesan ‘selagi sempat’. Lebih sering lagi, dia tak membalas
pesanku. Dan perasaan menjengkelkan itu datang lagi. Lebih besar dan lebih
hebat. Dan aku mengalihkan perasaan itu dengan belajar mati-matian soal bumi.
Sesuatu yang dulu hampir setiap hari kami bicarakan. Agar aku dapat diterima di
universitas yang sama, dan jurusan yang sama dengannya. Agar aku dan dia dapat
sering bertemu seperti dulu.
Namun
ternyata, lama-kelamaan, aku justru jatuh cinta dengan bumi. Bukan lagi soal
perasaan menjengkelkan itu. Tapi ini murni. Aku menyukai tempat berpijak
manusia yang ternyata terdiri dari banyak lapisan. Aku belajar sendirian.
Sesekali mengingat suaranya yang selalu menyejukkan pendengaran. Lebih sering mengingat
gerakan tangannya untuk memvisualisasikan sesuatu.
Lalu
minggu-minggu akhir ini, aku cerita padanya, bahwa aku akan mewakili sekolah
dalam olimpiade. Tak seperti biasanya, dia membalas pesanku cepat. Entah karena
waktunya sedang longgar, atau memang dia benar-benar antusias. Kali ini, aku memilih
mengabaikan intuisiku. Aku memilih mengecilkan harapanku. Agar perasaan
menjengkelkan itu tak lagi menguasaiku. Agar tidak sesakit dulu.
Sampai
akhirnya dia bilang, dia akan pulang dan akan menyempatkan diri untuk
membantuku belajar. Dan ternyata dia benar-benar datang. Sore ini. Aku sedikit
mengerutkan kening saat dia tiba. Entah karena bajunya, atau perasaanku saja,
tubuhnya lebih berisi dibanding dulu. Meskipun semuanya masih tampak sama.
Senyum lebar itu. Suara menyejukkan itu. Masih jadi yang nomor satu.
Gambar diambil via gambardp2015.blogspot.com |
Dia
baru berjalan sampai ambang pintu, aku langsung menyambutnya. Ikut tersenyum
lebar, lalu mengulurkan tangan untuk berjabat. Sayangnya aku justru terkejut.
Senyum lebarku menghilang. Dia tak membalas uluran tanganku. Malah menangkupkan
kedua belah tangan di depan dada, dengan sedikit menundukkan kepala. Aku
mengikuti gerakannya—sedikit menundukkan kepala—dengan canggung. Senyumku berubah kikuk.
Atmosfer
perubahan itu semakin terasa. Jika dulu dia duduk di sampingku, kali ini ia
memilih di depanku. Meskipun sekecil itu perbedaannya, tapi aku tetap merasa,
ada sesuatu yang besar di dalam dirinya yang berubah. Menggerakkan seluruh
sendi tubuhnya. Mengubah semuanya.
Dan
aku mengaku salah, jika berpikir bahwa dia masih sama. Dia telah banyak berubah. Tutur katanya jadi lebih halus.
Meskipun senyumnya masih sama. Cara dia menjelaskan pun juga masih sama.
Diikuti gerakan tangan dan selingan canda. Tapi dia benar-benar berubah:
menciptakan jarak.
Aku
menelan ludah. Sedari dulu pun, kami sudah berjarak. Sesuatu yang aku inginkan,
sama sekali tidak ada dalam pikirannya. Sesuatu yang membuat kami tak pernah
bertemu di Jum’at siang dan Minggu pagi. Sesuatu yang harusnya aku tanamkan
dalam otak, bahwa aku dan dia, tak mungkin bersatu seperti yang aku harapkan.
Karena dia, pria paling religius yang pernah aku temui. Tak mungkin
menggadaikan kepercayaannya, demi gadis remaja tanggung yang masih menyukai ritual tukar kado di dekat pohon cemara berbintang di ujungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar