Minggu, 31 Januari 2016

Intuisi



Akhirnya dia benar-benar datang. Tersenyum lebar sambil menenteng tas. Wajahnya terlihat segar habis mandi. Dan benar saja. Aroma wangi yang aku tahu bukan produk parfum, menyambut hidungku saat dia mendekat. Dia masih seperti dulu. Ramah dan murah senyum.
             
Kemarin dia bilang akan pulang. Dan jika sempat, dia akan ke sini untuk membantuku belajar. Maka, seperti yang dulu-dulu. Aku akan menyiapkan ribuan pertanyaan, agar dia berbicara banyak-banyak. Juga, agar dia lebih lama duduk di sampingku. Berpura-pura tidak tahu, maka, ia akan menjelaskan banyak hal. Membicarakan sesuatu yang kutanyakan, dengan selingan canda. Diiringi gestur tangannya demi mempermudahku untuk mengerti. Dan aku selalu menyukai itu. Terkadang, aku bertanya lagi, lalu dia menggaruk kepala sebentar—memikirkan cara lain untuk menerangkan.
            
 Beberapa malam kemarin, aku dan dia sempat membicarakan memori itu. Dan intuisiku bilang, mungkin, di kamar indekosnya sana, dia ikut tertawa mengenang peristiwa itu. Saat aku masih buta soal perlapisan tanah dan batuan. Maka, waktu itu, aku benar-benar bertanya hal-hal yang tidak aku tahu. Yang ternyata mengakibatkan diriku kecanduan untuk mendengar suaranya ketika menjawab pertanyaanku dengan sabar. Lantas, aku mulai menumpuk pertanyaan. Menyiapkan ratusan hingga ribuan, demi mendengar suaranya saat memecahkan tanda tanya di kepalaku—dan suara itu, selalu menyejukkan indera pendengaranku.
            
 Dia tidak pernah tahu, bahwa aku sempat menyalahkan program pendidikan menengah atas yang hanya tiga tahun. Aku berharap ada tahun tambahan, agar dia lebih lama berada di sini. Agar aku punya kesempatan untuk bertemu dengannya. Walaupun akhirnya aku sadar, hal ini hanyalah keegoisan gadis remaja tanggung yang sedang terkena zat adiktif seorang pemuda yang terkenal ramah dan murah senyum.

Ehm, sebenarnya, aku pernah mengutarakan hal ini. Tapi dia hanya tertawa. Menganggap apa yang aku bicarakan sebatas lelucon. Dia tidak pernah tahu bahwa aku serius. Dia tidak pernah tahu bahwa gadis remaja yang sering menghabiskan sore dengannya sambil mengamati batuan mineral, ternyata telah menumbuhkan suatu perasaan yang bahkan tidak tahu namanya apa. Yang jelas, jika bersama dia, perasaan ini menyenangkan. Sayangnya, jika dia tidak ada, perasaan ini berubah menjengkelkan.

Semakin menjengkelkan lagi, ketika dia mulai sibuk mempersiapkan ujian akhir. Dia tak lagi membantuku belajar. Meskipun via chatting masih sering mengudara di malam hari menjelang tidur, tapi aku merasa, hal itu tak pernah mengusir perasaan menjengkelkan ini jauh-jauh. Selalu tersisa. Dan aku tahu, penuntasnya hanyalah: pertemuan. Tapi aku juga tahu, dia sedang mempersiapkan masa depan. Sesuatu yang sangat tidak perlu aku ikut campuri. Maka, secara teratur, aku mempersilakannya untuk berkonsentrasi terhadap pilihan universitas dan jurusan. Menghilang sebentar dari kehidupannya, agar dia benar-benar fokus demi masa depannya.

Beberapa bulan kemudian, kabar bahagia itu datang. Dia diterima di universitas favorit, di jurusan yang dia inginkan—melalui jalur undangan pula. Aku sempat mengucapkannya selamat. Selamat karena usahanya tidak sia-sia, serta selamat berjuang menghadapi ospek. Dia tertawa dengan ucapan selamat yang kedua. Walaupun hanya melalui pesan teks, tapi intuisiku waktu itu bilang, dia di sana juga tertawa. Karena hanya segelintir orang yang diterima di jurusan yang dicita-citakan, universitas ternama, dan jalur undangan. Dia termasuk orang beruntung.

Sayangnya, kebahagiaan itu, cepat lenyap dari hadapanku. Dia semakin sibuk. Seolah menghilang dari peredaran. Menjawab pertanyaanku di chatting secara singkat, dan terkesan ‘selagi sempat’. Lebih sering lagi, dia tak membalas pesanku. Dan perasaan menjengkelkan itu datang lagi. Lebih besar dan lebih hebat. Dan aku mengalihkan perasaan itu dengan belajar mati-matian soal bumi. Sesuatu yang dulu hampir setiap hari kami bicarakan. Agar aku dapat diterima di universitas yang sama, dan jurusan yang sama dengannya. Agar aku dan dia dapat sering bertemu seperti dulu.

Namun ternyata, lama-kelamaan, aku justru jatuh cinta dengan bumi. Bukan lagi soal perasaan menjengkelkan itu. Tapi ini murni. Aku menyukai tempat berpijak manusia yang ternyata terdiri dari banyak lapisan. Aku belajar sendirian. Sesekali mengingat suaranya yang selalu menyejukkan pendengaran. Lebih sering mengingat gerakan tangannya untuk memvisualisasikan sesuatu.

Lalu minggu-minggu akhir ini, aku cerita padanya, bahwa aku akan mewakili sekolah dalam olimpiade. Tak seperti biasanya, dia membalas pesanku cepat. Entah karena waktunya sedang longgar, atau memang dia benar-benar antusias. Kali ini, aku memilih mengabaikan intuisiku. Aku memilih mengecilkan harapanku. Agar perasaan menjengkelkan itu tak lagi menguasaiku. Agar tidak sesakit dulu.

Sampai akhirnya dia bilang, dia akan pulang dan akan menyempatkan diri untuk membantuku belajar. Dan ternyata dia benar-benar datang. Sore ini. Aku sedikit mengerutkan kening saat dia tiba. Entah karena bajunya, atau perasaanku saja, tubuhnya lebih berisi dibanding dulu. Meskipun semuanya masih tampak sama. Senyum lebar itu. Suara menyejukkan itu. Masih jadi yang nomor satu.
 
Gambar diambil via gambardp2015.blogspot.com
Dia baru berjalan sampai ambang pintu, aku langsung menyambutnya. Ikut tersenyum lebar, lalu mengulurkan tangan untuk berjabat. Sayangnya aku justru terkejut. Senyum lebarku menghilang. Dia tak membalas uluran tanganku. Malah menangkupkan kedua belah tangan di depan dada, dengan sedikit menundukkan kepala. Aku mengikuti gerakannya—sedikit menundukkan kepala—dengan  canggung. Senyumku berubah kikuk.

Atmosfer perubahan itu semakin terasa. Jika dulu dia duduk di sampingku, kali ini ia memilih di depanku. Meskipun sekecil itu perbedaannya, tapi aku tetap merasa, ada sesuatu yang besar di dalam dirinya yang berubah. Menggerakkan seluruh sendi tubuhnya. Mengubah semuanya.

Dan aku mengaku salah, jika berpikir bahwa dia masih sama. Dia telah banyak  berubah. Tutur katanya jadi lebih halus. Meskipun senyumnya masih sama. Cara dia menjelaskan pun juga masih sama. Diikuti gerakan tangan dan selingan canda. Tapi dia benar-benar berubah: menciptakan jarak.

Aku menelan ludah. Sedari dulu pun, kami sudah berjarak. Sesuatu yang aku inginkan, sama sekali tidak ada dalam pikirannya. Sesuatu yang membuat kami tak pernah bertemu di Jum’at siang dan Minggu pagi. Sesuatu yang harusnya aku tanamkan dalam otak, bahwa aku dan dia, tak mungkin bersatu seperti yang aku harapkan. Karena dia, pria paling religius yang pernah aku temui. Tak mungkin menggadaikan kepercayaannya, demi gadis remaja tanggung yang masih menyukai ritual tukar kado di dekat pohon cemara berbintang di ujungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini