Harusnya ini
jadi sore yang membahagiakan. Aku sudah memperhitungkannya semenjak kita masih
berbagi meja. Ketika kamu disuruh memilih nomor punggung untuk pertandingan
sepak bola antar kelas, sore ini. Aku segera menghitung kalender, kurang berapa
minggu setelah hari itu. Apalagi, kamu menyebut nomor punggung pemain bola
favoritku. Kamu memilih nomor itu, membuatku kian bersemangat menunggu sore
ini. Aku harus berfoto denganmu yang memakai nomor itu. Harus. Sebagai teman
sebangku, tentu saja.
Tapi sepertinya hal itu berantakan.
Beberapa hari mendekati pertandingan, kamu justru menjauh. Karena pengakuan
tempo hari. Ketika aku baru tahu ternyata kamu tahu. Tentang perasaan itu.
Tentang sesuatu yang aku sendiri masih ragu. Saat kamu berkata ‘Sebaiknya,
jangan’ lalu mengambil tas dan memindahnya. Mengganti teman sebangku sekenanya.
Egois. Tak peduli. Tak lagi berbagi meja.
Aku berusaha baik-baik saja karena
jarak yang sengaja kaucipta. Tak lagi meminjam alat tulisku, dan tak ada lagi
tangan yang bersaling-silang karena mengambil benda di sampingku atau
sampingmu. Toh, teman sebangkuku kali ini sama asyiknya denganmu. Yang hampir
tak pernah keluar ketika istirahat tiba—memilih gadget daripada kantin.
Yang jarang menyalin tugas teman. Jadi, sejauh ini, aku baik-baik saja. Apalagi
tak ada teman yang tahu tentang peristiwa kita tempo hari. Hanya menanyakan
alasanmu pindah, dan kamu Cuma tersenyum-senyum tak menjawab. Sebagai Tuan
Egois, tak ada yang ingin menanyakan padamu lebih lanjut. Tak ada yang ingin
mempermasalahkan.
Kamu masih seperti biasa jika kita
sedang berbaur bersama teman-teman. Menganggapku seperti teman lain. Main
kartu, monopoli, atau ke kantin bersama. Benar-benar ‘seperti’ tak ada masalah.
Tapi nyatanya, ketika kita hanya berdua, kamu menjadi dingin. Tidak menampakkan
sisi cuek, justru lebih sensitif. Menciptakan tembok tinggi yang dingin bagai
es untuk menegaskan jarak. Untuk mengatakan bahwa kita: TEMAN.
Aku mulai berhitung lebih hati-hati.
Tak hanya menghitung hari menjelang pertandingan sore ini, tapi juga berhitung
kemungkinan. Biasanya, usai pertandingan, akan ada pengambilan foto bersama.
Mungkin, beberapa akan mengambil foto sendiri, atau berdua, mungkin juga
bertiga. Maka, aku harus menggunakan kesempatan itu untuk mengambil foto kita.
Kamu tak mungkin menolak. Kamu pasti akan bersikap biasa, karena banyak orang.
Kamu pasti hanya menganggapku teman biasa. Dan tak ada alasan kuat bagimu untuk
menghindar. Karena jika kamu menghindar, tentu saja akan banyak pertanyaan,
yang aku yakin, kamu tak sanggup menjawab.
Dan ternyata bodoh, aku punya
keyakinan itu.
***
Sore yang sempurna untuk menonton
sepak bola. Mendung tanpa hujan. Aku sebagai salah satu panitia pertandingan,
bertugas jadi anak bola. Mengambil bola di sisi lapangan. Sembari menonton,
tanpa boleh berteriak karena panitia harus netral. Tersenyum mendapatimu
memakai jersey dengan nomor punggung pemain bola favoritku. Mengukuhkan
niatku untuk mengambil foto kita. Sepele, dan terlalu sederhana keinginanku
sore ini. Tapi ini sudah benar-benar bulat. Bisa saja ini satu-satunya
kesempatan, karena setelah ini adalah libur panjang. Kita tak mungkin bertemu.
Bahkan
siapa tahu, dapat mencairkan hubungan kita yang terlanjur kaku.
Apakah kamu merasa nyaman-nyaman
saja dengan seseorang yang dulu sangat akrab denganmu, tapi sekarang, saling sapa
pun jadi ragu?Hm?
Selesai pemanasan dan segala
tetek-bengek lainnya, akhirnya wasit meniup peluit tanda mulai pertandingan.
Kamu tidak dimainkan, entah kenapa. Duduk-duduk di tempat yang disediakan
khusus untuk official bersama pemain cadangan lain. Meneriaki temanmu
yang bermain di lapangan. Ikut berteriak kesal jika salah umpan atau meleset
penguasaan bola. Di menit-menit awal, pertandingan berjalan datar. Jual beli
serangan. Sama-sama bisa menyerang, juga sama-sama dapat mematahkan.
Salah satu teman kita yang bertugas
sebagai official sekaligus ahli strategi, menyusun rencana. Kamu diberi
arahan sebelum akhirnya diluncurkan ke medan laga. Mengisi posisi sayap kanan,
sesuai petunjuk teman kita yang ahli strategi. Mengubah formasi. Menjalankan
rencana B. Dan hal itu, membuat pertandingan sore ini lebih ‘hidup’.
Lima menit setelah kamu masuk, kamu
menciptakan gol. Sorak-sorai membahana di lapangan. Kamu selebrasi sebentar,
kemudian serius lagi bermain bola. Golmu barusan, menyuntikkan semangat
teman-teman. Berlari lebih cepat. Mengumpan lebih tangkas. Menguasai bola lebih
erat. Sayangnya, tim lawan juga sama-sama terpacu. Demi apapun, mereka merangsek
pertahanan. Dan selang tiga menit, gol balasan. Skor imbang 1-1.
Tim kita tak juga menyerah. Mengubah formasi
lagi. Menjalankan rencana C. Sektor sayap mendapat kesempatan menyerang lebih
taktis. Dan kembali membuahkan gol, tepat satu menit sebelum turun minum.
Tercipta dari kakimu. Sorak-sorai kembali berderai di lapangan. Kamu kembali
selebrasi dengan senyum lebih lebar. Teman-teman mulai meneriakkan namamu.
Membuatku ingin melepas label panitia, agar dapat sama-sama menggaungkan
namamu.
Skor 2-1. Wasit meniup peluit.
Setengah mainan.
***
Kulihat dari posisiku, kamu disambut
tepuk tangan bangga dari teman-teman di tempat official. Langsung
menyodorkan minum. Memberi ucapan kagum tak henti. Memuji-muji. Melebarkan
senyummu. Senyum yang membuatmu makin tampan. Senyum yang jarang kamu
perlihatkan.
10 menit beristirahat, babak kedua
dimulai. Tim lawan melakukan pergantian. Tiga pemain sekaligus. Pertandingan
pun dilanjutkan. Mendadak permainan berubah lebih cepat. Tim kita yang seolah
tak siap dengan perubahan mendadak, dapat terkuasai. Lini belakang lengah.
Dapat terobrak-abrik, kemudian gol. Skor imbang 2-2. Pertandingan makin seru.
Gerimis turun, membasuh lapangan.
Melihat teman-teman kebobolan, si ahli strategi kembali menjalankan
rencana lain. Ia mengganti pemain belakang, dengan pemain penyerang. Bertujuan
agar menambah daya gedor. Untuk dapat
mengungguli tim lawan. Supaya masuk final besok lusa. Tapi sayang sekali, ahli
strategi salah perhitungan. Tim kita justru makin keteteran menghadapi pemain
lawan. Kebingungan. Berantakan. Sering salah koordinasi. Membuahkan gol ketiga
bagi tim lawan. Skor 3-2. Gerimis makin deras. Lapangan semakin basah dan
licin.
Kamu terlihat belum patah arang.
Sesekali merangsek melalui sektor kanan. Namun selalu kandas ketika mengumpan
ke tengah. Selalu dapat terbaca oleh pemain belakang lawan. Bola berpindah
penguasaan dengan cepat. Serangan balik. Kembali merambah lini pertahanan kita
yang pincang. Dan menghasilkan gol keempat bagi tim lawan. Skor 4-2. Tim kita pias.
Di bawah hujan, terperangah. Salah strategi. Seluruh konsentrasi rusak total.
Dan malas untuk melanjutkan pertandingan. Ogah-ogahan mengoper bola.
Tim lawan mengendurkan serangan.
Sudah merasa aman dengan skor 4-2. Mendekati menit akhir, tiba-tiba kamu
menggencarkan serangan dari posisi kanan. Disambut baik oleh pemain tengah. Bek
lawan langsung berjaga. Ternyata itu hanya taktik. Mereka salah antisipasi,
karena bola kembali ke kakimu. Kamu berdiri bebas tanpa pengawalan di sisi kiri
gawang. Menyambar umpan dari temanmu, dan gol. Skor 4-3. Bertepatan peluit
wasit melengking. Pertandingan usai. Kamu hattrick, sayangnya tim kita
tetap kalah. Namun, sebagai Tuan Tak Peduli, kamu tetap saja bangga dengan tiga
gol yang seluruhnya tercipta dari kakimu. Tak peduli tim kita kalah. Tak peduli
tidak masuk final. Yang jelas, kamu man of the match dalam tim kita.
Dielu-elukan. Dipuja-puja dan dibanggakan. Seiring hujan mereda.
Aku bangkit dari posisiku di sisi
lapangan. Membenahi jas hujan, kemudian melepas patok-patok pembatas lapangan.
Memungut sampah-sampah. Sambil melirik ke arahmu yang tak henti-henti tersenyum
lebar. Kembali berhitung kesempatan agar dapat berfoto berdua.
Aku menghampiri temanku yang juga
panitia, yang membawa kantong sampah. Menyerahkan setumpuk sampah, dan kembali
memungut yang tersisa, di dekat tempat official. Gelas-gelas air mineral,
botol air mineral, berserakan.
“Eh, Jel!” panggil seseorang yang
membuatku menoleh. Memalingkan muka dari sampah-sampah.
“Hm?”
“Ini, fotoin ya,” pinta salah satu
teman official. Aku tersenyum, mengangguk, dan menerima ponsel yang ia
sodorkan padaku. Aku menatap manusia-manusia yang berjajar di depanku. Para
pemain beserta para pendukung. Dan tentu saja kamu yang berdiri di tengah. Tuan
Tak Peduli, man of the match dalam pertandingan sore ini, membuat hattrick.
Tiga kali potret dengan pose yang
berbeda. Semua tersenyum riang meskipun tak masuk final. Aku juga. Melihatmu
yang bermain bagus saja, sudah cukup. Maka, aku ingin mengabadikannya. Sebagai
bukti bahwa kita masih dapat dalam satu bingkai berdua. Bahwa kamu memakai
nomor punggung pemain bola favoritku. Bahwa sore ini, aku jadi saksi
kehebatanmu di lapangan.
Ketika aku kembali berhitung
kemungkinan, kamu menoleh padaku. Tersenyum seperti biasa. Senyum yang biasa
kamu lontarkan untuk seorang teman. Senyum yang dulu sering kamu sunggingkan
ketika ingin menyalin tugasku. Senyum jahil, sekaligus memohon. Lebih mirip
seringai. Lucu. Dan kini kurindukan.
“Jel,” panggilmu, “Fotoin ya,”
tersenyum sambil menyerahkan ponsel. Jantungku berdetak melebihi kecepatan
normal. Mengikuti tubuhmu yang menghilang di balik kerumunan official dan
pendukung tim kita yang tadi berfoto. Menyibak beberapa pemain yang juga
berfoto berdua atau bertiga. Berjalan menuju seseorang. Yang rambutnya
sedikit melewati bahu, lurus, warnanya sedikit merah. Tubuhnya lebih tinggi
dariku. Pipinya tembam, tapi dagunya tirus. Memakai baju abu-abu, dan celana
jeans biru. Masih memegang payung. Malu-malu, berdiri di sampingmu. Pipi
tembamnya bersemu.
“Fotoin ya, Jel. Sekali aja. Jangan
sampai blur tapi,” ucapmu masih dengan senyum lebar, “Eh, gak papa ding blur.
Foto beberapa kali juga nggak papa. Biar sampingan gini terus,” lanjutmu yang
langsung berbuah cubitan di lenganmu. Kamu tertawa. Gadis di sampingmu itu
makin merah pipinya.
“Oke. Satu... dua...” aku memberi
aba-aba, “Ti...ga....” dan satu gambar berisi pemuda tampan dan gadis cantik
tercetak dalam ponsel itu. Dengan background lapangan basah dan langit
mendung. Bagus dalam sekali potret. Cepat-cepat aku menyerahkan ponsel sambil
(berusaha) tersenyum.
“Makasih ya,” katamu ringan sambil
menerima ponsel. Aku mengangguk. Sekali lagi tersenyum. Kemudian
berlalu. Kaki dan tanganku bergetar. Tubuhku lemas. Jantungku serasa lari dari
tempatnya. Entah apa maksudmu. Dengan sikap tak pedulimu, kamu sok-sok an tak
mengerti perasaanku. Tapi kenapa kemarin kamu peduli? Menyarankanku agar tak
menyukaimu, lalu menjaga jarak.
Lantas
sekarang? Kamu pura-pura tidak mengerti, bahwa ada hati seseorang yang hancur
berkeping-keping.
Tak
Peduli, Egois, Penghancur Hati.
Ya,
benar, ini salahku yang mencintaimu. Menyuruhmu agar tetap tak peduli, tapi
nyatanya, ketidakpedulianmu sore ini cukup membuat diriku berantakan. Membuatku
kehilangan selera untuk mencintai siapa-siapa.
Gambar diambil via littleucrit.files.wordpress.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar