Rabu, 27 Januari 2016

Sebaiknya, Kamu Tetap (Tak) Peduli



Harusnya ini jadi sore yang membahagiakan. Aku sudah memperhitungkannya semenjak kita masih berbagi meja. Ketika kamu disuruh memilih nomor punggung untuk pertandingan sepak bola antar kelas, sore ini. Aku segera menghitung kalender, kurang berapa minggu setelah hari itu. Apalagi, kamu menyebut nomor punggung pemain bola favoritku. Kamu memilih nomor itu, membuatku kian bersemangat menunggu sore ini. Aku harus berfoto denganmu yang memakai nomor itu. Harus. Sebagai teman sebangku, tentu saja.
             
Tapi sepertinya hal itu berantakan. Beberapa hari mendekati pertandingan, kamu justru menjauh. Karena pengakuan tempo hari. Ketika aku baru tahu ternyata kamu tahu. Tentang perasaan itu. Tentang sesuatu yang aku sendiri masih ragu. Saat kamu berkata ‘Sebaiknya, jangan’ lalu mengambil tas dan memindahnya. Mengganti teman sebangku sekenanya. Egois. Tak peduli. Tak lagi berbagi meja.
            
 Aku berusaha baik-baik saja karena jarak yang sengaja kaucipta. Tak lagi meminjam alat tulisku, dan tak ada lagi tangan yang bersaling-silang karena mengambil benda di sampingku atau sampingmu. Toh, teman sebangkuku kali ini sama asyiknya denganmu. Yang hampir tak pernah keluar ketika istirahat tiba—memilih gadget daripada kantin. Yang jarang menyalin tugas teman. Jadi, sejauh ini, aku baik-baik saja. Apalagi tak ada teman yang tahu tentang peristiwa kita tempo hari. Hanya menanyakan alasanmu pindah, dan kamu Cuma tersenyum-senyum tak menjawab. Sebagai Tuan Egois, tak ada yang ingin menanyakan padamu lebih lanjut. Tak ada yang ingin mempermasalahkan.
            
 Kamu masih seperti biasa jika kita sedang berbaur bersama teman-teman. Menganggapku seperti teman lain. Main kartu, monopoli, atau ke kantin bersama. Benar-benar ‘seperti’ tak ada masalah. Tapi nyatanya, ketika kita hanya berdua, kamu menjadi dingin. Tidak menampakkan sisi cuek, justru lebih sensitif. Menciptakan tembok tinggi yang dingin bagai es untuk menegaskan jarak. Untuk mengatakan bahwa kita: TEMAN.
            
 Aku mulai berhitung lebih hati-hati. Tak hanya menghitung hari menjelang pertandingan sore ini, tapi juga berhitung kemungkinan. Biasanya, usai pertandingan, akan ada pengambilan foto bersama. Mungkin, beberapa akan mengambil foto sendiri, atau berdua, mungkin juga bertiga. Maka, aku harus menggunakan kesempatan itu untuk mengambil foto kita. Kamu tak mungkin menolak. Kamu pasti akan bersikap biasa, karena banyak orang. Kamu pasti hanya menganggapku teman biasa. Dan tak ada alasan kuat bagimu untuk menghindar. Karena jika kamu menghindar, tentu saja akan banyak pertanyaan, yang aku yakin, kamu tak sanggup menjawab.
            
 Dan ternyata bodoh, aku punya keyakinan itu.

***
             
Sore yang sempurna untuk menonton sepak bola. Mendung tanpa hujan. Aku sebagai salah satu panitia pertandingan, bertugas jadi anak bola. Mengambil bola di sisi lapangan. Sembari menonton, tanpa boleh berteriak karena panitia harus netral. Tersenyum mendapatimu memakai jersey dengan nomor punggung pemain bola favoritku. Mengukuhkan niatku untuk mengambil foto kita. Sepele, dan terlalu sederhana keinginanku sore ini. Tapi ini sudah benar-benar bulat. Bisa saja ini satu-satunya kesempatan, karena setelah ini adalah libur panjang. Kita tak mungkin bertemu.

Bahkan siapa tahu, dapat mencairkan hubungan kita yang terlanjur kaku.
        
 Apakah kamu merasa nyaman-nyaman saja dengan seseorang yang dulu sangat akrab denganmu, tapi sekarang, saling sapa pun jadi ragu?Hm?
            
 Selesai pemanasan dan segala tetek-bengek lainnya, akhirnya wasit meniup peluit tanda mulai pertandingan. Kamu tidak dimainkan, entah kenapa. Duduk-duduk di tempat yang disediakan khusus untuk official bersama pemain cadangan lain. Meneriaki temanmu yang bermain di lapangan. Ikut berteriak kesal jika salah umpan atau meleset penguasaan bola. Di menit-menit awal, pertandingan berjalan datar. Jual beli serangan. Sama-sama bisa menyerang, juga sama-sama dapat mematahkan.
             
Salah satu teman kita yang bertugas sebagai official sekaligus ahli strategi, menyusun rencana. Kamu diberi arahan sebelum akhirnya diluncurkan ke medan laga. Mengisi posisi sayap kanan, sesuai petunjuk teman kita yang ahli strategi. Mengubah formasi. Menjalankan rencana B. Dan hal itu, membuat pertandingan sore ini lebih ‘hidup’.
             
Lima menit setelah kamu masuk, kamu menciptakan gol. Sorak-sorai membahana di lapangan. Kamu selebrasi sebentar, kemudian serius lagi bermain bola. Golmu barusan, menyuntikkan semangat teman-teman. Berlari lebih cepat. Mengumpan lebih tangkas. Menguasai bola lebih erat. Sayangnya, tim lawan juga sama-sama terpacu. Demi apapun, mereka merangsek pertahanan. Dan selang tiga menit, gol balasan. Skor imbang 1-1.
             
 Tim kita tak juga menyerah. Mengubah formasi lagi. Menjalankan rencana C. Sektor sayap mendapat kesempatan menyerang lebih taktis. Dan kembali membuahkan gol, tepat satu menit sebelum turun minum. Tercipta dari kakimu. Sorak-sorai kembali berderai di lapangan. Kamu kembali selebrasi dengan senyum lebih lebar. Teman-teman mulai meneriakkan namamu. Membuatku ingin melepas label panitia, agar dapat sama-sama menggaungkan namamu.
             
Skor 2-1. Wasit meniup peluit. Setengah mainan.

***

            Kulihat dari posisiku, kamu disambut tepuk tangan bangga dari teman-teman di tempat official. Langsung menyodorkan minum. Memberi ucapan kagum tak henti. Memuji-muji. Melebarkan senyummu. Senyum yang membuatmu makin tampan. Senyum yang jarang kamu perlihatkan.
            
 10 menit beristirahat, babak kedua dimulai. Tim lawan melakukan pergantian. Tiga pemain sekaligus. Pertandingan pun dilanjutkan. Mendadak permainan berubah lebih cepat. Tim kita yang seolah tak siap dengan perubahan mendadak, dapat terkuasai. Lini belakang lengah. Dapat terobrak-abrik, kemudian gol. Skor imbang 2-2. Pertandingan makin seru. Gerimis turun, membasuh lapangan.
              
 Melihat teman-teman kebobolan, si ahli strategi kembali menjalankan rencana lain. Ia mengganti pemain belakang, dengan pemain penyerang. Bertujuan agar menambah daya gedor. Untuk  dapat mengungguli tim lawan. Supaya masuk final besok lusa. Tapi sayang sekali, ahli strategi salah perhitungan. Tim kita justru makin keteteran menghadapi pemain lawan. Kebingungan. Berantakan. Sering salah koordinasi. Membuahkan gol ketiga bagi tim lawan. Skor 3-2. Gerimis makin deras. Lapangan semakin basah dan licin.
            
 Kamu terlihat belum patah arang. Sesekali merangsek melalui sektor kanan. Namun selalu kandas ketika mengumpan ke tengah. Selalu dapat terbaca oleh pemain belakang lawan. Bola berpindah penguasaan dengan cepat. Serangan balik. Kembali merambah lini pertahanan kita yang pincang. Dan menghasilkan gol keempat bagi tim lawan. Skor 4-2. Tim kita pias. Di bawah hujan, terperangah. Salah strategi. Seluruh konsentrasi rusak total. Dan malas untuk melanjutkan pertandingan. Ogah-ogahan mengoper bola.
            
 Tim lawan mengendurkan serangan. Sudah merasa aman dengan skor 4-2. Mendekati menit akhir, tiba-tiba kamu menggencarkan serangan dari posisi kanan. Disambut baik oleh pemain tengah. Bek lawan langsung berjaga. Ternyata itu hanya taktik. Mereka salah antisipasi, karena bola kembali ke kakimu. Kamu berdiri bebas tanpa pengawalan di sisi kiri gawang. Menyambar umpan dari temanmu, dan gol. Skor 4-3. Bertepatan peluit wasit melengking. Pertandingan usai. Kamu hattrick, sayangnya tim kita tetap kalah. Namun, sebagai Tuan Tak Peduli, kamu tetap saja bangga dengan tiga gol yang seluruhnya tercipta dari kakimu. Tak peduli tim kita kalah. Tak peduli tidak masuk final. Yang jelas, kamu man of the match dalam tim kita. Dielu-elukan. Dipuja-puja dan dibanggakan. Seiring hujan mereda.
            
 Aku bangkit dari posisiku di sisi lapangan. Membenahi jas hujan, kemudian melepas patok-patok pembatas lapangan. Memungut sampah-sampah. Sambil melirik ke arahmu yang tak henti-henti tersenyum lebar. Kembali berhitung kesempatan agar dapat berfoto berdua.
            
 Aku menghampiri temanku yang juga panitia, yang membawa kantong sampah. Menyerahkan setumpuk sampah, dan kembali memungut yang tersisa, di dekat tempat official. Gelas-gelas air mineral, botol air mineral, berserakan.
            
 “Eh, Jel!” panggil seseorang yang membuatku menoleh. Memalingkan muka dari sampah-sampah.
            
 “Hm?”

  “Ini, fotoin ya,” pinta salah satu teman official. Aku tersenyum, mengangguk, dan menerima ponsel yang ia sodorkan padaku. Aku menatap manusia-manusia yang berjajar di depanku. Para pemain beserta para pendukung. Dan tentu saja kamu yang berdiri di tengah. Tuan Tak Peduli, man of the match dalam pertandingan sore ini,  membuat hattrick.
             
Tiga kali potret dengan pose yang berbeda. Semua tersenyum riang meskipun tak masuk final. Aku juga. Melihatmu yang bermain bagus saja, sudah cukup. Maka, aku ingin mengabadikannya. Sebagai bukti bahwa kita masih dapat dalam satu bingkai berdua. Bahwa kamu memakai nomor punggung pemain bola favoritku. Bahwa sore ini, aku jadi saksi kehebatanmu di lapangan.
             
Ketika aku kembali berhitung kemungkinan, kamu menoleh padaku. Tersenyum seperti biasa. Senyum yang biasa kamu lontarkan untuk seorang teman. Senyum yang dulu sering kamu sunggingkan ketika ingin menyalin tugasku. Senyum jahil, sekaligus memohon. Lebih mirip seringai. Lucu. Dan kini kurindukan.
             
“Jel,” panggilmu, “Fotoin ya,” tersenyum sambil menyerahkan ponsel. Jantungku berdetak melebihi kecepatan normal. Mengikuti tubuhmu yang menghilang di balik kerumunan official dan pendukung tim kita yang tadi berfoto. Menyibak beberapa pemain yang juga berfoto berdua atau bertiga. Berjalan menuju seseorang. Yang rambutnya sedikit melewati bahu, lurus, warnanya sedikit merah. Tubuhnya lebih tinggi dariku. Pipinya tembam, tapi dagunya tirus. Memakai baju abu-abu, dan celana jeans biru. Masih memegang payung. Malu-malu, berdiri di sampingmu. Pipi tembamnya bersemu.
            
 “Fotoin ya, Jel. Sekali aja. Jangan sampai blur tapi,” ucapmu masih dengan senyum lebar, “Eh, gak papa ding blur. Foto beberapa kali juga nggak papa. Biar sampingan gini terus,” lanjutmu yang langsung berbuah cubitan di lenganmu. Kamu tertawa. Gadis di sampingmu itu makin merah pipinya.
            
 “Oke. Satu... dua...” aku memberi aba-aba, “Ti...ga....” dan satu gambar berisi pemuda tampan dan gadis cantik tercetak dalam ponsel itu. Dengan background lapangan basah dan langit mendung. Bagus dalam sekali potret. Cepat-cepat aku menyerahkan ponsel sambil (berusaha) tersenyum.
            
 “Makasih ya,” katamu ringan sambil menerima ponsel. Aku mengangguk. Sekali lagi tersenyum. Kemudian berlalu. Kaki dan tanganku bergetar. Tubuhku lemas. Jantungku serasa lari dari tempatnya. Entah apa maksudmu. Dengan sikap tak pedulimu, kamu sok-sok an tak mengerti perasaanku. Tapi kenapa kemarin kamu peduli? Menyarankanku agar tak menyukaimu, lalu menjaga jarak.

Lantas sekarang? Kamu pura-pura tidak mengerti, bahwa ada hati seseorang yang hancur berkeping-keping.

Tak Peduli, Egois, Penghancur Hati.

Ya, benar, ini salahku yang mencintaimu. Menyuruhmu agar tetap tak peduli, tapi nyatanya, ketidakpedulianmu sore ini cukup membuat diriku berantakan. Membuatku kehilangan selera untuk mencintai siapa-siapa. 

 
Gambar diambil via littleucrit.files.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini