Kami menemukannya pada tahun 2013.
Beberapa bulan setelah kucing pertama kami meninggalkan rumah. Waktu itu
tubuhnya masih sangat mungil, belum bisa mengeong, bulunya masih jarang dan
pada berdiri. Jika anak kucing lain biasanya langsung menghindar ketika kami
mendekat, dia tidak. Justru selalu keliling rumah, mencari celah supaya bisa
masuk. Dia seperti menemukan rumahnya sendiri.
Sehari
setelah ia menampakkan diri di pekarangan rumah, ia kedapatan sekarat di
halaman belakang. Tubuh mungilnya tergolek lemah di antara pasir-pasir. Bulunya
berwarna cokelat muda yang membuatnya hampir tidak terlihat berada di sana.
Jika mata tidak jeli, bisa saja ia terinjak, karena selain tubuhnya seperti
berkamuflase di atas pasir, ia juga belum bisa bersuara. Hanya menatap kami
dengan sorot mata sayu yang menimbulkan rasa iba pada siapapun yang melihatnya.
Kami pun tergerak untuk memberinya
makan. Tapi tidak, kucing kecil itu tidak mau. Kami akhirnya memberinya minum,
dan detik itu juga kami tahu, ternyata ia sekarat karena dehidrasi.
Sejak saat itu, ia semakin sering
datang ke rumah. Dengan bulu yang belum rapi dan sebagian berdiri tegak, kami
memutuskan untuk memandikannya. Barangkali bulu-bulunya berdiri karena kotor
akibat sekarat di pasir halaman belakang kemarin. Waktu itu tubuhnya yang
mungil sangat enteng, membuatku ingin sekali melemparkannya ke udara. Atau
kadang-kadang, aku geletakkan ia di halaman. Pasrah telentang menghadap langit,
seperti tahu bahwa aku bukan manusia berbahaya. Aku sering menjadikan ia seperti
boneka berwarna cokelat muda yang lucu. Hanya saja, ia bisa bergerak sendiri
dan bisa bernapas.
Semakin sering kami bermain
dengannya di halaman samping rumah, sepertinya ia juga kian penasaran dengan
isi rumah kami. Pernah aku membukakan pintu belakang rumah untuknya, dan ia
langsung berlari ke dalam rumah, melesat bagai kilat. Membuatku pontang-panting
mencarinya. Takut ia dikira makhluk mungil aneh dengan bulu yang jarang dan
tegak-tegak seperti habis kesetrum. Walaupun aku sudah memandikannya
berkali-kali, bulunya tak dapat dirapikan. Dan detik itu juga, aku menyimpulkan
kalau bulu kucing kecil memang seperti itu.
Lama-lama, ia bisa mengeong juga.
Dan lama-lama, ia mendapat tempat di rumah kami. Berawal dari sekotak kardus
berlubang dengan bantal di dalamnya. Lalu memakan kerupuk yang membuat para
sepupuku seketika heboh, tumpang tindih bertanya.
“Lho, Dik, kucingmu kok mau makan
kerupuk?”
“Namanya
siapa, Dik?”
“Iya,
Dik. Namanya siapa?”
Aku
sempat memikirkan beberapa opsi nama, sampai akhirnya, aku memilih sebuah nama berbahasa
Jepang, yang artinya ‘kucing’. Jadi, waktu itu, dia adalah kucing yang aku beri
nama ‘kucing’.
Namun
mendadak, tiba-tiba, dan secara tidak terduga, tanpa angin ataupun hujan, kepala
keluarga di rumah kami, mengubah nama makhluk bertubuh mungil itu. Tidak
seratus persen mengubah memang. Hanya membaliknya. Dua huruf di belakang,
dipindah ke depan. Dan kalau aku
asumsikan dalam bahasa Indonesia, namanya berubah, dari 'Kucing' menjadi ‘Cingku’. Tapi bagi kami, ia
tidak masalah punya nama seperti itu. Toh, ia tidak mengerti soal pemberian
nama.
Sampai
lama-lama, semakin ia besar, kelakuannya jadi serba terbalik. Awal mula aku
menyadarinya adalah ketika ia masuk kamar, tanpa suara. Aku yang tadinya sibuk
dengan laptop, menoleh. Ia juga menoleh ke arahku. Kami bertatapan. Agak lama,
sampai ia memutus pandangan, kemudian menengok sampingnya. Ada laptop tertutup
yang diletakkan di atas meja kecil. Tanpa minta persetujuan, segera saja,
makhluk mungil itu loncat, kemudian duduk anteng di atasnya. Membuatku
terlongo, karena aku baru menjumpai kucing berkelakuan seperti itu.
Pasalnya,
kucing pertama kami yang dulu, bagaikan kucing yang bijaksana. Berhati-hati
dalam bertindak, suci dalam pikiran maupun perbuatan. Kucing pertama kami tidak
pernah sembrono. Tidak secara tiba-tiba nyolot lalu duduk tenang di atas laptop
orang. Detik itu juga, aku menyimpulkan, bahwa kucing kedua kami punya kelakukan
yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan kucing pertama kami.
Hari
demi hari kami lalui dengan penuh suka dan duka. Canda dan tangis. Aku mulai
memahami bahwa dia adalah kucing yang lebih aktif dibanding kucing kami yang
pertama. Dia adalah kucing yang punya tatapan sayu tapi menusuk. Tubuhnya
menggemuk pelan-pelan. Bulu-bulu di tubuhnya juga mulai tumbuh lebat. Dari
cokelat muda, berubah jadi cokelat tua, dengan belang-belang, yang membuatnya
seperti habis kerokan.
Sewaktu
ia—mungkin, jika manusia, ia masih remaja—pernah dikejar-kejar kucing jantan
dewasa, dengan tubuh yang jauh lebih besar. Dia selalu berlari ke dalam rumah,
megap-megap ketakutan. Bulu ekornya mengembang, menandakan ia marah. Tapi ia
sembunyi. Kucing remaja itu sebenarnya gentar. Meski kami tidak tahu apa
masalah di antara mereka, tapi kami mengusir kucing jantan dewasa itu karena
mungkin saja itu milik tetangga kami. Kami tidak ingin dituduh menculiknya. Dan
soal kejar-mengejar itu tidak terjadi sekali dua kali. Tapi sangat sering.
Dari
kelakukannya sejak kecil yang dapat dikatakan anti-mainstream, aku
berpikir kalau setiap di luar rumah, ia juga berkelakukan di luar mode normal.
Melawan arus. Membuatnya kadang dikejar kucing jantan dewasa lain, dan ia
selalu kedapatan megap-megap sembunyi di dalam rumah. Akhirnya kami pula yang
harus mengusir kucing jantan dewasa lain itu.
Ia
adalah kucing yang aktif. Dulu aku sering ia gigit, atau ia cakar. Kadang,
tiba-tiba nemplok di kaki sambil gigit. Sontak aku menjerit, lantas berlari
menghindarinya. Kami butuh waktu untuk memahami bahwa jika ia seperti itu, ia
butuh teman bermain. Ia juga pernah tiba-tiba nongkrong di atas televisi tabung
kami. Entah maksudnya ia sedang memperbaiki kualitas gambar, atau memang hanya
ingin bersantai di sana. Yang jelas, kepala keluarga kami langsung memarahinya
dan menyuruhnya turun.
Sekali
lagi, aku tidak tahu apa yang ia lakukan setiap di luar rumah. Kami hanya
menduga jika ia melakukan sesuatu dengan melawan arus. Di luar mode normal.
Suatu
hari, ia pulang dengan luka di bagian kakinya. Kami yakin jika itu bukan luka
karena suatu perkelahian. Karena luka di kakinya bukan luka cakar. Tapi lubang.
Entah ia ditembak manusia yang tidak menyayangi binatang, atau bagaimana. Yang
jelas, ia menderita karena itu. Kami memberinya obat merah yang langsung ia
jilat-jilat, dan membuat kami takut kalau dia nanti malah keracunan. Namun
lama-lama, luka itu menutup seiring waktu. Ia kembali normal, dan sehat seperti
sedia kala.
Semakin
ia besar, ia semakin dekat dengan kepala keluarga rumah kami. Bagaikan dua
sahabat yang kemana saja selalu bersama. Ia selalu menuruti apa yang dikatakan
kepala keluarga rumah kami. Seolah-olah ia benar-benar mengerti. Tapi yang aku
tahu, itu adalah wujud terima kasihnya kepada kepala keluarga kami yang selalu
memberinya makan, minum, dan tempat tinggal. Kepala keluarga kami juga sering
mengajaknya bermain. Berbicara dengannya. Memperlakukannya seperti anak kecil
yang belum bisa bicara. Dia benar-benar seperti bayi. Dengan gaya tidur
telentang, mampu membuat siapapun penyayang binatang ingin menggelitiki
perutnya.
Kami
pernah bepergian jauh ke rumah saudara selama beberapa hari. Kucing pertama
kami yang menghilang setelah kami tinggal berlibur ke kota orang, membuat kami
trauma untuk meninggalkan peliharaan sendirian di rumah. Setelah berunding,
kami meminta saudara kami yang lain untuk menyiapkan makanan demi si ‘Cingku’,
selama kami pergi. Dan nyatanya, satu minggu kami tinggal jauh, dia tetap setia
menunggu kami pulang. Menyambut kami dengan mimik muka bahagia, minta dielus
manja, sekaligus minta makan.
Detik
itu juga, kami menyadari bahwa dia adalah kucing yang setia. Kami yakin jika ia
akan tinggal lebih lama di rumah, dibanding kucing pertama kami yang sampai
kini tidak aku tahu kabarnya.
Sampai
di suatu hari yang tidak kami duga, kucing berbulu cokelat tua belang-belang
itu tidak pulang. Aku pikir karena ia sedang ada urusan di luar sana. Jadi aku
tenang-tenang saja.
Namun
sekian hari setelahnya, dia belum juga pulang. Ketenangan kami luntur
pelan-pelan, berganti cemas luar biasa. Trauma jika ia tidak akan pulang
seperti kucing pertama kami. Kami jadi sering memanggil namanya. Selalu
memelankan jalan jika sudah mendekati lingkungan rumah. Siapa tahu ia ada di
halaman rumah tetangga atau bagaimana. Waktu itu, aku khawatir jika ia jadi
peliharaan orang. Atau mungkin ia tidak tahu jalan pulang, lantas dibawa orang.
Aku takut dia tak pernah kembali.
Tapi,
tidak. Dia kucing yang baik. Suatu pagi, kurang lebih satu minggu setelah ia
meninggalkan rumah, terseok-seok ia pulang. Tidak mampu mengeong. Tubuhnya
kurus parah. Bulu-bulunya kotor. Kucing itu terluka. Dan ya, sejak waktu itu, napasnya
jadi besar-besar, seperti sesak. Seperti manusia yang sedang mengalami hidung
mampet, ia tak pernah menutup mulut setiap ia tidur. Meskipun pada akhirnya,
tubuhnya kembali menggemuk, tapi napasnya tak pernah kembali normal. Ia juga
tak lagi aktif seperti sebelumnya. Bahkan, kepala keluarga rumah kami
memberinya predikat “Kucing Termalas di Dunia”. Walaupun aku merasa, entah
kenapa, jika ia semakin menyayangi kami. Ia jadi jarang keluar rumah. Memilih
tidur di pojok pintu, bawah jendela, sudut teras, bawah kursi ruang tamu,
kadang di kasur depan tv. Ia juga pernah tidur di rak sepatu, entah apa
motivasinya.
Beberapa
hari terakhir, ia tak mau makan. Biasanya ia doyan sekali dengan makanan kucing
yang kami beli dari supermarket, tapi akhir-akhir ini ia tidak mau. Padahal
makanan kucing itu selalu jadi senjata pamungkas jika ia bosan dengan ikan
segar yang biasanya kami beli di pasar. Tubuh gemuknya pelan-pelan menyusut.
Sorot matanya makin sayu. Ia juga makin lemas. Lebih sering tertidur. Membuatku
juga lebih sering mengganggunya.
Lalu,
24 Juli 2016, sesak napasnya mendadak parah. Dengan tubuh yang lemah, ia sekuat
tenaga bernapas. Kepala keluarga rumah kami tahu jika kucing cokelat tua
belang-belang itu ingin menceritakan sakitnya. Sayangnya, untuk mengeong pun ia
sudah tak kuat. Bernapas saja sudah membuatnya kesulitan. Dan, dengan sesak
napas yang semakin akut, malaikat maut menjemputnya. Menurunkan ribuan tetes
air mata kami. Kenangan-kenangan kami bersamanya semenjak tahun 2013,
berkelebat cepat. Tentang kelakuan-kelakuan anehnya, mata sayu yang menusuk,
bulu cokelat tua belang-belang, bahkan suaranya. Mendadak kami mengingat itu
semua, dengan cermat.
Kini,
rumah jadi terasa hampa. Tidak ada suara kucing minta makan di pagi hari. Tidak
ada yang akan aku ganggu sepulang sekolah. Tidak ada yang menatap penasaran
piringku saat makan. Tidak ada yang memakan sisa-sisa duri dan kepala ikan.
Tidak ada yang minta dibukakan pintu sambil mengeong. Tidak ada yang memburu
tikus-tukus di dapur. Tidak ada lagi, dan itu benar-benar hampa. Sangat hampa. Tapi,
ya, bagaimanapun juga kami harus ikhlas. Semoga dia sekarang baik-baik saja di sana. Amin ya robbal alamin.
Note: Jika memang penasaran seperti apa hewan yang tertulis di sini, bisa dilihat melalui instagram @angelarezka dan @pradivasepta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar