Senin, 25 Juli 2016

Terima Kasih Untuk 3 Tahun Ini



            Kami menemukannya pada tahun 2013. Beberapa bulan setelah kucing pertama kami meninggalkan rumah. Waktu itu tubuhnya masih sangat mungil, belum bisa mengeong, bulunya masih jarang dan pada berdiri. Jika anak kucing lain biasanya langsung menghindar ketika kami mendekat, dia tidak. Justru selalu keliling rumah, mencari celah supaya bisa masuk. Dia seperti menemukan rumahnya sendiri.

Sehari setelah ia menampakkan diri di pekarangan rumah, ia kedapatan sekarat di halaman belakang. Tubuh mungilnya tergolek lemah di antara pasir-pasir. Bulunya berwarna cokelat muda yang membuatnya hampir tidak terlihat berada di sana. Jika mata tidak jeli, bisa saja ia terinjak, karena selain tubuhnya seperti berkamuflase di atas pasir, ia juga belum bisa bersuara. Hanya menatap kami dengan sorot mata sayu yang menimbulkan rasa iba pada siapapun yang melihatnya.
             
Kami pun tergerak untuk memberinya makan. Tapi tidak, kucing kecil itu tidak mau. Kami akhirnya memberinya minum, dan detik itu juga kami tahu, ternyata ia sekarat karena dehidrasi.
            
 Sejak saat itu, ia semakin sering datang ke rumah. Dengan bulu yang belum rapi dan sebagian berdiri tegak, kami memutuskan untuk memandikannya. Barangkali bulu-bulunya berdiri karena kotor akibat sekarat di pasir halaman belakang kemarin. Waktu itu tubuhnya yang mungil sangat enteng, membuatku ingin sekali melemparkannya ke udara. Atau kadang-kadang, aku geletakkan ia di halaman. Pasrah telentang menghadap langit, seperti tahu bahwa aku bukan manusia berbahaya. Aku sering menjadikan ia seperti boneka berwarna cokelat muda yang lucu. Hanya saja, ia bisa bergerak sendiri dan bisa bernapas.
             
Semakin sering kami bermain dengannya di halaman samping rumah, sepertinya ia juga kian penasaran dengan isi rumah kami. Pernah aku membukakan pintu belakang rumah untuknya, dan ia langsung berlari ke dalam rumah, melesat bagai kilat. Membuatku pontang-panting mencarinya. Takut ia dikira makhluk mungil aneh dengan bulu yang jarang dan tegak-tegak seperti habis kesetrum. Walaupun aku sudah memandikannya berkali-kali, bulunya tak dapat dirapikan. Dan detik itu juga, aku menyimpulkan kalau bulu kucing kecil memang seperti itu.
            
 Lama-lama, ia bisa mengeong juga. Dan lama-lama, ia mendapat tempat di rumah kami. Berawal dari sekotak kardus berlubang dengan bantal di dalamnya. Lalu memakan kerupuk yang membuat para sepupuku seketika heboh, tumpang tindih bertanya.
             
“Lho, Dik, kucingmu kok mau makan kerupuk?”

“Namanya siapa, Dik?”

“Iya, Dik. Namanya siapa?”

Aku sempat memikirkan beberapa opsi nama, sampai akhirnya, aku memilih sebuah nama berbahasa Jepang, yang artinya ‘kucing’. Jadi, waktu itu, dia adalah kucing yang aku beri nama ‘kucing’.

Namun mendadak, tiba-tiba, dan secara tidak terduga, tanpa angin ataupun hujan, kepala keluarga di rumah kami, mengubah nama makhluk bertubuh mungil itu. Tidak seratus persen mengubah memang. Hanya membaliknya. Dua huruf di belakang, dipindah  ke depan. Dan kalau aku asumsikan dalam bahasa Indonesia, namanya berubah, dari 'Kucing' menjadi ‘Cingku’. Tapi bagi kami, ia tidak masalah punya nama seperti itu. Toh, ia tidak mengerti soal pemberian nama.

Sampai lama-lama, semakin ia besar, kelakuannya jadi serba terbalik. Awal mula aku menyadarinya adalah ketika ia masuk kamar, tanpa suara. Aku yang tadinya sibuk dengan laptop, menoleh. Ia juga menoleh ke arahku. Kami bertatapan. Agak lama, sampai ia memutus pandangan, kemudian menengok sampingnya. Ada laptop tertutup yang diletakkan di atas meja kecil. Tanpa minta persetujuan, segera saja, makhluk mungil itu loncat, kemudian duduk anteng di atasnya. Membuatku terlongo, karena aku baru menjumpai kucing berkelakuan seperti itu.

Pasalnya, kucing pertama kami yang dulu, bagaikan kucing yang bijaksana. Berhati-hati dalam bertindak, suci dalam pikiran maupun perbuatan. Kucing pertama kami tidak pernah sembrono. Tidak secara tiba-tiba nyolot lalu duduk tenang di atas laptop orang. Detik itu juga, aku menyimpulkan, bahwa kucing kedua kami punya kelakukan yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan kucing pertama kami.

Hari demi hari kami lalui dengan penuh suka dan duka. Canda dan tangis. Aku mulai memahami bahwa dia adalah kucing yang lebih aktif dibanding kucing kami yang pertama. Dia adalah kucing yang punya tatapan sayu tapi menusuk. Tubuhnya menggemuk pelan-pelan. Bulu-bulu di tubuhnya juga mulai tumbuh lebat. Dari cokelat muda, berubah jadi cokelat tua, dengan belang-belang, yang membuatnya seperti habis kerokan.

Sewaktu ia—mungkin, jika manusia, ia masih remaja—pernah dikejar-kejar kucing jantan dewasa, dengan tubuh yang jauh lebih besar. Dia selalu berlari ke dalam rumah, megap-megap ketakutan. Bulu ekornya mengembang, menandakan ia marah. Tapi ia sembunyi. Kucing remaja itu sebenarnya gentar. Meski kami tidak tahu apa masalah di antara mereka, tapi kami mengusir kucing jantan dewasa itu karena mungkin saja itu milik tetangga kami. Kami tidak ingin dituduh menculiknya. Dan soal kejar-mengejar itu tidak terjadi sekali dua kali. Tapi sangat sering.

Dari kelakukannya sejak kecil yang dapat dikatakan anti-mainstream, aku berpikir kalau setiap di luar rumah, ia juga berkelakukan di luar mode normal. Melawan arus. Membuatnya kadang dikejar kucing jantan dewasa lain, dan ia selalu kedapatan megap-megap sembunyi di dalam rumah. Akhirnya kami pula yang harus mengusir kucing jantan dewasa lain itu.

Ia adalah kucing yang aktif. Dulu aku sering ia gigit, atau ia cakar. Kadang, tiba-tiba nemplok di kaki sambil gigit. Sontak aku menjerit, lantas berlari menghindarinya. Kami butuh waktu untuk memahami bahwa jika ia seperti itu, ia butuh teman bermain. Ia juga pernah tiba-tiba nongkrong di atas televisi tabung kami. Entah maksudnya ia sedang memperbaiki kualitas gambar, atau memang hanya ingin bersantai di sana. Yang jelas, kepala keluarga kami langsung memarahinya dan menyuruhnya turun.

Sekali lagi, aku tidak tahu apa yang ia lakukan setiap di luar rumah. Kami hanya menduga jika ia melakukan sesuatu dengan melawan arus. Di luar mode normal.

Suatu hari, ia pulang dengan luka di bagian kakinya. Kami yakin jika itu bukan luka karena suatu perkelahian. Karena luka di kakinya bukan luka cakar. Tapi lubang. Entah ia ditembak manusia yang tidak menyayangi binatang, atau bagaimana. Yang jelas, ia menderita karena itu. Kami memberinya obat merah yang langsung ia jilat-jilat, dan membuat kami takut kalau dia nanti malah keracunan. Namun lama-lama, luka itu menutup seiring waktu. Ia kembali normal, dan sehat seperti sedia kala.

Semakin ia besar, ia semakin dekat dengan kepala keluarga rumah kami. Bagaikan dua sahabat yang kemana saja selalu bersama. Ia selalu menuruti apa yang dikatakan kepala keluarga rumah kami. Seolah-olah ia benar-benar mengerti. Tapi yang aku tahu, itu adalah wujud terima kasihnya kepada kepala keluarga kami yang selalu memberinya makan, minum, dan tempat tinggal. Kepala keluarga kami juga sering mengajaknya bermain. Berbicara dengannya. Memperlakukannya seperti anak kecil yang belum bisa bicara. Dia benar-benar seperti bayi. Dengan gaya tidur telentang, mampu membuat siapapun penyayang binatang ingin menggelitiki perutnya.

Kami pernah bepergian jauh ke rumah saudara selama beberapa hari. Kucing pertama kami yang menghilang setelah kami tinggal berlibur ke kota orang, membuat kami trauma untuk meninggalkan peliharaan sendirian di rumah. Setelah berunding, kami meminta saudara kami yang lain untuk menyiapkan makanan demi si ‘Cingku’, selama kami pergi. Dan nyatanya, satu minggu kami tinggal jauh, dia tetap setia menunggu kami pulang. Menyambut kami dengan mimik muka bahagia, minta dielus manja, sekaligus minta makan.

Detik itu juga, kami menyadari bahwa dia adalah kucing yang setia. Kami yakin jika ia akan tinggal lebih lama di rumah, dibanding kucing pertama kami yang sampai kini tidak aku tahu kabarnya.

Sampai di suatu hari yang tidak kami duga, kucing berbulu cokelat tua belang-belang itu tidak pulang. Aku pikir karena ia sedang ada urusan di luar sana. Jadi aku tenang-tenang saja.

Namun sekian hari setelahnya, dia belum juga pulang. Ketenangan kami luntur pelan-pelan, berganti cemas luar biasa. Trauma jika ia tidak akan pulang seperti kucing pertama kami. Kami jadi sering memanggil namanya. Selalu memelankan jalan jika sudah mendekati lingkungan rumah. Siapa tahu ia ada di halaman rumah tetangga atau bagaimana. Waktu itu, aku khawatir jika ia jadi peliharaan orang. Atau mungkin ia tidak tahu jalan pulang, lantas dibawa orang. Aku takut dia tak pernah kembali.

Tapi, tidak. Dia kucing yang baik. Suatu pagi, kurang lebih satu minggu setelah ia meninggalkan rumah, terseok-seok ia pulang. Tidak mampu mengeong. Tubuhnya kurus parah. Bulu-bulunya kotor. Kucing itu terluka. Dan ya, sejak waktu itu, napasnya jadi besar-besar, seperti sesak. Seperti manusia yang sedang mengalami hidung mampet, ia tak pernah menutup mulut setiap ia tidur. Meskipun pada akhirnya, tubuhnya kembali menggemuk, tapi napasnya tak pernah kembali normal. Ia juga tak lagi aktif seperti sebelumnya. Bahkan, kepala keluarga rumah kami memberinya predikat “Kucing Termalas di Dunia”. Walaupun aku merasa, entah kenapa, jika ia semakin menyayangi kami. Ia jadi jarang keluar rumah. Memilih tidur di pojok pintu, bawah jendela, sudut teras, bawah kursi ruang tamu, kadang di kasur depan tv. Ia juga pernah tidur di rak sepatu, entah apa motivasinya.

Beberapa hari terakhir, ia tak mau makan. Biasanya ia doyan sekali dengan makanan kucing yang kami beli dari supermarket, tapi akhir-akhir ini ia tidak mau. Padahal makanan kucing itu selalu jadi senjata pamungkas jika ia bosan dengan ikan segar yang biasanya kami beli di pasar. Tubuh gemuknya pelan-pelan menyusut. Sorot matanya makin sayu. Ia juga makin lemas. Lebih sering tertidur. Membuatku juga lebih sering mengganggunya.

Lalu, 24 Juli 2016, sesak napasnya mendadak parah. Dengan tubuh yang lemah, ia sekuat tenaga bernapas. Kepala keluarga rumah kami tahu jika kucing cokelat tua belang-belang itu ingin menceritakan sakitnya. Sayangnya, untuk mengeong pun ia sudah tak kuat. Bernapas saja sudah membuatnya kesulitan. Dan, dengan sesak napas yang semakin akut, malaikat maut menjemputnya. Menurunkan ribuan tetes air mata kami. Kenangan-kenangan kami bersamanya semenjak tahun 2013, berkelebat cepat. Tentang kelakuan-kelakuan anehnya, mata sayu yang menusuk, bulu cokelat tua belang-belang, bahkan suaranya. Mendadak kami mengingat itu semua, dengan cermat.

Kini, rumah jadi terasa hampa. Tidak ada suara kucing minta makan di pagi hari. Tidak ada yang akan aku ganggu sepulang sekolah. Tidak ada yang menatap penasaran piringku saat makan. Tidak ada yang memakan sisa-sisa duri dan kepala ikan. Tidak ada yang minta dibukakan pintu sambil mengeong. Tidak ada yang memburu tikus-tukus di dapur. Tidak ada lagi, dan itu benar-benar hampa. Sangat hampa. Tapi, ya, bagaimanapun juga kami harus ikhlas. Semoga dia sekarang baik-baik saja di sana. Amin ya robbal alamin.

Note: Jika memang penasaran seperti apa hewan yang tertulis di sini, bisa dilihat melalui instagram @angelarezka dan @pradivasepta

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini