Mungkin esok, atau
lusa, kamu akan mengerti, mengapa aku jatuh cinta padamu berkali-kali. Kamu
tidak pernah menyadari betapa kamu adalah pemuda yang istimewa. Pembuat banyak
tawa, pencipta rindu yang hebat. Kamu tidak tahu bahwa pernah pada suatu masa,
aku menyebut namamu di balik setiap alasanku memilih atau memutuskan sesuatu. Aku sempat
menjadikan kota yang sering kamu ceritakan berkali-kali itu, sebagai kota
tujuanku nanti. Karena hanya melalui ceritamu, aku sudah jatuh hati dengan kota
itu, lantas merasa bahwa kota itu memang tepat untukku.
Butuh waktu
lama untuk menemukan alasan lain, bahwa kota itu bukan sekadar kota yang aku
suka hanya karena ceritamu. Aku
perlu berada di sana beberapa waktu, untuk mencintai kota itu tanpa alasan
apapun. Bukan karena kamu.
Mungkin, esok atau
lusa, kamu akan tahu, betapa kamu adalah pemuda yang baik hati, dan dapat
membuatku jatuh cinta berkali-kali. Meskipun bukan aku yang akan mengatakan
keistimewaan kamu itu nanti,
tapi setidaknya, kamu tahu, jika kamu bukan pemuda biasa yang hanya punya
selera humor. Kamu adalah lebih dari yang kamu kira.
Beruntung,
aku dan kamu kini punya kesibukan. Sama-sama tak punya waktu luang, atau memang karena
tidak ada yang berusaha meluangkan waktu. Tidak ada lagi kamu yang sibuk Senin sampai
Sabtu tapi masih punya Minggu untukku. Mengajak berkeliling kota, demi melihat
tanah kelahiran dari sudut pandang yang lain. Tidak ada lagi yang menyesal
karena bangun kesiangan di hari Minggu, yang berarti kehilangan satu hari Minggu, padahal sudah dinanti
sejak Senin sampai Sabtu.
Kini, demi
hari Minggu pun, aku harus mati-matian meluangkan waktu, mengosongkan jadwal. Karena sekarang,
tugas sekolah hampir
tak mengenal hari. Bahkan, tanpa dibantu begadang, hari Minggu pasti tergadaikan.
Sepotong cerita yang pernah kamu kisahkan dulu—saat kamu sibuk memperjuangkan
sebuah gelar di kota itu, namun ternyata sekarang aku telah mengalaminya.
Waktu-waktu yang
bagiku membahagiakan. Menghabiskan Sabtu dengan merecoki pesan masuk di
ponselmu supaya kamu pulang dari sana.
Mengingatkan jangan lupa untuk membawa secuil kisah dari kota rantaumu untuk diceritakan di
hari Minggu. Kadang kamu tidak bilang akan pulang, tapi tiba-tiba di Sabtu
malam, kamu sudah ada di rumah. Berpesan supaya Minggu esok bangun pagi. Ada
tempat bagus untuk mengabadikan kota kelahiran dari sudut pandang lain.
Dan ketika aku
jatuh cinta dengan kota rantaumu, aku juga tahu jika jadwal tahunan sekolah
untuk karya wisata adalah menjadikan kotamu sebagai tujuan. Aku pernah
menceritakan hal itu, lalu kamu berjanji akan menemaniku selama aku berada di
kotamu saat karya wisata nanti. Kamu bilang akan mengosongkan jadwal pada hari
itu, apapun agendamu. Dan katamu juga, kamu akan menjadi tour guide yang
lebih baik dibanding pemandu wisata dari agen perjalanan yang aku tumpangi.
Pokoknya, sampai membuatku tergila-gila dengan kotamu. Entah kamu tahu atau
tidak, saat kamu mengatakan itu, ketika kamu telah mendapat gelar sarjana dan
mendapat pekerjaan di sana, aku sudah jatuh cinta dengan kotamu. Kamu pasti
tidak tahu jika aku sudah membayangkan kita akan menjelajah kota yang buatku
jatuh cinta melalui cerita-ceritamu.
Namun soal
ini, entah kamu tahu atau tidak, jika aku sibuk menghitung hari demi hari,
kapan sekolah mengumumkan jadwal karya wisata. Supaya kamu bersiap menemaniku
berada di sana. Supaya aku dan kamu dapat bertemu, tanpa menunggu hari Minggu. Supaya
ada rindu yang harus tertuntaskan.
Dan ternyata,
kamu justru memilih pulang. Resign dari pekerjaan.
Mungkin kamu
tidak tahu, hatiku sempat menggelembung karena dengan pulangnya kamu, berarti
aku tidak perlu menunggu Senin sampai Sabtu hanya untuk bertemu di hari Minggu.
Dengan sama-sama
berada di kota kelahiran,
mungkin kita dapat bertemu setiap waktu. Menjelajah kota kita bersama, tanpa perlu
menunggu akhir pekan. Aku
sempat menghela napas lega, karena menduga bahwa jarak sudah benar-benar
menyerah pada keadaan.
Namun
ternyata, kamu mengundurkan diri dari pekerjaan, ketika aku memekik senang
karena sekolah mengumumkan jadwal karya wisata. Kamu memilih pulang ketika aku
sedang ribut memilih baju mana saja yang akan aku bawa ke sana. Dan pastinya,
aku getir menelan janjimu yang pernah bilang jika akan menemaniku selama berkarya wisata di
sana. Kamu tidak tahu, jika ada yang pikirannya tentang kota itu mendadak
hancur berantakan. Lantas berangkat ke sana, mau tak mau, karena semangat yang
berbeda. Bukan lagi demi menuntaskan rindu, tapi karena memang untuk tugas
menjalankan program sekolah.
Sampai pulang dari
kota itu
pun aku tidak tahu, apakah di kota kelahiran, kamu menghitung detik per detik demi
kepulanganku.
Aku tidak tahu, apakah kamu harap-harap cemas, menungguku pulang, demi ritual
Minggu pagi.
Sampai kamu punya
pekerjaan baru di kota kelahiran. Sampai aku benar-benar sibuk karena tugas sekolah. Kisah dua orang yang
pernah bahagia menanam dan menuai rindu, mulai berjalan sendiri-sendiri. Kamu
sibuk mematuhi perintah atasan. Aku
tidak lagi bebas dapat mengosongkan jadwal di hari Minggu. Apalagi kamu memilih Minggu sebagai waktu
pelepas penat.
Dan walaupun aku kebetulan memiliki Minggu bebas tugas, kamu selalu bangun
siang di hari itu. Kamu tak lagi berani berjanji untuk menjelajah kota seperti
dulu. Seiring waktu, dengan sendirinya, ritual Minggu pagi menyusuri setiap
sudut kota kelahiran,
memudar pelan-pelan, lalu hilang, dan hanya
menyisakan rindu yang pekat.
Mungkin esok, atau
lusa, kamu akan tahu, bahwa kamu adalah pemuda
yang pernah aku usahakan untuk dilupakan oleh hati berkali-kali. Butuh
waktu untuk menyadarkan diri bahwa kamu hanyalah pemuda yang jadi teman baik di
Minggu pagi, bukan pemuda yang akan jadi teman hidup sampai tua nanti. Meskipun
aku tak akan mampu menyangkal bahwa kamu adalah pemuda yang mampu membuatku
jatuh cinta berkali-kali. Meskipun tidak ada lagi yang menunggu dengan harap-harap
cemas, apakah masih ada Minggu yang sengaja disisakan untuk menjelajah kota
kelahiran. Apakah masih ada Minggu yang sesuai harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar