Sabtu, 07 Juni 2014

LDR (Luka Dari Rasa) - Episode 1



“Selamat pagi Cinta!”
            Lengkingan suara Ratih, tetangga sebelahku yang kesekian kali. Kurang lebih 3 bulan aku mendengar suaranya tiap pagi. Membuat hari-hariku 3 bulan ini juga ikut mendung karena setiap hari dibuka oleh lengking suara Ratih. Apa dia sendiri yang punya kekasih? Atau dia sendiri yang punya handphone buat telepon pacar? Dunia miliknya sendiri? Uh!
            Zzz.. zzz...
            Suara getar handphone di meja, membuyarkan kesalku pada Ratih. Aku sudah bisa menebak, siapa pengirim pesan singkat pagi ini. Pasti Fahri!
            Selamat membuka hari dengan semangat tinggi, Angie! Jangan lupa sholat Subuh, terus mandi, terus sarapan, lalu berangkat. Jangan sampai terlambat ya!
            Aku tersenyum membaca pesan singkatnya. Meskipun aku jarang membalas pesan singkat paginya, ia tak pernah absen mengirim sms untukku. Hubungan jarak jauh kami menjadi alasannya untuk terus meneleponku atau mengirim sms untukku. Dulu, aku sempat bosan karena itu. Tapi lama-lama itu menjadi cambukan semangat pagiku, apalagi jika setiap hari harus mendengarkan suara nada tinggi Ratih, tetangga sebelahku.
            Setengah 7 tepat, aku berangkat sekolah. Sampai di kelas, teman sebangkuku, Widya segera  menghampiriku.
            “Ji, udah ngerjain Bahasa Indonesia?” tanyanya.
            “Belum. Bahannya aja belum nyari,” jawabku sambil meletakkan tas.
            “Nanti pulang sekolah ke perpus yuk!” ajak Widya.
            “Ngg... iya deh,” kataku akhirnya.
            Bel pulang sudah berdentang 30 menit yang lalu. Tapi, aku dan Widya masih di perpustakaan. Mencari bahan-bahan yang sekiranya asyik untuk dilakukan sebuah perbincangan—wawancara. Widya yang sangat suka berbasa-basi punya semangat tinggi dalam tugas ini. Berbeda denganku yang bingung jika memulai topik pembicaraan dengan orang lain.
            Zzz.. zzz..
            Handphone-ku bergetar. Mungkin sms dari Bunda. Pasalnya aku tadi pagi diantar Ayah karena motorku masuk bengkel. Apa aku tadi lupa sms Bunda kalau pulang terlambat?
            Kamu dimana? Kok belum pulang?Dahiku berkerut. Aku baca sekali lagi pesan singkat itu. Dan ketika kubaca pengirimnya.....
            “Fahri?” gumamku. Widya tersenyum lebar lalu mendekat.
            “Cie...” ledeknya. Aku tersenyum kecut.
            Aku di perpustakaan. Ada apa? Kutekan tombol kirim. Setelah laporan terkirim muncul di layar handphone, panggilan masuk memenuhi layar. Fahri.
            “Kenapa?” tanyaku langsung. Widya segera memasang telinga.
            “Kok belum keluar?” suara merdu Fahri di ujung telepon menghapus dahagaku.
            “Emangnya kenapa?” aku masih bingung. Lalu, “Kamu lagi di sini ya?” seruku tiba-tiba. Kudengar tawa Fahri di seberang sana. Tanpa ba-bi-bu, segera aku meninggalkan perpustakaan dan menuju gerbang utama.
            Di depan sekolahku, sudah terparkir motor sport dan di atasnya bertengger sosok cowok yang sebulan ini kurindukan. Yang setiap hari menampakkan hadirnya melalui pesan singkat. Fahri Atmaja. Ketika dia menyadari keberadaanku, senyum pun terkembang di wajah manisnya.
            “Tadinya aku mau kasih surprise buat kamu. Pasti kamu kaget kalau tiba-tiba aku yang jemput,” dia membuka pembicaraan. Aku tertawa.
            “Ternyata?”
            “Ternyata aku yang terkejut sendiri. Kamu pulang telat,” dia juga ikut tergelak.
            Dari tempat parkir, Widya menatapku penuh arti. Setelah berbasa-basi sejenak, teman sebangku sekaligus sahabatku itu pulang. Dan aku mulai menebak, besok aku jadi bahan ledekannya yang bakal meledak di kelas.
            “Kamu udah bilang Bunda?” tanyaku sambil naik ke motornya.
            “Udah dong! Kalau nggak bilang Bunda dulu, nggak bakal tahu kalau kamu hari ini dianter. Coba kalau kamu naik motor sendiri, terus aku nungguin di sini, dan ternyata kamu udah pulang. Tambah nggak surprise-lah!”jawabnya lagi seraya tertawa. Aku memilih mengernyit menanggapi jawaban Fahri. Antara tidak mendengar dan tidak mengerti apa yang dibicarakan pemuda di depanku ini. Angin mengaburkan suaranya.
            “Gimana kuliahnya?” tanyaku lagi. Fahri melirik spion. Kulihat dia tersenyum seperti ingin menceritakan sesuatu yang lebih dari sekedar berita bahagia.
            “Nanti aja di rumah,” katanya. Aku pun diam. Diam karena diliputi penasaran. Biasanya, jika dia menyembunyikan sesuatu, itu pasti surprise. Apalagi dari wajah manisnya telah mengisyaratkan suatu berita bahagia. Entah apa itu, misteri.
Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini