“Selamat pagi Cinta!”
Lengkingan suara Ratih, tetangga
sebelahku yang kesekian kali. Kurang lebih 3 bulan aku mendengar suaranya tiap
pagi. Membuat hari-hariku 3 bulan ini juga ikut mendung karena setiap hari
dibuka oleh lengking suara Ratih. Apa dia sendiri yang punya kekasih? Atau dia
sendiri yang punya handphone buat telepon pacar? Dunia miliknya sendiri?
Uh!
Zzz.. zzz...
Suara getar handphone di
meja, membuyarkan kesalku pada Ratih. Aku sudah bisa menebak, siapa pengirim
pesan singkat pagi ini. Pasti Fahri!
Selamat membuka hari dengan
semangat tinggi, Angie! Jangan lupa sholat Subuh, terus mandi, terus sarapan,
lalu berangkat. Jangan sampai terlambat ya!
Aku tersenyum membaca pesan
singkatnya. Meskipun aku jarang membalas pesan singkat paginya, ia tak pernah absen
mengirim sms untukku. Hubungan jarak jauh kami menjadi alasannya untuk terus
meneleponku atau mengirim sms untukku. Dulu, aku sempat bosan karena itu. Tapi
lama-lama itu menjadi cambukan semangat pagiku, apalagi jika setiap hari harus
mendengarkan suara nada tinggi Ratih, tetangga sebelahku.
Setengah 7 tepat, aku berangkat
sekolah. Sampai di kelas, teman sebangkuku, Widya segera menghampiriku.
“Ji, udah ngerjain Bahasa
Indonesia?” tanyanya.
“Belum. Bahannya aja belum nyari,”
jawabku sambil meletakkan tas.
“Nanti pulang sekolah ke perpus
yuk!” ajak Widya.
“Ngg... iya deh,” kataku akhirnya.
Bel pulang sudah berdentang 30 menit
yang lalu. Tapi, aku dan Widya masih di perpustakaan. Mencari bahan-bahan yang
sekiranya asyik untuk dilakukan sebuah perbincangan—wawancara. Widya yang
sangat suka berbasa-basi punya semangat tinggi dalam tugas ini. Berbeda
denganku yang bingung jika memulai topik pembicaraan dengan orang lain.
Zzz.. zzz..
Handphone-ku bergetar.
Mungkin sms dari Bunda. Pasalnya aku tadi pagi diantar Ayah karena motorku
masuk bengkel. Apa aku tadi lupa sms Bunda kalau pulang terlambat?
Kamu dimana? Kok belum pulang?Dahiku
berkerut. Aku baca sekali lagi pesan singkat itu. Dan ketika kubaca
pengirimnya.....
“Fahri?” gumamku. Widya tersenyum
lebar lalu mendekat.
“Cie...” ledeknya. Aku tersenyum
kecut.
Aku di perpustakaan. Ada apa? Kutekan
tombol kirim. Setelah laporan terkirim muncul di layar handphone,
panggilan masuk memenuhi layar. Fahri.
“Kenapa?” tanyaku langsung. Widya
segera memasang telinga.
“Kok belum keluar?” suara merdu
Fahri di ujung telepon menghapus dahagaku.
“Emangnya kenapa?” aku masih
bingung. Lalu, “Kamu lagi di sini ya?” seruku tiba-tiba. Kudengar tawa Fahri di
seberang sana. Tanpa ba-bi-bu, segera aku meninggalkan perpustakaan dan menuju
gerbang utama.
Di depan sekolahku, sudah terparkir
motor sport dan di atasnya bertengger sosok cowok yang sebulan ini
kurindukan. Yang setiap hari menampakkan hadirnya melalui pesan singkat. Fahri
Atmaja. Ketika dia menyadari keberadaanku, senyum pun terkembang di wajah
manisnya.
“Tadinya aku mau kasih surprise buat
kamu. Pasti kamu kaget kalau tiba-tiba aku yang jemput,” dia membuka
pembicaraan. Aku tertawa.
“Ternyata?”
“Ternyata aku yang terkejut sendiri.
Kamu pulang telat,” dia juga ikut tergelak.
Dari tempat parkir, Widya menatapku
penuh arti. Setelah berbasa-basi sejenak, teman sebangku sekaligus sahabatku
itu pulang. Dan aku mulai menebak, besok aku jadi bahan ledekannya yang bakal
meledak di kelas.
“Kamu udah bilang Bunda?” tanyaku
sambil naik ke motornya.
“Udah dong! Kalau nggak bilang Bunda
dulu, nggak bakal tahu kalau kamu hari ini dianter. Coba kalau kamu naik motor
sendiri, terus aku nungguin di sini, dan ternyata kamu udah pulang. Tambah
nggak surprise-lah!”jawabnya lagi seraya tertawa. Aku memilih mengernyit
menanggapi jawaban Fahri. Antara tidak mendengar dan tidak mengerti apa yang
dibicarakan pemuda di depanku ini. Angin mengaburkan suaranya.
“Gimana kuliahnya?” tanyaku lagi.
Fahri melirik spion. Kulihat dia tersenyum seperti ingin menceritakan sesuatu
yang lebih dari sekedar berita bahagia.
“Nanti aja di rumah,” katanya. Aku
pun diam. Diam karena diliputi penasaran. Biasanya, jika dia menyembunyikan
sesuatu, itu pasti surprise. Apalagi dari wajah manisnya telah
mengisyaratkan suatu berita bahagia. Entah apa itu, misteri.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar