Kamis, 26 Juni 2014

Hujan Janji



Hujan. Malam ini hujan. Tepat ketika kamu berjanji untuk datang ke rumah. Bersamaan dengan pulangnya kamu dari negeri perantauan. Dan sepertinya, Tuhan memang tidak mengizinkan.


4 bulan yang lalu, kamu pulang. Kamu janji untuk datang. Tapi nyatanya? Katamu, kamu sedang ada kepentingan. Katamu, masih ada tugas yang belum terselesaikan. Dan kamu bilang untuk ke rumah, kapan-kapan. Baiklah.

Bulan berikutnya, kamu pulang. Lagi-lagi, kamu janji untuk datang. Tapi nyatanya? SMS-ku tak kaubaca. Panggilanku kauenyahkan. Mentionku tak kaubalas. Ternyata, handphonemu tak bernyawa. 
Boleh, kan, jika aku mulai curiga?

Masih di bulan yang sama, minggu berikutnya. Aku melihatmu sedang menggandeng seorang wanita. Entah itu siapa. Katamu, itu hanya teman. Katamu, itu hanya teman dekat. Katamu, itu hanya sahabat. Lantas, kenapa kautak memberitahuku sebelumnya? Masihkah curiga ini salah?

Bulan berikutnya. Kamu tidak pulang. Tapi kamu meneleponku jauh-jauh dari sana. Di tengah padatnya tugas. Katamu. Di tengah riuhnya suara hujan. Katamu. Mirip dengan sekarang. Petir terdengar bersahutan. Aku tak curiga, karena aku bisa mendengarnya melalui telepon genggam yang kutempelkan di telinga. Dan waktu itu, kamu berjanji, jika pulang, kamu akan datang ke rumah.

Malam ini. Maghrib disambut tawa lepas hujan. Ditambah sorak petir yang menggelegar. Sampai Adzan Isya’ berkumandang, hujan tak kunjung sirna. Dan kamu menjadikan peristiwa alam malam ini sebagai alasan kamu tidak datang ke rumah.

Kenapa kamu selalu beralasan jika akan datang ke rumah? Kenapa kamu selalu berjanji jika pada ujungnya ingkar? Kenapa curigaku kauanggap salah? Kenapa kamu menyuruhku percaya jika kautak bisa kupercaya? Apakah pertanyaan-pertanyaanku ini juga kausalahkan?

Entah sampai kapan aku bertahan dalam status kekasihmu, namun tak benar-benar jadi kekasihmu. Mungkin, lebih tepat dikatakan hanya sebagai isi kolom nama kekasih dalam akunmu. Hanya sebagai pelengkap bio twittermu. Apa aku juga salah, jika aku masih ingin bertahan dalam sikap tak acuhmu?

Aku tak mengerti, inikah yang namanya cinta jika janjimu hanya sebagai pelengkap status berpacaran kita? Dan Tuhan hanya menjawab melalui derasnya hujan yang mengguyur kota. Yang sempat membuatmu berkelit untuk tidak datang ke rumah.

Untukmu di ujung sana,
Semoga kamu baik-baik saja.

Sebelumnya, aku minta maaf karena telah lancang menulis cerita runyam kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini