Hujan. Malam ini hujan. Tepat
ketika kamu berjanji untuk datang ke rumah. Bersamaan dengan pulangnya kamu
dari negeri perantauan. Dan sepertinya, Tuhan memang tidak mengizinkan.
4 bulan yang lalu, kamu pulang.
Kamu janji untuk datang. Tapi nyatanya? Katamu, kamu sedang ada kepentingan.
Katamu, masih ada tugas yang belum terselesaikan. Dan kamu bilang untuk ke
rumah, kapan-kapan. Baiklah.
Bulan berikutnya, kamu pulang.
Lagi-lagi, kamu janji untuk datang. Tapi nyatanya? SMS-ku tak kaubaca.
Panggilanku kauenyahkan. Mentionku tak kaubalas. Ternyata, handphonemu tak
bernyawa.
Boleh, kan, jika aku mulai curiga?
Masih di bulan yang sama, minggu
berikutnya. Aku melihatmu sedang menggandeng seorang wanita. Entah itu siapa.
Katamu, itu hanya teman. Katamu, itu hanya teman dekat. Katamu, itu hanya
sahabat. Lantas, kenapa kautak memberitahuku sebelumnya? Masihkah curiga ini
salah?
Bulan berikutnya. Kamu tidak
pulang. Tapi kamu meneleponku jauh-jauh dari sana. Di tengah padatnya tugas.
Katamu. Di tengah riuhnya suara hujan. Katamu. Mirip dengan sekarang. Petir
terdengar bersahutan. Aku tak curiga, karena aku bisa mendengarnya melalui
telepon genggam yang kutempelkan di telinga. Dan waktu itu, kamu berjanji, jika
pulang, kamu akan datang ke rumah.
Malam ini. Maghrib disambut tawa
lepas hujan. Ditambah sorak petir yang menggelegar. Sampai Adzan Isya’
berkumandang, hujan tak kunjung sirna. Dan kamu menjadikan peristiwa alam malam
ini sebagai alasan kamu tidak datang ke rumah.
Kenapa kamu selalu beralasan jika
akan datang ke rumah? Kenapa kamu selalu berjanji jika pada ujungnya ingkar?
Kenapa curigaku kauanggap salah? Kenapa kamu menyuruhku percaya jika kautak
bisa kupercaya? Apakah pertanyaan-pertanyaanku ini juga kausalahkan?
Entah sampai kapan aku bertahan
dalam status kekasihmu, namun tak benar-benar jadi kekasihmu. Mungkin, lebih
tepat dikatakan hanya sebagai isi kolom nama kekasih dalam akunmu. Hanya
sebagai pelengkap bio twittermu. Apa aku juga salah, jika aku masih ingin
bertahan dalam sikap tak acuhmu?
Aku tak mengerti, inikah yang
namanya cinta jika janjimu hanya sebagai pelengkap status berpacaran kita? Dan
Tuhan hanya menjawab melalui derasnya hujan yang mengguyur kota. Yang sempat
membuatmu berkelit untuk tidak datang ke rumah.
Untukmu
di ujung sana,
Semoga
kamu baik-baik saja.
Sebelumnya,
aku minta maaf karena telah lancang menulis cerita runyam kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar