Yogyakarta.
Entah mengapa, kota itu selalu membuatku menyebutnya istimewa. Aku sendiri tak
tahu di mana letak ke-istimewaan itu, sebelum aku menemukan sesuatu yang
spesial di sana.
Jogja. Begitu
banyak orang memanggilnya. Mengundang sejuta umat untuk datang, dengan berbagai
macam daya tarik yang ia pancarkan. Dan sejak sore kemarin, aku merasakan
pancaran itu.
Senin, 23 Juni
2014. Aku berangkat ke Kota Istimewa. Aku heran, mengapa kakiku ingin
menjejakkan kaki di sana. Sebuah tempat yang selalu kuanggap sebagai calon
kotaku. Di sana pula, aku menemukan berbagai ketertarikkan, seperti: objek-objek
yang selama ini hanya kukunjungi melalui dunia maya. Hanya kuamati jika aku
sedang berada di Twitter Island. Semua itu terbatas oleh layar laptopku. Aku
tak mampu menjamahnya. Aku tak bisa.
Do’a-do’a yang
selalu kupanjatkan kepadaNya, yang seolah tak digubris olehNya, lagi-lagi
membungkam pikiranku yang lancang. Ya. Lagi-lagi Tuhan memberiku kejutan.
Membuatku kembali besemangat setelah beberapa hari ini dirundung kekecawaan.
Tuhan memerintahku bersyukur melalui Yogyakarta.
Otakku tak
sampai berpikir jika aku akan bertemu dengannya. Dengan mereka. Pikiranku hanya
melayang pada sekelompok bocah yang sekarang tengah berada di Kepulauan Riau.
Anganku hanya terbatas pada sekelompok bocah yang sekarang sedang syuting di
negeri antah-berantah. Padahal, semuanya saling berhubungan. Sesuatu yang
spesial itu, dengan bocah-bocah di Riau dan proses syuting di negeri antah-berantah.
Mungkin, jika
bukan orang-orang terdekatku, bingung saat membaca tulisan ini. Apa maksudnya?
Siapa mereka? Siapa atau apa sesuatu yang spesial itu? Bocah-bocah di Riau? Di
negeri antah-berantah?
Baiklah. Cerita
ini kumulai, ketika petang kemarin di Jogja. Ketika keinginanku untuk bertemu
dengan lapangan Universitas Negeri Yogyakarta, yang sering digunakan para
pangeran khayalanku—Timnas U-19. Sempat terpikir untuk tidak mengunjunginya, karena
matahari sudah beranjak ke peraduan. Tapi Tuhan, mengizinkanku untuk melihat
secara langsung seperti apa wajah lapangan sepak bola itu.
Aku berdiri
mematung dari luar lapangan. Mengamati siapa yang tengah bermain bola di sana.
Dengan mata yang menyipit karena minus parah, aku berusaha mengenali
sosok-sosok yang sedang mengoper bola, menahan serangan, dan menangkap bola.
Aku kenal mereka melalui seragamnya. Tapi, apa benar jika itu mereka? Jika iya,
apakah ini mimpi? Jika tidak, mengapa seragam warna biru khas Timnas menempel
di tubuh mereka?
Pikiranku
kembali ke tanah, ketika seseorang menawarkanku untuk lebih baik masuk tribun
saja agar bisa melihat lebih dekat. Setengah ragu dan senang, aku menuruti.
Jantungku berdegup cepat, tak seirama dengan langkahku yang agak lambat.
Mempersiapkan mental jika itu benar-benar mereka. Serta, memikirkan bagaimana
ekspresi yang kutunjukkan jika itu benar-benar mereka.
Kakiku
menginjak tribun penonton. Seketika aku terhenti. Nafasku seolah tak masuk
paru-paru. Hanya masuk hidung dan langsung keluar dari hidung. Raphael Maitimo?
Manahati Lestusen? Andritany? Ah, ya! Itu mereka! Mataku yang tadi sempat
memicing, kali ini terbelalak lebar. Takjub. Terperanjat. Timnas U-23 berada di
depan mata! Sekelompok bocah yang sekarang tengah dewasa, yang selama ini
kunikmati melalui layar kaca,
benar-benar kulihat secara langsung. Padahal, Twitter Island tak
mengisyaratkan sesuatu jika Timnas U-23 berada di Jogja. Tak ada kabar apapun.
Dan aku berhasil bertemu. Peristiwa yang disutradarai oleh Tuhan ini,
benar-benar membuatku kagum.
Aku tahu, bagi
sebagian orang, bertemu dengan Timnas adalah hal biasa. Aku juga tahu, mungkin
sikapku ini berlebihan. Tapi, entahlah. Aku tak bisa menahan gejolak
kegembiraanku ketika aku menyapa salah satu pemain andalah Timnas. Pemain muda,
mungil, lincah, yang kerap mengobrak-abrik daerah pertahanan lawan, tak jarang
pula melesakkan bola ke gawang lawan, Bayu Gatra Sanggiawan.
Aku masih belum
percaya, bisa bertemu secara langsung pemain satu itu. Aku masih belum percaya
ketika dia mengambil spidol yang kusodorkan. Aku masih tak percaya dia menorehkan
tanda tangannya pada buku kesayanganku. Aku masih tak percaya jika avatar dan
foto profilku yang sekarang terpasang, tanpa tipuan kamera atau editan komputer
dengan aplikasi ter-anyar. Aku masih belum percaya jika peristiwa rancangan
Tuhan ini, benar-benar terjadi pada bocah pengkhayal kelas kakap.
Kukira, di
lapangan Universitas Negeri Yogyakarta aku bertemu dengan Timnas U-19. Tapi,
tidak. Melalui akunnya, Garuda Jaya mengatakan tidak sedang berada di Jogja.
Enyahkan Timnas U-19. Aku sendiri sudah tak memasukkan Timnas Senior ke dalam
jajaran ‘Jumpa Fans’ di Jogja, karena aku sendiri tahu bahwa Timnas Senior juga
tidak berada di Jogja. Pikiranku, melayang pada syuting film Timnas U-19 yang
diadaptasi dari buku Semangat MemBATU. Beberapa hari sebelumnya, syuting
film itu diadakan di Stadion Manahan, Solo. Jadi, kemungkinan dia berada di
Jogja kemarin juga termasuk logis, kan? Solo-Jogja itu dekat.
Beruntung, aku
sudah bersiap bertemu dengan idola. Aku membawa kamera digital. Aku membawa 3
buku kesayanganku sekaligus. Aku juga membawa spidol untuk tanda tangan, siapa
tahu mereka benar-benar di Jogja. Dan Tuhan memang telah menyiapkan semuanya.
Aku benar-benar bertemu mereka. Timnas U-23. Yang juga tak kumasukkan ke dalam
rancanganku ‘Jumpa Fans’ di Jogja. Apalagi Bayu Gatra. Sama sekali tidak masuk
nominasi. Tapi Tuhan, memutarbalikkan semuanya. Aku benar-benar melihat seperti
apa latihan Timnas. Aku benar-benar tahu seperti apa sosok Bayu Gatra
Sanggiawan. Dan petang di Jogja kemarin, lapangan Universitas Negeri
Yogyakarta, benar-benar tahu siapa yang terlonjak kegirangan karena bisa
bertemu pemuda-pemuda itu.
Tdiak ada yang tahu, jika sebelumnya aku hampir menangis karena
rencana ke lapangan UNY hampir gagal.
Tidak ada yang tahu, jika aku tidur sambil memeluk Kartu Pos
bergambar Ravi Murdianto.
Tidak ada yang tahu, sebelum tulisan ini meluncur ke hadapan para
pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar