Selasa, 17 Juni 2014

LDR (Luka Dari Rasa) - Episode 2



Aku tersenyum simpul mengingat pemuda bernama Fahri ini. Aku dekat dengan dia, kurang lebih 3 tahun. Selama 3 tahun itu, aku melakukan berbagai adaptasi, penjajakan, dan pengalaman hidup yang membuatku lebih dewasa. Tanpa Fahri sadari, dia telah mengajariku banyak hal. Bagaimana cara bertata krama dengan orang tua, bagaimana untuk tidak ketus dengan teman lawan jenis, bagaimana caranya menjadi siswa berotak IPA tapi berjiwa IPS.
            Fahri punya itu semua. Ditambah wajahnya yang tidak sekedar manis. Terkadang, aku cemburu dengan dia. Banyak sekali perempuan yang suka padanya. Jika Fahri sedang ke rumah, tak jarang handphone-nya berdering. Bahkan, bisa mencapai ratusan kali. 0,1% di antaranya, baru benar-benar teman kampusnya. Tapi aku sadar. Aku salah tempat untuk cemburu. Aku bukan siapa-siapanya. Dia bukan siapa-siapaku. 3 tahun ini, kami tidak menjalin hubungan apapun selain teman. Hatiku sendiri mengatakan, hubunganku lebih dari teman. Namun, otakku menyatakan bahwa Fahri hanya menganggapku teman. Lantaran, dia tak pernah mengatakan sepatah katapun tentang ‘cinta’ padaku. Yang jelas, otak dan hatiku memberi peringatan, bahwa aku belum siap terluka karena cinta. Sebuah rasa yang didefinisikan berbeda-beda oleh para ahli dan ilmuwan.
            “Angie!” suara Fahri membuyarkan lamunanku tentangnya.
            Setelah ber-hehe padanya, aku mempersilakan dia masuk rumah. Menagih janjinya untuk menceritakan kabar yang seolah membuatnya ingin meledak.
            “Aku bakal ngerjain proyek di salah satu stasiun tv swasta!” serunya. Aku tersenyum, ikut bahagia.
            “Wah, selamat ya! Nanti bakal jadi cameraman profesional dong!” sahutku.
            “Amin,” do’anya seraya menangkupkan tangan di muka. Sudah sejak dulu, dia bercita-cita jadi cameraman. Dan itu ditempuhnya dengan kuliah broadcast di salah satu universitas ternama negeri. Otak Fahri benar-benar dapat diandalkan untuk hal akademik. Aku mengakuinya. Itu juga salah satu faktor, kenapa banyak kaumku memuja dirinya.
            Tiba-tiba Fahri menunduk.
            Keningku berkerut.“Kenapa? Lapar?” tanyaku heran.
Dia menggeleng. Lalu mendongak, menatapku.“Dengan proyek itu, kita nggak ketemu selama kurang lebih 3 bulan. Aku ke Jakarta,” Fahri tertunduk lagi. Aku terhenyak. Selama itukah? Aku dan Fahri saja, baru bertemu sekali ini dalam jangka waktu 1 bulan.
            Aku mencoba tersenyum. “Namanya juga ngejar cita-cita. Korban sedikit nggak papa dong,” hiburku. Fahri ikut tersenyum.
            Sepulang Fahri siang ini, membuatku kembali berpikir tentang dia. Apa dia tidak kepincut perempuan ini-itu? Apalagi, profesionalitas kerjanya, menuntut Fahri untuk mengambil gambar artis yang pastinya cantik-cantik. Demi membuatku tenang, Fahri dulu pernah bilang, dia tidak akan pacaran sebelum dia mendapat pekerjaan, dan ceweknya selesai sekolah. Siapa yang dia maksud? Dirikukah? Siapa lagi? Intinya, Fahri tak pernah bohong. Aku tahu dia. Orang tuaku juga tahu dia. Orang tuaku telah memberi kami berdua lampu hijau untuk meningkatkan status hubungan. Orang tua Fahri juga. Aku pun tersenyum memikirkannya.

Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini