Aku tersenyum
simpul mengingat pemuda bernama Fahri ini. Aku dekat dengan dia, kurang lebih 3
tahun. Selama 3 tahun itu, aku melakukan berbagai adaptasi, penjajakan, dan
pengalaman hidup yang membuatku lebih dewasa. Tanpa Fahri sadari, dia telah
mengajariku banyak hal. Bagaimana cara bertata krama dengan orang tua,
bagaimana untuk tidak ketus dengan teman lawan jenis, bagaimana caranya menjadi
siswa berotak IPA tapi berjiwa IPS.
Fahri punya itu semua. Ditambah
wajahnya yang tidak sekedar manis. Terkadang, aku cemburu dengan dia. Banyak
sekali perempuan yang suka padanya. Jika Fahri sedang ke rumah, tak jarang handphone-nya
berdering. Bahkan, bisa mencapai ratusan kali. 0,1% di antaranya, baru
benar-benar teman kampusnya. Tapi aku sadar. Aku salah tempat untuk cemburu.
Aku bukan siapa-siapanya. Dia bukan siapa-siapaku. 3 tahun ini, kami tidak
menjalin hubungan apapun selain teman. Hatiku sendiri mengatakan, hubunganku
lebih dari teman. Namun, otakku menyatakan bahwa Fahri hanya menganggapku
teman. Lantaran, dia tak pernah mengatakan sepatah katapun tentang ‘cinta’
padaku. Yang jelas, otak dan hatiku memberi peringatan, bahwa aku belum siap
terluka karena cinta. Sebuah rasa yang didefinisikan berbeda-beda oleh para
ahli dan ilmuwan.
“Angie!” suara Fahri membuyarkan
lamunanku tentangnya.
Setelah ber-hehe padanya, aku
mempersilakan dia masuk rumah. Menagih janjinya untuk menceritakan kabar yang
seolah membuatnya ingin meledak.
“Aku bakal ngerjain proyek di salah
satu stasiun tv swasta!” serunya. Aku tersenyum, ikut bahagia.
“Wah, selamat ya! Nanti bakal jadi cameraman
profesional dong!” sahutku.
“Amin,” do’anya seraya menangkupkan
tangan di muka. Sudah sejak dulu, dia bercita-cita jadi cameraman. Dan
itu ditempuhnya dengan kuliah broadcast di salah satu universitas
ternama negeri. Otak Fahri benar-benar dapat diandalkan untuk hal akademik. Aku
mengakuinya. Itu juga salah satu faktor, kenapa banyak kaumku memuja dirinya.
Tiba-tiba Fahri menunduk.
Keningku berkerut.“Kenapa? Lapar?”
tanyaku heran.
Dia menggeleng.
Lalu mendongak, menatapku.“Dengan proyek itu, kita nggak ketemu selama kurang
lebih 3 bulan. Aku ke Jakarta,” Fahri tertunduk lagi. Aku terhenyak. Selama
itukah? Aku dan Fahri saja, baru bertemu sekali ini dalam jangka waktu 1 bulan.
Aku mencoba tersenyum. “Namanya juga
ngejar cita-cita. Korban sedikit nggak papa dong,” hiburku. Fahri ikut
tersenyum.
Sepulang Fahri siang ini, membuatku
kembali berpikir tentang dia. Apa dia tidak kepincut perempuan ini-itu?
Apalagi, profesionalitas kerjanya, menuntut Fahri untuk mengambil gambar artis
yang pastinya cantik-cantik. Demi membuatku tenang, Fahri dulu pernah bilang,
dia tidak akan pacaran sebelum dia mendapat pekerjaan, dan ceweknya selesai
sekolah. Siapa yang dia maksud? Dirikukah? Siapa lagi? Intinya, Fahri tak
pernah bohong. Aku tahu dia. Orang tuaku juga tahu dia. Orang tuaku telah
memberi kami berdua lampu hijau untuk meningkatkan status hubungan. Orang tua
Fahri juga. Aku pun tersenyum memikirkannya.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar