Kamis, 06 Maret 2014

Firasat



Kapal makin terombang-ambing. Meliuk sana meliuk sini. Termakan ombak yang kian meninggi. Para penumpang segera berlari ke buritan kapal. Tak terkecuali diriku. Tapi, kakiku seakan terpaku. Aku tak bisa berlari! Aku hanya bisa diam. Tuhan... Tolong aku! Ombak mulai memasuki bibir kapal. Sebentar lagi pasti menyentuh kakiku yang beku. Air laut makin memenuhi kapal. Dan tinggallah nyawaku di ujung tanduk......
                   “Bangun, dek!”
          “HIYAAA....” mataku terbuka. Suaraku tak kalah perkasa dengan armada tentara. Mengalahkan tingga ombak yang berada di..... mimpiku tadi. Eh, hanya mimpi?
                “Malah teriak-teriak. Udah siang adekku Sayang,” kakakku mencubit pipiku. Aku sendiri masih shock dengan kapal yang hampir oleng terhantam ombak. Yang ternyata itu karena tangan kakakku menggoncang bahuku. “Kamu akan kerja kelompok, kan?” sontak aku melihat jam dinding. Ha? Jam 11! Padahal janji kerja kelompok kemarin jam 9!
                “Kenapa aku nggak dibang....”
                “Udah! Sekarang kamu cuci muka, terus aku anterin ke sekolah!” potong kakakku setengah memerintah. Hampir saja mulutku meluncurkan protes jika tak melihat kakakku juga bersiap. Tumben tuh anak baik sama aku? Lah, biasanya kan, dia jahil. Jangan-jangan ada apa-apa nih, anak? Biasanya sih ada maunya. Tapi sepertinya bukan karena itu.
                Selesai siap-siap, aku segera meluncur ke sekolah dengan diantar Mas Aldi, kakakku. Tapi, bukankah teman-temanku sudah pulang? 2 jam itu, waktu yang tidak singkat untuk sekedar menunggu seseorang. Apalagi hanya untuk menungguku. Toh, pekerjaannya tidak berat-berat amat.
                “Ehm... Mas, emangnya, temen-temen belum pulang?” tanyaku di tengah perjalanan. Mas Aldi tertawa.
                “Tenang aja Bos! Tadi aku mampir ke sekolahmu. Bilang kalau kamu masih tidur,” aku ternganga mendengar jawaban Mas Aldi. Jawaban yang terlalu mustahil untuk dilontarkan seorang Mas Aldi.
                “Aku serius, Mas!” bentakku.
                “Apa aku kelihatan main-main?” tanya kakakku balik.
“Kelihatan banget!” Mas Aldi diam. Aku pun bungkam. Makin merasa aneh dengan Mas Aldi. Selama menjadi adiknya, belum pernah aku mendengar jawaban lucu seperti tadi. Bahkan, penolakannya dengan beberapa perempuan yang kutahu, tidak sampai dia mendatangi sekolah perempuan itu satu per satu. Oke! Mas Aldi memang super guanteng. Aku turut bangga menjadi adiknya. Yang pernah menjadi Mak Comblang antara tetanggaku dengan Mas Aldi. Dengan sogokan berupa cokelat dan buku novel paling romantis, tak meluluhkan Mas Aldi untuk menerima cinta si tetangga. Bahkan aku sempat dimaki karena tidak berhasil jadi Mak Comblang. Yap! Mas Aldi belum pernah pacaran! Dengan umur yang menginjak angka 18!
Otak sama fisiknya tokcer pake banget. Lulus SMA, dia langsung diterima di akademi militer. Nanti malam, dia akan berangkat ke sekolah militernya. Gimana nggak bikin ngiler cewek-cewek tuh? Tapi, jahilnya itu lo.... Atau, jangan-jangan, sebenarnya ini dalam rangka menjahiliku? Oh, Mas Aldi, please jangan buat aku penasaran seperti ini!
“Dek! Kok malah diem. Udah sampe nih!” byar! Lamunan tentang Mas Aldi melayang berhamburan. Nah, begini Mas Aldi. Membentak adiknya. Tapi, bentakannya membuatku sedikit tenang. Ya! Sedikit! Firasatku mulai tidak enak.
Aku turun dari Ninjanya. “Kamu kok aneh, sih, Mas? Jangan-jangan kamu mau jahilin aku?” tanyaku tiba-tiba sambil menatap tajam mata cokelatnya. Dia tertawa. Cukup keras.
“Jangan kebanyakan nonton film, deh. Makanya kamu jadi paranoid begini. Nggak baik, lho!” jawabnya. Lagi-lagi aku tertegun. “Sudah ditungguin temanmu di kelas, tuh. Katanya tadi, tinggal buat yang kerajinan gitu. Udah ya. Nanti kalau mau pulang, sms aja! Bye!” pungkasnya.
Aku berjalan ke kelas dengan gontai. Untuk ukuran Mas Aldi, jawaban terakhirnya tadi adalah yang puuuaallliinnggg halus. Seharusnya jawaban Mas Aldi dengan tatapan meledek atau ngejitak atau ah, apalah! Bukan dengan mengingatkanku tentang parno. Ataupun kalau menjawab, dia langsung begini, “Hehe. Pulang ini, buatin tugas yang ini ya!” atau “Yang penting imbalannya seimbang!”  dan sebagainya. Mas Aldi! What’s wrong with you?
“Hei!” seru temanku. Aku terperanjat dan langsung memasang wajah sumringah. Tak sadar jika kakiku sudah menginjak lantai kelas. “Tadi kakakmu ke sini. Kok dia tahu kalau kita lagi kerja kelompok? Gantengggg banget. Udah ngomongnya halus lagi. Kamu tuh, suka nuduh dia. Yang katanya suka nyubit, jitak.......” aku hanya diam mendengar celoteh temanku. Berarti benar. Mas Aldi tadi ke sini! Dia sedang cari perhatian atau apa?
“Eh, kamu kok diem?”
“Ha? Oh, eh, aku tinggal ngerjain apa, nih?” tanyaku tergeragap.
“Kamu tinggal pasang yang ini. Disilang aja biar bagus. Terus yang ini.... ini....” dan pikiranku melayang pada kerajinan tangan yang ada di depanku.
2 jam kemudian, aku selesai mengerjakan tugasku. Tepat saat itu, di depan sekolahku ada semacam siaran langsung salah satu stasiun tv. Lagi-lagi firasat tidak enakku muncul. Pesan singkatku pada Mas Aldi baru saja meluncur. Tapi, diriku makin tidak tenang, jantungku malah makin berdegup tak karuan. Pikiranku langsung menuju Mas Aldi. Ada apa dengan kakak semata wayangku?
Tin.... tin....
Suara klakson khas Ninja Mas Aldi memasuki telingaku. Kulihat dia agak jauh di seberang jalan, dari tempatku berdiri. Aku masih merasa aneh padanya. Aku pun hanya melambaikan tanganku, memberi isyarat padanya untuk segera menghampiriku. Dia masih membunyikan klaksonnya. Aku mulai memasang wajah cemberut. Dan, yes! Berhasil! Mas Aldi mengalah. Dia menghampiriku. Sembari menunggu Mas Aldi, aku mengamati peralatan syuting stasiun tv itu. Tiba-tiba......
BRAAAKKKK!!!
Kontan aku menoleh. Aku berteriak histeris.
“MASSS ALDDDIII........”
***
Air mataku tak kunjung surut. Aku duduk di samping Mas Aldi yang dililit begitu banyak kabel di tubuhnya. Seharusnya aku yang menghampiri Mas Aldi. Seharusnya aku tak perlu memasang wajah cemberut pada Mas Aldi. Seharusnya aku tak perlu berpikir macam-macam pada Mas Aldi. Seharusnya Mas Aldi tidak tertabrak motor sialan itu. Seharusnya tidak ada syuting sialan di depan sekolahku hingga Mas Aldi dapat ditangani dengan cepat. Tidak malah menghambat penanganan Mas Adi dengan alasan ingin melakukan wawancara. Yang seolah-olah mereka menudingku sebagai tersangka!
“Mas Aldi maafin aku ya. Mas Aldi cepat bangun. Nanti malam Mas Aldi mau berangkat, kan?” bisikku dengan sesenggukan. Meski aku tahu, keadaan Mas Aldi tidak memungkinkan untuk berangkat malam ini. Bahkan, perasaanku mengatakan, Mas Aldi dinyatakan gugur sebagai siswa militer junior. “Mas Aldi pasti ganteng kalau pakai topi tentara. Mas Aldi pasti dikagumi banyak orang. Mas Aldi nanti pasti kelihatan gagah. Mas Aldi.......” aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Terlalu pahit untuk didengar. Hingga Ayah dan Bunda memilih di luar daripada di dalam bersamaku dan Mas Aldi yang membuat air mata mereka turun deras.
“Semoga Mas Aldi cepat sembuh. Amin,” tepat saat mulutku tertutup, alat pendeteksi detak jantung menunjukkan garis lurus. Seperti yang kulihat di film-film, biasanya jika alat itu menunjukkan garis lurus, berarti....... firasat anehku terjawab. Paranoid, film...... seketika aku jatuh dari kursi dan semuanya menggelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini