Kamis, 13 Maret 2014

Mas Aldi Datang?




“Semoga Mas Aldi cepat sembuh. Amin,” tepat saat mulutku tertutup, alat pendeteksi detak jantung menunjukkan garis lurus. Seperti yang kulihat di film-film, biasanya jika alat itu menunjukkan garis lurus, berarti....... firasat anehku terjawab. Paranoid, film...... seketika aku jatuh dari kursi dan semuanya menggelap.




7 hari sudah kematian kakakku. Semakin hari mataku terasa sakit, perih, karena menangis. Yang semula sembab, menjadi bengkak. Berita di TV makin tak karuan. Hingga rumahku tertutup untuk wartawan yang ingin melakukan wawancara denganku. Semuanya membuatku takut. Menggigil kedinginan di tengah rasa menyesal kematian kakakku. Akulah sebab musababnya! Karena cemberut yang dibuat-buat! Berujung pada petaka!
Aku kangen sama Mas Aldi. Seandainya kamu mendengar jerit tangisku saat ambulan mengantar jasadmu kesini. Seandainya kamu tahu saat aku pingsan di tengah upacara pemakamanmu. Seandainya kamu melihat teman-temanmu berbondong-bondong kesini untuk sekedar mengucap bela sungkawa. Mas Aldi......
Jam menunjukkan pukul 12. Entah mengapa, ada dorongan yang membuatku terbangun malam ini. Dan ketika mataku terbuka, aku terkejut setengah mati! Mas Aldi!
“Mas Aldi?” yang kupanggil menoleh. Jantungku seperti berhenti memompa darah karena turut terkejut dengan adanya Mas Aldi di kamarku. Ha? Di kamarku?
“Hehe. Sorry bikin kamu bangun, dek,” dia terkekeh pelan. Dia memakai baju setelan berwarna putih. Tapi, wajahnya sangat pucat dan kulitnya sangat putih seperti tak teraliri darah.  “Jalan yuk, dek!” ajaknya. Aku masih diam di tempat. Lama-lama, kakiku ikut melangkah bersamanya.
Kami tiba di sebuah tempat mirip sekolah. Di dalam areal sekolah itu, terdapat gedung mirip hotel. Halaman sekolahnya juga sangat luas. Hingga aku sadar, di depan tempat itu terdapat plang “AKADEMI MILITER TARUNA BANGSA”, yang kutahu adalah mantan sekolah Mas Aldi. Yang belum sempat Mas Aldi tempati karena insiden kecelakaan akibat adiknya sendiri. Lagi-lagi aku menangis.
“Sudahlah, dek. Jangan menangis! Adiknya Mas Aldi, nggak boleh nangis! Kecelakaan itu bukan karena kamu. Itu sudah takdir, Sayang,” kata Mas Aldi sambil mengelap air mataku. Aku sedikit merinding. Tangan Mas Aldi sedingin es! “Oh, iya. Itu bukan hotel. Itu asrama,” tunjuk Mas Aldi pada gedung yang kutafsir adalah hotel. Mengapa dia bisa tahu pikiranku?
“Aku bisa membacanya!” jawab Mas Aldi. Dia tengah tersenyum kepadaku. Giliran aku yang melongo heran. “Sudah! Wajahnya jangan kaget gitu, dong. Mau kemana lagi? Sekolahmu?” tanyanya masih dengan senyum yang sama. Aku hanya mengangguk ragu.
Benar! Ini sekolahku! Kami tiba di sini hanya dengan sekejap mata! Padahal sekolah Mas Aldi dan sekolahku, berada di kota yang berbeda! Kejutan yang kedua dari Mas Aldi. Jantungku berdegup tak karuan. Antara takut, merinding, senang, bercampur jadi satu. Langkahku sendiri masih tertambat di gerbang utama sekolah. Mas Aldi sepertinya mengerti. Dia menghentikan langkahnya lalu menghampiriku sambil tersenyum.
“Mau nonton film?” tawar Mas Aldi. Aku mengangguk. Meski aku masih agak ragu, aku tak lagi merinding  dengan tangan es Mas Aldi; wajah pucat dan baju serba putihnya! Dengan senang hati, kurengkuh tangannya dalam pelukanku. Meruntuhkan benteng rindu yang semakin menyesakkan batinku.
Kami tiba di sebuah gedung film. Sepi. Yang terlihat hanyalah sisa-sisa sampah bungkus makanan atau bungkus minuman. Sepertinya baru saja tutup. Sobekan karcis di depan pintu masuk, masih berserakan seakan menghadang langkahku.
“Kita lewat sini!” perintah Mas Aldi. Aku menurut saja.
Sampai di dalam bioskop, tidak ada satupun manusia yang berada di sana. Aku merinding. Segera kurapatkan tubuhku pada Mas Aldi. Bulu kudukku kian berdiri. Tubuh Mas Aldi juga sedingin tangannya!
“Nggak usah takut, Dek,” ujarnya kalem. Bukannya tenang, aku makin gugup. Takut, merinding, jadi satu. “Atau kamu pulang saja? Mas Aldi antar deh,” katanya. Aku segera mengangguk setuju.
Lagi-lagi hanya sekejap, aku sudah sampai di kamarku. Kulihat Mas Aldi tersenyum.
“Sudah tidur! Besok kamu ulangan PKn, kan? Bangunnya jangan kesiangan,” pesan Mas Aldi dengan senyum yang menggetarkan hatiku. Bagaimana Mas Aldi tahu? “Tuh, di sampingmu banyak buku pelajaran. Pasti besok mau ulangan. Kalau nggak ulangan? Ngerjain PR, terus tidur. Kalau nggak ada PR nggak ada ulangan? Nyentuh buku pelajaran aja enggak! Hehe. Mas Aldi, kan hapal kebiasaan adiknya,” jelasnya menjawab keterkejutanku. Aku tertawa sumbang.
“Waktunya Mas Aldi sudah habis. Lihat buku LKSmu, buka halaman yang sesuai dengan umur Mas Aldi, ya! Selamat tidur, dek,” meski aku tak begitu paham ucapannya aku mengangguk. Mas Aldi mengecup keningku. Dia pun meninggalkan kamarku.
Mataku terbuka tiba-tiba. Mas Aldi? Kutengok seluruh kamarku. Mas Aldi tidak ada? Hanya mimpi? Mengapa semua tampak nyata? Pandanganku jatuh pada selimutku. Agar tersingkap. Dan seperti bekas diduduki seseorang. Mas Aldi benar-benar ke sini? Bulu kudukku kembali berdiri. Pesan Mas Aldi di mimpiku tadi? Buku LKS, halaman 18! Sesuai umur Mas Aldi!
Agak tergesa kucari buku LKSku. Halaman 18! Tanda tangan Mas Aldi! Sesuai tanggal malam ini! Tepat 7 hari setelah kematiannya! Segera kututup bukuku dan lekas tidur kembali. Jantungku berdegup kencang seiring aku merasakan kehadiran Mas Aldi tepat di samping ranjangku!


Tanda tangan itu terbuat satu bulan sebelumnya. Ketika Mas Aldi janji untuk diterima di sekolah kemiliteran. Sebenarnya, saat itu Mas Aldi sudah menjalani tes ke 3. Maaf baru cerita sekarang.
Tepat jam 1 dinihari, pulpen bergerak sendirian..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini