“Semoga Mas Aldi cepat sembuh. Amin,” tepat saat mulutku tertutup, alat
pendeteksi detak jantung menunjukkan garis lurus. Seperti yang kulihat di
film-film, biasanya jika alat itu menunjukkan garis lurus, berarti.......
firasat anehku terjawab. Paranoid, film...... seketika aku jatuh dari kursi dan
semuanya menggelap.
7 hari sudah kematian kakakku. Semakin hari mataku terasa sakit, perih,
karena menangis. Yang semula sembab, menjadi bengkak. Berita di TV makin tak
karuan. Hingga rumahku tertutup untuk wartawan yang ingin melakukan wawancara
denganku. Semuanya membuatku takut. Menggigil kedinginan di tengah rasa
menyesal kematian kakakku. Akulah sebab musababnya! Karena cemberut yang
dibuat-buat! Berujung pada petaka!
Aku kangen sama Mas Aldi. Seandainya kamu mendengar jerit tangisku saat
ambulan mengantar jasadmu kesini. Seandainya kamu tahu saat aku pingsan di
tengah upacara pemakamanmu. Seandainya kamu melihat teman-temanmu
berbondong-bondong kesini untuk sekedar mengucap bela sungkawa. Mas Aldi......
Jam menunjukkan pukul 12. Entah mengapa, ada dorongan yang membuatku
terbangun malam ini. Dan ketika mataku terbuka, aku terkejut setengah mati! Mas
Aldi!
“Mas Aldi?” yang kupanggil menoleh. Jantungku seperti berhenti memompa
darah karena turut terkejut dengan adanya Mas Aldi di kamarku. Ha? Di kamarku?
“Hehe. Sorry bikin kamu bangun, dek,” dia terkekeh pelan. Dia
memakai baju setelan berwarna putih. Tapi, wajahnya sangat pucat dan kulitnya
sangat putih seperti tak teraliri darah.
“Jalan yuk, dek!” ajaknya. Aku masih diam di tempat. Lama-lama, kakiku
ikut melangkah bersamanya.
Kami tiba di sebuah tempat mirip sekolah. Di dalam areal sekolah itu,
terdapat gedung mirip hotel. Halaman sekolahnya juga sangat luas. Hingga aku
sadar, di depan tempat itu terdapat plang “AKADEMI MILITER TARUNA BANGSA”, yang
kutahu adalah mantan sekolah Mas Aldi. Yang belum sempat Mas Aldi tempati
karena insiden kecelakaan akibat adiknya sendiri. Lagi-lagi aku menangis.
“Sudahlah, dek. Jangan menangis! Adiknya Mas Aldi, nggak boleh nangis!
Kecelakaan itu bukan karena kamu. Itu sudah takdir, Sayang,” kata Mas Aldi
sambil mengelap air mataku. Aku sedikit merinding. Tangan Mas Aldi sedingin es!
“Oh, iya. Itu bukan hotel. Itu asrama,” tunjuk Mas Aldi pada gedung yang
kutafsir adalah hotel. Mengapa dia bisa tahu pikiranku?
“Aku bisa membacanya!” jawab Mas Aldi. Dia tengah tersenyum kepadaku.
Giliran aku yang melongo heran. “Sudah! Wajahnya jangan kaget gitu, dong. Mau
kemana lagi? Sekolahmu?” tanyanya masih dengan senyum yang sama. Aku hanya
mengangguk ragu.
Benar! Ini sekolahku! Kami tiba di sini hanya dengan sekejap mata!
Padahal sekolah Mas Aldi dan sekolahku, berada di kota yang berbeda! Kejutan
yang kedua dari Mas Aldi. Jantungku berdegup tak karuan. Antara takut,
merinding, senang, bercampur jadi satu. Langkahku sendiri masih tertambat di
gerbang utama sekolah. Mas Aldi sepertinya mengerti. Dia menghentikan
langkahnya lalu menghampiriku sambil tersenyum.
“Mau nonton film?” tawar Mas Aldi. Aku mengangguk. Meski aku masih agak
ragu, aku tak lagi merinding dengan
tangan es Mas Aldi; wajah pucat dan baju serba putihnya! Dengan senang hati,
kurengkuh tangannya dalam pelukanku. Meruntuhkan benteng rindu yang semakin
menyesakkan batinku.
Kami tiba di sebuah gedung film. Sepi. Yang terlihat hanyalah sisa-sisa
sampah bungkus makanan atau bungkus minuman. Sepertinya baru saja tutup.
Sobekan karcis di depan pintu masuk, masih berserakan seakan menghadang
langkahku.
“Kita lewat sini!” perintah Mas Aldi. Aku menurut saja.
Sampai di dalam bioskop, tidak ada satupun manusia yang berada di sana.
Aku merinding. Segera kurapatkan tubuhku pada Mas Aldi. Bulu kudukku kian
berdiri. Tubuh Mas Aldi juga sedingin tangannya!
“Nggak usah takut, Dek,” ujarnya kalem. Bukannya tenang, aku makin gugup.
Takut, merinding, jadi satu. “Atau kamu pulang saja? Mas Aldi antar deh,”
katanya. Aku segera mengangguk setuju.
Lagi-lagi hanya sekejap, aku sudah sampai di kamarku. Kulihat Mas Aldi
tersenyum.
“Sudah tidur! Besok kamu ulangan PKn, kan? Bangunnya jangan kesiangan,”
pesan Mas Aldi dengan senyum yang menggetarkan hatiku. Bagaimana Mas Aldi tahu?
“Tuh, di sampingmu banyak buku pelajaran. Pasti besok mau ulangan. Kalau nggak
ulangan? Ngerjain PR, terus tidur. Kalau nggak ada PR nggak ada ulangan? Nyentuh
buku pelajaran aja enggak! Hehe. Mas Aldi, kan hapal kebiasaan adiknya,”
jelasnya menjawab keterkejutanku. Aku tertawa sumbang.
“Waktunya Mas Aldi sudah habis. Lihat buku LKSmu, buka halaman yang sesuai
dengan umur Mas Aldi, ya! Selamat tidur, dek,” meski aku tak begitu paham
ucapannya aku mengangguk. Mas Aldi mengecup keningku. Dia pun meninggalkan
kamarku.
Mataku terbuka tiba-tiba. Mas Aldi? Kutengok seluruh kamarku. Mas Aldi
tidak ada? Hanya mimpi? Mengapa semua tampak nyata? Pandanganku jatuh pada
selimutku. Agar tersingkap. Dan seperti bekas diduduki seseorang. Mas Aldi
benar-benar ke sini? Bulu kudukku kembali berdiri. Pesan Mas Aldi di mimpiku
tadi? Buku LKS, halaman 18! Sesuai umur Mas Aldi!
Agak tergesa kucari buku LKSku. Halaman 18! Tanda tangan Mas Aldi! Sesuai
tanggal malam ini! Tepat 7 hari setelah kematiannya! Segera kututup bukuku dan
lekas tidur kembali. Jantungku berdegup kencang seiring aku merasakan kehadiran
Mas Aldi tepat di samping ranjangku!
Tanda tangan itu terbuat satu bulan sebelumnya. Ketika Mas Aldi janji
untuk diterima di sekolah kemiliteran. Sebenarnya, saat itu Mas Aldi sudah
menjalani tes ke 3. Maaf baru cerita sekarang.
Tepat jam 1 dinihari, pulpen bergerak sendirian..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar